Menyadari Keunikan Diri

Setiap makhluk hidup adalah unik, begitu juga manusia. Uniknya manusia itu seperti tanda tangan, begitu Gordon Dryden dan Jeanette Vos menyatakan (1999). Keunikan adalah potensi, dan itulah keagungan Sang khaliq, Sang Maha Pencipta. Meskipun dua manusia kembar tidak akan sama 100%. Ini artinya manusia tidak dapat dibuat dalam bentuk massal, lain halnya dengan benda mati yang dikerjakan secara massal di pabrikan.
Jelaslah tugas manusia sebagai makhluk yang dibekali pikiran untuk mengembangkan diri atas dasar keunikan yang dimiliki. Maka orang yang bisanya hanya meniru-niru secara massif sejatinya manusia itu telah kehilangan jati dirinya, telah hilang potensi asalnya, atau mengalami krisis kepercayaan diri. Dengan kata lain sukses adalah kemampuan mengelola dan mengembangkan keunikan diri.
Banyak orang yang tidak tahu akan keunikan diri yang dimilikinya. Sejatinya secara lahir dari ujung rambut sampai ujung kaki adalah keunikan yang membawa potensi, begitu juga potensi psikis yang berkaitan dengan kondisi emosi, kecerdasan majemuk, dan tipologi berpikir adalah aset bagi tiap individu. Tuhan Maha Adil, setiap penciptaan dan kehendakNya adalah hikmah dan berkah. Namun acapkali manusia kurang bersyukur, sehingga ciptaanNya yang telah sempurna sering dikonstruksi ulang karena apa yang dianugerahkan Sang Khaliq dianggap merugikan.
Banyak orang yang merebonding rambutnya yang keriting karena dianggap keriting itu jelek, banyak orang yang berjuang mati-matian untuk melawan kebotakan karena botak membuat tidak percaya diri, banyak orang yang suntik silikon agar terlihat sexy, banyak orang yang operasi plastik karena hidungnya tidak mancung atau bibirnya kurang aduhai. Pada hal jika kita menyadari dan bersyukur bahwa rambut keriting itu menjadikan kita menjadi orang yang mudah dikenal karena khas, pada hal botak itu seksi, dan lain sebagainya.
Lalu bagaimana cara kita mengetahui potensi dengan menyadari atas keunikan diri kita?. Sejujurnya banyak yang kita ketahui atas diri kita, hanya saja potensi-potensi itu kurang berkembang karena tidak mendapat pembelajaran dan pelatihan yang mampu mengoptimalkan potensi unik yang dimiliki setiap individu.
Dalam dunia akademik, khususnya dalam psikologi kognitif atau psikologi belajar keunikan manusia menyangkut gaya belajar (modalitas belajar), gaya berfikir, dan kecerdasan majemuk. Ketiga keunikan tersebut memberi pengaruh yang signifikan terhadap kesuksesan seseorang dimasa depan.
Jika seseorang tahu gaya belajar yang dimiliki dan dipraktikkan serta dirangsang sesuai dengan kebutuhan gaya belajarnya maka seseorang akan sukses secara akademik, jika seseorang mampu memahami gaya berfikir yang dimiliki seseorang akan mampu meraih posisi kerja yang relevan dengan gaya berfikirnya, dan jika seseorang tahu kecerdasan majemuknya yang paling dominan maka seseorang dapat memilih keunggulan komparatif dari dirinya yang harus dikembangkan.
Berikut ini penulis sajikan ciri-ciri dan karakteristik dari gaya belajar, gaya berfikir, dan kecerdasan majemuk.
Gaya belajar
Gaya berfikir
Anthony Gregorc (dalam Gordon Dryden dan Jeanette Vos, 1999) - profesor kurikulum dan instruksi di Universitas Connecticut - membagi gaya berpikir ke dalam empat gaya yang berbeda yaitu Sekuensial Konkret, Acak Konkret, Acak Abstrak, Sekuensial Abstrak. Tidak ada gaya berpikir yang lebih unggul antara satu dengan yang lainnya, masing-masing memiliki keunikan tersendiri dan akan menjadi sangat efektif dengan caranya sendiri. Adapun definisi keempat gaya berpikir tersebut adalah :
a. Sekuensial Konkret.
Persepsi yang konkret dan pengaturan informasi yang sekuesial menghasilkan kombinasi Sekuesial Konkret. Pemikir Sekuensial Konkret mendasarkan dirinya pada realitas, mereka memproses informasi dengan cara teratur, urut, dan linier. Cara belajar yang terbaik bagi orang dengan tipe ini adalah praktik. Mereka memperhatikan dan mengingat berbagai detail dengan mudah baik mengingat fakta-fakta, informasi spesifik, rumus-rumus dan berbagai peraturan. Tipikal orang ini adalah pelajar yang pekerja dan teratur, lebih mengutamakan hasil/ kualiatas dari pada jumlah/ kuantitas sehingga dalam berorganisasi jabatan yang memerlukan kerapian dan keuletan seperti sekertaris atau bendahara merupakan jabatan yang cocok untuknya.
b. Acak Konkret.
Persepsi yang konkret dipadukan dengan pengaturan informasi yang acak menjadikan seseorang memiliki cara berpikir dominan Acak Konkret. De Porter (1999) menyatakan, ”Seperti halnya Sekuensial Konkret, mereka mendasarkan diri pada realitas, tetapi cenderung melakukan pendekatan coba-coba. Oleh karena itu, mereka sering membuat lompatan intuitif yang diperlukan untuk pemikiran kreatif sejati. Mereka memiliki kebutuhan yang kuat untuk menemukan alternatif dan melakukan berbagai hal dengan cara mereka sendiri.”
Orang dengan tipe Acak Konkret memiliki kebiasaan mengakhirwaktukan kegiatan, namun demikian mereka tetap merasa enjoy, suka bersaing daripada bekerja sama. Persaingan akan membuat mereka selalu ingin menjadi yang terbaik. Dalam berorganisasi, kreatifitas yang dimilikinya membuat mereka sering dipercaya untuk mengetuai beberapa kegiatan. Jabatan yang memiliki ruang gerak yang luas untuk berekspresi membuat mereka nyaman. Dengan kata lain orang dengan tipe Acak Konkret cocok dengan jabatan pemimpin.
c. Acak Abstrak
Pemikir Acak Abstrak mengatur informasi melalui refleksi dan berkembang pesat dalam lingkungan tak terstruktur dan berorientasi kepada manusia. Kombinasi persepsi yang abstrak dengan pengaturan informasi yang acak menjadikan pemikir acak abstrak seorang yang sensitif, perasa, dan mudah terbawa suasana (www.hudzaifah.org). Hal ini membuat mereka menjadikan perasaan sebagai bahan pertimbangan, baik perasaan sendiri ataupun perasaan orang lain sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengambil suatu keputusan.
DePorter menyatakan, “ Dunia ‘nyata’ bagi para pelajar Acak Abstrak adalah dunia perasaan dan emosi. Mereka menyerap berbagai gagasan, informasi dan kesan lalu mengaturnya kembali melalui refleksi. Mereka dapat mengingat dengan baik jika informasinya dibuat menurut selera mereka dan akan merasa dibatasi ketika ditempatkan di lingkungan yang terstruktur.” Dalam berorganisasi posisi yang cocok untuk orang dengan tipe ini ialah yang berkaitan dengan kejiwaan seperti posisi humas.
d. Sekuensial Abstrak
Persepsi abstrak yang dikombinasikan dengan pengaturan informasi yang sekuensial membentuk seseorang dengan cara berpikir dominan Sekuensial Abstrak. Pemikir Sekuensial Abstrak sangat suka sekali dengan dunia teori dan pikiran Abstrak (Dryden dan Vos, 1999). Mereka adalah penggagas yang brilian, pemikir yang menemukan gagasan yang kadang-kadang tidak terpikirkan oleh orang lain. Proses berpikir mereka logis, rasional, dan intelektual. Aktivitas favorit mereka adalah membaca. Karena cara berpikir yang konseptual dan menganalisis informasi menjadikan mereka berpotensi menjadi filosof dan ilmuwan peneliti yang hebat. Jabatan yang cocok dengan orang seperti ini adalah Litbang.

Kecerdasan Majemuk
Hakikat inteligensi
Intellegence atau inteligensi dalam Kamus Psikologi didefinisikan kemampuan berurusan dengan abstraksi-abstraksi; kemampuan mempelajari sesuatu; kemampuan menangani situasi-situasi baru (Kartini Kartono dan Dali Gulo, 2000). Rita L. Atkinson (1990), dkk menyatakan inteligensi sebagai kapasitas umum untuk memahami dan menalar sesuatu, yang mengejawantahkan diri dalam berbagai cara. Menurut Binet dan Simon (1905) dalam inteligensi terdapat suatu kecakapan dasar yang akan mempengaruhi kehidupan praktis berupa akal sehat yang akan memberi pertimbangan dalam melakukan tindakan, cita rasa praktis, inisiatif, dan kecakapan untuk beradaptasi. Usaha untuk mengetahui hakikat intelegensi berarti usaha untuk mengetahui apa inteligensi itu sendiri. Inteligensi sebagai entitas yang abstrak dideferensiasi menjadi lima konsepsi, yakni konsepsi bersifat spekulatif, pragmatis, faktor, operasional, dan fungsional (Sumadi Suryabrata, 2004).
Spearman menyatakan konsepsi spekulatif-filsafati intelegensi terdiri atas tiga kelompok yakni kelompok umum, daya jiwa, dan daya khusus. Ebbinghaus (1897) mendefinisikan inteligensi sebagai kemampuan untuk membuat kombinasi, sedangkan Terman mendefinisikan inteligensi sebagai kemampuan untuk berfikir secara abstrak. Inteligensi sebagai daya jiwa adalah persatuan dari pada daya jiwa yang khusus, dan inteligensi sebagai daya khusus merupakan taraf umum yang mewakili daya-daya khusus.
Inteligensi dalam perspektif pragmatis menurut Boring merupakan apa yang dites oleh tes inteligensi. Tes inteligensi dalam perspektif umum menggali sejumlah kemampuan mental yang relatif tidak tergantung satu sama lain (Rita L. Atkinson (1990). Konsepsi faktor tentang inteligensi merupakan upaya mengetahui inteligensi dengan teknik analisis faktor. Analisis faktor merupakan teknis matematika yang digunakan untuk menetapkan jumlah minimum dimensi atau faktor yang menimbulkan hubungan (korelasi) yang tampak diantara respon subjek pada sejumlah tes yang brbeda. Tokoh-tokoh yang membidanginya antara lain Terman, Thomson, Cyrill Burt, Thurstone, dan Guilford.
Terman, dalam analisis faktornya menemukan bahwa tingkah laku manusia disebabkan oleh dua faktor yakni general factor (g), dan special factor (s). Kedua faktor tersebut diformulasikan sebagai berikut:

Tl1 = g + s1
Tl2 = g + s2
Tl3 = g + s3
Faktor umum merupakan faktor bawaan, sedangkan faktor khusus merupakan faktor yang dipengaruhi oleh lingkungan.
Teori Thomson menyangkal teori Terman, menurutnya tidak ada faktor umum yang bersifat bawaan, yang ada adalah faktor khusus yang dipengaruhi oleh pendidikan. Cyrill Burt menambahkan teori Terman dan pada dasarnya setuju dengan konsepsi yang disusun oleh Terman, hanya saja Burt menambahkan satu faktor lagi yang disebut dengan commom factor (faktor kelompok). Teori Burt diformulasikan sebagai berikut:
Tl1 = g + c + s1
Tl2 = g + c + s2
Tl3 = g + c + s3
Faktor kelompok yang dimaksud oleh Burt adalah faktor yang mempengaruhi oleh sejumlah tindakan, tetapi tidak pada semua tingkah laku. Thurstone pada pripsipnya sama dengan Burt, hanya saja menambahkan faktor kelompok menjadi tujuh macam, meliputi: faktor ingatan, faktor verbal, faktor bilangan, faktor kelancaran kata-kata, faktor penalaran, faktor persepsi, dan faktor ruang. Guilford menambahkan bahwa faktor kelompok tersusun atas 120 macam, hal ini dipengaruhi oleh tiga dasar yaitu: proses psikologis (cognition, memory, divergen production, convergent production, evaluation), materi yang diproses (figural, symbolic, semantic, behavioral), dan bentuk informasi yang dihasilkan (unit, classes, relations, systems, transformation, implications).
Konsepsi operasioal tentang inteligensi menolak teknik analisis faktor dalam mengetahui hakikat inteligensi. Konsepsi operasional tidak setuju karena alanilis faktor tidak dapat dilakukan secara operasional. Inteligensi dalam konsepsi fungsional dinyatakan oleh Binet. Menurut Binet (dalam Sumadi Suryabrata) hakikat inteligensi ada tiga macam, yakni:
a. Kecenderungan untuk menetapkan dan memperjuangkan tujuan tertentu.
b. Kemampuan untuk menyesuaikan dengan maksud untuk mencapai tujuan itu.
c. Kemampuan untuk oto-kritik, dan belajar dari kesalahan sendiri.
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Inteligensi
a. Faktor genetik
Faktor bawaan, yang disebut juga faktor keturunan atau faktor herediter, adalah faktor-faktor yang menjadi penyebab mengapa ikan berenang, burung terbang, sapi berkaki empat, dan lain sebagainya (Saifuddin Azwar , 1996). Sebagian besar penelitian membuktikan inteligensi berkaitan erat dengan faktor genetik. Tingkat korelasi antara inteligensi dengan faktor genetik disajikan dalam Tabel 4 di bawah ini.
Hubungan Korelasi
Kembar satu zigot
Diasuh bersama
Diasuh terpisah
0,86
0,72
Kembar dua zigot
Diasuh bersama
0,60
Saudara kandung
Diasuh bersama
Diasuh terpisah
0,47
0,24
Orang tua/anak 0,40
Orang tua angkat/anak 0,31
Saudara sepupu 0,15
Tabel 4
Inteligensi dalam Hubungan Keluarga
Sumber: Rita L. Atkinson, dkk. Pengantar Psikologi Jilid 2 (Bandung: Erlangga, 1990), hlm 133


b. Faktor lingkungan
Pengaruh lingkungan terhadap individu sebenarnya telah dimulai sejak terjadinya pembuahan. Proses yang paling berpengaruh setelah melahirkan adalah proses belajar (learning) yang menyebabkan perbedaan perilaku individu satu dengan yang lainnya. Kondisi lingkungan yang menentukan perkembangan potensi intelektual seseorang mencakup nutrisi, kesehatan, kualitas stimulasi, iklim emosional rumah, dan tipe umpan balik yang diperoleh melalui perilaku.
c. Kesehatan otak
Otak sangat menentukan kemampuan operasional dari intelegensi individu. Otak yang terdiri dari belahan otak kanan dan kiri mempunyai wilayah kecerdasan-kecerdasan sendiri. Belahan kiri mengendalikan gerakan tangan kanan, dan belahan kanan mengendalikan tangan kiri. Belahan kiri lebih berperan dominan dibanding belahan kanan. Belahan kiri berfungsi mengendalikan bahasa tulis, lisan, kalkulasi matematik, dan kemampuan utamanya melibatkan konstruksi spasial dan indra pola. Sakit atau terganggu pada wilayah tertentu dari otak akan mengganggu kecerdasan pada wilayah tersebut, dan tidak akan mengganggu kecerdasan lainnya.
d. Pendidikan prenatal
Pendidikan pranatal mempengaruhi perkembangan dan kualitas janin, pendidikan prenatal dikondisikan oleh empat aspek, yaitu:
1). Aspek fisik dan material, berkenaan dengan unsur fisik (makanan, gizi, finansial) untuk menjaga kesehatan fisik
2). Aspek moral, berkenaan dengan moralitas orang tua.
3). Aspek intelektual, yakni dimensi – dimensi , minat dan rasa intelektual ibu.
4). Aspek spiritual, yakni perilaku ibadah yang dilakukan ibu (Suharsono, 2002).
3. Pengertian dan Karakteristik Mutiple Intellegences
Kemunculan Multiple Intellegences atau kecerdasan majemuk merupakan perluasan dari kecerdasan tunggal yang dinamakan IQ (intelligency quotient). Multiple intelligences lahir sebagai koreksi terhadap konsep kecerdasan yang dikembangkan oleh Alfed Binet (1904), yang meletakkan dasar kecerdasan seseorang pada intelligences Quotient (IQ). Teori multiple intellegences dinyatakan oleh Gardner pada tahun 1983 dalam bukunya yang berjudul Frames of Mind. Menurut Gardner kecerdasan adalah bahasa-bahasa yang dibicarakan oleh semua orang dan sebagian dipengaruhi oleh kebudayaan di mana dilahirkan. Kecerdasan merupakan alat untuk belajar, menyelesaikan masalah, dan menciptakan semua hal yang bisa digunakan manusia (Linda Campbell, 2004).
Menurut Gardner kecerdasan manusia terdiri atas tujuh macam yaitu:
a. Linguistic intelligence (kecerdasan linguistik), merupakan kemampuan untuk berfikir dalam bentuk kata-kata dan menggunakan bahasa untuk mengekspresikan dan menghargai makna yang komplek. Kecerdasan linguistik meliputi kemampuan memanipulasi tata bahasa atau struktur bahasa, fonologi atau bunyi bahasa, semantik atau makna bahasa, dimensi pragmatik atau penggunaan praktis bahasa (Thomas Amstrong, 2003). Individu yang mempunyai kecerdasan linguistik tinggi akan mahir dalam retorika (penggunaan bahasa untuk mempengaruhi orang lain), mnemonic/hafalan (penggunaan bahasa untuk mengingat informasi), eksplanasi (penggunaan bahasa untuk memberi informasi), dan metabahasa (penggunaan bahasa untuk membahas bahasa itu sendiri). Karakteristik-karakteristik individu yang memiliki kecerdasan verbal linguistik adalah:
1). Mendengar dan merespon setiap suara, ritme, dan berbagai ungkapan kata.
2). Pandai menirukan berbagai suara, bahasa, membaca, dan menulis dari orang lainnya.
3). Lebih mudah belajar melalui menyimak membaca, menulis, dan diskusi.
4). Menyimak secara efektif, memahami, meringkas, menafsirkan atau menerangkan.
5). Mengingat apa yang dibaca.
6). Efektif dalam berbicara.
7). Efektif dalam membaca, memahami dan menerapkan aturan bahasa, ejaan, dan tanda baca (Linda Campbell, 2004).
b. Logical-mathematical intelligence (kecerdasan logika matematika), merupakan kemampuan dalam menghitung, mengukur, dan mempertimbangkan proposisi dan hipotesis, serta menyelesaikan operasi-operasi matematis. Kecerdasan ini meliputi kepekaan pada pola dan hubungan logis, pernyataan dan dalil (jika-maka, sebab-akibat), fungsi logis dan abstraksi-abstraksi lain. Proses yang digunakan dalam kecerdasan ini adalah kategorisasi, klasifikasi, pengambilan kesimpulan, generalisasi, penghitungan, dan pengujian hipotesis (Thomas Amstrong, 2003).
c. Musical intelligence (kecerdasan musik), merupakan kemampuan menangani bentuk-bentuk musikal, dengan cara mempersepsi (menikmati), membedakan (kritikus), menggubah (composer), dan mengekspresikan (penyanyi). Individu yang memiliki kecerdasan musikal mempunyai sensitifitas pada pola titinada, melodi, ritme, dan nada. Karakteristik-karakteristik individu yang mempunyai kecerdasan musik adalah:
1). Mampu mendengar dan merespon bunyi serta mengorganisasi jenis suara ke dalam pola yang bermakna.
2). Belajar lebih mudah jika dilakukan sambil menikmati musik.
3). Mampu merespon musik secara kinestetik, emosional, dan intelektual.
4). Mengenali berbagai aliran musik.
5). Tertarik untuk mengembangkan dan mengasah kemampuan dalam bermusik.
6). Menggunakan perbendaharaan dan notasi musik.
7). Mengembangkan referensi kerangka berfikir pribadi untuk mendengarkan musik.
8). Mempunyai kemampuan dalam berimprovisasi dalam musik.
d. Spatial intelligence (kecerdasan spasial), merupakan kemampuan mempersepsi dunia spasial-visual secara akurat. Kecerdasan ini meliputi kepekaan pada warna, garis, bentuk, ruang, dan hubungan antar unsur tersebut.
e. Bodily-kinesthetic intelligence (kecerdasan kinestetik tubuh), merupakan keahlian menggunakan seluruh tubuh untuk mengekspresikan ide dan perasaan. Kecerdasan ini meliputi kemampuan fisik yang spesifik, seperti koordinasi, keseimbangan, keterampilan, kekuatan, kelenturan, dan kecepatan maupun kemampuan menerima rangsangan. Individu yang bagus dalam kecerdasan kinestetik cenderung belajar dengan mengandalkan modalitas kinestetik. Adapun ciri – ciri individu yang menggunakan modalitas kinestetik adalah:
1). Berbicara dengan perlahan
2). Menyentuh orang untuk mendapatkan perhatiannya.
3). Berdiri dekat ketika berbicara pada orang.
4). Orientasi pada fisik dan banyak bergerak.
5). Memiliki perkembangan awal otot-otot yang besar.
6). Menggunakan jari sebagai petunjuk saat membaca.
7). Menghafal dengan cara berjalan dan melihat.
8). Banyak menggunakan bahasa tubuh.
9). Tidak dapat duduk diam dalam waktu yang lama.
10). Menggunakan kata-kata yang mengandung aksi.
11). Ingin melakukan segala sesuatu (Baban Sarbana dan Dina Diana,2002).
f. Interpersonal intelligence (kecerdasan interpersonal), merupakan kemampuan untuk memahami dan berinteraksi dengan orang lain secara efektif. Ciri-ciri individu yang mempunyai kecerdasan interpersonal yang bagus adalah sebagai berikut:
1). Terikat dengan orang tua dan berinteraksi dengan orang lain.
2). Membentuk dan menjaga hubungan sosial.
3). Mengetahui dan menggunakan cara-cara yang beragam dalam berhubungan dengan orang lain.
4). Merasakan perasaan, pikiran, motivasi, tingkah laku dan gaya hidup orang lain.
5). Berpartisipasi dalam kegiatan kolaboratif.
6). Mempengaruhi pendapat dan perbuatan orang lain.
7). Memahami dan berkomunikasi secara efektif, baik dengan cara verbal maupun nonverbal.
8). Menyesuaikan diri dengan lingkungan.
9). Menerima perspektif yang macam-macam dalam masalah sosial dan politik.
10). Mempelajari keterampilan yang berhubungan dengan penengah sengketa atau mediator.
11). Tertarik pada karir yang berorientasi interpersonal.
12). Membentuk proses sosial atau model yang baru.
g. Intrapersonal-intellegence (kecerdasan intrapersonal), merupakan kemampuan untuk membuat persepsi yang akurat tentang diri sendiri dan menggunakan pengetahuan semacam itu dalam merencanakan dan mengarahkan kehidupan seseorang. Kecerdasan intrapersonal bersandar pada dunia batin, didalamnya tercakup motivasi, penekanan, etika, integritas, dan altruisme. Individu yang mempunyai kecerdasan intrapersonal tinggi mempunyai indikasi sebagai berikut:
1). Sadar akan wilayah emosinya.
2). Menemukan cara-cara dan jalan keluar untuk mengekspresikan perasaan dan pemikirannya.
3). Mengembangkan model diri yang akurat.
4). Termotivasi untuk mengidentifikasi dan memperjuangkan tujuannya.
5). Membangun dan hidup dengan suatu system nilai etik (agama).
6). Bekerja mandiri.
7). Penasaran akan “pertanyaan besar” tentang makna kehidupan, relevansi, dan tujuannya.
8). Mengatur secara kontinu pembelajaran dan perkembangan tujuan personalnya.
9). Berusaha mencari dan memahami pengalaman “hatinya” sendiri.
10). Mendapatkan wawasan dalam kompleksitas diri dan eksistensi manusia.
11). Berusaha untuk mengaktualisasikan diri.
12).Memberdayakan orang lain (memiliki tanggung jawab kemanusiaan).
Ketujuh kecerdasan tersebut oleh Gardner diambah satu kecerdasan lagi yakni kecerdasan natural. Natural intelligence (kecerdasan natural), merupakan kemampuan mengenali dan mengkategorikan spesies flora dan fauna di lingkungan sekitar.
Ciri-ciri kecerdasan natural pada individu adalah :
1). Suka dan akrab dengan berbagai hewan peliharaan.
2). Sangat menikmati berjalan-jalan di alam terbuka seperti kebun, taman, hutan, dan sebagainya.
3). Menunjukkan kepekaan terhadap panorama alam, seperti pemandangan, gunung, awan, pantai, dan sebagainya.
4). Suka berkebun atau dekat dengan taman dan memelihara binatang.
5). Menghabiskan waktu dekat akuarium atau sistem kehidupan alam lainnya.
6). Memperlihatkan kesadaran ekologis yang tinggi.
7). Meyakini bahwa binatang mempunyai hak sendiri dan pelu dilindungi.
8). Mencatat berbagai fenomena alam yang melibatkan hewan dan tumbuhan.
9). Suka membawa pulang serangga, bunga, daun, atau benda-benda alam lainnya.
10). Berprestasi dalam mata pelajaran IPA, Biologi, dan lingkungan hidup (Robinson Situmorang (dalam Dewi Salma Prawira Dilaga dan Eveline Siregar, 2004).
Teori Gardner tentang multiple intellegences mengilhami banyak pemikir dan cendekiawan untuk mengembangkan teori tersebut. IQ, EQ, dan SQ menjadi topik sentral dalam pengembangan teori Gardner. Perbandingan ketiga kecerdasan IQ, EQ, dan SQ disajikan dalam Tabel 5 di bawah ini.
Aspek Intelligence Quotient Emotional Quotient Spiritual Quotient
Struktur Jalur saraf Jaringan saraf Osilasi 40 Hz
Cara berfikir Serial Asosiatif Unitif
Tipe berfikir Rasional Emosional Spiritual
Sifat Otomatis, kaku Fleksibel Dapat berubah
Kelebihan/kekurangan Akurat, cepat, dapat dipercaya Tidak akurat, fleksibel Sangat akurat
Dasar filosofis Newtonian Humanisme Filosofi ketimuran
Respon Naluriyah Terkondisi Berkesadaran
Contoh Sistem pernafasan, pengaturan, tekanan darah, refleks Menghubungkan rasa lapar dengan nasi, ibu dengan cinta, rumah Makna hidup, makna persaudaraan, makna cinta dan nyaman
Mesin Komputer seri Komputer analog Tidak ada
Proses belajar Tidak bisa belajar Dapat belajar Dapat belajar
Proses psikologi Prapersonal Personal Transpersonal
Tabel 5
Perbandingan IQ, EQ, dan SQ
Sumber: Rajendra Kartawijaya, 12 Langkah Membentuk Manusia Cerdas
(Bandung: Hikmah, 2004), hlm. 159

Kesadaran akan keunikan diri sebagai potensi dan energi akan memberi kontribusi jika dikembangkan dan mendapat talent scout/pembantu bakat. Intinya kenali diri Anda, potensi Anda, maka Anda menjadi pemenang, bukan pecundang.

Sukses Adalah Harapan Semua Orang

Sukses adalah harapan semua orang, tanpa kecuali. Secara kodrati sukses merupakan motivasi intrinsik yang datang dari dalam diri individu. Motivasi ekstrinsik tidak lebih dari pelengkap dan penguat untuk mencapai sukses walaupun terkadang memberi energi yang luar biasa.
Sukses bagi sebagian besar orang bukan sekedar kemudahan memperoleh dan mencari alternatif pilihan hidup, lebih dari itu sukses merupakan simbul akan eksistensi diri. Sukses memberi kontribusi yang signifikan dalam aktualisasi diri, artinya semakin sukses seseorang akan mudah untuk bergaul dan berinteraksi dengan orang lain karena memiliki kepercayaan diri yang tinggi.
Sukses sesengguhnya merupakan hasil kerja keras dan doa, no gain without paint. Tanpa kerja keras memperoleh sukses adalah sebuah anugerah, namun pada prinsipnya sukses tidak datang secara kebetulan.
Berharap sukses adalah sebuah energi bagi orang yang mengharapkannya. Energi itu menggerakkan seseorang untuk berfikir, bekerja, berinovasi, dan berkreasi. Berfikir selalu berangkat dari asumsi-asumsi teoritis, aksioma, ataupun thesa. Hasil berfikir akan dipraktikkan dalam bekerja, idealisme dalam pikiran dan teori diejawantahkan dalam realitas kerja. Dari implementasi ranah idealitas ke ranah realitas akan menjadi pengalaman empirik bagi pelakunya. Sudah barang tentu terjadi deviasi atau penyimpangan antara kedua ranah tersebut. Deviasi dan penyimpangan mengakibatkan kinerja terganggu. Akibatnya sukses kerja terhambat, bahkan gagal.
Bagi individu kegagalan bukanlah akhir dari segalanya, prinsip kegagalan adalah sukses yang tertunda harus dipegang teguh oleh orang yang memperjuangkan kesuksesan hidupnya. Kesenjangan ranah idealitas dan ranah realitas yang berpotensi menghambat kinerja tersebut perlu disikapi dengan inovasi. Inovasi diperlukan ketika konsep lama tidak lagi ideal untuk dipraktikkan. Inovasi menjadi jembatan menuju kesuksesan dengan masih berangkat dari teori lama, hanya diubah metode atau caranya saja.
Jika inovasi kurang atau gagal menjadi solusi kesenjangan ranah ideal yang teoritis dan ranah realis yang praktis maka perlu ditempuh langkah terakhir yakni proses kreatif. Proses kreatif merupakan proses mereka ulang (reenginering) konsepsi teoritis yang berada dalam ranah idealis. Dalam mereka ulang (reenginering) dibutuhkan kesadaran atas dimensi kemampuan, dimensi waktu, dan dimensi tempat.
Sesungguhnya untuk menggapai sukses proses kreatif mutlak dibutuhkan karena sangat banyak variabel yang berpotensi menghambat sukses. Kesadaran atas dimensi kemampuan sejatinya merupakan modal pokok bagi seseorang untuk mengkonstruk masa depannya. Dari sinilah action plan masa depan dibangun.
Perumusan action plan adalah sebuah proses penjabaran visi dan misi hidup. Visi senantiasa bertalian dan berlandaskan atas keyakinan hidup, visi adalah way of life bagi setiap orang. Dari visi yang dimiliki, seseorang akan merumuskan misi hidupnya. Misi merupakan operasionalisasi dari visi.
Visi dan misi adalah ruh bagi seseorang. Tanpa kedua hal tersebut maka seseorang tak ubahnya makhluk mati, adanya seperti tak ada. Maka jelaslah sesorang yang tidak memiliki visi dan misi tidak akan pernah sukses karena tiada memiliki energi intrinsik untuk menggapai kehidupan yang lebih baik di masa depan. Orang yang hidupnya tiada terkendali adalah orang yang kehilangan visi dan misi hidup.
Visi dan misi setiap orang pastilah berbeda. Begitu pula cara seseorang memandang kesuksesan. Ada yang memandang sukses adalah ketercapaian material duniawi, ada yang memandang sukses adalah keberhasilan merengkuh kekuasaan, dan ada pula yang memandang sukses adalah keberhasilan dunia sebagai persiapan kehidupan akherat. Yang jelas sejatinya sukses adalah harapan semua orang dalam perspektif dan kadar yang berbeda tergantung latar belakangnya.

Belajar dari Novel “Perampok”

Jika tidak ada aral melintang, hari Rabu tanggal 8 Juli 2009, bangsa Indonesia akan melaksanakan hajat akbar yakni Pilpres (Pemilihan Presiden). Pilpres dalam pesta demokrasi adalah puncak kegiatan yang paling ditunggu-tunggu. Di negara manapun, pilpres selalu menguras tenaga dan menjadi pusat perhatian seluruh warganya, tak terkecuali bangsa Indonesia.
Pergantian pucuk kepemimpinan selalu menarik untuk diperbincangkan. Dari rakyat kecil sampai pejabat tinggi negara, membicarakan pilpres merupakan menu yang paling “lezat”, meskipun dampak pasca pilpres tidak banyak memberi makna perubahan yang signifikan bagi rakyat kecil karena tidak memiliki akses kekuasaan.
Yang paling menarik dibicarakan adalah calon presiden dan wakilnya serta manuver politisi yang akrobatik, yang memacu adrenalin setiap orang yang menyaksikannya. Dalam pilpres kali ini, berbagai manuver yang disebut koalisi paling banyak menghiasi pra pilpres. Ada koalisi besar yang terdiri atas PDI-P, Hanura, Gerindra, dan Golkar, ada golden triangle (PDI-P, PPP, GOLKAR), dan ada pula koalisi jumbo. Semua koalisi tersebut mengarah pada satu titik, yakni memenangkan calonnya untuk menduduki RI-1 dan RI-2.
Yang namanya manuver tentu tidak tersistem, mudah berubah-ubah, (plin-plan) dan tidak bisa ditebak. Istilah jargon Jawa, esok tempe sore dele. Dalam konteks ini sebagai pihak ketiga yang sekedar menyaksikan dibuat bingung. Namun justru kebingungan inilah yang semakin membuat acara pilpres semakin “lezat” bagi siapapun, terlebih pengamat politik.
Namun yang layak digarisbawahi dan diperhatikan secara seksama adalah bahwa manuver itu bisa menjadi pertanda buruk bagi proses pendewasaan demokrasi di tanah air ketika manuver tersebut melanggar etika, amoral. Apalagi manuver tersebut dianggap selalu wajar dengan mengatasnamakan politik sebagai sebuah seni kemungkinan, artinya mengubah yang tak mungkin menjadi mungkin. Jika perilaku dan manuver yang kurang beretika tersebut diteruskan maka perpolitikan di tanah air dapat dikatakan sebagai politik tanpa etika (no ethics in politics).
Dalam tulisan ini penulis menghubungkan pesta demokrasi berupa pilpres dengan substansi novel “Perampok”. Meskipun naskah dramanya telah menjadi masa lalu, ditulis WS Rendra di tahun 1977 namun substansinya masih relevan dengan kejadian sekarang. Benar kata istilah, masa lalu selalu aktual.
Dalam novel “perampok” kita dapat menyimak bagaimana perebutan kekuasaan di Kabupaten Lumajang berakhir dengan tragis. Raden Sudrajat memfitnah Raden Legowo yang nota bene kakak kandungnya hanya demi sebuah kursi kekuasaan. Raden Sudrajat melakukan pembunuhan karakter terhadap Raden Legowo. Raden Sudrajat memang berhasil menduduki kursi adipati, namun tak berlangsung lama karena akhirnya ia bunuh diri setelah terjadi huru-hara (perampokan di mana-mana) yang dimotori Raden Legowo.
Sejarah bangsa ini analog dengan peristiwa di atas. Sejak kemerdekaan rakyat dibuat bingung, antara yang memfitnah dan pemfitnah, antara yang benar dan salah, semuanya kabur alias abu-abu. Sejarah memang tidak pernah hitam-putih bukan?
Kejadian kedua yang analog dengan peristiwa saat ini menjelang pilpres dapat kita simak dari dialog dalam novel “Perampok” yakni:
“Sebelum Raden duduk di situ ketika Raden masih berada entah di mana, guru kita telah bertitah kepadaku. Kata beliau: berangkatlah kamu ke Lumajang, temuilah Raden Legowo yang akan berhenti menjadi perampok dan berhasil duduk sebagai Adipati Lumajang setelah mengalahkan kezaliman adiknya. Katakanlah kepadanya, janganlah sampai ia berkehendak untuk menjadi raja, karena Sultan Agung adalah Raja Tanah Jawa.”
“Janganlah hal itu dikhawatirkan.”
“Aku tidak pernah mempunyai pikiran semacam itu.” (Perampok, 2004: 137)

Dari dialog di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa untuk menduduki sebuah kursi kekuasaan harus dilakukan dengan cara yang beretika. Mendasarkan pada norma yang dianut. Jangan meraih sesuatu kekuasaan melalui cara yang salah, apalagi cara itu merampok. Merampok konteksnya luas, dapat merampok suara, merampok hak, dan lainnya. Penggelembungan suara dan penafikan hak sebagai pemilih adalah sebuah perampokan.
Dialog di atas juga mengajarkan kepada kita bahwa untuk menduduki tahta harus memperoleh mandat dari pemegang kekuasaan tertinggi. Sultan Agung dalam dialog di atas dapat kita ganti dengan rakyat, karena dalam demokrasi rakyatlah yang memberi restu seseorang untuk ditasbihkan sebagai presiden dan wakil presiden.
Selain dialog di atas ada dialog yang relevan dengan pemilihan legislatif dan pemilihan presiden, yakni tentang bagaimana kita menyikapi sebuah kekalahan. Dialog tersebut yakni:
“Oh, di cincin ini ada tersimpan racun. Tetapi ini sebetulnya untuk meracun orang lain, tidak untuk meracun diriku sendiri, tetapi apa boleh buat mati teracun tidak terasa, mati tersiksa akan lebih celaka”……..
“Aku takut mati. Di sana gelap. Aku takut…”.
“Menyerahlah Raden.”
“Aku telah minum racun…” (Perampok, 2004: 132-133).

Dalam kaitannya dengan pilpres saat ini ada beberapa nilai yang dapat diambil dari novel “Perampok”. Nilai itu adalah; pertama: berpolitiklah dengan menggunakan etika, jika etika itu relatif, maka gunakanlah etika yang bersandar agama karena etika dalam perspektif agama itu pasti, tidak relatif, tidak pula nisbi. Jangan melakukan manuver yang tidak kontrol, jangan mengesankan sebagai negarawan yang haus akan kedudukan, yang tamak, yang tidak patut disuritauladani. Kedua: untuk meraih kedudukan dan kekuasaan raihlah dengan cara yang benar, sesuai konstitusi, dan mengedepankan aspek kejujuran. Politik tanpa kejujuran bukanlah merupakan seni mengolah kemungkinan, namun politik yang amburadul.
Ketiga; bersiaplah untuk fair play, menang dan kalah harus disikapi dengan dewasa. Yang menang harus dapat mengayomi yang kalah, yang kalah tak perlu frustasi, tidak perlu mencari celah untuk menggagalkan pihak yang menang, apalagi ditempuh dengan cara yang destruktif. Jangan depresi atas kekalahan, apalagi sampai bunuh diri seperti Raden Sudrajat dalam novel “Perampok”.
Keempat; kemenangan pasangan siapapun adalah kemenangan rakyat, rakyat harus mengakui dan patuh terhadap pemimpin negara sebagai ulil amri. Jika ingin kritis, posisikanlah sebagai opisisi, jadilah oposan yang bertetika.
Sejatinya banyak nilai kehidupan, nilai demokrasi, nilai religius, dan nilai etika yang dapat diambil dari novel “Perampok” . Namun dalam uraian ini penulis hanya mengisahkan dua dialog yang penulis anggap paling relevan dengan kejadian saat ini.
Cukuplah kita belajar demokrasi dengan novel “Perampok”, studi banding keluar negeri hanya menghabis-habiskan dana, mendingan untuk menggalakkan budaya membaca ,bukannya budaya malah plesiran dengan label studi banding.

Karakteristik Generasi Sukses di Masa Depan

Indivisu yang sukses di masa depan adalah individu yang sesuai dengan karakteristik masa depan itu sendiri. Tanpa ada kesesuaian karakteristik maka individu tidak akan mampu berbuat banyak sehingga sulit meraih sukses.
Setiap masa membutuhkan karakteristik yang spesifik. Ditahun 1980-an seseorang yang bergelar sarjana strata satu (S-1) masih mudah mencari kerja, masih memiliki banyak alternatif memilih pekerjaan, namun ditahun 1990-an modal sarjana strata satu sudah mulai kesulitan mencari pekerjaan jika tidak memiliki keahlian khusus baik yang sifatnya kompetitif maupun komparatif. Sekarang, ditahun 2000-an sarjana strata satu semakin dirasa tidak cukup, generasi muda yang berstarata dua (S-2) semakin melimpah dan itu pun masih susah mencari kerja. Gelar sarjana harus dilengkapi hard sklill dan soft skill agar mampu bersaing dalam bursa kerja.
Begitu drastisnya karakteristik generasi yang dibutuhkan setiap zaman mengharuskan individu untuk menyusun blue print segala aktifitas dan berbagai pilihan program pembelajaran dan keahlian guna menyongsong kehidupan yang lebih baik. Tanpa ada perencaan (blue print) seseorang hanya sekedar bertahan hidup (survive) namun tidak mengalami kemajuan (progress).
Meskipun menurut para futurolog masa depan itu sesuatu yang unpredicable (tak dapat dipastikan) namun sesungguhnya ada alur-- yang menyangkut karakteristik – yang dapat dibaca. Kecenderungan perubahan dapat dipahami melalui interaksi global. Kuncinya setiap individu harus siap dalam pusaran informasi, jika tidak maka seseorang akan mudah berada dalam posisi tertinggal, out of date.
Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah bagaimana karakteristik manusia yang dibutuhkan untuk sepuluh tahun atau dua puluh tahun mendatang ?. Skill apa yang dibutuhkan, keahlian apa yang paling banyak dicari, jurusan apa yang paling favorit ?. Semua pertanyaan itu tak mudah dijawab, apalagi berkaca dari realitas sekarang.
Kadangkala kita berpandangan sempit, memandang masa depan dengan kaca mata sekarang. Pada hal masa depan cepat sekali berbeda dengan kondisi sekarang karena perubahan yang kontinyu nan drastis. Dua puluh tahun yang lalu ketika bangsa Indonesia sangat membutuhkan perawat banyak sekali bermunculan akademi perawat, akibatnya terjadi boooming sarjana perawat. Yang terjadi berikutnya adalah banyak sarjana keperawatan yang nganggur. Dulu jurusan geografi sepi mahasiswa, namun tiba-tiba menjadi jurusan yang banyak dibutuhkan ketika bencana timbul dimana-mana dan ketika anomali cuaca semakin tak terkira.

Masa Depan dalam Dunia Datar
The World is Flat, begitu Thomas L. Friedman tulis. Buku kedua setelah The Lexus and The Olive Tree (1991) ini banyak memberi gambaran akan masa depan dalam dunia yang datar. Thomas L. Friedman melakukan antithesis terhadap pernyataan Chisthoper Columbus yang menyatakan dunia itu bulat. Dunia memang benar-benar mengarah dan menuju datar, istilah borderless world (dunia tanpa batas) benar-benar nyata. Esensi dari dunia datar adalah kompresi dunia, opensource dalam berbagai informasi, terbentuknya kelas menengah baru, dan globalisasi lokal dimana terjadi penguatan identitas lokal dan regional.
Dalam dunia yang datar ini membutuhkan karakteristik dari setiap individu. Individu-individu yang nantinya menduduki kelas menengah baru menurut Thomas L. Friedman (2006) ada empat hal yang perlu dipersiapkan dan dilakukan, yakni:
1. Belajar bagaimana belajar yaitu untuk secara terus-menerus menyerap, serta mengajari diri sendiri, berbagai cara baru untuk melakukan hal-hal lama atau berbagai cara baru untuk melakukan hal-hal baru.
2. Antusiasme dan keingintahuan. Dalam dunia datar Indeks Kecerdasan (IQ) masih penting, namun Indeks Keingintahuan/CQ (Curious Quotient) dan Indeks Antusiasme/PQ (Passion Quotient) lebih penting lagi. Dengan antusiasme dan keingintahuan yang tinggi maka tidak seorangpun akan bekerja lebih keras dalam belajar dari pada anak yang ingin tahu. Formula yang diajukan Thomas L. Friedman adalah:
CQ + PQ > IQ
3. Berlaku baik pada orang lain. Dalam dunia datar banyak pekerjaan yang melibatkan kepribadian dan interaksi mendalam antarmanusia. Interaksi tersebut tidak akan berlangsung dengan baik dan nyaman jika seseorang tidak mampu berlaku baik pada orang lain.
4. Manfaatkan otak kanan. Selama ini dunia pendidikan kurang memperhatikan otak kanan dan hanya memaksimalkan otak kiri. Fungsi otak kiri yang berupa perhitungan linier, logis, dan analitis diposisikan lebih untuk mencapai prestasi. Namun dalam dunia yang datar ini dimana manusia dibanjiri oleh data dan dicekik oleh berbagai pilihan peran otak kanan sangat vital untuk membangun entitas yang artistik, empati, melihat gambaran besar, dan kemampuan untuk menelusuri hal-hal yang bersifat transenden.
Dengan melaksanakan keempat hal seperti yang disarankan oleh Thomas L. Friedman sejatinya seseorang telah menuju ke karakteristik generasi masa depan.

Sekolah Para Juragan

Pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional sedang giat-giatnya mengiklankan SMK (Sekolah Menengah Kejuruan). Dari menteri, pengusaha, dan selebritis didaulat menjadi bintang iklan di televisi. Target terakhir adalah terealisasinya rasio 70:30 antara SMK dan SMA.
Rupanya pemerintah menyadari bahwa lulusan SMK dipandang lebih bisa eksis di masyarakat dan di dunia kerja, setidak-tidaknya memiliki skill untuk mencari penghidupan. Sementara lulusan SMA jika tidak melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi harus mengambil kursus atau diklat hingga memiliki keterampilan. Di tengah perekonomian yang sulit, mengambil kursus dan diklat memerlukan biaya yang tidak sedikit hingga memberatkan masyarakat dan tentu menambah beban subsidi untuk pelatihan bagi negara.
Diawal tahun 1990-an SMK yang dulunya bernama STM atau SMEA memang kalah bersaing dengan SMA. SMA lebih punya banyak pilihan untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Di samping itu, sekolah di STM pada waktu itu identik dengan sekolah bagi calon pekerja, calon buruh di pabrik atau industri. Namun kini situasinya berbalik, SMK berada dalam posisi yang menguntungkan. Banyaknya tenaga terampil yang dibutuhkan di luar negeri seperti Korea dan Jepang dengan penghasilan yang besar membuka mata masyarakat dan pemerintah bahwa SMK dapat menjadi solusi dalam pengentasan kemiskinan. Disamping itu menghasilkan devisa bagi Negara yang tentu jumlahnya jauh lebih besar di banding para TKW yang bekerja pada ranah privat sebagai pembantu rumah tangga. Lebih dari itu, bangsa ini jauh lebih bermartabat karena para pekerja memiliki skill dan pengetahuan sehingga tidak diperlakukan semena-mena.
Yang perlu diwaspadai adalah munculnya SMK-SMK baru yang kualitasnya di bawah standar. Kita semua maklum bahwa dengan dicanangkannya rasio 70:30 antara SMK dan SMA banyak masyarakat yang mengambil keuntungan dengan mendirikan SMK secara asal-asalan, yang hanya berprinsip ekonomi, yang penting cari untung dengan mengabaikan kualitas pelayanan standar minimal pendidikan. Pemerintah harus ketat dalam masalah ini, jika tidak maka hanya akan menghasilkan output yang tidak memenuhi standar kompetensi.
Dari pekerja menjadi juragan
Menjadi pekerja lebih baik daripada menjadi penganggur, namun menjadi juragan jauh lebih baik dari pada menjadi pekerja. Pekerja hanya butuh skill, sementara menjadi juragan memerlukan keahlian yang lebih komplek. Paham permasalahan distribusi, pengadaan barang, proses produksi, kualitas produk, estimasi harga dan keuntungan, dan yang sulit adalah memiliki mentalitas juragan.
Banyak orang memiliki keterampilan, namun selamanya menjadi pekerja karena tidak memiliki apa yang disebut dengan mentalitas juragan. Menjadi pekerja penuh resiko. Di PHK jika terjadi resesi, kembali menganggur jika pabriknya bangkrut, dan terkena rasionalisasi menjadi ancaman yang paling serius.
Dengan ancaman yang selalu menghantui pekerja sudah selayaknya generasi ke depan tidak hanya dibekali skill tetapi juga mental juragan.Yang menjadi pertanyaan adalah sudahkan pendidikan di SMK membekali siswanya mentalitas juragan? Selama ini pendidikan kita belum menanamkannya secara serius. Jika ada pelajaran kewiraswastan baru sebatas kognitif, belum pada tataran praktik.
Penulis memandang dalam dunia pendidikan kita sudah selayaknya diberi kurikulum yang dapat membentuk mentalitas juragan. Diperlukan mata pelajaran “jatuh bangun”, yakni mata pelajaran yang melatih bagaimana siswa menjadi orang yang tidak mudah putus asa, yang ulet, yang selalu progresif meski kadang bangkrut dalam usaha. Bahkan senantiasa siap jika harus memulai lagi usaha dari nol ketika menderita bangkrut. Intinya adalah bagaimana menciptakan siswa yang memiliki mental berani mengambil resiko, berani menghadapi masalah, dan berani memecahkan masalah.
Pendidikan yang sudah-sudah miskin sekali penanaman mentalitas juragan. Semua lulusan pinginnya jadi pegawai negeri sipil alias PNS. Maklumlah PNS sudah terlanjur melekat dalam mental masyarakat kita. Mindset masyarakat kita menganggap PNS sebagai Pegawai Nyaman Sekali yang memiliki kasta tinggi di masyarakat.
Dalam implementasi kurikulum “jatuh bangun” untuk membentuk mentalitas juragan, dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain: pertama; memperbanyak kisah-kisah orang sukses yang memulai usaha dari nol. Kisah-kisah itu akan memberi inspirasi kepada siswa bagaimana menjadi sukes. Kisah-kisah itu dapat ditemukan dalam buku-buku atau guru mengkliping dari berbagai media cetak. Kedua; mendatangkan langsung orang-orang sukses yang berprofesi sebagai wiraswastawan di lingkungan sekolah untuk menjadi guru tamu. Contoh langsung tentu lebih mengena, lebih dapat membentuk mentalitas juragan. Apalagi jika guru tamu menceritakan bagaimana ia merintis karirnya sebagai juragan. Ketiga; membiasakan pembelajaran yang menekankan pada pola fikir out of the box, pola fikir yang kreatif, yang tidak sekedar membeo. Pola fikir kreatif akan banyak memberi energi bagi siswa untuk melakukan usaha yang berbeda, sehingga siswa memiliki keunggulan komparatif. Keempat; diperlukan praktik langsung kurikulum “jatuh bangun”. Selama ini praktik yang dilaksanakan hanyalah di industri atau di kantor yang tidak membentuk langsung mentalitas juragan. Sebatas praktik basa-basi, sekedar menggugurkan tugas dalam struktur kurikulum pendidikan. Kelima; sudah saatnya lulusan SMK diberi pinjaman lunak (loan) untuk merintis usahanya, sebab kadang orang tidak mampu memulai usaha karena ketiadaan modal. Keenam; diperlukan pemandu bakat (talent scouter) yang mengarahkan siswa untuk menjadi juragan. Talent scouter akan menjadi pendamping sampai siswa benar-benar dapat memulai usahanya secara mandiri.
Dalam dunia yang rawan dengan berbagai krisis dan resesi ekonomi yang diperlukan adalah orang-orang yang bermental juragan, yang mampu bertahan dengan energi kreatif dan keberanian mengambil resiko.
Dengan demikian sudah selayaknya SMK memperkaya kurikulumnya dengan kurikulum “jatuh bangun” sehingga tidak hanya menghasilkan calon pekerja yang berskill tetapi juga menghasilkan calon-calon juragan. Juragan-juragan yang menggerakkan sektor ekonomi mikro menjadikan negara kuat dan tahan terhadap berbagai krisis. Untuk itu SMK harus bermetamorfosa menjadi Sekolah Para calon Juragan.

About Me

My photo
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Saya adalah seorang pendidik, alumni pasca sarjana dalam bidang pemikiran pendidikan. Essay-assay saya dipublikasikan di Kompas Jateng, Suara Merdeka, Gerbang, Rindang, Media Pembinan, detik.com, okezone.com Pernah Menjuarai penulisan ilmiah kelompok guru di harian Kedaulatan Rakyat, menjadi finalis lomba inovasi pembelajaran di UNNES, dan menjadi pemakalah terpilih dan pembicara dalam Konferensi Guru Indonesia tahun 2007. Tahun 2008 menjadi pemakalah dalam International conference on lesson study di Universitas Pendidikan Indonesia. Tahun 2009 terpilih sebagai penerima dana bantuan penulisan dari PUSBUK. Tahun 2010 menjadi pemenang harapan 3 lomba media pembelajaran tingkat nasional .Buku: 1. Kebijakan Publik Bidang Pendidikan.2. Profil Guru SMK Profesional 3. Editor buku Sejarah Kebudayaan Islam