Disparitas Pendidikan

Kesenjangan pendidikan semakin nyata kita temui. Bukan dari perspektif geografis antara Indonesia Timur dan Indonesia Barat yang sering didiskursuskan, tetapi kesenjangan itu kini semakin dekat jaraknya, antara sekolah di kota dan di pinggiran dalam satu wilayah, antara yang berlabel dan tidak berlabel, antar jenis atau rumpun pendidikan, atau antar yayasan yang saling berebut pangsa pasar dalam memperoleh siswa baru. Disparitas pendidikan tidak saja menandakan bahwa kastanisasi pendidikan benar adanya, tetapi juga kurangnya penghayatan dari pengambil kebijakan dan pengelola pendidikan atas eksistensi sekolah. Dengan mudah kesenjangan itu dapat kita lihat dengan mata telanjang bagaimana sekolah-sekolah yang dianggap sebagai dewa penolong masyarakat dalam membangun knowledge anaknya telah penuh sebelum penerimaan peserta didik baru dimulai, adanya sumbangan pendidikan yang sifatnya memilih dengan besaran yang variatif, dan tentu servis dari pendidik yang deskriminatif. Pendidik cenderung memilih lembaga pendidikan dengan kasta lebih tinggi dengan asumsi insentif tambahannya akan linier dengan kelas sekolahnya. Disparitas pendidikan akan semakin nyata terlihat jika kita mencermati sekolah di pinggiran. Pada tingkat SD/MI dan SMP/MTs di daerah pinggiran terutama sekolah swasta mulai kesusahan mendapatkan siswa baru. Munculnya banyak yayasan yang mendirikan lembaga pendidikan menjadi sumber utama meruncingnya persaingan sekolah dalam mendapatkan siswa. Maklum, eksistensi sekolah swasta bergantung jumlah siswanya, semakin banyak siswa yang diperoleh semakin banyak pula dana yang akan diperolehnya. Kasus penerimaan peserta didik baru yang berlangsung beberapa minggu yang lalu sungguh mengusik hati penulis. Di daerah pinggiran, persaingan mendapatkan siswa baru sungguh gila-gilaan. Tak ubahnya coblosan pemilihan lurah atau presiden, dalam kasus ini dikenal pula istilah serangan fajar, pembagian semboko, dan tentu dibumbu-bumbui dengan agitasi murahan. Banyak sekolah yang menerapkan sistem ijon sebagaimana tengkulak padi yang membeli padi sebelum siap dipanen. Banyak pengelola pendidikan yang sudah gerilya untuk merayu calon peserta didik baru sebelum kelulusan diumumkan. Dengan spanduk, promo ke sekolah, dan yang lebih tragis lagi adalah door to door dengan iming-iming sekolah gratis, dibawakan seragam, dan tak lupa pula orang tuanya dirayu dan diyakinkan untuk sekolah yang dikelolanya. Bahkan guru dan pihak lain pun diberi kesempatan untuk mensukseskan promosi penerimaan peserta didik baru. Ada sekolah yang menghargai satu siswa dengan bonus Rp 20.000,- sampai dengan Rp 50.000,- kepada individu yang turut andil mendaftarkan calon siswa ke lembaga pendidikan yang dikelolanya. Pada level SMP/MTs lebih parah lagi, pengelola sekolah/yayasan sudah mengkalkulasi dulu untung dan ruginya mengeluarkan budjet untuk promosi. Untung dan rugi tersebut berdasar pada dana BOS yang akan diterimanya. Dengan besaran BOS sekian, dana promosi sekian, akan dengan mudah diperoleh besarnya keuntungan yang didapat. Belum lagi dampak ke depan, jika siswa banyak maka diharapkan memperoleh grant yang banyak pula dari lembaga donor/pemerintah. Dengan berbagai propaganda, orang tua siswa di daerah pinggiran penulis cermati mudah untuk tergoda, maklum sekolah gratis plus mendapatkan sedikit fasilitas seperti seragam dan buku akan meringankan beban ekonomi yang semakin hari semakin berat. Berbeda dengan orang tua siswa yang memiliki perekonomian kelas menengah ke atas, bujuk rayu itu tidak akan mempan karena mereka memilih sekolah mahal, yang berlabel dan memiliki kasta yang tinggi karena mereka mampu membayarnya. Ada dua fenomena yang paradoksal, sekolah yang dikategorikan bermutu (dengan dibuktikan oleh label yang dimiliki) akan memperoleh banyak dana (keuntungan) dari calon peserta didik yang berlomba-lomba menyumbang dengan pilihan nominal yang tinggi, sementara dipihak lain harus membujuk rayu calon siswa untuk sekolah di lembaga yang dikelolanya dengan harapan memperoleh keuntungan pula, meskipun menggantungkan dari bantuan pemerintah. Dua gambaran tersebut di atas menandaskan bahwa disparitas memang benar adanya, tetapi kesemuanya bermuara pada satu hal yakni perolehan dana (baca: keuntungan). Pendidikan kita, disadari atau tidak telah mengamini, bahkan jauh-jauh hari telah mempraktikkan apa yang menjadi konsensus GATS (General Agrreement on Trade in services) dimana menempatkan pendidikan sebagai bisnis jasa. Dengan malu-malu kita menyadari bahwa ranah pendidikan telah mempraktikkan kapitalisme secara massif. Disparitas pendidikan apapun bentuknya pertanda tidak baik bagi kelangsungan lembaga pendidikan di Tanah Air. Pengambil kebijakan perlu mengambil langkah-langkah strategis untuk mengurai dan mereduksi disparitas tersebut. Regulasi pendirian sekolah baru harus diperketat, begitu juga standar penerimaan peserta didik baru harus ditetapkan. Dalam konteks pendirian sekolah baru budaya ewuh-pekewuh harus dihilangkan. Penulis mencermati banyak pejabat penentu kebijakan pendirian sekolah baru tak kuasa menahan keinginan tokoh masyarakat yang akan mendirikan sekolah baru, meskipun letak sekolah baru tersebut nantinya berdekatan dengan sekolah yang sudah ada terlebih dahulu. Dalam aturan pendirian sekolah baru yang biasa disosialisasikan, sekolah sejenis pada jenjang sama minimal berjarak 5 km. Namun fakta dilapangan menyimpang dari ketentuan tersebut. Di daerah penulis dalam jarak 5 km ada lima lembaga pendidikan dengan jenis dan tingkat yang sama. Bahkan ada pula sekolah yang saling berhadap-hadapan sehingga persaingannya ketat sekali, bukan dalam wilayah akademik, tetapi dalam memperoleh siswa. Regulasi dalam penerimaan siswa baru juga harus ketat, mencuri start mestinya dilarang. Ketidaktegasan ini berakibat tidak meratanya potensi peserta didik dalam sekolah, disamping kecemburuan antar lembaga yang menjurus pada persaingan tidak sehat. Dengan tindakan tegas dan praktik regulasi yang tidak menyimpang penulis yakin disparitas pendidikan akan tereduksi.

Transformasi Manajemen Madrasah

Madrasah sebagai embrio pendidikan pribumi di Tanah Air menempati posisi strategis dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Sinergisitas corak kepesantrenan dan pendidikan formal tidak saja membekali peserta didik knowledge (pengetahuan) yang cukup, tetapi juga membentuk peserta didik dengan perilaku (behavior) yang relatif baik. Belakangan eksistensi madrasah mulai dibanding-bandingkan dengan sekolah umum yang oleh masyarakat diasumsikan lebih menjanjikan dari sisi kualitas pendidikan. Asumsi, stigma, dan apapun namanya adalah opini yang perlu kita cermati. Membicarakan madrasah sama halnya dengan membicarakan institusi/lembaga Islam yang menyelenggarakan pendidikan formal. Dan apapun yang namanya institusi/lembaga dalam perspektif Arie de Geus (dalam Kasali, 2006) merupakan sosok makhluk hidup (a living organism). Sebagai sosok makhluk hidup maka eksistensinya karena dilahirkan yang suatu saat akan sakit, tua, bahkan mati. Dalam kaca mata usia, madrasah yang telah lama ada digolongkan sebagai sosok makluk hidup yang telah tua. Karena usianya yang telah tua, madrasahpun tak dapat menghindar dari penyakit tua. Dalam usianya yang tua yang dibutuhkan adalah individu-individu yang membuatnya berjiwa muda, berpenampilan dewasa (bukan tua), dan perawatan yang baik agar fresh dan berenergi. Dalam konteks ini diperlukan transformasi manajemen madrasah, dari manajemen tradisional ke manajemen modern, dari pendekatan jadul ke pendekatan kekinian. Transformasi manajemen Munculnya banyak lembaga pendidikan baru disatu sisi menandakan menggeliatnya kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam pendidikan dan dilain pihak memunculkan potensi persaingan antar lembaga pendidikan. Baik pendidikan swasta maupun negeri kini menawarkan program unggulan. Ada yang mengklaim sekolah plus, ada yang model full day school, ada yang membuka kelas olimpiad, dan ada pula sekolah alam. Belum lagi sekolah yang terstandarisasi sehingga muncul RSBN, SSN, RSBI, dan SSI. Melihat fenomena yang ada, pengelola madrasah tidak boleh hanya menjadi penonton, apalagi alienatif. Madrasah mau tidak mau harus berevolusi dengan tidak menanggalkan core keilmuannya sebagai pendidikan yang bercita rasa pesantren. Evolusi dalam konteks transformasi manajemen madrasah dimaknai sebagai upaya mempertahankan dan melangsungkan madrasah untuk lebih adaptif, menyesuaikan diri, dan lebih berdaya untuk meneruskan eksistensinya. Transformasi manajemen madrasah dapat merujuk pada dua perubahan manajemen yakni perubahan operasional dan perubahan strategis. Perubahan operasional merupakan perubahan-perubahan kecil yang sifatnya parsial (Kasali, 2006). Dalam konteks madrasah perubahan parsial dapat berupa perubahan desain kurikulum, seragam sekolah, dan penampilan madrasah. Munculnya banyak sekolah yang uniform-nya mirip tentara merupakan strategis operasional yang bersifat parsial. Madrasah dalam perubahan operasional dan melakukan dekonstruksi kurikulum atas dasar filosofi KTSP, dan redesain tata organisasi madrasah agar lebih smart. Perubahan strategis (strategic change) mengarah pada tiga perubahan mendasar yang meliputi perubahan budaya dan nilai, perubahan arah/fokus, dan perubahan cara kerja. Dalam perubahan budaya (shift culture) tidak boleh tercerabut dari lingkungan madrasah dengan corak dasar kepesantrenan. Budaya unggul yang perlu ditanamkan adalah budaya equalitas (kesamaan) tanpa memandang nasab siapa sehingga kesenjangan kasta dan pengkultusan individu tereduksi, syukur-syukur dihilangkan dan diganti saling menghargai dan menghormati. Budaya ilmiah dengan penemuan, inquiri, dan pendekatan berbasis masalah harus lebih ditanamkan. Begitu juga budaya disiplin dan beretos kerja yang tinggi. Perubahan arah/fokus berorientasi pada keunggulan komparatif yang dibangun. Sebagai sekolah umum yang berciri khas agama madrasah tidak cukup memenuhi standar nasional pendidikan, tetapi harus lebih sebagai keunggulan komparatif yang dimiliki. Ibarat orang jualan, jika semua menjual kecap, maka madrasah harus menjual saos agar tetap diburu pembeli, sebab penjual kecap semuanya mengklaim kecapnya nomor satu. Keunggulan komparatif dapat dibangun dengan basis dua model, model pertama penguatan pada kitab turats dan model kedua pada diversifikasi pendekatan pembelajaran dan life skill untuk menghasilkan lulusan yang kuat dalam keilmuan dan memiliki skill yang sifatnya pragmatis. Perubahan strategis yang ketiga adalah perubahan cara kerja untuk meningkatkan efisiensi dan penghasilan dengan memanfaatkan sumber daya yang ada. Dalam perubahan cara kerja yang dibutuhkan oleh pengelola madrasah adalah bagaimana setiap kerja terukur, tidak sekedar berjalan apa adanya. Kerja terukur membutuhkan parameter atau standarisasi. Ini penting dilakukan agar setiap pekerjaan yang dilakukan ada ruh dan semangat kerja. Ruh dn semangat kerja menandakan kinerja yang sungguh – sungguh yang akhirnya bermuara pada hasil yang maksimal, man jadda wa jadda.

About Me

My photo
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Saya adalah seorang pendidik, alumni pasca sarjana dalam bidang pemikiran pendidikan. Essay-assay saya dipublikasikan di Kompas Jateng, Suara Merdeka, Gerbang, Rindang, Media Pembinan, detik.com, okezone.com Pernah Menjuarai penulisan ilmiah kelompok guru di harian Kedaulatan Rakyat, menjadi finalis lomba inovasi pembelajaran di UNNES, dan menjadi pemakalah terpilih dan pembicara dalam Konferensi Guru Indonesia tahun 2007. Tahun 2008 menjadi pemakalah dalam International conference on lesson study di Universitas Pendidikan Indonesia. Tahun 2009 terpilih sebagai penerima dana bantuan penulisan dari PUSBUK. Tahun 2010 menjadi pemenang harapan 3 lomba media pembelajaran tingkat nasional .Buku: 1. Kebijakan Publik Bidang Pendidikan.2. Profil Guru SMK Profesional 3. Editor buku Sejarah Kebudayaan Islam