PERAN PEMERINTAH DALAM PENDIDIKAN STUDI KEBIJAKAN PEMERINTAH TINGKAT II SUMEDANG

Pendahuluan
Pendidikan sebagai proses pemanusiaan manusia membutuhkan sinergi antarkomponen dan membutuhkan kesepahaman visi seluruh stake holder yang terlibat. Komponen pendidikan yang meliputi raw material (input siswa) , tools (alat-alat dan sarana prasarana), serta process (metode pembelajaran) adalah sebuah sistem yang akan menentukan kualitas out put (lulusan), sedangkan stake holder yang terdiri atas siswa, guru, kepala sekolah, wali murid, dinas terkait dan pemerintah daerah harus sevisi dan sinergi sehingga memperlancar dan mempermudah pencapaian tujuan baik tujuan akademis maupun pembentukan moral.
Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini dinilai banyak pihak belum berkualitas, sebagai indikatornya adalah kualitas Human Development Index (Indeks Kualitas Manusia) berada di bawah negara-negara Asia Tenggara lainnya seperti Singgapura, Thailand, bahkan Vietnam. Ada beberapa faktor penyebab rendahnya kualitas pendidikan di tanah air antara lain: proses pembelajaran belum memperoleh perhatian optimal, guru lebih banyak bekerja sendirian, forum MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) belum berfungsi optimal, sekolah belum menjadi pusat belajar bagi guru.
Berdasar UU No 14 Tahun 2005 guru dituntut untuk profesional. Indikator keprofesionalan guru mencakup empat hal yakni kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial.Untuk mencapai keempat kompetensi tersebut selama ini ditempuh secara konvensional yakni melalui diklat dan penataran. Akan tetapi model konvensional tersebut belum menunjukkan hasil yang optimal karena materi penataran akan dilupakan begitu saja setelah sampai di sekolah. Dari hal ini perlu dibentuk komunitas belajar sehingga diperoleh hasil yang optimal.
Berdasar latar belakang di atas makalah ini akan menguraikan kebijakan pemerintah kota Sumedang dalam pengembangan komunitas belajar di sekolah melalui aktifitas Lesson Study.

Pembahasan
Konsep Lesson Studi
Tujuan lesson study adalah memotivasi peserta didik aktif belajar mandiri. Belajar mandiri merupakan usaha individu pembelajar untuk mencapai suatu kompetensi akademis. Dengan demikian dalam belajar mandiri pembelajar menentukan tujuan pembelajarannya, merencanakan prosesnya, menggunakan sumber belajar yang dipilihnya, membuat keputusan-keputusan akademis, dan melakukan kegiatan-kegiatan yang dipilihnya untuk mencapai tujuan belajar (Brookfield dalam Paulinna Pannen, dkk. 2001). Model belajar mandiri adalah student centered, berpusat pada siswa. Tugas guru dalam belajar mandiri sebagai fasilitator dan mediator, tidak lagi memposisikan diri sebagai aktor utama yang mendominasi pembelajaran.
Realitas menunjukkan, sampai dengan sekarang belajar mandiri kurang berjalan dengan baik. Sepanjang pengamatan penulis, beberapa faktor penghambat dalam belajar mandiri adalah:
• Kurangnya inovasi dalam pembelajaran sehingga cenderung menggunakan pola lama yakni pembelajaran yang berpusat pada guru.
• Kurangnya pemanfaatan sumber daya sekitar baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia.
• Belum terbentuknya komunitas keilmuan di lingkungan sekolah sehingga minim kegelisahan akademik baik pada level guru maupun siswa.
• Ketiadaan program sister school yang berorientasi pada kualitas peningkatan pembelajaran.
• Komunitas guru antarsekolah dalam program MGMP belum berjalan dengan optimal, program yang dilaksanakan sebatas pemenuhan administrasi profesi.

Siklus Lesson Study
Ada tiga siklus dalam lesson study. Prinsipnya siklus selalu kontinyu, berulang untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Menurut Hendayana (dalam Parmin, 2008) tiga siklus dalam lesson study berupa plan (merencanakan), do (melaksanakan), dan see (merefleksi). Secara skematis digambarkan sebagai berikut:





Rencana yang dimaksud dalam siklus ini adalah rencana pembelajaran. Rencana pembelajaran merupakan rencana jangka pendek untuk memperkirakan atau memproyeksikan apa yang akan dilaksanakan dalam pembelajaran (Khaerudin dan Mahfud Junaedi, 2007). Dalam perencanaan beberapa hal yang harus diperhatikan adalah: kompetensi dasar, materi standar, indikator hasil belajar, dan penilaian.
Dalam perencanaan terdapat beberapa prinsip yang dapat dikembangkan yakni:
• Kompetensi yang dirumuskan dalam perencanaan pelaksanaan pembelajaran harus jelas.
• Rencana yang disusun harus sederhana dan fleksibel.
• Kegiatan yang disusun dan dikembangkan dalam rencana pelaksanaan menunjang ketercapaian kompetensi yang digariskan.
• Utuh dan menyeluruh.
• Dikoordinasikan dengan lingkungan dan seluruh stakeholder sekolah.
Rencana pembelajaran yang disusun lebih mengerucut lagi dalam rencana pelaksanaan pembelajaran. Dalam rencana pelaksanaan pembelajaran berisi garis besar apa yang akan dikerjakan oleh guru dan peserta didik. Dengan demikian RPP menekankan pada action guru dan murid. Agar model pembelajaran guru variatif maka diperlukan MCL (Model Creative Learning).
Do (melaksanakan) berangkat dari perencanaan. Melaksanakan merupakan bentuk tindakan yaitu tindakan yang dilakukan secara sadar dan terkendali, yang merupakan variasi praktik yang cermat dan bijaksana (Suwarsih Madya, 1994). Dalam praktiknya tindakan atau pelaksanaan dituntun oleh perencanaan, namun tidak mutlak mengikuti perencanaan karena yang dihadapi adalah dunia nyata (siswa di kelas atau laboratorium).
Dalam siklus kedua ini dilakukan observasi. Observasi dilaksanakan untuk mendokumentasikan pengaruh tindakan terkait, artinya tindakan sebagai buah dari perencanaan diobservasi sebagai bahan refleksi sekarang dan sebagai pijakan pada siklus berikutnya. Observasi penting dilaksanakan karena dalam praktik senantiasa terbatas oleh kendala dan terdapat celah untuk perbaikan.
Siklus yang ketiga adalah see (merefleksikan). Refleksi adalah mengingat dan merenungkan kembali suatu tindakan persis seperti yang telah dicatat dalam observasi. Refleksi berusaha memahami proses, masalah, dan kemungkinan-kemungkinan yang dapat dikembangkan dalam perencanaan dan tindakan.

Kebijakan pemerintah kota Sumedang dalam Lesson Study
Program pemerintah dalam upaya peningkatan komunitas belajar di kabupaten Sumedang dengan mengefektifkan program lesson study melalui proyek SISTTEMS (Sumar Hendiyana, 2008). Proyek ini dimulai sejak tahun 2006 dan masih berjalan dengan baik sampai sekarang.
Proyek ini sesungguhnya proyek kerja sama antara pemerintah daerah dengan LPTK. Pemerintah kabupaten Sumedang melalui dinas pendidikan kabupaten mendanai semua kegiatan lesson study, sedangkan LPTk dalam hal ini UPI (Universitas Pendidikan Indonesia) sebagai konsultan yang mendesain dan mengelola pelaksanaan lesson study.
Berdasarkan pengalaman yang diperoleh dari contoh program peran pemerintah kabupaten Sumedang diperoleh hasil sebagai berikut:
 Guru lebih berani membuka diri untuk diobservasi dan dikritisi
 Guru model lebih percaya diri dan menjadi motivator/ sumber inspirasi bagi temannya
 Guru belajar dari open lesson dan menerapkannya di sekolah masing-masing
 Guru lebih kreatif memanfaatkan local materials untuk mengembangkan pembelajaran yang berpusat pada siswa
 Guru menghasilkan karya ilmiah berbasis penelitian kelas

 Siswa memperoleh kesempatan berkreatifitas dalam pembelajaran matematika dan IPA
 Siswa termotivasi dan senang belajar matematika dan IPA
Dari pengalaman ini maka pemerintah Kabupaten Sumedang menganggarkan secara rutin untuk melaksanakan program peningkatan kualitas guru melalui kegiatan lesson study dengan kemitraan antara dinas pendidikan, kepala sekolah, dan pengawas pendidikan.

Kesimpulan
Dalam upya peningkatan kualitas mutu pendidikan di tanah air dapat dilakukan dengan multi pendekatan. Salah satunya adalah peningkatan kualitas guru sebagai ujung tombak proses belajar di sekolah. Cara yang lebih baik dibanding peningkatan kualitas melalui kegiatan diklat atau penataran adalah melalui komunitas belajar di sekolah atau antarsekolah.
Pemerintah kabupaten Sumedang sangat perhatian dalam masalah ini, sehingga merealisasikan proyek pengembangan kualitas guru melalui lesson study. Proyek ini dapat diadopsi pemerintah daerah lainnya di Indonesia, karena terbukti memberi kontribusi positif dalam pengembangan kualitas belajar di sekolah.


DAFTAR PUSTAKA
Paulinna Pannen, Konstruktivisme dalam Pembelajaran, Jakarta: UT, . 2001
Khaerudin dan Mahfud Junaedi, KTSP untuk Madrasah, Yogyakarta: Pilar Media, 2007
Paulinna Pannen, Konstruktivisme dalam Pembelajaran, Jakarta: UT, . 2001
Sumar Hendiyana, Makalah dalam KGI, 2008
Suwarsih Madya, Penelitian Tindakan Kelas, Yogyakarta: IKIP Yogyakarta, 1994

ANALISIS BUTIR SOAL

Disetiap kegiatan ujian mid semester dan semester, setiap guru diberi tugas untuk menyusun kisi-kisi soal ujian. Dalam form kisi-kisi diantaranya berisi kompetensi dasar, indikator, uraian soal, kunci soal, tingkat kesukaran soal dan taksonomi Bloom (c1,c2,c3,c4,c5,c6).
Menurut penulis, selama ini soal yang disusun oleh guru belum teruji kualitasnya, karena memang belum pernah dianalisis. Analisis ini penting agar kegiatan evaluasi pembelajaran tidak bias, meskipun dalam faktanya penilaian dalam LHBS bersifat artifisial (tidak senyatanya/buatan), dan bertentangan dengan prinsip KTSP yang penilaian beracuan patokan (PAP).
Dampak dari penyusunan soal yang tidak standar, tidak saja bias sebagai alat ukur, tetapi juga menandakan kredibilitas dan kualitas sekolah karena stakeholder semakin kritis terhadap praksis pendidikan yang didalamnya mencakup sistem evaluasi pembelajaran.
Berdasarkan uraian di atas, mempelajari analisis butir soal penulis anggap penting, terlebih bagi guru yang berlatar belakang nonkependidikan. Analisis butir yang akan disampaikan mencakup: daya beda soal, tingkat kesukaran, validitas soal, dan reliabilitas soal.
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk penguatan pemahaman guru (karena sudah dipelajari saat S-1) tentang analisis butir soal sehingga dalam penyusunan soal menjadi standar.

A. Parameter-parameter aitem
Pada analisis aitem untuk tes prestasi tipe objektif, kualitas aitem dapat dilihat dari paling tidak dua kriteria atau dua parameter, yaitu (a) indeks kesukaran aitem dan (b) indeks daya diskriminasi aitem.
Kedua parameter tersebut dihitung secara terpisah. Namun dalam evaluasi terhadap aitem, keduanya tidak berdiri secara sendiri-sendiri melainkan dilihat sebagai kesatuan komponen yang akan menentukan apakah suatu aitem dapat dianggap baik atau tidak.
Lebih lanjut, analisis aitem akan menguji pula efektifitas distraktor-distraktor pada setiap aitem untuk menentukan apakah setiap distraktor yang dibuat sudah berfungsi sebagaimana mestinya atau belum (Saefudin Azwar, 1998).
Langkah-langkah analisis aitem:
1. Soal yang sudah disusun diujicobakan, buatlah tabulasi skor aitem dan skor total
Contoh:
Nama Nomor Soal Jumlah
1 2 3 4 5 6 7 8
Arman 1 1 0 1 0 0 1 1 5
Duta 0 0 1 1 0 1 1 0 4
Haris 1 1 0 0 1 1 1 1 6
Achdiat 1 0 1 1 1 1 1 0 6
Dara 0 1 0 0 1 1 1 0 4
Mitha 0 1 0 1 0 1 0 0 3
Fatima 1 1 1 1 1 1 1 0 7
Jameela 0 0 0 0 0 1 1 1 3
Tabel. 1

2. Lakukan penjenjangan siswa menurut besarnya skor
3. Bagi kelompok menjadi dua bagian, kelompak atas dan kelompok bawah, jika peserta tes lebih dari 500, maka cukup 27% Kelompok Atas dan 27% kelompok Bawah. Kelompok Atas dan Kelompok Bawah diranking berdasarkan skor totalnya.

Setelah dibuat tabulasi dan ditentukan berapa jumlah peserta yang diikutkan dalam analisis, maka selanjutnya dapat dilakukan proses analisis, sbb:
a. Indeks kesukaran aitem (Tingkat Kesukaran): indeks kesukaran aitem akan menentukan taraf kesulitan soal, dengan ketentuan:






p = ni / N

ni = Banyaknya siswa yang menjawab aitem dengan benar
N = Banyaknya siswa yang menjawab aitem

Contoh: Soal no 1: Jumlah siswa yang menjawab benar ada 4. Jumlah peserta tes ada 8. Dengan demikian indeks kesukaran adalah :
p= 4/8 = 0,50
Artinya: soal no. 1 tergolong soal yang sedang

Apabila soal berbentuk uraian maka indeks kesukaran soal menggunakan rumus :
p = / skor maks
Contoh:

Nama No Soal (1) Skor maksimal 6
Arman 4
Duta 6
Haris 5
Achdiat 5
Dara 4
Mitha 3
Fatima 6
Jameela 4

= 37/8 = 4,11
P = 4,11/6
= 0,69 berarti soal uraian ini masuk dalam taraf kesulitan sedang

b. Indeks daya diskriminasi aitem (Daya Beda)
Daya diskriminasi aitem adalah kemampuan aitem dalam membedakan antara siswa yang mempunyai kemampuan tinggi (dalam hal ini diwakili oleh mereka yang termasuk Kelompok Tinggi) dan siswa yang mempunyai kemampuan rendah (diwakili oleh mereka yang termasuk dalam Kelompok Rendah).
Suatu aitem yang dikatakan mempunyai daya diskriminasi tinggi haruslah dijawab dengan benar oleh semua atau sebagian besar subjek Kelompok Tinggi dan tidak dapat dijawab dengan benar oleh semua atau sebagian besar subjek Kelompok Rendah.

d = pT - pR
= niT /NT – niR/NR

d = indeks daya diskriminasi aitem
pT = indeks kesukaran aitem untuk Kelompok Tinggi
pR = indeks kesukaran aitem untuk Kelompok Rendah
niT = banyaknya penjawab aitem dengan benar Kelompok Tinggi
niR = banyaknya penjawab aitem dengan benar Kelompok Rendah
NT = Banyaknya penjawab dari Kelompok Tinggi
NR = Banyaknya penjawab dari Kelompok Rendah

Dari hasil perhitungan dengan formula di atas dapat diketahui indeks daya diskriminasi aitem, dan selanjutnya digolongkan dalam kriteria sbb:







Contoh:
Dari tabel 1 dapat dibuat dua kelompok (Tinggi dan Rendah) berdasarkan skor atau jumlah nilai yang diperoleh, sbb:
Kelompok Tinggi
Nama Jumlah
Fatima 7
Achdiat 6
Haris 6
Arman 5
Kelompok Rendah
Nama Jumlah
Duta 4
Dara 4
Mitha 3
Jameela 3

Misal yang akan diuji daya diskriminasinya adalah soal no. 3
Kelompok Tinggi
Nama Soal no .3
Fatima 1
Achdiat 1
Haris 0
Arman 0

pT = 2/4 = 0,50

Kelompok Rendah
Nama Soal no .3
Duta 1
Dara 0
Mitha 0
Jameela 0

pR = 1/4 = 0,25

nilai d = 0,50 – 0,25 = 0,25
Artinya soal no .3 dikategorikan sebagai soal yang harus diperbaiki.

c. Efektivitas distraktor
Efektivitas distraktor-distraktor yang ada pada suatu aitem dianalisis dari distribusi jawaban terhadap aitem yang bersangkutan pada setiap alternatif yang disediakan. Efektivitas distraktor diperiksa untuk melihat apakah semua distraktor atau semua pilihan jawaban yang bukan kunci telah berfungsi sebagaimana mestinya (pengecoh). Efektivitas distraktor dilihat dari dua kriteria (a) distraktor dipilih oleh siswa dari Kelompok Rendah dan (b) pemilih distraktor tersebar relatif proporsional pada masing-masing distraktor yang ada.
Contoh:
Klp Jumlah Alternatif Jawaban
a b c d e OMIT
T 22 0 4 15* 1 2
R 22 8 6 2 4 2
Kunci soal : c

Dari contoh di atas dapat dianalisis efektivitas distraktornya sbb: semua distraktor berfungsi dengan baik karena ada pemilihnya.
Catatan:
Jika ditemui distraktor yang tidak ada pemilihnya maka dinyatakan bahwa ada kemungkinan isinya tidak relevan dengan soal atau konstruk kalimatnya tidak jelas sehingga siswa bisa main tebak (karena sudah ada jawaban yang pasti salah).
Latihan: Tentukan indeks kesukaran, indeks diskriminasi aitem, dan analisis efektivitas distraktornya.
Soal no. 1
Klp Jumlah Alternatif Jawaban
a b c d e OMIT
T 22 12* 4 4 1 1
R 22 4 10 6 1 1
Soal no. 1
Klp Jumlah Alternatif Jawaban
a b c d e OMIT
T 22 0 4 16* 0 0 2
R 22 6 6 6 0 4

d. Validitas aitem
Validitas dan reliabilitas sebetulnya digunakan untuk aitem yang mengukur abilitas potensial (tes IQ, tes bakat), unttuk tes yang tujuannya sekedar mengukur prestasi (abilitas aktual) cukup digunakan indeks kesukaran dan indeks diskriminasi aitem.
Namun validitas ini tetap penulis pandang penting untuk disampaikan agar para guru lebih sempurna lagi dalam menyusun tes prestasi belajar. Interpretasi koefisien validitas bersifat relatif, namun kesepakatan umum menyatakan bahwa koefisien validitas dapat dianggap memuaskan apabila melebihi 0,30.
Untuk menghitung validitas dapat dilakukan dengan manual, program excel, dan program SPSS. Dalam kegiatan workshop ini penulis hanya akan menyajikan melalui excel dengan mengkorelasikan skor aitem dengan skor total.



e. Reliabilitas aitem
Reliabilitas dimaknai sebagai keajegan atau konsistensi, artinya alat ukur tersebut jika digunakan berulang-ulang dengan objek yang sama diperoleh hasil yang sama. Untuk menghitung koefisien reliabilitas dapat menggunakan beberapa formula antara lain Spearman Brorwn, Rulon, Alpha, dan Kuder-Richarson (KR20). Untuk mempermudah penghitungan reliabilitas dapat menggunakan program SPSS.
Interpretasi koefisien relaibilitas bersifat relatif, namun kesepakatan umum menyatakan bahwa koefisien reliabilitas dapat dianggap memuaskan apabila disekitar 0,90 atau lebih.

Daya Tahan Profesionalitas Guru

Sertifikasi guru telah berlangsung beberapa tahun. Sebagian besar guru yang telah lulus sertifikasi telah mendapatkan haknya berupa uang tunjangan profesi yang besarnya satu kali gaji pokok bagi yang berstatus pegawai negeri. Pemberian tunjungan profesi tersebut sejatinya merupakan apresiasi terhadap profesi guru sekaligus sebagai stimulan untuk meningkatkan kualitas guru yang muara akhirnya adalah peningkatan kualitas pendidikan nasional. Seberapa besar kontribusi dalam peningkatan kualitas pendidikan nasional sebagai dampak dari apresiasi profesi guru selalu menarik untuk dicermati.
Berdasarkan survei yang dilakukan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) mengenai dampak sertifikasi guru terhadap kinerja guru diperoleh data yang belum memuaskan (Kompas, 7/10/2009). Dari 28 provinsi yang telah disurvei, 16 provinsi yang telah diolah datanya menunjukkan bahwa guru-guru yang telah lulus sertifikasi belum mengalami perubahan pola kerja, motivasi kerja, pembelajaran, atau peningkatan diri. Justru guru yang belum dipanggil untuk pemberkasan sertifikasi melalui portofolio motivasinya tinggi dengan harapan segera tersertifikasi dan memperoleh uang tunjangan profesi.
Melihat hasil survei ini, sertifikasi kurang lebih sama dengan kenaikan pangkat atau golongan bagi guru PNS dimana kenaikan pangkat atau golongan tidak selamanya linier dengan kinerja dan kapabilitas. Dalam konteks ini, motivasi kinerja guru seperti grafik cosinus di kuadran pertama, mencapai titik maksimal diawal (ketika baru tersertifikasi) lalu perlahan surut mendekati titik nol.
Dalam sejarahnya, standarisasi terhadap profesionalisme guru tidak selamanya memberi dampak yang menggembirakan. Bahkan di Amerika Serikat yang telah lama menggulirkan standarisasi profesionalisme guru tidak semua karakteristik yang berkaitan dengan profesionalitas guru dipenuhi. Tabel berikut menunjukkan pengaruh gerakan pembaharuan (melalui standarisasi) profesionalisme guru di Amerika.

Karakteristik Pengaruh terhadap guru perorangan Pengaruh terhadap semua guru
1 Menentukan kebijakan Pada umumnya kurang Kurang
2 Menguasai dan mengukur diri sendiri Kurang Kurang
3 Keahlian khusus (special expertise) Lebih Lebih
4 Evaluasi kemajuan diri Kurang Kurang
5 Menentukan kebijakan sekolah Pada umumnya kurang Kurang
6 Otonomi Kurang Kurang
7 Memonopoli Kurang Kurang
8 Komitmen pada tugas Lebih Lebih
9 Kode etik Lebih Lebih
10 Dewan pendidikan Lebih Lebih
11 Mengawasi dan memberi sanksi lebih Lebih
Sumber: Philip A.Cusick dalam Tilaar, hlm. 89

Dalam pembinaan guru melalui standarisasi profesionalisme guru yang terjadi di Amerika Serikat timbul beberapa kontradiksi yakni adanya kecenderungan melihat hasil yang cepat, program yang dangkal karena adanya kecenderungan untuk segera mengumpulkan banyak guru dalam waktu cepat, minimnya tindak lanjut, dan bersifat supervisial (Tilaar: 2006:: 89-90).
Belajar dari pengalaman Amerika Serikat dalam standarisasi profesionalisme guru dapat diambil pelajaran dengan berlandaskan beberapa kontradiksi di atas. Pemerintah dan masyarakat tidak boleh terburu-buru untuk mengukur dampak dari sertifikasi, apalagi membuat generalisasi yang kurang tepat. Generalisasi yang kurang tepat akan memojokkan profesi guru, sehingga apresiasi yang baru saja diberikan terasa hambar.
Dalam pemanggilan guru untuk pemberkasan portofolio juga tidak perlu terburu-buru, tidaklah perlu mengejar target secara cepat agar semua guru tersertifikasi. Apalagi ada target ditahun sekian guru harus sarjana agar tersertifikasi. Dampaknya jelas, kuliah terkesan asal-asalan. Asal strata satu biar memenuhi syarat sertifikasi. Dan yang penting adalah pembinaan secara berkala, berkelanjutan agar tidak mengalami titik jenuh.
Survei yang dilakukan PGRI sah-sah saja, namun dalam perspektif penulis yang perlu disajikan ke media tidak saja mengenai belum adanya dampak yang menggembirakan dari guru yang lulus sertifikasi utamanya berkaitan dengan kinerja dan motivasi. Laporan itu bagi penulis perlu dilengkapi data mengenai apa penyebab kinerja tidak berubah dan motivasinya biasa-biasa saja atau cenderung menurun. Ini penting karena akan menyelesaikan berdasar akar permasalahan.
Dalam perspektif penulis ada beberapa faktor yang berpotensi mengakibatkan kinerja dan motivasi guru yang telah lulus sertifikasi biasa-biasa saja, antara lain. Pertama; guru mengalami titik jenuh sehingga memerlukan tantangan baru. Kejenuhan tersebut dapat bersumber dari unit kerja yang monoton, atau kelas yang diajar selalu pada level yang sama. Untuk membunuh kejenuhan ini maka diperlukan tour of duty sehingga ditemukan tantangan baru.
Kedua; kapasitas guru sudah maksimal, karena usia yang semakin bertambah sehingga produktifitasnya menurun. Bisa jadi memang begitu adanya, sehingga tidak dapat di up grade lagi. Ketiga; aktif atau tidak aktif, produktif atau tidak produktif, tidak berpengaruh terhadap apresiasi yang diberikan, sehingga stimulan efeknya tidak maksimal.
Bagaimanapun juga apresiasi terhadap guru merupakan langkah yang terbaik untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional, karena ujung tombak pendidikan adalah guru. Berkaitan dengan menjaga daya tahan profesionalitas guru agar kinerja dan motivasinya tinggi dan tidak up and down, maka langkah yang perlu diambil dalam perspektif penulis adalah adanya progress report dari guru yang telah tersertifikasi.
Progress report itu dapat berupa portofolio tahunan yang dilakukan guru, produktifitas dalam pembinaan peserta didik, produktifitas dalam Penelitian Tindakan Kelas, atau yang lainnya. Yang terpenting, progress report itu tidak menganggu proses pembelajaran, karena pengalaman yang sudah-sudah, portofolio banyak memakan energi para guru. Dengan adanya progress report, maka dengan sendirinya guru akan terlatih untuk memilki arsip dan senantiasa melaksanakan kinerja dengan baik yang pada gilirannya akan memberi kontribusi positif dalam peningkatan kualitas pendidikan nasional.

Ujian Nasional: Baik atau Burukkah ?!

Diskursus tentang Ujian Nasional merupakan materi yang menarik menjelang hari H pelaksanaannya. Sampai sekarang, penolakan Ujian Nasional masih berlangsung dimana-mana, bahkan ada pihak yang menganggap Ujian Nasional haram hukumnya. Namun ujian yang menjadi agenda utama BSNP itu terus melenggang untuk dilaksanakan. Dan para penolak dan pengkritik untuk kesekian kalinya harus gigit jari meski perkaranya sudah sampai pada vonis Mahkamah Agung. Meskipun demikian tindakan pemerintah yang dinilai mengabaikan isi putusan kasasi Mahkamah Agung dalam perkara gugatan warga negara tentang Ujian Nasional bisa menjadi pintu persoalan politik yang baru jika penggugat dapat mengkombinasikan gerakannya ke politik (Kompas, 26 Januari 2010).
Baik atau Buruk
Dalam kajian filsafat ada beberapa pendekatan untuk menyatakan bahwa sesuatu baik atau buruk. Yang pertama adalah pendekatan konsekuensialis. Pendakatan ini menyatakan bahwa sesuatu dikatakan baik bila hasilnya menunjukkan kebaikan. Dalam konteks Ujian Nasional hasil akhir yang diharapkan adalah peningkatan mutu pendidikan. Pada kenyataannya yang terjadi adalah sebuah anomali prestasi pendidikan. Banyak sekolah yang favorit di kota kalah prestasi nilai Ujian Nasionalnya dibandingkan dengan sekolah di pinggiran. Disamping itu pelaksanaan Ujian Nasional hanya membuat siswa stres, guru-guru kebingungan dan berfikir instan, tereduksinya idealisme akademik, dan runtuhnya kejujuran dunia pendidikan.
Melihat hasil yang anomali dan dampak yang tidak baik maka pelaksanaan Ujian Nasional menurut pendekatan konsekuensialis dapat dikatakan buruk. Namun rupanya BSNP tidak patah arang dan selalu berupaya mereduksi berbagai dampak dengan mendesain prosedur operasional yang lebih baik. Bahkan pemerintah melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 75 tahun 2009 pasal 24 menyatakan bahwa : Puspendik memetakan hasi Ujiaan Nasional dan kejujuran pelaksanaan ujian Nasional. Pasal ini bisa dimaknai bahwa pelaksanaan ujian Nasional yang telah berlangsung beberapa tahun sepi dari kejujuran sehingga perlu pemetaan. Menurut penulis, yang lebih penting adalah mengapa sekolah tidak jujur, bukan sekedar pemetaan kejujuran sekolah. Alasannya ketidakjujuran itu belum tentu berasal dari inisiatif pengelola sekolah karena bisa jadi siswa dari sekolah tertentu memperoleh bocoran jawaban dari sekolah lain.
Pendekatan yang kedua untuk menilai baik atau buruknya sesuatu adalah pendekatan nonkonsekuensialis. Pendekatan ini tidak meletakkan tinjauan baik atau buruk pada hasil perbuatan namun pada landasan ideal yang menjadi pijakan perbuatan. Landasan ideal yang menjadi pijakan tersebut mengandung spirit dan transenden. Pendekatan nonkensekuensialis relevan dengan ajaran agama yang menyatakan bahwa amal dan perbuatan bergantung pada niatnya.
Dalam konteks Ujian Nasional, niat penyelenggaraannya memang baik yakni mencerdaskan kehidupan bangsa melalui sistem evaluasi yang ketat. Sebuah evaluasi yang dapat memaksa peserta didik untuk belajar dengan tekun dan sungguh-sungguh. Juga memaksa guru dan sekolah/madrasah untuk serius dalam penyelenggaraan pendidikan dengan memenuhi delapan standar pendidikan yang ditetapkan pemerintah.
Namun niat baik ini akan menjadi berkurang jika dari pengambil kebijakan tidak menghayati sepenuhnya niat aslinya dan niatnya bergeser hanya sekedar memanfaatkan anggaran yang ada. Jika niatnya hanya sekedar memanfaatkan anggaran maka penyelenggaraan Ujian Nasional dari sudut pendekatan nonkonsekuensialis pun dapat dikatakan sebagai sesuatu yang buruk.
Jalan Tengah
Dari dua pendekatan tentang baik dan buruk dapat dikatakan bahwa pelaksanaan Ujian Nasional dari sudut pendekatan konsekuensialis merupakan sesuatu yang buruk, namun dari sudut pendekatan nonsekuensialis merupakan sesuatu yang baik (berdasarkan niat aslinya).
Jalan tengah yang perlu diambil adalah bagaimana penyelenggaraan Ujian Nasional itu baik dari dua sudut pendekatannya, baik konsekuensialis dan nonkonsekuensialis. Jalan tengah yang diambil tidak perlu mengandung unsur intimidatif seperti rencana silang siswa antarsekolah (meskipun pada akhirnya tidak jadi dilaksanakan), memperbanyak tim independen, atau menaikkan standar nilai minimal. Kebijakan yang intimidatif hanya membuat Ujian Nasional semakin kontroversial.
Sebetulnya ada dua jalan tengah yang mudah dilakukan namun tetap konstruktif dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Jalan tengah yang pertama adalah kembali meningkatkan kejujuran akademik seluruh pelaku pendidikan dengan cara menyusun soal sevariatif mungkin. Misalnya setiap peserta dalam satu ruang ujian mengerjakan soal yang berbeda. Jika satu ruang ada dua puluh peserta ujian, maka dalam ruang tersebut ada dua puluh tipe soal. Variasi itu dapat menggunakan pendekatan permutasi, yakni satu soal yang terdiri atas empat puluh atau lima puluh butir soal diacak nomornya sehingga dihasilkan beberapa variasi soal. Dengan banyaknya variasi soal maka kecurangan dapat menjadi nihil. Memang cara ini memakan lebih banyak biaya untuk pencetakan naskah soal dan pemindaian lembar jawab, namun demi tujuan mulia langkah ini patut untuk ditempuh.
Yang kedua adalah menjadikan nilai Ujian Nasional bukan sebagai penentu kelulusan, namun hasil Ujian Nasional tetap dijadikan sebagai pijakan dalam pemetaan kualitas dan pembinaan terhadap institusi pendidikan. Tidak itu saja, prestasi dan kejujuran akademik harus diapresiasi dengan pemberian reward sehingga upaya peningkatan mutu setiap sekolah selalu diupayakan.
Dengan mengambil kedua jalan tengah maka penyelenggaraan Ujian Nasional akan menjadi sesuatu yang baik dari segi konsekuensialis dan nonkonsekuensialis dan pada gilirannya benar-benar sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.

About Me

My photo
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Saya adalah seorang pendidik, alumni pasca sarjana dalam bidang pemikiran pendidikan. Essay-assay saya dipublikasikan di Kompas Jateng, Suara Merdeka, Gerbang, Rindang, Media Pembinan, detik.com, okezone.com Pernah Menjuarai penulisan ilmiah kelompok guru di harian Kedaulatan Rakyat, menjadi finalis lomba inovasi pembelajaran di UNNES, dan menjadi pemakalah terpilih dan pembicara dalam Konferensi Guru Indonesia tahun 2007. Tahun 2008 menjadi pemakalah dalam International conference on lesson study di Universitas Pendidikan Indonesia. Tahun 2009 terpilih sebagai penerima dana bantuan penulisan dari PUSBUK. Tahun 2010 menjadi pemenang harapan 3 lomba media pembelajaran tingkat nasional .Buku: 1. Kebijakan Publik Bidang Pendidikan.2. Profil Guru SMK Profesional 3. Editor buku Sejarah Kebudayaan Islam