kekuasaan adalah investasi

Belakangan, beberapa wilayah di tanah air menyelenggarakan pilkada. Setiap kali penyelenggaraan pilkada selalu banyak hal yang menarik untuk dicermati. Selalu ada saja kejadian-kejadian unik, menggelikan, dan kadang tidak bisa diterima oleh akal sehat (common sense). Money politics, amuk massa, ribut antarpendukung calon, serangan fajar, pembunuhan karakter, klenik, dan golput merupakan sebagian dari kejadian-kejadian dalam pilkada. Dalam momen ini pula muncul tim sukses, tim yang selalu sukses terlepas dari menang atau kalah calon yang diusung.
Pilkada kadang tidak ubahnya seperti judi, yang menang untung, yang kalah buntung. Agar tidak buntung, maka ditempuh banyak cara. Money politics merupakan kejadian yang mudah untuk ditemukan. Praktiknya dapat beragam, seperti memberi sumbangan ke tempat ibadah, sumbangan untuk fasilitas umum, sampai memberi amplop kepada pemilih melalui serangan fajar, persis saat hari H pemilihan. Apalagi jika calon adalah pejabat lama yang masih berkuasa, di sini posisi sebagai kepala daerah dan calon kepala daerah susah dibedakan. Dan posisi ambigu inilah yang dinanti-nanti.
Pasca pilkada, amuk massa merupakan kejadian yang sering muncul ke permukaan. Massa kecewa karena calon yang didukung kalah. Calon yang kalah menuntut secara hukum, sementara grass root yang mendukung dibiarkan menempuh dengan nalarnya sendiri. Pembakaran, vandalisme, dan pengerusakan adalah cara yang ditempuh.
Pilkada (yang katanya) sebagai ajang belajar demokrasi selalu memakan biaya yang tidak sedikit (height cost learning). Bahkan untuk pemilu tahun 2009 anggaran yang diusulkan di atas anggaran pendidikan nasional, fantastis bukan. Atas realitas tersebut, dengan mudah kita membaca bahwa hajat demokrasi bergeser ke proyek demokrasi yang sarat dengan korupsi dan kolusi.

Investasi jangka pendek
Nalar peserta pilkada sejatinya mudah dibaca. Pragmatis dan picik. Pragmatis karena berorientasi pada kekuasaan yang menghasilkan materi, dan picik karena menempuh berbagai cara untuk menang. Meskipun tulisan ini bukan berdasar atas investigasi, namun kita dapat melihat realitas dengan mata telanjang.
Menjadi kepala daerah dengan biaya yang tidak sedikit, jika dihitung secara jujur sebenarnya rugi. Mari kita hitung-hitungan, untuk menjadi bupati tidak cukup dua milyar rupiah. Kekuasaan yang dipegang hanya lima tahun. Jika gaji yang diterima sebesar 10 juta (dibuat besar) per bulan, maka dalam satu tahun gajinya 120 juta. Dalam kurun waktu lima tahun total gaji yang diterima sebesar 600 juta. Jadi selama lima tahun modal 2 milyar akan rugi 1, 4 milyar. Itu hitung-hitungan berdasar nalar penulis yang tentu saja berbeda jauh dengan nalar calon penguasa.
Hitungan di atas, sekali lagi, berbeda dengan calon penguasa. Bagi mereka kekuasaan adalah investasi. Investasi yang bunganya eksponensial, melebihi bunga bank dan deposito. Yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana dengan waktu lima tahun kekuasaan menjadi investasi jangka pendek yang menarik. Pasti ada apa-apanya.
Benarlah apa yang dikatakan oleh Lord Acton, sejarawan asal Inggris yang menyatakan bahwa kekuasaan cenderung pada korupsi power tends to corrupt). Bahkan dengan kasar pernyataan Lord Acton tersebut bisa jadi diubah (atau malah telah diubah) menjadi berkuasa untuk korupsi, atau berkuasa untuk dapat proyek. Fenomena gila-gilaan dana kampanye adalah pembenaran atas pernyataan di atas sebelumnya.
Siapa sih yang mau rugi dalam kehidupan yang materialistik ini, semua pasti ada hitung-hitungannya. Ada kalkulasi untung dan ruginya. Dengan demikian pernyataan ini linier dengan “jual-beli” kekuasaan. Uang yang dijadikan modal dalam pilkada harus cepat-cepat kembali. Selanjutnya mudah ditebak, proyek ini itu diadakan, proyek yang sarat kolusipun segera tercipta.

Rakyat butuh solusi
Atas fenomena di atas, sejujurnya rakyat mulai bosan. Bahkan rakyat mulai merindukan romantisme stabilitas seperti di era Orde Baru. Dalam hati rakyat kecil mulai tumbuh benih-benih hasrat untuk bernostalgia dengan kemapanan, stabilitas, dan ketenangan hidup seperti zaman itu. Realitas di masyarakat ini sejujurnya menjadi pekerjaan rumah di era reformasi yang menjanjikan clean government.
Berubah atau tidaknya model pilkada dan demokrasi yang kita bangun sekarang ini ada dalam segelintir pengambil kebijakan dan tentu saja pada setiap individu yang berhasrat pada kekuasaan., tinggal ada niat baik atau tidak. Niat baik pengambil kebijakan adalah tidak menjadikan pilkada sebagai lahan proyek, dan niat baik dari setiap individu adalah menjadi pemimpin yang mampu merubah keadaan. Pemimpin adalah problem solver, jangan malah menjadi part of problem bagi masyarakat yang dipimpinnya.
Pemimpin sejati tidak menjadikan otoritas yang dimiliki sebagai mesin uang, sebagai alat untuk memperkaya diri, apalagi sebagai lahan investasi. Pemimpin yang sejati tentu didapat melalui proses yang baik dan benar, dan menjauhkan praktik amoral dalam prosesnya. Sekali lagi, pemimpin sejati tidak pernah jual-beli kekuasaan. Kehadiran pemimpin sejati adalah harapan dari setiap masyarakat. Namun , harapan itu tinggal harapan jika praktiknya masih begini-begini saja, atau jangan-jangan pemimpin sejati hanya sekedar mitos ?.

Pendidikan nilai di era postmodern

Pendidikan senantiasa beradu cepat dengan perubahan zaman, jika pendidikan gagal mengantisipasi laju perubahan zaman maka School is dead akan menjadi kenyataan. Metamorfosa pendidikan tidak saja sekedar mengupgrade content of curriculum terus-menerus, akan tetapi tuntutan humanisme, multikulturalisme, atau pendidikan berparadigma profetik menjadi sisi lain yang terus dituntut oleh pengguna jasa pendidikan. Pendidikan yang humanis menjadi harapan ketika pendidikan gagal memanusiakan manusia dan sekedar menciptakan robot-robot penggerak mesin-mesin industri. Multikulturalisme menjadi tuntutan seiring dengan kesadaran akan kebhinekaan etnis, keragaman budaya, dan bahasa. Pendidikan berparadigma profetik menjadi tuntutan manakala proses pendidikan tidak mampu menciptakan manusia yang kritis akan perubahan. Tuntutan ini adalah hal yang wajar-wajar saja mengingat lembaga pendidikan dipandang gagal dalam mengembangkan ranah afektif yang berkaitan erat dengan moral manusia. Pendidikan selama ini hanya sebatas transfer of knowledge, dan miskin terhadap value.
Perubahan zaman adalah sebuah kemestian, zaman tradisional yang tunduk pada otoritas gereja telah ditumbangkan oleh renaisance Eropa yang mengandalkan rasionalitas. Rasio menjadi sesuatu yang dipuja-puja dan diagung-agungkan di zaman modern ini, sampai-sampai Neitze menganggap God is dead!. Tak pelak lagi, kehidupan religiusitas umat manusia terkikis, kehampaan hidup adalah episode berikutnya sebagai mata rantai renaisance. Zaman ini menjadi lahan subur bagi Marxisme, status sosial ditentukan oleh sisi materi, materi menjadi segala-galanya. Dalam paham marxisme secara sederhana dapat ditafsirkan ada karena berada. Paham ini menggeser proses pendidikan yang berorientasi pada ilmu menjadi pendidikan beroreintasi pada pasar dan secara gradual membawa perubahan perilaku manusia yang pada akhirnya berujung pada sikap individualis. Lembaga pendidikan menjadi kapitalis ilmu pengetahuan, peserta didik menjadi lahan dan konsumen yang akan membeli paket-paket ilmu pengetahuan. Ekses-ekses modernisme dan marxisme seperti tersebut di atas menjadi awal munculnya scientific curiousity bagi sebagian ilmuwan , terutama para filosuf. Dan momentum inilah sebagai embrio kemunculan postmodernisme.
Postmodernisme
Postmodernisme hakikatnya istilah yang masih kontroverial. Tonggak sejarah Barat yang dimulai dari aktifitas seni itu tidak jelas kapan bermula dan dalam bentuk apa. Postmodernisme merupakan proses perubahan dan reformasi yang panjang yang benih-benihnya telah ada pada zaman modern itu sendiri. Perdebatan tentang asal-usul postmodernisme sampai detik ini belum menghasilkan data yang akurat, hanya sebatas asumsi umum yang sepakat bahwa faham postmodern dimulai setelah berakhirnya modernisme.
Mainstream postmodernisme terus berjalan hingga membawa pengaruh yang signifikan terhadap berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Postmodernisme telah menjelma menjadi gerakan yang bermuatan doktrin-doktrin filsafat dan bahkan ditunggangi oleh kepentingan politik. Ilmu antropologi, kesusastraan, filsafat, dan agama merupakan sasaran bidik utama postmodern (Islamia, 2005). Makna penting postmodernisme adalah memarginalkan (to marginalize), membatasi (delimit), dan mengesampingkan (decentre) kerja-kerja yang telah dilakukan oleh modernis. Sarup (2004) menyatakan kontroversi seputar modernisme dan postmodernisme merupakan salah satu contoh pertarungan wacana penafsiran. Kontroversi ini harus dilihat dalam konteks pertarungan ideologis, sebenarnya kontroversi ini salah satunya memperdebatkan status dan validitas Marxisme.
Kondisi Sosial di Era Postmodern
Boudrillard salah satu tokoh posmodernisme yang berpengaruh, menggagasas tentang praktik-praktik kultural postmodernisme. Karya-karya Boudrillard dinilai sebagai karya-karya yang penuh kontroversial dan menggelitik. Karya-karyanya menjadi penting karena dikembangkannya teori yang berusaha memahami sifat dan pengaruh komunikasi massa.

Posisi Pendidikan Nilai
Relativisme kebenaran menjadi wacana yang jamak ditemui dalam kehidupan. Tidak ada kebenaran yang dianggap mutlak, era postmo ditafsirkan sebagai nihil nilai, kebenaran ada dalam perspektif masing-masing. Maka tidak mengherankan jika foto bugil diartikan sebagai art bagi pelaku seni, tetapi diartikan melanggar norma agama bagi MUI, “goyang ngebor” Inul dianggap energik bagi sebagian orang tetapi diartikan erotis dipihak lain. Sedemikiankah chaos nilai dalam kehidupan kita?.Disinilah dibutuhkan kesadaran kolektif dalam membangun nilai kehidupan bersama, toh pekerja seni tidak hidup dalam ruang hampa atau dalam komunitas pekerja seni saja, tetapi posisinya sebagai public figure tetap saja bertanggung jawab secara moral dalam memberi nilai edukatif terhadap masyarakat, atau jangan-jangan di negara ini memandang bahwa yang berhak mendidik dan mengajar hanya guru saja?.
Pendidikan nilai tidak cukup diajarkan dalam mata pelajaran Budi Pekerti atau Akidah Akhlak saja, sebab pada dasarnya tidak ada sesuatu yang free value atau bebas nilai. Semua profesi tetap dilandasi oleh norma yang berlaku, tidak boleh “sakwudele dhewe” , untuk itu mengintegrasikan semua kajian ilmu pengetahuan, seni, dan teknologi dengan etika adalah sebuah keharusan.

Guru dan Budaya Kegelisahan Akademik

Pemerintah menargetkan dalam kurun waktu sepuluh tahun semua guru minimal berstrata satu (S1). Tujuan dari program tersebut adalah meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Membangun pendidikan dengan memperbaiki kualitas guru adalah tidak salah, sebab guru merupakan ujung tombak pendidikan. Yang menjadi persoalan adalah apakah status strata satu (S1) dengan serta merta meningkatkan kualitas pendidikan?. Nanti dulu.
Penulis mencermati bukan status kesarjanaan yang menjadi satu-satunya prasyarat mutlak peningkatan kualitas pendidikan nasional. Menurut penulis penyebab ketidakmaksimalkan guru dalam menjalankan dwitugasnya adalah rendahnya budaya kegilasahan akademik (scientific curiousity ) di kalangan guru itu sendiri.
Dwitugas guru yakni mengajar sekaligus mendidik bukanlah tugas yang gampang. Mengajar sebagai sebuah proses transfer of knowledge tidak semata-mata memindah materi dari buku pelajaran untuk disampaikan kepada siswa, namun di dalamnya terdapat aktivitas yang kompleks, seperti perencanaan pengajaran, perencanaan evaluasi dan lain-lain. Yang jelas tugas sebagai pengajar tidaklah seperti narator yang sekedar menyampaikan apa yang ada dalam buku (text book), karena dalam posisi ini guru adalah pengajar dan pembelajar, yang harus selalu mengupgrade kemampuan akademiknya.
Lebih sulit lagi adalah tugas mendidik. Mendidik sebagai sebuah transfer of values (nilai-nilai unggul dan etika) , bukanlah sekedar menginventaris kata-kata yang bermakna terpuji untuk dicuciotakkan ke siswa, namun didalamnya memerlukan uswatun khasanah (contoh dalam perilaku kehidupan sehari-hari) dari guru. Disinilah pentingnya guru menjadi seorang yang berkepribadian terpuji.
Dwitugas mengajar dan mendidik adalah sebuah proses, dimana keduanya diproyeksikan menghasilkan output dengan outcome yang paripurna yakni manusia Indonesia seutuhnya sebagaimana cita-cita founding father kita. Agar kedua tugas tersebut dapat berjalan dengan baik, dinamis, dan tidak mengalami kejumudan diperlukan sebuah gagasan-gagasan pengajaran dan pendidikan secara kontinu. Gagasan-gagasan tersebut senantiasa hadir jika guru mempunyai budaya kegelisahan akademik (scientific curiousity ) yang tinggi.
Kegelisahan akademik bagi seorang guru adalah adanya kemauan dari guru untuk senantiasa berdialektika dengan buku, fokus pada bidang kajiannya, kontekstual, dan perkembangan teknologi.
Berdialektika dengan buku adalah sebuah proses dialog antara isi bacaan dengan pembaca. Jadi disini terjadi proses interpretasi sebagaimana dalam proses membaca pemahaman. Aktivitas membaca sebagai sebuah dialektika merupakan landasan utama membangun budaya kegelisahan akademik sebab melalui proses ini seorang guru sejatinya telah merintis karir intelektual guna menjadi seorang cendikia.
Langkah kedua adalah fokus dan mendalami pada bidang kajianya agar dasar-dasar keilmuannya lebih mantap dan menukik sehingga mempunyai daya analisis yang tajam terhadap berbagai persoalan yang gayut dengan bidang kajiannya. Ini adalah prasyarat mutlak guna sukses dalam transfer of knowlede dan menjadi problem solver dalam kehidupan, bukannya malah menjadi part of problem. Dalam pendalaman bidang kajian ini terdapat sebuah proses konstruktif yang pada akhirnya menemukan kebenaran keilmuan yang sesungguhnya, sebab ilmu sendiri mempunyai kebenaran spekulatif yang kebenarannya diuji secara terus-menerus.
Langkah ketiga adalah berdialektika dengan realitas kehidupan (kontekstual). Ini penting, sebab tanpa adanya dialektika dengan realitas kehidupan akan kehilangan konteks sehingga proses pembelajaran nantinya seperti di ruang hampa, sebuah ilusi atau sekedar fatamorgana. Dengan berdialektika dengan realitas kehidupan maka fungsi pragmatis akan bersinergi dengan fungsi idealis sehingga berguna bagi masa kekinian ataupun masa yang akan datang.
Dan langkah terakhir yang sering kali terlewatkan adalah mengikuti perkembangan teknologi. Tanpa ada adaptasi dengan perkembangan teknologi maka akan menjadi guru yang gatek (gagap teknologi) yang bisa jadi mengakibatkan hilangnya daya tarik dalam proses belajar. Terlebih dalam era informasi ini, tanpa adanya kemauan untuk mengerti, menggunakan, dan mengakses bidang yang relevan dengan keilmuannya maka fungsi guru sebagai fasilitator perkembangan ilmu akan tereduksi yang lama-lama bisa jadi hilang, sehingga yang ada hanyalah guru yang miskin informasi.
Membangun budaya kegelisahan adalah sesuatu yang penting untuk mewujudkan tradisi keilmuan yang kuat. Adanya tradisi keilmuan yang kuat tentunya akan memberi sumbangan yang signifikan bagi kemajuan bangsa dan negara. Selain itu budaya kegelisahan akademik yang kuat akan menghindarkan tradisi instan dalam pola pendidikan kita yang terlanjur mendarah daging.
Dan yang tak kalah penting adalah bahwa bangunan kegelisahan akademik yang tinggi akan menopang profesionalisme yang sesungguhnya, bukan profesionalisme yang sekedar mengejar tunjangan profesi dan meningkatnya gaji.
Dengan demikian upaya pemerintah yang ideal bukanlah sekedar mensarjanakan semua guru tetapi juga memberi ruang bagi guru untuk kreatif dan menciptakan budaya kegelisahan akademik. Budaya ini dapat dimulai dari lembaga pencetak calon guru, dan untuk beberapa dekade mendatang dimulai sejak dini seperti kemunculan science center, taman baca, pasar ide, dan lain sebagainya.

Jadikan Siswa Generasi Berpengharapan

Bencana silih berganti, tsunami di Aceh dan Pangandaran, gempa di Nias, Yogyakarta, dan Jawa Tengah, Longsor di Sumatra Barat, lumpur Lapindo Brantas yang susah dicari solusinya, tenggelamnya kapal laut Senopati, hilangnya pesawat terbang Adam Air dan banjir dimana-mana menjadi episode kelabu bangsa Indonesia. Lebih tragis lagi kemiskinan terus bertambah, lima puluh persen penduduk Indonesia berpendapatan di bawah 2 dollar US, dan pemberantasan korupsi tidak maksimal menambah daftar panjang penderitaan negeri ini.
Semua kejadian di atas menjadikan masyarakat Indonesia gamang akan masa depannya. Terlebih siswa sebagai generasi penerus menjadi sangat paranoid akan perjalanan hidupnya. Masih adakah ruang untuk menggapai harapan menjadi tanda tanya besar bagi generasi kita.
Ancaman ekologi, perpolitikan yang tidak pernah dewasa, sempitnya lapangan kerja, dan pemiskinan struktural menguras emosi generasi kita, dan jika tidak terkelola dengan baik akan menjadikan sebuah keputusasaan dan tanpa pengharapan. Membangkitkan motivasi, memberi penyadaran, dan pengharapan bagi generasi muda adalah tugas kita semua.
Tokoh masyarakat, negarawan, agamawan, politisi, dan dunia pendidikan berkewajiban melaksanakan tugas tersebut sesuai porsi masing-masing. Tugas yang utama adalah memberi contoh tindakan yang terpuji dan menjalankan tugas dengan berorientasi kepada kemaslahatan dan kesinambungan generasi.

Negarawan harus menjadi suri tauladan yang baik, tutur kata dan tindakannya jangan sampai membingungkan masyarakat, tidak emosional dan menjadi penyejuk segenap lapisan masyarakat. Agamawan harus komitmen dan setia dengan keyakinan serta keilmuannya, jika tidak maka umat akan kehilangan pegangan dan muncul kegersangan kehidupan yang berpotensi anarki. Politisi sebagai wakil rakyat mesti setia pada konstituennya, bukannya malah setia terbatas pada garis politiknya yang biasanya rigid dan tidak jarang primordial.

Tugas Dunia Pendidikan
Dunia pendidikan mempunyai tugas yang komplek berkaitan dengan membangkitkan motivasi, memberi penyadaran, dan pengharapan bagi peserta didiknya. Menciptakan generasi yang bervisi dan bermisi terhadap kehidupannya adalah sesuatu yang penting. Bangunan visi dan misi yang jelas akan membangkitkan motivasi untuk berprestasi, dan prestasi hidup amatlah penting karena kesuksesan hidup di masa depan adalah akumulasi prestasi itu sendiri.
Tugas yang kedua bagi dunia pendidikan adalah memberi penyadaran terhadap siswa. Proses penyadaran adalah dialektika antara realitas dunia luar dengan kediriannya, antara harapan dan kenyataan, antara peluang dan hambatan, serta antara kekuatan dan kelemahan. Dengan penyadaran seperti ini maka siswa harus senantiasa dibekali dengan SWOT pribadi (kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman).
Dengan kesadaran yang tinggi akan eksistensinya maka siswa akan mempunyai kesadaran posisi koordinat hidupnya. Dengan demikian maka akan tercipta generasi yang kreatif, inovatif, tidak mudah putus asa, tidak mudah stress dan bukan generasi yang mudah frustasi dan reaktif terhadap dinamika kehidupan.
Tugas yang ketiga adalah menciptakan generasi yang berpengharapan. Generasi yang berpengharapan adalah generasi yang berharap untuk lebih baik, untuk lebih berguna, dan harapan untuk lebih menjadi manusia.
Harapan untuk lebih baik adalah sebuah evolusi diri, sebuah proses dialektika antara kondisi kediriannya sekarang dengan norma-norma positif yang berlaku dalam masyarakat, agama, dan bernegara, serta dalam cakupan lokal, nasional, dan internasional. Dialektika ini membawa sebuah evaluasi sikap agar termotivasi untuk berhijrah dari yang kurang baik menjadi baik, dari yang baik menjadi lebih baik lagi.
Harapan untuk lebih berguna penting untuk diajarkan dalam kehidupan siswa karena akan memberi kepuasan batin dan memperkuat eksistensinya sebagai makhluk sosial. Dengan demikian siswa harus senantiasa diajarkan dan digali potensi-potensi yang dimiliki, baik yang sifatnya kompetitif maupun komparatif. Terlebih kelebihan-kelebihan komparatif harus digali dengan sungguh-sungguh karena akan menjadikan seorang siswa berguna secara khusus, menjadi pembeda dari yang lain.
Harapan untuk lebih menjadi manusia adalah cita-cita akhir dari sebuah poses pendidikan, sebagai sebuah proses humanisasi. Proses ini dimulai dari ruang segi empat yang dinamakan kelas. Dari ruangan inilah pangkal terciptanya generasi yang humanis atau yang tidak. Dari sinilah budaya itu dibentuk yang nantinya terakumulasi menjadi sebuah peradaban, sebab apa yang tercermin dalam realitas hidup adalah out come pendidikan itu sendiri.
Dengan demikian jelaslah bahwa proses yang benar dan baik menjadi kunci utama pembangunan manusia sesungguhnya. Benar artinya proses pembelajaran diajarkan dengan kejujuran, berstandar proses, adaptif terhadap perkembangan keilmuan dan teknologi dan baik berarti proses pembelajaran disampaikan dengan cara yang beretika, bermoral.
Kejujuran dalam proses selama ini terabaikan sehingga kini banyak dihasilkan prestasi-prestasi yang artifisial. Proses kini tidak lagi standar karena membunuh ruang kreatifitas siswa, dan hanya menghasilkan generasi copy-paste. Untuk itu perlu dilakukan rekonstruksi pembelajaran untuk menjadi lebih jujur dan berstandar proses.Menjadikan generasi berpengharapan adalah proses yang panjang, dijalani dengan sungguh-sungguh dan penuh komitmen, serta dibarengi sikap yang optimis. Eksistensi bangsa ini adalah eksistensi generasi muda kini, tanpa adanya pengharapan bagi generasi muda berarti tiada pula pengharapan untuk bangsa ini di masa mendatang. Untuk itu, jadikanlah siswa sebagai generasi yang berpengharapan.

Disorientasi Pendidikan

Sekolah sebagaimana organisasi lainnya mempunyai target, arah, dan tujuan sesuai dengan visi dan misinya. Dalam realitasnya, dengan berbagai macam redaksional visi dan misi dari setiap sekolah, toh tujuannnya hampir sama yakni memproduksi lulusan dengan produk yang relatif seragam. Tujuan tersebut tak lain adalah meluluskan siswa tanpa atau kurang memperhatikan kompetensi yang lainnya, sekedar memenuhi limit nilai kelulusan secara kuantitatif. Sekolah kini tidak ubahnya sebagai industri yang menghasilkan produk massal, tanpa ada hal yang bersifat spesifik. Lalu dimana arah persekolahan kita?.
Pertanyaan arah adalah pertanyaan yang kritis. Terdapat kecenderungan yang relatif sama bahwa arah pendidikan telah terbelokkan. Pendidikan kini menjadi dangkal, dari learning menjadi teaching to test. Selanjutnya mudah ditebak, guru dalam pembelajaran di kelas cenderung menggunakan cooking book, siap saji, dan jika perlu dengan model smart solution, sehingga guru cenderung menyajikan hal-hal yang lebih sistematis. Model seperti ini semakin menjauhkan siswa dari bangunan keilmuan, sehingga pendidikan sebagai upaya peletakan dasar disiplin-disiplin intelektual yang terorganisasi seperti dalam dunia ilmu pengetahuan yang matang semakin jauh. Akibat dari model pembelajaran yang instan adalah kematian berpikir logis analitis.
Memang pembelajaran dengan model siap saji adalah sebagai sebuah jawaban dari regulasi yang berkaitan dengan sistem evaluasi, meskipun demikian mestinya dunia pendidikan tidak terseret dalam satu kebijakan dengan mengorbankan banyak kepentingan dan idealisme, utamanya yang berkaitan dengan keilmuan.

Kembali pada Filsafat Ilmu
Disorientasi ilmu dalam dunia pendidikan jika ditelaah berakar pada semakin ditinggalkannya filsafat ilmu. Bahkan tiga pilar ilmu (dalam setiap mata pelajaran) yang terdiri dari ontologi, epistemologi, dan aksiologi tidak disampaikan secara holistik, atau mungkin tidak diperhatikan dengan sungguh-sungguh. Penulis sebagai pendidik sering mencermati bahwa pembelajaran terbatas pada ontologi an sich, sehingga tidak dicapai proses dan tidak mempunyai kaitan dengan tata nilai dalam bermasyarakat.
Ketidakberdayaan dalam epistemologi menjadi titik lemah dalam membangun metodologi keilmuan. Dalam banyak kasus siswa mampu hafal banyak rumus atau teori saat menghadapi ujian, namun akan segera hilang saat ujian telah berlalu, dan lebih parah lagi siswa hanya mampu menyelesaikan soal jika pertanyaan sama persis dengan rumus yang dihafal. Banyak siswa yang bingung setelah rumus diubah-ubah meskipun substansinya sama, hal ini menunjukkan bahwa pola pikir siswa sangat mekanis, seperti robot yang tidak punya naluri untuk improvisasi, inovasi, dan lebih-lebih analisis.
Kemandekan dalam epistemologi adalah kematian kreativitas dan kematian dasar-dasar keilmuan. Jika kondisi ini dibiarkan maka peningkatan sumber daya insani akan susah dicapai, sebab yang dihasilkan sampai dengan saat ini hanyalah siswa – siswa yang sekedar hafal rumus ataupun teori Fisika, Kimia, Biologi, PPKn dan mata pelajaran lainnya, namun tidak tahu asal-usul rumus dan bangunan keilmuan dari materi yang dipelajari.
Membangun epistemologi keilmuan berarti mengkonstruksi keilmuan. Mengkonstruksi keilmuan berkaitan erat dengan filsafat konstruksivisme. Dalam filsafat konstruktivisme pengetahuan merupakan hasil konstruksi bukanlah suatu imitasi dari kenyataan. Pengetahuan dikonstruk dari konstruksi kognitif melalui pengalaman, dan proses mengkonstruksi itulah siswa terlibat dalam kegiatan berepistemologi.
Aksiologi (nilai-nilai dari ilmu atau bidang kajian) memegang peran yang sangat vital dalam norma dan tata hidup umat manusia baik dalam lingkup lokal, nasional, maupun global. Aksiologi penting disampaikan karena setiap materi yang diajarkan mengandung nilai (value bound) dan tidak bebas nilai (value free). Tanpa disampaikannya unsur aksiologi dari setiap kajian akan sangat membahayakan bagi kehidupan umat manusia. Ketiadaan unsur aksiologi menjadikan kimia sebagai bagian dari senjata pemusnah masal, biologi akan menjadi racun yang mematikan, dan lain sebagainya. Hanya saja problem yang tetap ada adalah bagaimana menyampaikan unsur aksiologi dari setiap ilmu yang efektif?. Bukankah dalam semua pendidikan agama diajarkan hal yang benar/salah, halal/haram, legal/illegal namun perilaku menyimpang selalu ada?.
Memang out put pendidikan selama ini banyak yang menjadi shizofrenia dimana mereka sadar akan hukum dan tata nilai namun tetap melanggar. Ini menunjukkan pendidikan belum mampu membangun jiwa out putnya secara maksimal, katakanlah caracter building. Namun kita juga sepakat bahwa bangunan jiwa tidak saja dipengaruhi oleh proses pendidikan tetapi juga lingkungan, keluarga, dan rizki yang dimakan.
Betapapun susahnya membangun jiwa out put pendidikan, yang jelas penyampaian aksiologi sebagai satu dari tiga pilar bidang kajian akan sangat penting, sebab tidak saja menjadi sebuah pengetahuan dari kemamfaatan ilmu namun juga menjadi peletakan dasar-dasar nilai bidang kajian yang dapat diimplementasikan dalam kehidupan.
Ontologi, epistemologi, dan aksiologi sebagai pilar keilmuan harus senantiasa diperjuangkan untuk selalu hadir dalam pembelajaran di sekolah. Tanpa adanya penyampaian dari ketiganya maka pendidikan akan menjadi hambar dan hanya menghasilkan siswa-siswa yang sekedar hafal rumus dan teori dari setiap pengetahuan namun kering makna.

Dua Macam soal Saja Tidak Cukup

Sejak pertama kali dilaksanakan Ujian Nasional ditengarai banyak terjadi ketidakberesan. Kecurangan tersebut sejatinya muncul sebagai “perlawanan” dari adanya batas minimal nilai untuk lulus. Batasan tersebut menjadi sumber paranoid bagi pelaku pendidikan. Peserta didik menjadi takut jika tidak lulus, guru menjadi takut jika banyak siswa yang tidak lulus karena mempengaruhi citranya, dan pengelola sekolah swasta takut jika banyaknya siswa yang tidak lulus menjadikan yayasannya gulung tikar. Begitu juga sekolah negeri takut jika kalah dengan sekolah yang swasta, apalagi swasta pinggiran. Akibatnya terjadi “perlawanan” akumulatif dengan corak dan gayanya masing-masing.
Realitas tersebut sejatinya telah disadari benar oleh pengambil kebijakan yang dalam hal ini adalah BSNP. Hal tersebut dapat ditengarai dari adanya perubahan-perubahan dalam POS (Prosedur Operasional Standar) yang diterbitkan setiap tahun menjelang Ujian Nasional. Perubahan-perubahan mencolok dapat dicermati sejak adanya tim independen (pemantau) setahun yang lalu.
Adanya tim independen sejatinya sebagai alat untuk lebih membuat fair pelaksanaan Ujian Nasional. Namun pada kenyataan fungsi tim tersebut juga tidak maksimal karena ada beberapa alasan. Pertama; kapabilitas personal yang tidak cukup layak, kedua; tim independen mantan murid salah satu guru atau kepala sekolahnya sehingga menjadi kurang atau tidak tegas, dan ketiga; tim independen juga mempunyai anak yang sedang ujian nasional sehingga justru sama-sama merasakan kondisi yang ada.
Melihat tidak maksimalnya tim independen maka pada Ujian Nasional tahun ini (2006/2007) diadakan kebijakan baru yakni dalam satu ruangan dibuat dua macam variasi soal untuk mengurangi kerja sama atau mempersempit ruang kebocoran soal.

Sekolah versus BSNP
Ada dua kepentingan yang ada dalam Ujian Nasional yakni kepentingan sekolah dan kepentingan BSNP. Bagi sekolah membekali siswa dengan ilmu, nilai terpuji, dan keterampilan serta mengantarkan siswa hingga lulus adalah sebuah cita-cita dan kebanggaaan. Maka tidaklah mengherankan jika sekolah selalu mengadakan program intensif guna menghadapi ujian nasional.
Di lain pihak BSNP yang bertugas melaksanakan standarisasi pendidikan memandang Ujian Nasional adalah sebagai salah satu langkah untuk mencapai tujuan atau standarisasi, minimal menjadi pemicu semangat dalam belajar baik bagi guru atau siswa.
Dilapangan keinginan pelaku pendidikan tidak atau kurang sejalan dengan kebijakan BSNP. Pelaksanaan standarisasi tentu disetujui semua pihak namun prasyarat untuk lulus dipandang memberatkan, bahkan meresahkan. Bagi kebanyakan guru model Ujian Nasional tidak lebih baik dari model Ebtanas. Ada beberapa alasan Ebtanas dipandang lebih baik dari Ujian Nasional antara lain: pertama; jumlah mata pelajaran yang diujikan merepresentasikan program pilihan semisal dari program IPA ada Fisika, Kimia, dan Biologi, kedua; dalam Ebtanas tidak disertakan limit kelulusan sehingga meminimalisir kecurangan, ketiga; sekolah tidak terfokus pada ujian akhir tetapi juga membekali siswa untuk dapat masuk perguruan tinggi.

Soal sevariatif mungkinAdanya dua macam variasi soal, penulis pandang sebagai keputusan setengah hati karena tetap saja memunculkan peluang tindakan curang. Idealnya soal dibuat sevariatif mungkin yakni dua puluh macam soal, sebab dalam satu ruang terdapat peserta maksimal 20 siswa. Jika soal sebanyak ini tentu peluang itu sudah tertutup. Memang membuat sioal sebanyak itu tidak mudah, namun demi peningkatan kualitas yang sesungguhnya langkah tersebut harus dilakukan.

Matinya filsafat Pendidikan

Pendidikan adalah kehidupan itu sendiri, bukan persiapan untuk hidup. Jika pendidikan sekedar untuk persiapan hidup, maka pendidikan terjebak dalam hal-hal pragmatis. Keterjebakan ini membawa pada hal-hal teknis, serba konkrit, juklak, dan juknis. Ujungnya adalah kehambaran dalam pendidikan.
Penyebab hambarnya pendidikan adalah lepasnya praksis pendidikan dari pijakannya yakni filsafat. Filsafat dalam pendidikan sangat berperan dalam proses transfer of knowledge dan transfer of values. Dalam transfer of knowledge membutuhkan bagian dari filsafat yakni ontologi (objek materi) dan epistemologi (hakikat ilmu pengetahuan) dan dalam transfer of values berkaitan dengan aksiologi.

Sebab-sebab kematian filsafat dalam pendidikan
Menurut penulis ada enam hal yang menyebabkan filsafat tidak berkembang dalam pendidikan nasional baik pada level kebijakan maupun pada level praksis. Pertama; kebijakan pendidikan terjebak pada hal-hal teknis seperti penyusunan POS (Prosedur Operasional Standar). Yang diurus dan diperhatikan tidak jauh dari apa yang disebut mekanisme.
Kedua; pelaku pendidikan (utamanya pendidik) terjebak dalam hal-hal yang sifatnya text book. Mungkin hal ini bisa dimaklumi karena beban materi pelajaran yang harus disampaikan sangat banyak, apalagi adanya tuntutan kejar target untuk mengantarkan peserta didiknya lulus ujian nasional.
Ketiga; pemahaman pendidik tentang filsafat pendidikan itu sendiri masih kurang, sebab bekal yang diperoleh sewaktu kuliah tidak lebih dari dua SKS, itupun disajikan dalam MKDU (Mata Kuliah Dasar Umum).
Keempat; kurangnya buku filsafat yang bahasanya relatif sederhana. Selama ini banyak orang yang enggan membaca apalagi mendalami filsafat karena bahasanya susah untuk dimengerti. Untuk memahami satu kalimat saja perlu dibaca berulang-ulang. Sebenarnya hal ini bisa dimaklumi karena kebanyakan buku-buku filsafat yang ada adalah terjemahan.
Kelima; ada opini publik yang memandang filsafat sebagai hal yang negatif, adapula yang memandang filsafat sebaiknya dipelajari diusia senja. Pandangan ini disebabkan maraknya mahasiswa filsafat yang berkelakuan aneh-aneh, nyentrik yang terkadang menjadi sesuatu yang ekstrim dalam perspektif masyarakat umum.
Keenam; semakin minimnya mahasiswa yang tertarik mengambil jurusan filsafat. Hal ini disebabkan oleh prospek yang bagi kebanyakan orang dipandang kurang bagus jika dibanding fakultas teknik, kedokteran, MIPA, atau komunikasi dan psikologi.

Pentingnya revitalisasi
Filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan harus dijaga dan dikembangkan eksistensinya. Sebab tanpa adanya filsafat—utamanya dalam pendidikan—akan mematikan daya kritis, daya nalar, dan daya kreatif peserta didik. Untuk revitalisasi tersebut ada beberapa langkah yang bisa dilakukan antara lain:
Pertama; memasukkan mata pelajaran dasar-dasar filsafat dalam pendidikan level menengah atas (SMA/SMK/MA). Selama ini yang ada baru materi logika yang dititipkan dalam mata pelajaran matematika. Dasar-dasar filsafat penting untuk dikuasai pada anak level SMA sebab akan membekali dasar-dasar keilmuan yang kuat pada siswa. Siswa akan tahu objek formal yang dipelajari mata mata pelajaran (ontologi), siswa menjadi tahu dan akan kritis terhadap hakikat pengetahuan yang dipelajari (epistemplogi), dan siswa dapat mengimplementasikan nilai yang diperoleh dari kajian yang dipelajari (aksiologi).
Kedua; materi pelajaran dalam kurikulum hendaknya memicu daya kritis, bukannya malah mekanis. Jadi dalam setiap kompetensi dasar ada peluang untuk dikritisi semisal mengapa materi ini dipelajari, bagaimana materi ini terbentuk, bagaimana kebenaran materi yang dipelajari, dan lain sebagainya.
Ketiga; memperbanyak buku filsafat yang dapat dicerna anak-anak usia sekolah. Idealnya bahasanya sederhana tetapi membangkitkan daya kritis siswa
Keempat; perlunya kesadaran bagi individu untuk menjaga eksistensi filsafat, terlebih bagi mereka yang berkecimpung dalam dunia atau jurusan filsafat. Untuk menjaga eksistensi jurusan filsafat rasanya tidak perlu harus bersikap aneh-aneh yang bisa menyebabkan banyak orang enggan untuk mempelajari atau memilih jurusan filsafat. Tidak pula harus senantiasa melakukan reinterpretasi sesuatu atau kajian yang given dari Tuhan karena hal ini bisa jadi kontra produktif.
Kelima; pentingnya memasukkan unsur-unsur filsafat dalam setiap mata pelajaran, sebab pada hakikatnya semua materi pelajaran yang dipelajari adalah bagian dari filsafat itu sendiri.
Penulis yakin jika filsafat dalam pendidikan hidup maka output pendidikan akan mendalami ilmu pengetahuan yang dipelajari menjadi lebih berbobot, lebih menghunjam dan bukan sesuatu kajian yang dipelajari untuk sekedar menjawab soal dalam ujian. Lebih dari itu dengan pemahaman dan penghayatan filsafat maka anak didik kita menjadi manusia yang bijak sebagaimana makna filsafat itu sendiri.

Manusia Standar Versi Ujian Nasional

Ketika Amerika Serikat mengalami kemunduran dalam pendidikan maka pemerintah Amerika Serikat menyatakan A Nation at Risk. Berawal dari kondisi inilah dibentuk Komisi Pendidikan yang bernama National Commision on Excellence in Education (NCEE) yang bertugas melakukan standarisasi pendidikan. Di Indonesia model tersebut diadopsi dengan adanya BSNP (Badan standar Pendidikan Nasional) yang tugasnya melakukan standarisasi, dan salah satu program yang dilaksanakan adalah Ujian Nasional.
Dalam melaksanakan program Ujian Nasional BSNP menerbitkan POS (Prosedur Operasional Standar) yang di dalamnya berisi hal-hal teknis yang sejak pelaksanaannya mengalami perubahan-perubahan. Salah satu perubahan yang selalu ada adalah perubahan standar nilai minimal untuk lulus.
Setiap tahun terjadi kenaikan batas minimal untuk lulus Ujian Nasional. Tahun lalu nilai rata-rata untuk lulus Ujian Nasional sebesar 4,50 dan tahun ini naik mejadi 5,00. Apa yang mendasari kebijakan kenaikan nilai batas kelulusan tersebut sebetulnya patut untuk dipertanyakan. Gurunya masih sama, fasilitas sekolah belum berubah, isi kurikulum tidak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya, dan input pendidikan juga relatif mempunyai kapasitas yang sama. Yang penulis khawatirkan adalah meningkatkan batas nilai tetapi mengurangi tingkat kesukaran soal. Jika ini yang terjadi maka sama saja bohong.
Jika kenaikan batas nilai kelulusan sebagai gertakan atau warning agar siswa lebih giat dalam belajar, maka gertakan ini menjadi gertakan yang salah sebab yang terjadi bukan giat belajar tetapi sebatas giat latihan soal Ujian Nasional, semacam try out atau pengedrilan soal.
Jika setiap tahun terjadi kenaikan nilai rata-rata sebesar 0,50 maka dalam waktu 10 tahun nilai rata-rata Ujian Nasional menjadi 10,00, sebuah nilai yang sempurna. Dan jika ini yang terjadi maka 10 tahun lagi generasi kita adalah generasi standar, manusia sempurna atau Superman versi Ujian Nasional.
Manusia adalah sosok yang unik. Tidak ada manusia yang mempunyai kesamaan 100% meskipun keduanya kembar. Gordon Dryen dan Jeanette Vos (1999) menyatakan uniknya manusia sama halnya dengan uniknya tanda tangan. Dari uniknya itulah manusia mempunyai potensi sendiri-sendiri baik yang sifatnya kompetitif maupun komparatif. Ada yang potensi numerikalnya tinggi, ada yang potensi musikalnya tinggi, dan lain sebagainya. Goleman menyebutnya sebagai kecerdasan majemuk.
Dari potensi-potensi tersebut seseorang bersekolah guna meningkatkan potensinya, sebab bakat plus latihan akan menjadikan skill yang baik sebagai salah satu bekal untuk lebih menjadi manusia. Dengan demikian tugas persekolahan sejatinya mengembangkan potensi peserta didik, bukan mengebiri atau malah membiarkan potensi tersebut sehingga tidak terurus dan berujung pada kemandulan skill. Dalam posisi ini maka posisi pendidik adalah sebagai talent scouter (pemandu bakat).



Terjebak dalam reifikasi
Tilaar (2006) menyatakan proses reifikasi pendidikan berarti membendakan segala sesuatu yang dijadikan sebagai objek. Ujian Nasional hakikatnya adalah proses pengukuran. Yang biasa diukur adalah benda atau objek. Dengan demikian dalam posisi ini peserta didik disamakan dengan benda, atau terjadi objektifikasi terhadap peserta didik.
Pembendaan atau objektifikasi terhadap peserta didik sesungguhnya bertentangan dengan humanisme karena mereduksi sisi - sisi kemanusiaan. Jika peserta didik hanya dianggap benda maka proses pendidikan tidak ubahnya proses produk massal dalam pabrikan. Sebagaimana dalam produk massal maka pada akhirnya akan dihasilkan produk yang baik dan produk yang gagal melalui proses fitting (pengepasan dengan toleransi tertentu). Dalam kaitannya dengan Ujian Nasional maka fitting dalam hal ini adalah nilai untuk lulus. Yang memenuhi syarat maka akan go dan yang gagal not go.

Manusia seutuhnya Versus Manusia standar
Sejatinya tujuan pendidikan nasional tiada lain menjadikan peserta didik menjadi manusia Indonesia seutuhnya, bukan manusia standar. Manusia Indonesia seutuhnya adalah manusia yang beriptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) sekaligus berimtaq (iman dan taqwa). Keseimbangan iptek dan imtaq penting sehingga terwujud insan yang berkualitas secara keilmuan, skill, teknologi, sekaligus menjadi insan yang virtues (berkepribadian terpuji). Insan yang utuh tidak mengalami apa yang dinamakan split personality atau insan yang menderita skisofrenia yang tahu hukum tapi melanggarnya.
Insan yang utuh diciptakan melalui proses yang baik dan benar, baik dalam keilmuan maupun dalam pembangunan kepribadian. Rasanya sangat tidak cukup mewujudkan insan seutuhnya hanya melalui Ujian Nasional. Bahkan bisa jadi eksistensi Ujian Nasional tersebut justru menghambat proses perwujudan insan seutuhnya karena menjadikan dunia pendidikan terkooptasi dengan keberadaannya. Jika ini terus terjadi maka generasi ke depan bukanlah insan seutuhnya , tetapi sebatas manusia standar versi Ujian Nasional.

PENDIDIKAN DALAM BINGKAI SEGITIGA HITAM

Out put yang melimpah belum disertai out come yang berkualitas, itulah realitas persekolahan kita. Cita-cita menciptakan generasi yang berimtaq dan iptek sebagaimana slogan yang terpampang dalam gedung-gedung sekolah masih jauh dari harapan. Yang dihasilkan kebanyakan hanya insan yang beriptek, itupun tidak merata, dan tanpa disertai imtaq. Akibatnya out put tidak berkarakter dan hanya menjadi soft people, insan yang lembek. Lalu dimana kesalahan persekolahan kita?.
Sebagaimana negara berkembang lainnya, negara kita dikepung oleh tiga penyakit atau kondisi khas negara berkembang yakni kebodohan, kemiskinan, dan masalah kesehatan. Ketiga permasalahan tersebut dikenal dengan problem segitiga hitam. Menghilangkan kebodohan memerlukan grand design dan rentang waktu yang lama mengingat luasnya wilayah negara kita, kompleksitas dan keragaman masyarakat, serta problem kultural lainnya.
Menghapus kemiskinan tidaklah mudah, sebab kemiskinan dalam masyarakat kita sangat variatif, ada kemiskinan struktural, kultural, dan miskin karena pilihan. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan secara struktur karena kebijakan politik yang tidak memihak, dengan kata lain terjadi pemiskinan masyarakat. Kemiskinan kultural berkaitan dengan mentalitas masyarakat Indonesia, tidak memandang status kaya-miskin, si kaya tetap saja merasa miskin karena mentalnya memang demikian. Apalagi si miskin. Kemiskinan karena pilihan memang jarang ditemui, tapi eksistensinya tetap ada, semisal orang yang lebih memiskinkan dirinya dengan pertimbangan memudahkan perhitungan di yaumul hisab.
Penyakit tetap menjadi ancaman serius bagi bangsa ini, bahkan kekhawatiran terjadinya lose generation bisa saja terjadi jika tidak dilakukan tindakan preventif. Busung lapar, mahalnya obat, mahalnya kebutuhan pokok, dan bahaya ekologi menjadi faktor utama , belum faktor lain seperti berbagai polusi yang ada.
Dengan demikian pendidikan rasanya susah untuk berkembang jika ketiga kondisi tersebut tidak dihilangkan. Lalu apa dulu yang mesti dihilangkan?. Kebodohan dulu, kemiskinan dulu atau menyehatkan masyarakat dulu?. Menjawab pertanyaan tersebut sama saja menjawab pertanyaan duluan mana antara telur dengan ayam.
Jawaban dari pertanyaan di atas sangatlah beragam, tergantung latar belakang seseorang. Bagi seorang ekonom tentu akan condong mendahulukan pengentasan kemiskinan dulu, karena dengan hilangnya kemiskinan maka masyarakat akan mampu mengakses pendidikan lebih baik dan dapat hidup sehat, karena nutrisi terpenuhi dan mampu beli obat atau suplemen. Bagi dokter bisa jadi mendahulukan kesehatan, sebab dengan kesehatan maka aktifitas belajar akan baik dan dapat bekerja untuk tidak miskin. Bukankah di dalam badan yang sehat terdapat jiwa yang sehat?.
H.A.R Tilaar dalam bukunya yang berjudul Standarisasi Pendidikan Nasional (Rineka Cipta, 2006) mengutip pendapat Jeffrey Sachs yang menyatakan bahwa terdapat hubungan timbal balik antara pendidikan dengan kemiskinan. Masih dalam buku tersebut juga dinyatakan bahwa menurut Amartya Sen (Pemegang hadiah Nobel bidang Ekonomi dari India) bahwa ada keterkaitan yang erat antara pendidikan dengan pengembangan masyarakat yang demokratis dan membuka mata rakyat miskin untuk mengakses pendidikan guna meningkatkan kelas sosialnya.
Senyampang dengan pendapat pakar di atas bagi penulis -yang seorang pendidik- akan mendahulukan menghapus kebodohan, sebab dengan hilangnya kebodohan maka terbangun jiwa masyarakat Indonesia sehingga akan lebih beradab, mampu berfikir jernih dan sehat. Dengan menghapus kebodohan, maka telah membangun jiwa sebelum membangun raganya. Tanpa adanya jiwa yang sehat rasanya susah mendidik siswa yang miskin jiwanya dan lemah badannya. Jika menghapuskan kebodohan yang didahulukan, maka pertanyaan berikutnya adalah model pendidikan yang pas yang seperti apa?.
Secara pragmatis jawaban yang tepat adalah pendidikan untuk masyarakat yang miskin dan kurang sehat, artinya pendidikan tersebut harus mampu merekonstruksi sosial masyarakat. Dengan demikian mestinya pendidikan itu murah dan menyehatkan. Murah berarti negara membuka akses seluas-luasnya bagi seluruh masyarakat dan menyehatkan berarti kurikulum pendidikan berkaitan dengan ekologi dan kesehatan masyarakat.
Membuka akses pendidikan dasar seluas-luasnya merupakan perwujudan dari deklarasi hak-hak asasi manusia PBB pada tahun 1948. Dalam perumusan PBB mengenai delapan tujuan pembangunan millenium (MDGs) juga dirumuskan pentingnya pelayanan pendidikan, secara lengkap kedelapan tujuan tersebut adalah: 1) memberantas kemiskinan dan kelaparan, 2)mewujudkan pendidikan dasar untuk semua, mendorong kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan, 4)menurunkan angka kematian anak, 5)meningkatkan kesehatan ibu, 6) mengurangi penyebaran HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lainnya, 7)kelestarian lingkungan hidup, 8)membangun kemitraan global dan pembangunan.
Lebih lanjut lagi dengan mengadopsi Deklarasi PBB tentang Hak Atas Pembangunan , maka kewajiban negara dalam melaksanakan wajib belajar antara lain: 1)tersedianya sarana seperti gedung sekolah dan tempat pelaksanaan wajib belajar lainnya, 2) keterjangkauan, 3) penerimaan, yaitu diterima tidaknya lembaga pendidikan oleh rakyat, 4) kesesuaian lembaga dengan kebutuhan lingkungan (H.A.R Tilaar (2006): 165).
Dengan merujuk pada deklarasi PBB tersebut jelaslah bahwa mewujudkan masyarakat yang tidak bodoh adalah tanggung jawab negara, tanpa adanya upaya yang sungguh-sungguh sejatinya negara telah dzalim terhadap rakyatnya.
Yang perlu digaris bawahi adalah bahwa menghapus kebodohan tidak sama dengan menyablon ijazah, karena jika itu yang terjadi maka sesungguhnya kita menjadi bodoh kuadrat. Dengan menghilangkan kebodohan yang sesungguhnya, maka kemiskinan dan kultur tidak sehat secara perlahan-lahan akan tereduksi. Dengan masyarakat yang berimtaq dan berimtek maka negara ini akan terlepas dari belenggu segitiga hitam dan berubah status menjadi negara yang beradab dan powerfull.

Pendidikan Preventif

Dalam perspektif futurolog, masa depan penuh dengan ketidakpastian. Dalam sebuah ketidakpastian dibutuhkan stategi yang mapan, tanpa strategi yang mapan tidak akan menghasilkan langkah yang efektif. Islam sejatinya telah mengajarkan strategi hidup yang dikemas dalam pendidikan preventif. Pendidikan preventif dalam Islam berupa ajaran agar setiap individu menyiapkan lima hal /perkara sebelum datangnya lima perkara. Kelima hal tersebut adalah gunakan masa mudamu sebelum masa tuamu, masa luangmu sebelum masa sempitmu, masa hidupmu sebelum matimu, masa kayamu sebelum miskin, masa sehatmu sebelum sakit. Kelima perkara tersebut sejatinya dapat diperluas semisal sedia perahu karet sebelum kebanjiran, sedia energi alternatif sebelum minyak bumi habis, belajar sebelum ujian, dan lain sebagainya.
Dalam masyarakat kita juga dikenal istilah’ sedia payung sebelum hujan’. Namun pada kenyataannya masyarakat Indonesia sungkan untuk ‘menyediakan payung’ meskipun ‘hujan’ jelas akan turun. Alasannya malu, apa kata entar, terlalu pasrah, dan sifat-sifat fatalistik lainnya.
Ada dua hal penting kaitannya dengan pendidikan preventif; pertama; mengubah karakter dari perilaku fatalistik menjadi perilaku preventif, kedua; pemetaan terhadap realitas sehingga penting untuk dilakukan upaya preventif.
Merubah karakter dari perilaku fatalistik menjadi perilaku preventif tidaklah mudah. Perilaku fatalistik ada karena budaya masyarakat yang belum tertata, di samping miskinnya pencerahan. Sebab lain adalah penegakan hukum yang belum baik.
Merubah perilaku fatalistik tidak mudah sebab menyangkut kondisi psikis pelaku. Diperlukan pendidikan karakter yang kontekstual, yang aplikatif, dan meaningful. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana konsep dan aplikasi pendidikan karakter itu sendiri. Kita sering merindukan pendidikan karakter yang mampu menjadi ‘jampi-jampi’ terhadap berbagai persoalan karakter, namun sekali lagi yang kita dapati hanyalah kuldesak (jalan buntu). Berkaitan dengan pemetaan terhadap realitas berarti mengetahui potensi-potensi baik yang positif maupun negatif sehingga kita siap memanfaatkan atau menanggulangi potensi itu.
Dalam dua kurikulum terakhir (KBK dan KTSP) memang upaya memberi perhatian terhadap ranah afektif mulai ada, namun sepanjang pengetahuan penulis dibeberapa sekolah upaya itu kurang efektif. Indikatornya adalah tidak ada instrumen penilaian afektif yang jelas, sehingga dalam pengisian nilai afektif di rapor guru hanya menyesuaikan dengan nilai kognitif, itu masih mending dibanding ndengkul (asal memberi nilai).

Substansi pendidikan preventif
Substansi pendidikan preventif adalah kesadaran akan berbagai peluang dan ancaman yang mungkin terjadi dalam kehidupan. Pendidikan preventif berorientasi peluang berarti mempunyai visi yang tajam terhadap kemungkinan-kemungkinan yang menguntungkan dan bermanfaat dalam kehidupan, sedangkan pendidikan preventif berorientasi ancaman berarti adanya kesadaran terhadap kemungkinan-kemungkinan tragedi yang menghambat/menghancurkan hidup seperti teror atau bencana.
Selama ini upaya preventif kurang diperhatikan, kita gagal dan gagap menghadapi bencana sehingga korban nyawa dan materi tak terhitung jumlahnya. Manajemen bencana juga masih banyak kelemahan, dan banyaknya tragedi bencana karena human error mengindikasikan bahwa upaya preventif kita masih minim.
Hal penting dalam upaya membangun pendidikan preventif meliputi:
1. Membentuk karakter ulet
Pendidikan preventif dalam rangka membentuk karakter ulet adalah dengan penanaman sikap prihatin dan bukannya sikap manja yang meninabobokkan. Selama ini kita banyak dininabobokkan oleh hal ungkapan seperti letak yang strategis, tanah yang subur, gemah ripah loh jinawi, dan lain sebagainya. Penulis meyakini ungkapan-ungkapan tersebut kontraproduktif dengan upaya membangun karakter ulet. Dalam upaya membangun karakter ulet kita dapat melihat permainan-permainan di televisi seperti Benteng Takashi, atau out bound dll.
2. Membentuk karakter yang mekanis rasional
Karakter yang mekanis rasional penting karena akan tercipta sikap disiplin yang tidak kaku dalam menyikapi realitas. Sikap mekanis harus selalu diikuti dengan sikap rasional, sebab jika tidak hanya menciptakan manusia yang juklak juknis. Dalam upaya membentuk karakter yang mekanis rasional maka guru harus memberi banyak kesempatan kepada siswa untuk berkreasi dengan tidak lepas dari prosedur yang ada.

3. Membangun kesadaran lingkungan
Setiap individu harus mampu mengkiati realitas lingkungan yang ada. Jika daerahnya sering banjir maka semua harus memikirkan draimnase sehingga tidak kebanjiran, jika daerahnya rawan gempa maka harus dipikirkan rumah tahan gempa, dan lain sebagainya. Membangun kesadaran dengan lingkungan tidak sebatas pada merawat lingkungan, namun dapat bekerja sama dengan pihak terkait tentang potensi daerah kita, utamanya potensi destruktif.
Penulis meyakini dengan membangun pendidikan preventif maka sikap fatalistik akan tereduksi sehingga tercipta budaya teratur, disiplin, dan sadar akan lingkungan tempat kita berada.

Menanti "Durian Runtuh" Anggaran Pendidikan

Menanti “Durian Runtuh” Anggaran Pendidikan

Beda pendapat karena beda pendapatan adalah tradisi bangsa kita. Gara-gara berbeda pendapatan dapat menimbulkan gap, hilangnya kerja sama, hilangnya kesetiakawanan, ketidaksinergisan, dan lain sebagainya. Semuanya berpangkal dari satu ‘makhluk’ yang namanya uang. Uang telah dipuja sekaligus dijadikan alat alibi. Dipuja karena dengan uang tersebut maka dianggap dapat menjadikan segalanya bisa lebih baik dan dijadikan alibi karena ketiadaannya bisa menjadi alasan untuk menutupi kelemahannya, kemalasannya, dan sifat-sifat buruk lainnya.
Kondisi ini juga dialami dunia pendidikan kita. Minimnya anggaran menjadi satu dari sekian banyak alasan mengapa dunia pendidikan nasional tidak bermutu. Memang dalam falsafah Jawa dikenal jer basuki mowo beo, tetapi mengandalkan uang sebagai segala-galanya sama saja dengan menuhankan uang. Akibat dari pola pikir yang serba uang, maka realisasi anggaran pendidikan minimal sebesar 20% dianggap mendesak untuk direalisasikan.
Dalam banyak demonstrasi tuntutan anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN semakin terdengar gaungnya. Pelaku pendidikan dalam semua tingkatan menginginkan anggaran minimal 20% tersebut untuk segera terealisasikan. Di lain pihak, pemerintah melalui Menkeu Sri Mulyani menyatakan bahwa belum terealisasinya anggaran tersebut karena ketidaktersediaan anggaran.
Memang pernyataan tersebut dapat ditafsirkan bermacam-macam, secara nalar bisa disederhanakan menjadi dua hal, pertama; belum adanya niatan secara politis untuk membangun komitmen yang tinggi terhadap dunia pendidikan, kedua; tersedotnya anggaran untuk masalah-masalah yang lebih urgen, semisal cadangan bencana, impor beras, program BLT, dan masalah-masalah yang dianggap KLB (Kejadiaan Luar Biasa). Apakah kualitas pendidikan yang rendah tidak dianggap sebagai KLB ?.
Angka 20% merupakan angka yang sakral dan bisa menjadi buah simalakama, jika direalisasikan bisa jadi negara khawatir jangan-jangan anggara tersebut mubadzir, dan jika tidak segera direalisasikan dapat mengurangi legitimasi pemerintah karena hal tersebut merupakan amanat UU.
Kehawatiran negara sangatlah wajar, sebab dengan adanya dana yang sangat besar berpotensi tidak efektif dan efisien, sehingga yang terjadi adalah penghamburan anggaran. Ketidakefektifan dan keefisienan disebabkan ketiadaan master plan yang matang dalam program peningkatan mutu pendidikan pada semua level. Barangkali pelaku dan pengambil kebijakan pendidikan malah terkejut melihat besarnya uang tersebut, dan jangan-jangan malah bingung mau diapakan dana sebesar itu.
Untuk sekedar menghabiskan dana memang mudah, namun apakah dana tersebut tepat sasaran itu yang jadi persoalan. Memang dunia pendidikan saat ini sedang membutuhkan dana yang besar, untuk memperbaiki gedung yang rusak (utamanya gedung SD dan Madrasah Ibtidaiyah), untuk program wajib belajar yang gratis, untuk mensarjanakan semua guru pada level minimal S-1, untuk sertifikasi, peningkatan kesejahteraan, riset, dan masih banyak lagi. Namun haruskah kita memaksa anggaran pendidikan harus 20%?.
Menurut penulis untuk membiayai kegiatan tersebut dapat diambil dari kegiatan-kegiatan yang tidak signifikan terhadap peningkatan mutu, semisal Ujian Nasional, atau workshop-workshop yang tidak penting. Atau barangkali jika tidak ada kebocoran anggaran maka persoalan tersebut bisa teratasi. Itu semua baru mungkin atau barangkali versi penulis.

Minimnya Fundrising
Sebetulnya minimnya dana dalam semua level institusi pendidikan disebabkan oleh rendahnya kemampuan melakukan fundrising atau penggalian dana , dengan kata lain ketiadaan atau rendahnya jiwa kewirausahaan (interpreniurship). Untuk mengatasi dana tersebut mestinya dalam setiap institusi memiliki tim think thank, tim kreatif yang mampu menjual potensi yang dimiliki.
Untuk itu setiap institusi harus punya keunggulan komparatif maupun kompetitif, dan jangan hanya mengandalkan proposal untuk memperoleh sisa anggaran. Bagi dunia perguruan tinggi penulis yakin banyak hasil inovasi dan riset yang bisa dipatenkan dan menggunakan royaltinya untuk membiayai pengembangan akademiknya. Pada level sekolah dapat menjadi pioner bagi home industri atau yang lainnya tergantung potensi siswa dan wilayah tempat sekolah berada. Memang ini tidak mudah, namun harus dicoba secara intensif.

Pentingnya Komitmen Daerah
Ketika anggaran APBN tidak ada, sebetulnya pada level bawah dapat melakukan kebijakan yang berpihak terhadap dunia pendidikan, terlebih dalam banyak hal urusan pendidikan telah diotonomikan. Daerah mestinya dapat menjadikan pendidikan yang spesifik sebagai kekhasan wilayahnya sebagaimana di propinsi Yogyakarta. Pendidikan di Jembrana atau di Bantul (sebelum dilanda Gempa 27 Mei 2006) semestinya dapat menjadi model bagi pendidikan di daerah lain, dimana Bupati concern terhadap kemajuan pendidikan di wilayahnya.

Waiting For Godod
Menanti anggaran pendidikan minimal sebesar 20% dari APBN sama saja menanti “durian runtuh” alias rejeki nomplok. Namun untuk beberapa waktu seluruh stakeholder pendidikan rasanya harus sabar, dan berlatih untuk sabar sambil berkreasi, berinovasi, untuk mencari jalan keluar. Meskipun demikian kiranya sangat perlu untuk diperjuangkan secara fair, dan pemerintah seharusnya ada niatan baik untuk merealisasikannya, sebab mereka jadi penguasa juga karena jasa dunia pendidikan juga.
Tanpa adanya komitmen yang sungguh-sungguh dari pemerintah untuk merealisasikan anggaran tersebut maka penantian tersebut akan sia-sia bak waiting for Godod.

Sintesa Dua Zaman

Sinthesa Dua Zaman

Zaman selalu berubah. Perubahan zama selalu diikuti perubahan mainstream. Mainstream tradisional akan berubah ketika zaman telah modern. Mainstream zaman modern dengan sendirinya bergeser ketika gerbang posmodern terbuka. Pertarungan mainstream sama halnya dengan kemunculan thesa yang selalu diikuti antithesa untuk bersintesis membentuk thesa baru.
Seni sejujurnya merepresentasikan zamannya. Hancurnya seni yang bercorak tradisional berarti matinya mainstream tradisional, dan munculnya seni kontemporer pertanda hidupnya mainstream modern atau posmodern.
Jika kita cermati spektrum kesenian dimasa sekarang sejujurnya terjadi polarisasi khususnya berkaitan dengan etika atau moral berkesenian. Dalam perspektif tradisional etika adalah bagian yang selalu melekat dalam entitas apapun, termasuk seni.
Sedangkan dalam perspektif posmodern etika bersifat relatif, etika ada dan ada pemiliknya. Di posmodern particullar pattern lebih dikedepankan dibanding universal pattern. Dalam posmodern adagium seni untuk seni berlaku secara masif. Ruang seni terbuka selebar-lebarnya, kebebasan berekspresi memperoleh ruang yang semakin luas.
Sayangnya euforia posmodern menjadikan seniman kita terjebak dalam ego estetik. Akibatnya banyak seniman kita yang melakukan truth claim atau kaim-klaim kebenaran terhadap segala aktifitas seni atau proses kreatif yang dilakukan. Bugil dibilang seni, erotis dibilang sexy, dan masih banyak lagi. Bagi mereka segala kritik hanya dianggap macan kertas, atau malah balik menyerang pengkritik dengan mengatakan pengkritik saja yang pikirannya selalu ngeres.
Dalam mengarungi posmodern proses berkesenian kita terlalu figural dimana teks-teks kultural terabaikan dan pleasure principle atau prinsip kenikmatan yang berangkat dari ketidaksadaran menjadi pilihan utama.
Prinsip ini tidak saja mengundang kontroversi dalam etika timur yang relatif melekat dalam kultur masyarakat kita tetapi juga memperlebar gap pelaku seni dengan penikmat seni.
Banyak pelaku seni kita yang karena memuja posmodern secara masif menjadi kehilangan fans, kehilangan daya magnetik yang pada gilirannya mengubur karir berkeseniannya.
Memandang mainstream posmodern mestinya tidak skeptis. Ada sisi-sisi yang harus diperhatikan. Kita mesti mensinthesakan mainstream tradisional dengan mainstream posmodern. Keduanya harus berlangsung sebuah dialektika untuk mewujudkan sebuah seni bercorak kontemporer namun tetap beretika. Disini etika berharmonisasi dengan estetika.

kaleidoskop politik pendidikan nasional

Pendidikan sejati semakin sulit ditemukan di negeri ini. Pendidikan sejati sebagai sebuah pemanusian manusia semakin tidak terdengar gaungnya. Yang tersisa hanyalah pendidikan untuk mengisi job tertentu di industri atau birokrasi. Dunia pendidikan kini ‘bertekuk lutut’ pada market demand, permintaan pasar. Akibatnya sering terjadi booming lulusan dengan spesifikasi atau jurusan yang sama, yang pada akhirnya merugikan jurusan itu sendiri, seperti ditutup atau dihapusnya jurusan tertentu di perguruan tinggi. Penutupan atau penghapusan jurusan sebenarnya adalah sesuatu yang aneh karena kebijakan ini berarti menafikkan kajian ilmu tertentu.
Lebih memprihatinkan lagi dari waktu kewaktu pendidikan nasional semakin menunjukkan kegagalannya dalam mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya. Yang ada hanyalah out put dengan outcome rendah , fragmentasi masyarakat ‘sakit’, utamanya masyarakat yang menderita schizofrenia yakni masyarakat yang tahu hukum tetapi suka melanggar, tahu larangan tetapi diterjang, dan tahu kewajiban namun senantiasa ditinggalkan. Pemikiran kritis tentang upaya reengineering pendidikan selalu mentok dan hanya dianggap sebagai macan kertas.
Semua realitas di atas bukannya tanpa sebab, sebab di dunia ini selalu berlaku hukum kausalitas, ada sebab pasti ada akibat. Politik pendidikan nasional sejatinya memberi andil—untuk tidak dikatakan menjadi penyebab utama-- karena apa yang terjadi di lapangan adalah manifestasi dari regulasi yang ada.
Setiap undang-undang sistem pendidikan nasional pastilah tidak steril dari berbagai kepentingan, utamanya kepentingan pragmatis dan kepentingan ideologis. Kepentingan pragmatis dapat berupa upaya mempertahankan kekuasaan atau mengeruk materi, sedangkan kepentingan ideologis berkaitan dengan upaya menggiring masyarakat pada ideologi atau paham tertentu yang dikehendaki penguasa.
Semenjak kemerdekaan sampai dengan era reformasi perjalanan politik pendidikan nasional telah mengalami tiga kali perubahan. Yang pertama adalah kebijakan pendidikan di era orde lama ditahun 1954. Pada masa ini penekanan kebijakan pendidikan pada isu nasionalisasi dan ideologisasi. Penekanan pada kedua bidang tersebut tidak lain karena masa tersebut masa krusial pasca kemerdekaan dimana banyak konflik yang mengarah pada separatisme dan terjadi interplay (tarik ulur) antara pihak yang sekuler dengan agamis.
Implikasi dari kebijakan politik pendidikan pada waktu itu adalah terbentuknya masyarakat yang berjiwa nasionalis dan berpatriot pancasila. Kebijakan politik tersebut sejatinya berupaya menjadi win-win solution dengan mengakomodasi semua kepentingan. Di sini terjadi konfesi (pengakuan) terhadap keanekaragaman baik budaya, seni, maupun agama. Pada dasarnya upaya membangun nasionalisme melalui pendidikan relatif berhasil, hanya saja kurang diimbangi dengan kebijakan yang lain sehingga kemelut bernegara selalu ada di masa tersebut.
Kebijakan politik pendidikan nasional yang kedua adalah dimasa orde baru, yakni dengan dikeluarkannya undang-undang sistem pendidikan ditahun 1989. Berbeda dengan kebijakan di era orde lama, kebijakan di era orde baru memberi penekanan pada sentralisasi dan birokratisasi.
Di masa ini jalur birokrasi sebagai sebuah kepanjangan tangan dari pusat sangat kental. Orang-orang daerah didoktrin sedemikian rupa sehingga menjadi kader-kader yang ‘yes man’, selalu bertaklid buta terhadap kepentingan pusat. Akibat yang terjadi dari kebijakan ini adalah matinya daya kritis, daya kreatif dan daya inovatif, yang ada hanyalah birokrat yang “sendikho dhawuh’. Bahkan sistem pada masa ini berhasil membunuh idealisme. Orang-orang atau cendekia yang idealis, kritis, dan inovatif tiba-tiba memble ketika masuk pada jalur birokrasi.
Di era ini pula terjadi penyeragaman-penyeragaman sehingga budaya daerah, seni daerah, dan kearifan lokal mengalami nasib yang tragis, bahkan banyak yang telah mati. Yang tersisa hanyalah seni dan budaya yang sifatnya mondial. Bahkan istilah Bhinneka Tunggal Ika yang sejatinya bermakna berbeda-beda tetapi satu jua telah dimaknai menjadi sesuatu entitas yang seragam, ya serba seragam.
Kebijakan politik pendidikan nasional yang ketiga adalah kebijakan pendidikan di era reformasi. Kebijakan ini ditandai dengan dikeluarkannya Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional N0 20 tahun 2003. Di era reformasi ini penekanannya terletak pada desentralisasi dan demokratisasi. Kewenangan yang semula terletak di pusat dan berjalan secara top-down diubah dengan memberi kewenangan daerah yang lebih luas sehingga pola yang berjalan adalah bottom-up.
Regulasi yang relatif longgar di era reformasi ini ternyata belum memberi angin segar bagi dunia pendidikan, bahkan banyak potensi untuk diselewengkan dengan mengambil dalih demokratisasi dan desentralisasi.Demokrasi telah menjadi kebebasan dan desentralisasi daerah telah menjadi keangkuhan daerah.
Bahkan di era ini semakin jelas keterpurukan masyarakat miskin karena semakin sulit mengakses pendidikan tinggi. Lebih dari itu implementasi kebijakan pendidikan yang demokratis dan mengedepankan potensi daerah semakin dinafikkan. Sistem evaluasi yang masih terpusat, kekerasan dalam pendidikan, dan banyaknya penyimpangan dalam proses pendidikan semakin memberi catatan buram bagi pendidikan di era reformasi ini.
Sejatinya kata-kata yang tercantum dalam setiap undang-undang tersebut sudah enak dibaca dan didengar, namun implementasi yang konsekuen yang tidak pernah terwujud. Kita memang bangsa yang konsekuen pada ketidakkonsekuenan !!.

mEMBANGUN pENDIDIKAN kRITIS

TUJUAN akhir setiap manusia sejatinya adalah humanisasi atau menjadi lebih humanis. Untuk mencapai tujuan tersebut manusia senantiasa menggali potensinya dengan suatu proses kontinyu yang dinamakan dengan belajar. Sayangnya proses tersebut selalu disederhanakan dengan sekolah dari SD dan akan berhenti setelah sarjana.
Slogan belajar sepanjang hayat telah berubah menjadi belajar sampai sarjana. Maka tidak mengherankan jika setiap individu berpacu untuk sekolah yang tinggi dengan harapan mampu menjadi manusia yang humanis.
Tanpa kita sadari sesungguhnya pendidikan yang terbatas pada ruang segi empat yang kita namakan kelas itu telah mereduksi sisi kemanusiaan kita (dehumanisasi). Pendidikan telah menjadi arena pemaksaan untuk mempelajari konsep-konsep ilmu yang begitu banyak, yang mungkin sudah usang, dan tidak ada kaitan langsung dengan kehidupan peserta didik.
Pendidikan hanya menjadikan individu-individu untuk beradaptasi dengan lingkungannya, bukannya merubah realitas yang ada. Maka tidaklah mengherankan jika kita seringkali mendengar istilah: sulit menjadi orang baik di lingkungan tidak baik. Hal ini sesungguhnya mengindikasikan bahwa ada keengganan untuk mengubah keadaan yang ada (sistem), tetapi sebisa mungkin menyesuaikan dengan sistem yang ada. Jika hal ini berjalan terus-menerus maka tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa akan menjadi cita-cita yang menggantung di langit, utopis, dan tidak pernah tercapai.
Paulo Freire, paedagogik kritis asal Brazil telah menggagas pentingnya pendidikan kritis melalui proses konsientisasi. Konsientisasi atau proses penyadaran adalah upaya penyadaran terhadap sistem pendidikan yang menindas yang menjadikan masyarakat mengalami dehumanisasi.
Pendidikan diharapkan mampu mendekonstruksi kenyataan sosial, ekonomi, dan politik dan merekonstruksi untuk menyelesaikan problem masyarakat. Dengan demikian pendidikan akan menjadi problem solver, bukan malah menjadi part of problem.
Membangun pendidikan kritis melalui upaya penyadaran (konsientisasi) sebagaimana yang ditawarkan oleh Freire tidaklah mudah. Pendidikan kritis tidak mungkin atau susah direalisasikan jika guru sebagai ujung tombak pembelajaran tidak memahami hakikat pendidikan kritis itu sendiri.
Daya kritis guru terlanjur digadaikan dengan juklak dan juknis dari atasan dan disibukkan dengan administrasi-administrasi yang menumpuk.
Realitas yang ada menggambarkan bahwa pendidikan kritis tidak mungkin segera dilaksanakan dalam waktu dekat. Untuk itu diperlukan strategi dan langkah-langkah untuk mencapainya. Langkah pertama yang paling strategis adalah memperbaiki konsep kurikulum lembaga keguruan sebagai pencetak calon guru. Lembaga ini harus mampu menghasilkan calon guru yang mampu menganalisis kurikulum untuk dikaitkan langsung dengan problem kehidupan yang ada, menjadi fasilitator, motivator, dan administrator. Kecenderungan yang ada selama ini adalah terbatasnya kualitas lulusan pada kemampuan sebagai administrator, sehingga guru kurang berhasil memerankan peranan sebagai fasilitator dan motivator yang baik.
Langkah kedua adalah mengubah proses pembelajaran dari paedagogik ke andragogik. Pembelajaran yang bercorak paedagogik hanya akan menghasilkan budaya bisu (the cultural of silence). Di situ peserta didik diposisikan sebagai objek yang harus menuruti kemauan guru. Dengan pembelajaran yang bercorak andragogik maka peserta didik menjadi mitra belajar bagi guru itu sendiri.
Guru dan peserta didik menjadi sama-sama belajar, ada keharmonisan dan kehangatan dalam belajar karena keduanya merasa di - uwongke . Pembelajaran andragogik juga menekankan pada problem solver sehingga teori yang diajarkan akan menjadi pisau analisis terhadap realitas yang ada, bukannya terbatas sebagai alat untuk menjawab soal dalam ujian.
Langkah ketiga adalah mengoptimalkan kurikulum lokal. Kurikulum lokal yang selama ini diterjemahkan dengan muatan lokal harus benar-benar diberdayakan. Selama ini kurikulum lokal diposisikan sebagai pelengkap derita dan tidak dimanfaatkan untuk dijadikan sebagai sebuah keunggulan. Mestinya kurikulum lokal benar-benar menjadi branch image setiap sekolah di wilayah tertentu sehingga memperkaya keilmuan yang ada sekaligus konservasi terhadap keunikan-keunikan lokal, dan sebagai bentuk perimbangan terhadap globalisasi yang semakin liar.
Fleksibel
Langkah yang terakhir adalah kemauan dari Dinas Pendidikan Nasional untuk tidak lagi memosisikan diri sebagai God Father yang dapat membatasi daya kritis sekolah-sekolah di daerah. Dinas Pendidikan Nasional harus lebih fleksibel dalam menentukan kurikulum yang berlaku. Yang sangat penting adalah mengubah bentuk kegiatan ujian menjadi evaluasi.
Ujian Nasional yang dilaksanakan selama ini sangat menguras tenaga dan pikiran guru dan terlebih peserta didik. Keberhasilan ujian menjadi sasaran akhir setiap peserta didik, dengan mengesampingkan aspek lainnya. Bahkan banyak sekolah yang terpaksa mengorbankan mata pelajaran lainnya demi sukses di mata pelajaran yang diujikan secara nasional.
Sesungguhnya evaluasi dapat dilakukan setiap saat untuk mengetahui daya serap siswa atau ketercapaian kompetensi yang dicapai, akan tetapi hasil yang dicapai bukan menjadi alat untuk memvonis lulus tidaknya siswa. Evaluasi dijadikan pijakan langkah berikutnya guna lebih baik dalam proses pembelajaran dan penyelenggaraan sekolah.
Pendidikan kritis sangat diperlukan agar setiap manusia mengenal kediriannya, humanis, tidak kerdil dan reaktif terhadap perubahan yang terusmenrus. Membangun pendidikan kritis adalah tanggung jawab bersama seluruh stakeholder pendidikan (11).

mENJADI PEMIMPIN BISNIS YANG BERETIKA

Menjadi Pemimpin Bisnis yang Beretika
















Data buku:
Judul : Sustainable Growth
Penulis: Andrias Harefa
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: Pertama, 2007
Tebal : x + 141 halaman

Dalam dunia bisnis di Indonesia dikenal apa yang dinamakan konglomerat hitam. Istilah konglomerat hitam diberikan kepada para konglomerat yang melakukan praktik-praktik melawan hukum dan tidak mengindahkan prinsip-prinsip luhur dalam menjalankan bisnisnya. Dalam dunia bisnis, istilah yang menjadi acuan adalah business of business is business. Dalam prinsip ini tidak ada kaitannya antara etika dengan bisnis.
Maka menjadi sesuatu yang dipandang tidak tepat ketika istilah ethical disandingkan dengan istilah business. Kedua istilah tersebut dipandang dua hal yang berbeda dunianya. Mereka yang suka bicara bisnis tidak suka bicara etika, dan yang sering bicara etika umumnya bukan orang bisnis. Premis tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak mudah menjadi pebisnis yang beretika, dan sebaliknya tidak mudah orang yang memegang teguh prinsip etika untuk berbisnis. Namun perlu digaris bawahi bahwa tidak mudah bukan berarti tidak mungkin.
Pertanyaan yang muncul dari uraian di atas adalah bagaimana langkah atau upaya menyandingkan bisnis dan etika agar terwujud apa yang dinamakan ethical business leader?. Buku yang ditulis oleh Andrias Harefa dengan judul Sustainable Growth ini mengurai strategi dan langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk mewujudkan ethical business leader. Buku ini merupakan intisari pemikiran dan pengalaman Januar Darmawan membangun bisnis selama 40 tahun lebih dan melatih ratusan pemimpin bisnis.
Untuk menjadi ethical business leader menurut pemikiran Januar Darmawan selalu diawali dengan dua pernyataan mendasar, sebagai pijakan filosofis dalam berbisnis. Kedua pertanyaan tersebut adalah ; pertama; dengan cara apa atau bagaimana ia mau mendapatkan uang, dan kedua; dengan cara bagaimana ia akan menggunakan uang yang telah diperoleh tersebut.
Ada dua jawaban mendasar untuk setiap pertanyaan tersebut di atas. Untuk pertanyaan pertama jawabannya adalah dengan cara yang beretika, memegang prinsip-prinsip hidup yang luhur seperti keadilan, kejujuran, kerja sama, dan sebagainya. Dan jawaban kedua untuk pertanyaan pertama adalah dengan cara non etik, dengan prinsip BOB ASU (Biar Orang Buntung Asal Saya Untung). Dengan mengambil jawaban pertama diyakini tidak akan membuahkan kesuksesan yang cepat, namun akan sustainable (langgeng).
Jawaban untuk pertanyaan kedua sejatinya telah dimulai dari jawaban pertanyaan pertama. Jika pilihan menjalankan bisnis dengan etika maka hasil yang diperoleh akan dipergunakan untuk hal-hal yang sesuai dengan etika, dengan cara-cara yang memuliakan harkat dan martabat manusia. Dan jika pilihan jawaban pertama menjalankan bisnis dengan tidak mengindahkan etika maka hasil yang diperoleh juga jauh dari hal yang bersifat kesalehan sosial. Pilihan dari kedua jawaban tersebut menjadi landasan filosofis dalam berbisnis, dan selanjutnya untuk mewujudkan bisnis yang beretika membutuhkam kendaraan (misi), strategi, dan tata organisasi.
Kaitannya dengan tata organisiasi, Januar Darmawan menawarkan model struktur organisasi bisnis yang lebih bersifat mendatar (flattening). Berbeda dengan struktur lama yang bersifat struktural-hierarkis, model mendatar lebih taktis dan lebih menghargai downline. Pemimpin lebih bersifat koordinatif, dan pelaksana dianggap sebagai manusia yang berkemampuan. Dalam posisi ini maka pekerja mendapatkan trust (kepercayaan) dari pemimpin atas integritas dan terutama watak atau karakter orang yang bekerja.
Dalam mengoptimalkan tata organisasi yang bersifat mendatar Januar Darmawan menggunakan teori empat lensa. Teori ini diilhami oleh filosofi Deming. Filosofi Deming merupakan ajaran pokok William Edwards Deming, salah satu mahaguru manajemen kualitas, yang menawarkan Theory (System) of Profound Knowledge. Ajaran pokok William Edwards Deming terdiri atas 14 butir yakni: organisasi harus memiliki tujuan, pimpinan harus dapat menjadi panutan bagi anggota organisasinya, hilangkan ketergantungan terhadap inspeksi massal, jangan menyandarkan keputusan bisnis berdasarkan harga termurah saja, perbaikan proses secara terus-menerus, pelatihan dan pelatihan ulang, kepemimpinan, hilangkan ketakutan dan kesungkanan yang menghambat komunikasi, hilangkan batas-batas antar departemen atau antar unit bisnis, hilangkan slogan-slogan kosong, hilangkan ketergantungan terhadap target, tumbuhkan kebanggaan dalam bekerja, tingkatkan diri terus menerus, dan yang terakhir laksanakan (do it).
Empat belas butir filosofi Deming di atas oleh Januar Darmawan dipahami dengan mempelajari empat lensa yang berbeda satu sama lain, tetapi saling terkait dan tidak bisa dipisahkan dalam penerapannya. Teori empat lensa meliputi ; berfikir sistem untuk memimpin sistem, memahami variasi dalam perencanaan dan pemecahan masalah, memahami pengetahuan agar bisa melakukan perbaikan, dan memahami manusia (dalam aspek faktor yang mempengaruhi tindakan).
Langkah terakhir dalam upaya mewujudkan bisnis yang beretika dan langgeng (sustainable) adalah membangun budaya kerja unggul. Membangun budaya kerja unggul bukanlah pekerjaan mudah bagi seorang pemimpin. Shifting culture atau pergeseran budaya tidak dapat dilakukan dengan tiba-tiba, tetapi membutuhkan waktu, karena itu untuk menggeser budaya lama lebih baik dilakukan dengan memperkenalkan budaya kerja yang baru secara bertahap.
Dalam memperkenalkan budaya baru manajemen puncak bertanggung jawab terhadap tumbuh kembangnya nilai budaya baru, untuk itu penting pemimpin untuk menjadi role model. Agar budaya unggul sustain, maka perekrutan karyawan ke depan harus ketat dan mengedepankan orang-orang yang visioner.
Buku ini layak dibaca oleh siapa saja yang ingin maju, yang suka akan perubahan. Buku ini menawarkan bagaimana berubah yang baik, bagaimana menjadi pemimpin bisnis yang beretika, bagaimana membangun bisnis yang langgeng dan senantiasa maju (sustainable growth). Kepiawaian Januar Darmawan dalam bisnis yang mengedepankan etika, prinsip-prinsip luhur, kerja sama dan sikapnya yang anti pada model konglomerat hitam patut untuk diteladani untuk membangun diri, keluarga, dan bangsa. Prinsip sustainable growth hendaknya menjadi pijakan bagi semua yang mau terus berkembang dan langgeng, sehingga yang didapat bukan keuntungan sesaat namun berkelanjutan.

PRESTASI SEBAGAI PRASASTI

Prasasti bukan sebagai artefak peninggalan Sang empunya sebagai bukti sejarah. Sesungguhnya prasasti lebih memberi gambaran akan eksistensi atas prestasi hidup yang telah dicapai. Gadjah Mada dengan Sumpah Palapa-nya memberi gambaran betapa besar prestasi yang telah dicapai dengan menyatukan bumi nusantara. Bung Karno dan Bung Hatta mewariskan naskah proklamasi yang senantiasa dibaca dan didengarkan setiap upacara peringatan kemerdekaan negeri ini. Dan W.R. Supratman mewariskan lagu Indonesia Raya yang menjadi alat pemersatu bangsa.
Torehan prestasi (yang telah menjadi prasasti) pendahulu kita sudah semestinya menjadi cambuk bagi generasi sekarang untuk berprestasi sebaik kemampuan yang dimiliki. Sayangnya dari hari ke hari prestasi kita dalam bidang ekonomi, olahraga, dan teknologi semakin tertinggal dengan bangsa lain.
Di SEA Games kita bukan langganan juara umum lagi, sepakbola kita tidak setangguh jamannya Rony Pattinasarani, bulu tangkis prestasinya tidak secemerlang zamannya Susi Susanti, ekonom kita tidak sekelas Bung Hatta, dan masih banyak lagi. Kini bangsa kita tertinggal oleh Singapura, Malaysia, bahkan Vietnam. Ketertinggalan tersebut sejatinya adalah dampak dari miskinnya kita atas prestasi dalam berbagai bidang.

Rusaknya Budaya Berprestasi
Motivasi berprestasi adalah produk budaya. Budaya tersebut datang secara intrinsik dalam diri individu dan secara ekstrinsik yang datang dari luar individu. Budaya berprestasi tidak akan pernah ada jika tidak diciptakan. Masyarakat suku pedalaman tidak ada motivasi berprestasi karena tidak mau menciptakan budaya prestasi. Budaya tersebut enggan diciptakan karena berbagai alasan, bagi suku pedalaman yang enggan perubahan, tidak berubah adalah sebuah prestasi karena perubahan dianggap melunturkan budaya. Dan bagi masyarakat luas, tidak berprestasi bukan karena tidak mau, akan tetapi miskinnya akses dalam banyak bidang.
Yang lebih parah lagi adalah hijrahnya intelektual kita ke luar negeri (brain drain). Kondisi tersebut tidak semata-semata kesalahan pelakunya tetapi budaya penghargaan yang rendah dari pemerintah atas prestasi yang diraih setiap anak bangsa.
Membangun budaya berprestasi membutuhkan sistem yang kondusif. Sistem diciptakan oleh pranata sebagai produk kebijakan. Kebijakan yang tidak memihak kepada budaya berprestasi tidak jarang menimbulkan masyarakat frustasi, dan yang lebih parah lagi menjadi ‘dukun’ yang mengaborsi bibit-bibit intelektual.
Di negara tercinta ini aborsi intelektual menjadi budaya yang jamak kita temui. Anak-anak yang sebenarnya berbakat dan berpotensi tiba-tiba menjadi mandul intelektualnya karena sistem yang merusak. Olahragawan yang sewaktu berusia anak-anak berprestasi kaliber internasional tiba-tiba diusia emasnya menjadi hilang spirit dan karakternya sehingga tak secemerlang dimasa kecilnya. Itu semua adalah sedikit dari bukti betapa sistem kita merusak budaya berpretasi.
Sistem yang merusak tersebut ada dalam berbagai lini, dari mulai pendidikan, perekrutan pegawai negeri, lembaga peradilan, dan masih banyak tempat lagi. Dalam pendidikan jelas kita lihat dari penyelenggaraan ujian nasional yang dijadikan sebagai syarat mutlak kelulusan menjadi media yang sangat berpotensi merusak dan mengaborsi bibit-bibit intelektual. Pengaborsian bibit-bibit intelektual juga terjadi dalam dunia pendidikan tinggi ketika akses masuk perguruan tinggi mengutamakan orang-orang the have dan menafikkan rakyat miskin yang sebenarnya berpotensi, terlebih setelah ada kebijakan BHMN.
Sistem yang bersifat merusak yang telah tersemai semenjak masuk gerbang sekolah akan menjadi menggurita ketika masuk dalam lingkungan kerja dan lingkungan birokrasi. Bahkan sedikit orang yang idealis jika masuk dalam birokrasi akan dihadapkan dalam dua masalah besar. Idealis akan kehilangan koneksi dan melebur akan kehilangan nurani.
Lingkungan yang krodit menyebabkan seseorang menempuh jalan pintas, instan, dan cenderung pragmatis. Maka istilah-istilah seperti ; kalau ada yang pintas, ngapain cari yang susah-susah, kalau bisa pragmatis ngapain harus idealis menjadi tradisi yang mendarah daging. Tradisi yang demikian menyebabkan budaya berprestasi akan luntur.

Reenginering Budaya Berprestasi
Realitas yang kurang bersahabat dengan budaya berprestasi belumlah terlambat untuk dilakukan perubahan. Syaratnya hanyalah kemauan dan komitmen. Idealnya perubahan itu diawali dari dunia pendidikan, sebab merupakan persemaian intelektualitas dan kepribadian generasi mendatang. Yang kita butuhkan dalam dunia pendidikan adalah kurikulum perubahan yang di dalamnya menanamkan jiwa yang setia pada komitmen.
Kurikulum perubahan hanya mampu diterjemahkan oleh guru yang inovatif, bukan guru yang mekanis yang tugasnya hanya menyelesaikan target kurikulum. Inovasi adalah penting karena inovasi adalah prestasi itu sendiri. Berinovasi bukanlah bentuk penyimpangan dari kurikulum, merupakan sebuah pengayaan, semacam diversifikasi.
Dalam kurikulum perubahan yang membutuhkan guru inovatif penting untuk ditanamkan komitmen. Komitmen tersebut berupa komitmen untuk senantiasa berinovasi, dan jauh dari rasa cepat puas atas inovasi yang telah dilakukan.
Perubahan dari budaya mandul prestasi menuju budaya berprestasi tinggi yang telah dimulai dari dunia pendidikan harus diimbangi dalam segala lini birokrasi. Intinya sekat-sekat yang menghambat budaya berprestasi harus dihilangkan. Yang dibutuhkan adalah kerja sama yang sinergis. Pemerintah memfasilitasi, dunia pendidikan menanamkan intelektual dan kepribadian yang menghargai prestasi, dan pihak swasta menjadi sponsor upaya berprestasi.
Dan yang terpenting sesungguhnya kemajuan dan harga diri bangsa adalah akumulasi dari prestasi setiap warganya. Prestasi yang tinggi adalah prasasti kehidupan bagi pelakunya. !!

kemerdekaan seorang guru

Mencermati judul di atas, kita akan gelisah dan bertanda tanya, apakah guru-guru kini belum merdeka ?. Jika belum maka siapa yang menindas?. Pertanyaan tersebut akan terus berkembang dan berakhir pada kemerdekaan seperti apa yang diharapkan oleh para guru.
Belakangan ini semakin banyak guru-guru dan organisasi guru seperti Forum GTT (Guru Tidak Tetap) yang melakukan aksi unjuk rasa. Tuntutan yang disampaikan oleh para guru berkisar realisasi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN, perbaikan kesejahteraan, pengangkatan guru swasta menjadi PNS dan seputar kebijakan Ujian Nasional.
Maraknya tuntutan guru melalui unjuk rasa dan semakin bermunculannya organisasi guru mengindikasikan guru mulai gerah terhadap realitas praxis pendidikan di tanah air. Kini guru semakin menyadari bahwa membentuk organisasi profesi yang independen penting untuk diwujudkan untuk ‘memerdekakan diri” dan membangun pendidikan yang sesungguhnya.
Sebagai seorang guru, penulis menyadari betul sebab-sebab kegelisahan yang dialami teman sejawat. Pengkebirian profesi melalui slogan pahlawan tanda jasa, nasib GTT yang terus menggantung, dan ancaman PHK yang tak terduga dari yayasan merupakan sebagian kecil dari bentuk penindasan terhadap guru. Belum lagi kerja guru model kontrak dengan yayasan yang sebenarnya meniru pola di industri. Memang disatu sisi memacu kualitas, namun di sisi lain adalah penindasan psikologis.
Bentuk penindasan yang lain dalah adanya sistem ujian yang memasung otoritas guru dalam menentukan kelulusan siswanya disamping minimnya ruang aktualisasi guru.
Kemerdekaan Guru
Guru sebagaimana manusia lainnya tentu saja menginginkan kemapanan dan aktualisasi diri. Jika kebutuhan dasarnya saja belum terpenuhi dengan baik, bagaimana akan beraktualisasi? Dan jika tidak mampu beraktualisasi (dalam hal profesi dan keilmuan) bagaimana mampu menjalani profesinya dengan baik?. Kita mesti bertolak dari hierarki kebutuhan menurut Maslow dengan menempatkan kebutuhan dasar sebagai prasyarat utama dan aktualisasi diri sebagai kebutuhan akhir. Standar minimal gaji guru sesuai kebutuhan dasar harus dipikirkan sehingga dapat hidup layak. Dengan kata lain kinerja guru harus baik sesuai dengan kemampuan yang dimiliki dan memperoleh upah sesuai dengan kebutuhannya.
Selama ini yang didapati adalah kejadian yang memprihatinkan. Gaji guru (swasta) di bawah upah minimum propinsi, tidak ada jaminan kerja, tidak ada asuransi, dan tidak ada aturan yang jelas bagi guru yang mengabdi di yayasan. Pada posisi tertentu posisi pemilik yayasan seperti pemilik modal atau alat produksi, sedangkan posisi guru sebagai buruh sehingga yang muncul adalah relasi majikan –buruh.
Dari uraian ini maka disimpulkan bahwa kemerdekaan pertama yang diharapkan adalah adanya gaji yang sesuai dengan kebutuhan dasar hidup dan atmosfer kerja yang sifatnya kemitraan, bukan majikan-buruh.
Setelah kebutuhan dasar dan relasi kerja maka kemerdekaan lain yang diharapkan adalah kemerdekaan untuk beraktualisasi. Artinya guru-guru memperoleh ruang gerak untuk beraktualisasi. Aktualisasi yang diharapkan adalah kebebasan untuk berinovasi dan berdaya kreasi dalam pengembangan pendidikan. Memang ruang itu seringkali telah diciptakan, namun di sisi lain dikebiri karena sistem ujian yang absolut.
Solusi
Uraian problematik di atas perlu disikapi dan ditindaklanjuti. Jika tidak maka “pemberontakan” guru atas nasibnya akan menjadi pertanda buruk bagi peningkatan kualitas pendidikan nasional. Kita tidak boleh membiarkan kondisi ini sehingga para guru mutung dan nglokro atau pindah profesi lain. Kita tidak boleh apatis dengan menyatakan “salah sendiri memilih menjadi guru” karena pernyataan itu menyakitkan dan kontra produktif bagi kultur pendidikan di tanah air.
Pengambil kebijakan mestinya respek dan menghargai upaya yang dilakukan oleh guru, dengan catatan tidak boleh menggumbar janji, karena hanya akan memunculkan akumulasi kekecewaan. Adanya BKG (Bantuan Khusus Guru) dan dana APBD 1 dan APBD 2 merupakan respon yang positif, kedepan perlu dikaji standar minimalnya.
Dalam kaitannya dengan menciptakan ruang aktualisasi bagi guru, maka pemerintah harus mengembalikan otoritas guru dalam pengembangan kurikulum dan penentuan kelulusan siswanya.
Ruang aktualisasi menjadi sangat penting saat kejumudan dalam pendidikan kian dirasakan. Di sinilah sebenarnya ruh pendidikan itu ada. Tugas pemerintah hanyalah menyusun grand kurikulum, menjadi supervisor atau menjadi penyelia. Posisi ini akan menguntungkan bagi proses pengembangan keilmuan pendidikan dan peletakan dasar-dasar inovasi pendidikan.
Kemerdekaan guru adalah hak bagi setiap guru. Jika guru tidak merdeka, bagaimana bisa memerdekakan muridnya??.

KEKUASAAN ADALAH INVESTASI

Belakangan, beberapa wilayah di tanah air menyelenggarakan pilkada. Setiap kali penyelenggaraan pilkada selalu banyak hal yang menarik untuk dicermati. Selalu ada saja kejadian-kejadian unik, menggelikan, dan kadang tidak bisa diterima oleh akal sehat (common sense). Money politics, amuk massa, ribut antarpendukung calon, serangan fajar, pembunuhan karakter, klenik, dan golput merupakan sebagian dari kejadian-kejadian dalam pilkada. Dalam momen ini pula muncul tim sukses, tim yang selalu sukses terlepas dari menang atau kalah calon yang diusung.
Pilkada kadang tidak ubahnya seperti judi, yang menang untung, yang kalah buntung. Agar tidak buntung, maka ditempuh banyak cara. Money politics merupakan kejadian yang mudah untuk ditemukan. Praktiknya dapat beragam, seperti memberi sumbangan ke tempat ibadah, sumbangan untuk fasilitas umum, sampai memberi amplop kepada pemilih melalui serangan fajar, persis saat hari H pemilihan. Apalagi jika calon adalah pejabat lama yang masih berkuasa, di sini posisi sebagai kepala daerah dan calon kepala daerah susah dibedakan. Dan posisi ambigu inilah yang dinanti-nanti.
Pasca pilkada, amuk massa merupakan kejadian yang sering muncul ke permukaan. Massa kecewa karena calon yang didukung kalah. Calon yang kalah menuntut secara hukum, sementara grass root yang mendukung dibiarkan menempuh dengan nalarnya sendiri. Pembakaran, vandalisme, dan pengerusakan adalah cara yang ditempuh.
Pilkada (yang katanya) sebagai ajang belajar demokrasi selalu memakan biaya yang tidak sedikit (height cost learning). Bahkan untuk pemilu tahun 2009 anggaran yang diusulkan di atas anggaran pendidikan nasional, fantastis bukan. Atas realitas tersebut, dengan mudah kita membaca bahwa hajat demokrasi bergeser ke proyek demokrasi yang sarat dengan korupsi dan kolusi.

Investasi jangka pendek
Nalar peserta pilkada sejatinya mudah dibaca. Pragmatis dan picik. Pragmatis karena berorientasi pada kekuasaan yang menghasilkan materi, dan picik karena menempuh berbagai cara untuk menang. Meskipun tulisan ini bukan berdasar atas investigasi, namun kita dapat melihat realitas dengan mata telanjang.
Menjadi kepala daerah dengan biaya yang tidak sedikit, jika dihitung secara jujur sebenarnya rugi. Mari kita hitung-hitungan, untuk menjadi bupati tidak cukup dua milyar rupiah. Kekuasaan yang dipegang hanya lima tahun. Jika gaji yang diterima sebesar 10 juta (dibuat besar) per bulan, maka dalam satu tahun gajinya 120 juta. Dalam kurun waktu lima tahun total gaji yang diterima sebesar 600 juta. Jadi selama lima tahun modal 2 milyar akan rugi 1, 4 milyar. Itu hitung-hitungan berdasar nalar penulis yang tentu saja berbeda jauh dengan nalar calon penguasa.
Hitungan di atas, sekali lagi, berbeda dengan calon penguasa. Bagi mereka kekuasaan adalah investasi. Investasi yang bunganya eksponensial, melebihi bunga bank dan deposito. Yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana dengan waktu lima tahun kekuasaan menjadi investasi jangka pendek yang menarik. Pasti ada apa-apanya.
Benarlah apa yang dikatakan oleh Lord Acton, sejarawan asal Inggris yang menyatakan bahwa kekuasaan cenderung pada korupsi power tends to corrupt). Bahkan dengan kasar pernyataan Lord Acton tersebut bisa jadi diubah (atau malah telah diubah) menjadi berkuasa untuk korupsi, atau berkuasa untuk dapat proyek. Fenomena gila-gilaan dana kampanye adalah pembenaran atas pernyataan di atas sebelumnya.
Siapa sih yang mau rugi dalam kehidupan yang materialistik ini, semua pasti ada hitung-hitungannya. Ada kalkulasi untung dan ruginya. Dengan demikian pernyataan ini linier dengan “jual-beli” kekuasaan. Uang yang dijadikan modal dalam pilkada harus cepat-cepat kembali. Selanjutnya mudah ditebak, proyek ini itu diadakan, proyek yang sarat kolusipun segera tercipta.

Rakyat butuh solusi
Atas fenomena di atas, sejujurnya rakyat mulai bosan. Bahkan rakyat mulai merindukan romantisme stabilitas seperti di era Orde Baru. Dalam hati rakyat kecil mulai tumbuh benih-benih hasrat untuk bernostalgia dengan kemapanan, stabilitas, dan ketenangan hidup seperti zaman itu. Realitas di masyarakat ini sejujurnya menjadi pekerjaan rumah di era reformasi yang menjanjikan clean government.
Berubah atau tidaknya model pilkada dan demokrasi yang kita bangun sekarang ini ada dalam segelintir pengambil kebijakan dan tentu saja pada setiap individu yang berhasrat pada kekuasaan., tinggal ada niat baik atau tidak. Niat baik pengambil kebijakan adalah tidak menjadikan pilkada sebagai lahan proyek, dan niat baik dari setiap individu adalah menjadi pemimpin yang mampu merubah keadaan. Pemimpin adalah problem solver, jangan malah menjadi part of problem bagi masyarakat yang dipimpinnya.Pemimpin sejati tidak menjadikan otoritas yang dimiliki sebagai mesin uang, sebagai alat untuk memperkaya diri, apalagi sebagai lahan investasi. Pemimpin yang sejati tentu didapat melalui proses yang baik dan benar, dan menjauhkan praktik amoral dalam prosesnya. Sekali lagi, pemimpin sejati tidak pernah jual-beli kekuasaan. Kehadiran pemimpin sejati adalah harapan dari setiap masyarakat. Namun , harapan itu tinggal harapan jika praktiknya masih begini-begini saja, atau jangan-jangan pemimpin sejati hanya sekedar mitos ?.

Dan Henry Ford pun tak Lulus Sekolah

Tanggal 16 Juni nanti jika tidak diundur akan diumumkan hasil Ujian Nasional tahun ajaran 2006/2007 tingkat SMA dan sederajat. Seluruh stake holder sekolah tentu berharap-harap cemas menanti pengumuman itu, utamanya siswa sebagai peserta ujian. Dan seperti tahun-tahun sebelumnya, besar kemungkinan ada dua kejadian yang kontradiktif, yang lulus akan euforia dengan kelulusannya dan yang tidak lulus akan larut dan frustasi.

Makna kelulusan dari tahun-ketahun mengalami pergeseran. Zaman dulu, saat kekek nenek kita sekolah Ongko Loro lulus adalah prestasi yang luar biasa, sekarang lulus menjadi prestasi biasa – biasa saja. Dulu lulus itu “Wah”, sekarang cuma “Ach…”. Dan sebaliknya dulu tidak lulus itu biasa, sekarang luar biasa, bahkan ketidaklulusan kini menjadi semacam kecelakaan sejarah bagi perjalanan akademik peserta didik sehingga menimbulkan frustasi, vandalisme dan tindakan negatif lainnya.

Pertanyaan mendasar yang muncul adalah mengapa terjadi pergeseran makna kelulusan?. Menurut hemat penulis pergeseran makna itu disebabkan oleh banyak faktor antara lain: peluang kerja, biaya pendidikan, waktu, dan gengsi atau nama baik lembaga pendidikan. Zaman dulu untuk sekolah itu mudah, murah, dan berkualitas karena benar-benar menganut azas kompetensi meskipun tidak menamakan kurikulumnya dengan nama KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi). Karena kemudahan itu maka seseorang tidak akan frustasi berat jika tidak lulus dan akan mengulang dengan sungguh-sugguh untuk lulus. Dan seseorang yang lulus (saat itu) akan benar-benar kompeten dan menjadi rebutan pasar kerja atau menduduki jabatan dalam pemerintahan.

Kini kenyataan itu telah berubah, untuk memperoleh pendidikan memerlukan biaya yang tidak sedikit, waktu yang lama karena tidak cukup ongko Loro bahkan harus S2 atau S3 dan harus mahir bahasa asing (utamamnya Bahasa Inggris). Selain itu persaingan memasuki dunia kerja kini sangat kompetitif, sehingga menunda kelulusan berarti menanti pesaing yang semakin banyak.

Persoalan lain yang muncul adalah kini banyak sekali penyelenggara pendidikan sehingga persaingan antarlembaga sangat ketat, jika banyak siswanya yang tidak lulus maka institusi tersebut tinggal menunggu gulung tikarnya. Dan jika ada lembaga pendidikan yang gulung tikar, maka menimbulkan dampak sosial dan ekonomi bagi pengelola dan guru lembaga tersebut.

Lulus atau Lolos?

Mencermati apa yang terjadi dalam dunia pendidikan kita saat ini maka ada dua hal kejadian atau peristiwa yang mempunyai perbedaan secara mendasar yakni antara lulus atau lolos. Lulus tidak cukup hanya memenuhi standar atau syarat-syarat kelulusan yang ditetapkan dalam standar penilaian, namun juga mendeskripsikan proses yang sungguh-sungguh yang dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan, sedangkan konotasi lolos lebih sekedar upaya (sebagaimana meloloskan diri) untuk selesai dari permasalahan yang dalam ini menyelesaikan jenjang pendidikan. Kata lolos juga cenderung tidak fun dalam proses dan mengedepankan banyak cara dengan tujuan akhir: yang penting lulus. Dengan berlatar dari uraian ini maka menurut penulis pendidikan kita condong berorientasi pada meloloskan ketimbang meluluskan.

Kembalikan Makna Kelulusan

Kelulusan yang tidak bermakna hanya akan menambah permasalahan yang ujung-ujungnya memberi stigma buruk pada dunia pendidikan nasional. Pemerintah dan seluruh masyarakat pendidikan di tanah air wajib hukumnya untuk kembali menempatkan kelulusan sebagai prestasi yang bermakna bagi yang bersangkutan, lingkungan, dan tanah airnya. Jangan sampai lulusan sekolah atau perguruan tinggi justru menjadi beban bagi keluarga, lingkungan, dan negara.

Menjadikan lulusan yang bermakna tidak cukup hanya mempersulit kelulusan dengan melakukan ujian yang sulit dan ketat, apalagi yang sifatnya parsial dan kognitif belaka, ini adalah keputusan yang tidak tepat. Seharusnya ujian tersebut komprehensif dan tidak perlu pengawasan yang menakutkan karena siswa mestinya telah terbiasa dididik untuk jujur sehingga sifat jujur menjadi habitus (kebiasaan).

Lulusan yang bermakna dibentuk melalui proses yang panjang yang dilaksanakan dengan baik dan benar. Standar pelayanan minimal pendidikan harus benar-benar diwujudkan, jika tidak mampu mewujudkan idealnya sekolah tersebut merger dengan sekolah yang telah standar. Dengan upaya yang sungguh-sungguh dan benar-benar memberi skill kepada siswa serta dijiwai sikap jujur dalam berproses maka kelulusan akan benar-benar bermakna.

Hal lain yang penting untuk diperhatikan adalah memberi ruang gerak yang luas bagi lulusan pendidikan untuk memilih alternatif profesi, memberi kemudahan dalam mengakses pendidikan sehingga mengurangi frustasi akademik. Pada intinya adalah bagaimana pemerintah mampu mendesain sistem pendidikan yang nyaman, dalam arti murah namun berkualitas sehingga peserta didik akan terpacu untuk sungguh-sungguh dan mengedepankan kejujuran akademik. Upaya menciptakan lulusan yang berkualitas juga tidak cukup memperbaiki persekolahan, namun juga lapangan kerja sehingga daya serap yang tinggi dunia kerja terhadap lulusan akan menjadi pemacu untuk lulus dengan kualitas yang standar.

Bangsa ini perlu belajar pada Henry Ford yang dengan ketidaklulusannya pada jenjang SMA mampu menjadi interpreniur yang diakui dunia bahkan sistemnya dalam perindustrian menjadi model yang dikenal dengan Fordisme. Tidak lulus saja sudah begitu hebat, bagaimana kalau lulus? Besar kemungkinan ia akan lebih dahsyat.

Kelulusan adalah prestasi dan ketidaklulusan bukanlah kecelakaan sejarah, sebab Henry Ford pun tak lulus sekolah.

About Me

My photo
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Saya adalah seorang pendidik, alumni pasca sarjana dalam bidang pemikiran pendidikan. Essay-assay saya dipublikasikan di Kompas Jateng, Suara Merdeka, Gerbang, Rindang, Media Pembinan, detik.com, okezone.com Pernah Menjuarai penulisan ilmiah kelompok guru di harian Kedaulatan Rakyat, menjadi finalis lomba inovasi pembelajaran di UNNES, dan menjadi pemakalah terpilih dan pembicara dalam Konferensi Guru Indonesia tahun 2007. Tahun 2008 menjadi pemakalah dalam International conference on lesson study di Universitas Pendidikan Indonesia. Tahun 2009 terpilih sebagai penerima dana bantuan penulisan dari PUSBUK. Tahun 2010 menjadi pemenang harapan 3 lomba media pembelajaran tingkat nasional .Buku: 1. Kebijakan Publik Bidang Pendidikan.2. Profil Guru SMK Profesional 3. Editor buku Sejarah Kebudayaan Islam