Transformasi Manajemen Madrasah

Madrasah sebagai embrio pendidikan pribumi di Tanah Air menempati posisi strategis dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Sinergisitas corak kepesantrenan dan pendidikan formal tidak saja membekali peserta didik knowledge (pengetahuan) yang cukup, tetapi juga membentuk peserta didik dengan perilaku (behavior) yang relatif baik. Belakangan eksistensi madrasah mulai dibanding-bandingkan dengan sekolah umum yang oleh masyarakat diasumsikan lebih menjanjikan dari sisi kualitas pendidikan. Asumsi, stigma, dan apapun namanya adalah opini yang perlu kita cermati. Membicarakan madrasah sama halnya dengan membicarakan institusi/lembaga Islam yang menyelenggarakan pendidikan formal. Dan apapun yang namanya institusi/lembaga dalam perspektif Arie de Geus (dalam Kasali, 2006) merupakan sosok makhluk hidup (a living organism). Sebagai sosok makhluk hidup maka eksistensinya karena dilahirkan yang suatu saat akan sakit, tua, bahkan mati. Dalam kaca mata usia, madrasah yang telah lama ada digolongkan sebagai sosok makluk hidup yang telah tua. Karena usianya yang telah tua, madrasahpun tak dapat menghindar dari penyakit tua. Dalam usianya yang tua yang dibutuhkan adalah individu-individu yang membuatnya berjiwa muda, berpenampilan dewasa (bukan tua), dan perawatan yang baik agar fresh dan berenergi. Dalam konteks ini diperlukan transformasi manajemen madrasah, dari manajemen tradisional ke manajemen modern, dari pendekatan jadul ke pendekatan kekinian. Transformasi manajemen Munculnya banyak lembaga pendidikan baru disatu sisi menandakan menggeliatnya kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam pendidikan dan dilain pihak memunculkan potensi persaingan antar lembaga pendidikan. Baik pendidikan swasta maupun negeri kini menawarkan program unggulan. Ada yang mengklaim sekolah plus, ada yang model full day school, ada yang membuka kelas olimpiad, dan ada pula sekolah alam. Belum lagi sekolah yang terstandarisasi sehingga muncul RSBN, SSN, RSBI, dan SSI. Melihat fenomena yang ada, pengelola madrasah tidak boleh hanya menjadi penonton, apalagi alienatif. Madrasah mau tidak mau harus berevolusi dengan tidak menanggalkan core keilmuannya sebagai pendidikan yang bercita rasa pesantren. Evolusi dalam konteks transformasi manajemen madrasah dimaknai sebagai upaya mempertahankan dan melangsungkan madrasah untuk lebih adaptif, menyesuaikan diri, dan lebih berdaya untuk meneruskan eksistensinya. Transformasi manajemen madrasah dapat merujuk pada dua perubahan manajemen yakni perubahan operasional dan perubahan strategis. Perubahan operasional merupakan perubahan-perubahan kecil yang sifatnya parsial (Kasali, 2006). Dalam konteks madrasah perubahan parsial dapat berupa perubahan desain kurikulum, seragam sekolah, dan penampilan madrasah. Munculnya banyak sekolah yang uniform-nya mirip tentara merupakan strategis operasional yang bersifat parsial. Madrasah dalam perubahan operasional dan melakukan dekonstruksi kurikulum atas dasar filosofi KTSP, dan redesain tata organisasi madrasah agar lebih smart. Perubahan strategis (strategic change) mengarah pada tiga perubahan mendasar yang meliputi perubahan budaya dan nilai, perubahan arah/fokus, dan perubahan cara kerja. Dalam perubahan budaya (shift culture) tidak boleh tercerabut dari lingkungan madrasah dengan corak dasar kepesantrenan. Budaya unggul yang perlu ditanamkan adalah budaya equalitas (kesamaan) tanpa memandang nasab siapa sehingga kesenjangan kasta dan pengkultusan individu tereduksi, syukur-syukur dihilangkan dan diganti saling menghargai dan menghormati. Budaya ilmiah dengan penemuan, inquiri, dan pendekatan berbasis masalah harus lebih ditanamkan. Begitu juga budaya disiplin dan beretos kerja yang tinggi. Perubahan arah/fokus berorientasi pada keunggulan komparatif yang dibangun. Sebagai sekolah umum yang berciri khas agama madrasah tidak cukup memenuhi standar nasional pendidikan, tetapi harus lebih sebagai keunggulan komparatif yang dimiliki. Ibarat orang jualan, jika semua menjual kecap, maka madrasah harus menjual saos agar tetap diburu pembeli, sebab penjual kecap semuanya mengklaim kecapnya nomor satu. Keunggulan komparatif dapat dibangun dengan basis dua model, model pertama penguatan pada kitab turats dan model kedua pada diversifikasi pendekatan pembelajaran dan life skill untuk menghasilkan lulusan yang kuat dalam keilmuan dan memiliki skill yang sifatnya pragmatis. Perubahan strategis yang ketiga adalah perubahan cara kerja untuk meningkatkan efisiensi dan penghasilan dengan memanfaatkan sumber daya yang ada. Dalam perubahan cara kerja yang dibutuhkan oleh pengelola madrasah adalah bagaimana setiap kerja terukur, tidak sekedar berjalan apa adanya. Kerja terukur membutuhkan parameter atau standarisasi. Ini penting dilakukan agar setiap pekerjaan yang dilakukan ada ruh dan semangat kerja. Ruh dn semangat kerja menandakan kinerja yang sungguh – sungguh yang akhirnya bermuara pada hasil yang maksimal, man jadda wa jadda.

0 comments:

About Me

My photo
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Saya adalah seorang pendidik, alumni pasca sarjana dalam bidang pemikiran pendidikan. Essay-assay saya dipublikasikan di Kompas Jateng, Suara Merdeka, Gerbang, Rindang, Media Pembinan, detik.com, okezone.com Pernah Menjuarai penulisan ilmiah kelompok guru di harian Kedaulatan Rakyat, menjadi finalis lomba inovasi pembelajaran di UNNES, dan menjadi pemakalah terpilih dan pembicara dalam Konferensi Guru Indonesia tahun 2007. Tahun 2008 menjadi pemakalah dalam International conference on lesson study di Universitas Pendidikan Indonesia. Tahun 2009 terpilih sebagai penerima dana bantuan penulisan dari PUSBUK. Tahun 2010 menjadi pemenang harapan 3 lomba media pembelajaran tingkat nasional .Buku: 1. Kebijakan Publik Bidang Pendidikan.2. Profil Guru SMK Profesional 3. Editor buku Sejarah Kebudayaan Islam