Motif Mendirikan Sekolah: Motif Pendidikan atau Ekonomi?

Yayasan pendidikan semakin banyak berdiri di mana-mana. Dari yayasan pendidikan yang mengelola PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) sampai dengan yayasan pendidikan yang mengelola perguruan tinggi. Pendiri yayasan pendidikan pun bermacam-macam latar belakangnya, dari yang pribadi/keluarga, pondok pesantren/institusi keagamaan, organisasi sosial, dan lain sebagainya. Apa motif dibalik pendirian yayasan pendidikan yang semakin menjamur di Tanah Air?. Benarkan karena dana pemerintah yang sangat besar (20%) memiliki daya magnetik terhadap motif pendirian yayasan pendidikan di Tanah Air?.
Untuk menjawab pertanyaan di atas memang dibutuhkan penelitian yang mendalam, tidak bisa dijawab dengan serampangan karena akan mendeskriditkan pihak lain. Namun apa yang akan dipaparkan penulis dalam kasus ini adalah pengalaman penulis pribadi ketika diajak beberapa rekan untuk mendirikan sebuah yayasan pendidikan. Dari perbincangan awal dengan beberapa rekan dan saudara penulis secara eksplisit jelas menggambarkan bahwa motif pendirian yayasan pendidikan tidak lebih sebagai mesin uang karena memandang pendidikan merupakan kebutuhan bahkan candu bagi masyarakat modern, tak terkecuali masyarakat di Tanah Air. Mereka beranggapan bahwa sekolah merupakan ATM yang tidak ada matinya.
Sebagian besar memandang bahwa pendidikan merupakan lahan bisnis yang menggiurkan. Memang pandangan rekan penulis dari kaca mata bisnis tidak salah. Insting bisnis dalam ranah pendidikan merupakan sesuatu yang tepat dalam konteks masyarakat saat ini. Mari kita simak bagaimana biaya pendidikan di Tanah Air saat ini. PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) dan Taman Kanak-kanak saat ini biayanya sangat variatif. Dari yang tidak berkelas sampai yang memiliki label biayanya selangit, apalagi yang mengadopsi Full Day School. Biaya masuknya dalam kisaran tiga jutaan rupiah dan biaya bulanannya sekitar tiga ratusan ribu rupiah. Itu baru tingkat PAUD dan TK.
Dan semakin tinggi tingkat satuan pendidikan akan linier dengan tingginya biaya pendidikan, dengan catatan sekolahnya memiliki prestise, bukan sekolah dalam kategori biasa-biasa saja. Dan jika dikalkulasi dan dibandingkan dengan biaya operasional maka bukan hanya BEP (Break Event Point) yang didapat namun laba yang menggiurkan. Belum lagi mimpi-mimpi untuk mendapatkan bantuan atau block grand dari pemerintah dan lembaga donor lainnya. Sebuah bisnis yang menggiurkan bukan?.
Melihat perkembangan menjamurnya yayasan pendidikan di Tanah Air memang tidak bisa digeneralisasi bahwa yayasan-yayasan itu profit oriented. Dalam kaca mata penulis ada pula yang secara intens menanamkan ideologi agama, namun dengan catatan sekolah-sekolah tersebut tetap saja mahal?!.
Lalu salahkan pandangan dan orientasi yang profit oriented dan menjadikan sekolah sebagai lahan bisnis. Bukankah dalam GATS sendiri sekolah juga merupakan komoditas yang layak dibisniskan?. Dalam perspektif GATS (General Agreement of Trade in Service) pendidikan baik dalam tingkatan pendidikan dasar, menengah, tinggi, pendidikan orang dewasa, dan pendidikan lain merupakan perdagangan jasa. Dan namanya sebuah perdagangan tentu kompetisi demi mengejar profit adalah hal yang lumrah. Dan hal itu memang sudah dan akan terjadi di Tanah Air.
Jika sejak awal orientrasinya memang bisnis, maka praksisnya dapat ditebak akan terjadi disoerintasi dan rawan konflik. Baik konflik antara guru dan pengelola yayasan ataupun rasa ketidakpuasan siswa dan orang tua atas pelayanan akademik. Guru berpotensi mengeluh karena akan timbul relasi pengelola yayasan dan guru seperti relasi patron klien, tak ubahnya relasi majikan dan buruh. Dan ketidakpuasan siswa timbul karena motivasi guru yang akan melemah karena sibuk dengan keluhannya akibat konflik kepentingan dengan pengelola yayasan, pengadaan fasilitas pembelajaran yang terlalu ngirit, timbulnya biaya-biaya yang tidak terduga dengan mengatasnamakan pengembangan pendidikan, dan masih banyak faktor lainnya. Dan lambat laun sustainibilitas sekolah disanksikan jika kondisi yang demikian tidak disadari oleh pengelola yayasan.
Lalu bagaimana agar pendirian yayasan pendidikan membawa implikasi yang baik untuk stakeholder pendidikan?. Tidak ada salahnya kita komparasikan dengan pendirian sekolah di negara lain. Di Amerika Serikat yang notabene penggagas sekaligus pendorong GATS ternyata lebih realistis dan berorientasi pada eksperimentasi pendidikan dibanding motif ekonomi ketika sekelompok orang atau lembaga mendirikan sekolah baru.
Kasus ini dapat kita lihat ketika sekelompok guru Sekolah Negeri di Indianapolis dengan semangat tinggi menempuh perjalanan yang jauh untuk bertemu dengan Howard Gardner (penulis Frames of Mind) di Kutztown. Tujuan sekelompok guru yang terdiri atas delapan orang guru itu adalah untuk mendirikan sekolah dasar K-6. Motif pendirian sekolah dasar K-6 tersebut bukan semata-mata karena uang tetapi karena terinspirasi oleh teori MI (Multiple Intelligences) yang ditulis oleh Howard Gardner. Dari hasil sharing antara delapan guru dan Howard Gardner akhirnya disepakati pendirian sekolah dasar sebagai aplikasi teori Multiple Intelligences.
Dengan bimbingan Patricia Bolanos yang energetik dan visioner akhirnya delapan guru tersebut melakukan lobi, merencanakan kurikulum, dan setelah beberapa peristiwa yang menegangkan dan beberapa mengecewakan akhirnya diberi izin untuk mempunyai sekolah negeri “pilihan” di kota Indianapolis (Howard Gardner, 2003). Dalam perkembangannya sekolah eksperimentasi tersebut sangat sukses dan menjadi sekolah pilihan.
Dari kasus pendirian sekolah dasar di Indianapolis tersebut dapat menjadi inspirasi bagi kita bahwa mendirikan sekolah baru harus memiliki visi yang jelas, memiliki daya pembeda (be the different), dan membutuhkan kerja keras karena desain kurikulum dan model yang ditawarkan tidak sebagaimana sekolah yang sudah ada.
Mendirikan institusi pendidikan baru tidak cukup hanya karena memiliki modal, relasi, atau kekuasaan. Apalagi niatan utamanya menjadikan sekolah sebagai mesin ATM. Sekolah atau lembaga pendidikan baru harus mengadopsi prinsip be the first, be the best, dan be the different agar menjadi problem solver dan bukannya malah menjadi part of problem dalam perjalanan pendidikan di Tanah Air.

anomali sekolah gratis

Iklan sekolah gratis di layar kaca memang mengharukan. Narasinya heroik. Seorang bocah dari keluarga miskin menangis karena tak bisa sekolah. Tangisan tersebut berubah menjadi rasa optimistis ketika mendengar sekolah gratis. Bocah itu dan kedua orangtuanya berpelukan, bersyukur atas kebijakan yang didengar dari radio. Iklan yang melibatkan Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo itu diakhiri dengan kalimat penegasan: “Sekolah Bisa!”

Iklan yang kedua diperankan oleh Cut Mini. Berbeda dengan iklan pertama, iklan ini di-setting lebih pada dunia keseharian, yang melibatkan orangtua siswa dengan beragam profesi, antara lain tukang ojek dan sopir angkot. Iklan ini juga memberi pencerahan tentang profesi anak-anak di masa depan, tanpa memandang profesi orangtuanya. Iklan ini juga diakhiri dengan kalimat: “Sekolah bisa.”

Siapa pun yang menyimak iklan itu akan larut dalam situasi emosional. Tampak sekali ada pembelaan atas kaum papa. Iklan itu mengingatkan kita kepada John Comenius dalam masterpiece-nya Didactica Magna, sebuah Seni Pengajaran yang Agung. Inti dari Didactica Magna adalah “pendidikan untuk semua” (education for everyone), pencerahan bagi peserta didik, dan pendidikan sepanjang masa.

Iklan sekolah gratis di layar kaca tersebut menyiratkan makna bahwa sekolah memang untuk semua (education for all). Tidak memandang anak orang kaya atau miskin, berasal dari kota atau desa, tak membedakan laki-laki atau perempuan, dan dikotomi status lainnya. Rakyat Indonesia tentu mengamini apa yang disajikan oleh iklan tersebut. Harapan pun membuncah. Biaya untuk anak sekolah bisa digunakan untuk biaya hidup lainnya yang semakin hari semakin berat.

Pada kenyataannya situasi emosional yang tersaji dalam iklan berbeda dengan kenyataan di lapangan. Situasi emosional sebagaimana tersaji dalam iklan itu berubah menjadi situasi penuh amarah dan ketidakpercayaan.

Memang ada sekolah yang benar-benar gratis (tidak memungut uang ini itu), tetapi di sisi lain ada sekolah yang sangat mahal, bersembunyi di balik status sekolah. Seakan-akan iklan itu hanya untuk sekolah negeri yang biasa-biasa saja, namun bukan untuk sekolah negeri yang statusnya bertaraf internasional (RSBI) atau sekolah yang mengklaim sebagai sekolah plus. Klaim atas status tidak jarang menjadi alat dan alibi untuk menarik pembiayaan yang mahal, yang kadang di luar kalkulasi kita.

Bayangkan untuk masuk SD favorit biaya lebih dari Rp 5 juta, untuk masuk SMP favorit di atas Rp 7 juta, apalagi masuk SMA favorit tentu di atas Rp 10 juta. Anehnya, yang antre banyak sehingga semakin menyuburkan kapitalisme pendidikan di Tanah Air. Kondisi ini tentu bertentangan dengan konsep sekolah untuk semua. Dan iklan sekolah gratis itu seakan tidak punya pengaruh apa-apa.

Banyak sekolah (yang statusnya bagus atau favorit di lingkungannya) membuka pendaftaran sebelum masa pendaftaran resmi, dengan biaya mahal pula. Sistemnya inden layaknya beli barang mewah. Yang bisa mendaftar hanya anak orang-orang tajir. Bahkan, ada sekolah yang menerima pendaftaran di tengah tahun ajaran dengan iklan yang sangat narsis: hanya untuk cerdas.

Iklan tersebut seakan menafikan proses pendidikan sehingga anak yang tidak cerdas dipandang tidak layak untuk sekolah di sekolah yang beriklan tersebut. Anehnya praktik-praktik itu tidak mendapat teguran dari dinas terkait.

Keluarnya UU BHP (Badan Hukum Pendidikan) yang menjadikan kapitalisme pendidikan semakin menjamur sejatinya juga paradoks dengan iklan tersebut. Dua kebijakan itu sesungguhnya mengandung makna yang bertolak belakang. Di satu sisi menegaskan sekolah gratis, di sisi lain memberi ruang gerak penyelenggara pendidikan untuk berpraktik kapitalis. Hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan yang diambil tidak konsisten. Terjadi anomali.

Sebagian besar orangtua siswa berasumsi, gratis itu berarti tanpa membayar apa pun. Asumsi itu wajar karena sebagian besar orangtua sudah termakan iklan sekolah gratis. Bahkan, banyak orangtua mengeluh ketika dimintai biaya untuk pengadaan buku atau sumber belajar lainnya meski itu menjadi hak milik anaknya.

Kesenjangan apa yang disajikan di iklan dan di lapangan disebabkan oleh informasi yang tidak lengkap. Mispersepsi ini berpotensi pada sikap apriori masyarakat terhadap dunia pendidikan. Mestinya yang dimaksud gratis tersebut dijabarkan dengan jelas sehingga informasinya tidak terpotong-potong. Apakah gratis pendaftarannya, gratis SPP-nya, gratis uang gedungnya, atau gratis uang pengembangannya? Semua harus dijelaskan.

Perlu juga dijelaskan berdasarkan statusnya. Apakah SD/SMP swasta dengan SD/SMP negeri berlaku hal yang sama? Tentu ini juga harus jelas, sebab sekolah swasta eksis karena pembiayaan dari orangtua siswa, jika ada dari pemerintah seperti BOS (bantuan operasional sekolah) tidak akan cukup untuk biaya operasional sekolah. Penjelasan lain yang diperlukan oleh masyarakat adalah sekolah gratis sampai tingkat apa? Apakah hanya sampai wajar sembilan tahun atau sampai tingkat SMA? Penjelasan-penjelasan tersebut penulis pandang mendesak untuk disosialisasikan, tidak cukup hanya melalui iklan.

Anomali sekolah gratis akan semakin parah jika penyelenggara pendidikan dan guru tidak ikhlas menerima kebijakan tersebut. Jangan sampai guru bertindak kapitalis dengan bisnis LKS atau barang lainnya kepada siswa karena program sekolah gratis mengurangi pendapatannya dari sekolah di luar gaji resmi.

Anomali sekolah gratis akan terus berlangsung jika pemerintah tidak mengontrol pelaksanaan UU Badan Hukum Pendidikan secara ketat dan memberi pencerahan kepada penyelenggara pendidikan. Tidak itu saja, mekanisme sekolah gratis harus diinformasikan dengan jelas dan tentu ada hukuman bagi penyelenggara yang melanggar. Jika ini sudah dilakukan dan berjalan dengan baik, barulah kita katakan: Sekolah Bisa!

About Me

My photo
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Saya adalah seorang pendidik, alumni pasca sarjana dalam bidang pemikiran pendidikan. Essay-assay saya dipublikasikan di Kompas Jateng, Suara Merdeka, Gerbang, Rindang, Media Pembinan, detik.com, okezone.com Pernah Menjuarai penulisan ilmiah kelompok guru di harian Kedaulatan Rakyat, menjadi finalis lomba inovasi pembelajaran di UNNES, dan menjadi pemakalah terpilih dan pembicara dalam Konferensi Guru Indonesia tahun 2007. Tahun 2008 menjadi pemakalah dalam International conference on lesson study di Universitas Pendidikan Indonesia. Tahun 2009 terpilih sebagai penerima dana bantuan penulisan dari PUSBUK. Tahun 2010 menjadi pemenang harapan 3 lomba media pembelajaran tingkat nasional .Buku: 1. Kebijakan Publik Bidang Pendidikan.2. Profil Guru SMK Profesional 3. Editor buku Sejarah Kebudayaan Islam