Membangun Budaya Bersih di Angkutan Umum

Jika kita melakukan perjalanan jarak jauh tentu yang kita cari adalah kenyamanan. Rasa nyaman menjadikan perjalanan asyik dan tidak membosankan. Apalagi perjalanan tersebut tujuannya untuk liburan. Kenyamanan dalam perjalanan ditentukan oleh kualitas jalan yang dilewati, fasilitas alat transportasi yang memadai, keamanan dalam kendaraan, pelayanan dari crew yang baik, dan yang tak kalah penting adalah kebersihan dalam kendaraan atau alat transportasi yang kita gunakan.
Kenyamanan dalam alat transportasi kita memang serba kurang, bahkan mengkhawatirkan. Menggunakan pesawat terbang takut jatuh, maklum hampir setiap tahun ada saja pesawat terbang komersial kita yang jatuh, gagal terbang, atau gangguan yang lainnya. Banyak pesawat yang kelayakan terbangnya patut dipertanyakan.
Perjalanan laut pun mulai tak nyaman. Gelombang tinggi, kapal karam, dan pembajakan menjadi ancaman yang serius. Tenggelamnya kapal menjadi fenomena yang sering kita jumpai karena kapal kelebihan muatan atau penumpang (over loading).
Sementara pelayanan bus yang dinilai paling aman juga tidak senyaman yang dibayangkan. Pembiusan, copet, calo, dan pelayanan menjadi faktor ketidaknyamanan itu. Bus yang statusnya “patas” identik dengan padat tak terbatas. Bayangkan saja banyak bus yang berlabel eksekutif masih saja ngompreng atau menaikkan penumpang di perjalanan dengan alasan agar tidak rugi atau setidak-tidaknya BEP (break event point) alias tidak nombok.. Sedangkan bus yang labelnya ekonomi, kualitasnya banyak yang mengkhawatirkan, kadang membikin ciut nyali ketika sudah rebutan penumpang. Apalagi kalau lagi ngerem, aroma kampas rem atau ban gosong menyengat membuat was-was juga. Sementara kereta api kita kadang masih terlambat jam keberangkatannya, kadang dilempari batu orang yang tak bertanggung jawab (terlebih di malam hari), dan kebersihan dalam kereta yang patut disayangkan kecuali kereta kelas eksekutif.
Masalah kebersihan dalam perjalanan memang sangat memprihatinkan. Penumpang dengan seenaknya membuang sampah di bawah joknya sendiri-sendiri, bahkan banyak pula yang membuang sampah lewat jendela. Jika sampah sudah banyak datang orang peminta-minta dengan alasan membersihkan sampah. Itu bagus jika tujuannya benar-benar membersihkan sampah. Namun kadangkala tujuannya lain, mencari kesempatan dalam kesempitan.
Aroma sampah dalam kendaraan sangat membuat perjalanan menjadi tidak mengasyikkan. Dapat membuat penumpang muntah-muntah. Aroma sampah dan muntahan akan semakin tidak enak ketika di ruangan bus atau kereta tempat kita menumpang ada yang merokok. Sungguh membuat perjalanan semakin tidak nyaman. Apalagi jika jalanan macet.

Membangun budaya bersih
Sejujurnya kenyamanan dalam kendaraan adalah harapan semua penumpang. Namun seringkali kenyamanan itu dirusak sendiri. Belum ada kesadaran bagaimana agar dirinya nyaman dan tidak menganggu kenyamanan orang lain. Belum ada sikap toleran dalam perjalanan. Sikap-sikap tersebut harus dirubah menuju sikap yang santun dalam perjalanan, budaya toleran, dan tentu budaya bersih dalam perjalanan. Mengubah budaya tersebut memang tidak mudah, namun harus dilakukan.
Dalam ilmu psikologi untuk mengubah budaya atau perilaku seseorang dapat dilakukan dengan cara modifikasi perilaku. Modifikasi perilaku menurut Bootzin (dalam Soetarlinah Soekadji, 1983) merupakan usaha untuk menerapkan prinsip-prinsip proses belajar maupun prinsip-prinsip psikologi hasil eksperimen lain pada perilaku manusia. Dalam perspektif behaviorist modifikasi perilaku didefinisikan sebagai penggunaan secara sistematis teknik kondisioning pada manusia untuk menghasilkan perubahan frekuensi perilaku sosial tertentu atau tindakan mengontrol lingkungan perilaku tersebut (Powers & Osborn, dalam Soetarlinah Soekadji, 1983). Tujuan yang hendak dicapai dari modifikasi perilaku adalah adanya perubahan-perubahan yang diharapkan yang meliputi; peningkatan, pemeliharaan, pengurangan dan penghilangan, serta perkembangan atau perluasan perilaku.
Dalam modifikasi perilaku diperlukan pengukuhan-pengukuhan atau penguatan untuk mengubah perilaku sesuai yang diharapkan. Perubahan perilaku penumpang yang kurang memperhatikan kebersihan dapat dilakukan dengan pemberian pengukuhan berupa; tersedianya tempat sampah yang memadai dalam satu gerbong kereta api atau dalam bus, adanya larangan untuk membuang sampah sembarangan, larangan membuang sampah lewat jendela, adanya larangan merokok, dan bisa juga dengan pemberian denda bagi yang melanggar. Dapat pula diberikan pola atau cara membuang sampah, misal sampah harus dikumpulkan dalam kantong plastik dalam keadaan tertutup dan nanti ada petugas yang mengambil sampah.
Untuk armada bus mungkin susah karena menyamakan persepsi semua PO Bus tentu susah apalagi antar PO Bus bersaing dalam mencari konsumen. Alih-alih membudayakan perilaku bersih, bisa jadi upaya modifikasi perilaku malah menjadikan bus kehilangan penumpang karena dinilai terlalu rewel. Meskipun demikian pengukuhan-pengukuhan yang positif (tidak memberi denda atau hukuman) patut dilakukan, misal pemberian kantong-kantong plastik untuk membuang sampah.
Namun untuk kereta api atau kapal laut tentu lebih mudah karena tidak ada persaingan. Uji coba modifikasi perilaku untuk menjaga kebersihan dan kenyamanan dalam perjalanan hendaknya dilakukan secara terus-menerus sehingga perilaku bersih tersebut menjadi terpelihara dan membudaya. Kenyamanan dalam perjalanan tentu tidak saja menguntungkan bagi pengguna alat transportasi saja namun juga perusahaan penyedia transportasi. Untuk itu menjadi tugas bersama menjaga kenyamanan dalam perjalanan utamanya kebersihan karena sejak kecil kita telah diajarkan bahwa kebersihan itu sebagian dari pada iman.

Narsis, Perlu atau Tidak ?

Dalam percakapan sehari-hari kita seringkali mendengar istilah lebay dan narsis. Di sinetron, film, reality show, apalagi acara yang berbau gosip dua kata tersebut sedang in, seringkali diucapkan oleh host (pembawa acaranya). Bahkan tanpa sengaja kita seringkali mengatakan ih lebay amat jika melihat sesuatu yang berlebih-lebihan dan dipaksakan. Kita juga seringkali mengklaim tayangan iklan atau sikap seseorang dengan mengatakan narsis amat loh, jika apa yang ditampilkan terlalu memuja diri, merasa dirinya paling perfect dan paling benar.
Dalam kajian psikologi, narsistik termasuk gangguan kepribadian. George Boeree (2008) menyatakan narsistik merupakan sebuah pola mendalam sikap membesar-besarkan (dalam fantasi atau prilaku), kebutuhan akan pemujaan, dan kurangnya empati, yang dimulai sejak masa dewasa awal dan hadir dalam berbagai konteks. Ada beberapa gejala narsistik yakni:
1. Membesar-besarkan pemahaman akan nilai penting diri. Seseorang memaksakan dirinya agar dinilai atau dipandang sebagai individu yang superior, cemerlang, kaya akan prestasi, dan serba lebih dihadapan orang lain meskipun pada kenyataannya apa yang dia anggap atau ia citrakan tidak sepadan dengan prestasi yang diraih.
2. Asyik dengan fantasi akan kesuksesan, kekuatan, kecerdasan, kecantikan atau ketampanan, atau cinta sejati yang tiada batas. Orang yang panjang angan-angan dapat digolongkan sebagai orang yang narsis.
3. Meyakini bahwa ia seorang yang spesial dan berstatus tinggi, pada hal sebetulnya ia biasa-biasa saja.
4. Butuh penghargaan yang berlebihan, tidak mau dianggap sebagai individu yang biasa-biasa saja.
5. Punya perasaan istimewa, yaitu harapan-harapan yang tidak selayaknya, khususnya terhadap perlakuan yang menguntungkan atau pemenuhan otomatis terhadap harapan-harapannya.
6. Eksploitatif secara interpersonal, yakni mengambil keuntungan dari orang lain untuk mencapai tujuannya sendiri. Istilah yang lebih keren : biar orang lain buntung, asal saya untung.
7. Kurang empati: yaitu tidak adanya kemauan untuk mengenal atau mengakui perasaan-perasaan dan kebutuhan-kebutuhan orang lain.
8. Sering iri terhadap orang lain, dan menganggap orang lain dengki terhadap dirinya.
9. Menunjukkan sikap atau perilaku yang angkuh, arogan, atau gumedhe.
Dalam kadar tertentu, setiap manusia tentu ada kadar narsisnya.Asal jangan terlalu, penulis anggap wajar, sebab dalam kehidupan dan beraktualisasi diri tentu seseorang butuh pengakuan, pujian, dan persepsi hebat dari orang lain terhadapnya. Unsur-unsur narsis kadangkala juga dibutuhkan ketika kita membangun kepercayaan diri apalagi disaat kita menebar pesona. Calon legislatif, calon gubernur, calon kepala desa, dan tentu calon presiden pun kadang harus narsis ketika beriklan atau kampanye. Narsis diperlukan juga ketika seseorang melakukan kegiatan propaganda atau mempengaruhi orang lain. Dalam beriklan tentu semua calon-calon pejabat di atas mengklaim dirinya paling ampuh, paling bisa memenuhi ekspektasi rakyat, dan paling nomor satu layaknya iklan kecap. Bahkan untuk memperkuat pencitraan perlu didukung kajian-kajian ilmiah, misalnya penggunaan data statistik, polling, atau opini masyarakat yang semuanya telah dirancang terlebih dahulu (by design) agar narsisnya terlihat ilmiah.
Yang paling penting adalah kita dapat menggunakan narsis pada tempatnya dan tidak melewati batas-batas kewajaran meskipun batas itu sifatnya relatif karena tiada takaran yang pas. Takaran yang bisa digunakan adalah kepatutan dan kepantasan.
Dan bagi calon penguasa tentu sikap narsis diperlukan saat kampanye atau beriklan saja. Jangan sampai setelah ditetapkan jadi pemimpin atau pejabat narsisnya tidak hilang atau malah kebablasan karena bisa merugikan diri sendiri.
Dengan demikian narsis tetap saja diperlukan meskipun dalam kajian psikologi dinyatakan sebagai sebuah gangguan kepribadian. Yang penting narsis yang dilakukan tidak menjadikan sombong, takabur, dan merugikan orang lain.

Catatan Pelaksanaan Akreditasi Sekolah

Bulan Agustus sampai Oktober merupakan masa-masa akreditasi sekolah/madrasah di Jawa Tengah. Bagi sekolah/madrasah yang akan diakreditasi nampak sekali peningkatan aktifitas pengelola sekolah/madrasah menyiapkan dokumen, bukti fisik, dan administrasi lainnya. Banyak sekolah/madrasah yang gagap menghadapi akreditasi. Kegagapan itu menggambarkan bahwa selama ini tata kelola sekolah tidak berjalan dengan baik.
Akreditasi sesungguhnya merupakan penilaian kelayakan penyelenggaraan pendidikan dengan kriteria yang telah ditentukan. Ada tiga tujuan dari penyelenggaraan akreditasi yakni; memberikan informasi tentang kelayakan sekolah/madrasah sebagai satuan pendidikan atau program pendidikan berdasarkan Standar Nasional Pendidikan, memberikan pengakuan peringkat kelayakan, dan memberikan rekomendasi tentang penjaminan mutu pendidikan kepada program dan/atau satuan pendidikan yang diakreditasi dan pihak terkait (rekomendasi tindak lanjut).
Ada tiga peringkat atau status hasil penilaian akreditasi yakni; Peringkat akreditasi A (Sangat Baik), jika memperoleh Nilai Akhir Akreditasi (NA) sebesar 86 sampai dengan 100, atau 86 < NA < 100. Peringkat akreditasi B (Baik), jika memperoleh Nilai Akhir Akreditasi sebesar 71 sampai dengan 85, atau 71 < NA < 85. Peringkat akreditasi C (Cukup Baik), jika memperoleh Nilai Akhir Akreditasi sebesar 56 sampai dengan 70, atau 56 < NA < 70. Namun sekolah bisa saja tidak terakreditasi jika; tidak memperoleh Nilai Akhir Akreditasi sekurang-kurangnya 56, lebih dari dua Nilai Komponen Akreditasi kurang dari 56, dan ada Nilai Komponen Akreditasi kurang dari 40.
Berbeda dengan beberapa tahun yang lalu, akreditasi tahun ini dirasa lebih rumit. Setiap sekolah diukur kualitas penyelenggaraannya dengan 8 standar yang menyangkut standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar pengelolaan, standar pembiayaan,standar sarana prasarana, dan standar penilaian.
Sebagai sebuah penilian, proses akreditasi tentu merupakan proses yang menegangkan bagi pengelola sekolah, utamanya yang terlibat dalam panitia akreditasi sekolah/madrasah.Pengelola sering dibuat nervous, merasa inferior. Di sisi lain, asesor dipersepsikan sebagai eksekutor yang menakutkan, dalam posisi superior. Kesalahan dalam mempersepsikan ini membuat situasi yang tidak nyaman. Namun biasanya suasana akan menjadi cair jika asesor mampu memposisikan diri dengan baik, tidak menampakkan diri sebagai eksekutor.

Kelemahan penyelenggaransekolah
Kelemahan mendasar penyelenggaraan pendidikan kita adalah minimnya administrasi yang tertata dengan baik. Dalam istilah Jawa dikenal dengan Ono tilas ono tulis. Kebanyakan ada tilas tapi tak ada tulis.Hal ini menggambarkan bahwa pengelola pendidikan yang terdiri atas kepala sekolah, guru, dan tenaga administrasi tidak terbiasa dengan budaya menulis. Budaya menulis di kalangan guru memang masih rendah. Salah satu indikatornya adalah banyaknya karir guru yang mentok di golongan IV/a dan susah menembus IV/b karena adanya persyaratn membuat karya tulis. Sesungguhnya membudayakan atau membiasakan menulis itu mudah. Dengan berprinsip” catatlah apa yang akan dikerjakan dan catatlah apa yang telah dikerjakan” sebetulnya menjadi modal awal untuk terbiasa menulis.
Kelemahan mendasar yang kedua adalah minimnya pengetahuan dasar-dasar hukum penyelenggaraan pendidikan. Setiap standar pendidikan nasional memiliki landasan hukum yang mestinya dipelajari, ditelaah, dan dipraktikkan dalam penyelenggaraan pendidikan. Dalam konteks akreditasi yang mengacu 8 standar nasional pendidikan maka pengelola sekolah harus memahami 8 landasan hukum yakni ;Permendiknas 22/2006 tentang standar isi, Permendiknas 41/2007 tentang standar proses, , Permendiknas 23/2006 tentang standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan yang terdiri atas Permendiknas 13/2007 tantang kepala sekolah, Permendiknas 16/2007 tentang Guru, Permendiknas 24/2008 tentang tenaga administrasi. Permendiknas 24/2007 tentang standar sarana dan prasarana, Permendiknas 19/2007 tentang standar pengelolaan, PP. 48/2008 tentang pendanaan pendidikan, dan Permendiknas 20/2007 tentang standar penilaian pendidikan.
Kelemahan ketiga adalah lemahnya manajemen penyelenggaraan sekolah. Pengelola sekolah belum terbiasa dengan tiga tahapan kerja yang terdiri atas planning, doing, and reflecting. Sebetulnya planning, doing, and reflecting merupakan tugas utama penyelenggara pendidikan, utamanya guru sebagai ujung tombak pembelajaran. Menyusun action plan dalam bentuk RPP mestinya kewajiban guru sebelum mengajar, namun kewajiban ini seringkali dinafikkan, apalagi guru yang sudah senior yang merasa hafal betul dengan materi yang harus disampaikan ke peserta didik. Akibat dari ketiadaan planning maka pelaksanaan (doing) tidak ada target, kurang fokus, dan cenderung semaunya. Dan reflecting sesungguhnya bukan sekedar menilai siswa, namun lebih dari itu yakni merefleksikan semua kejadian yang terjadi dalam pembelajaran sebagai bahan penyusunan action plan pada pertemuan berikutnya.
Kelemahan keempat adalah ketiadaan tim kreatif di sekolah/madrasah. Tanpa adanya tim kreatif maka ketika menghadapi akreditasi pengelola sekolah kebingungan, kurang paham apa yang harus dilakukan. Tak tahu strategi yang paling jitu. Hal ini dapat dicermati dari adanya sekolah yang meminjam administrasi dari sekolah lain. Tindakan ini sejujurnya tindakan yang lucu. Apa yang dilakukan sekolah lain tentu berbeda dengan apa yang dikerjakan sekolah lainnya. Action plan yang dibuat guru dari satu sekolah tentu berbeda dengan yang dibuat guru di sekolah lainnya, karena berbeda berbagai karakteristik.
Kelemahan kelima adalah tidak memahami instumen akreditasi dengan baik. Kelemahan ini mengakibatkan pengisian instrumen tidak akurat sehingga ada kesenjangan antara apa yang diisi dengan realitas yang ada yang dapat menjadi celah untuk diberi catatan oleh asesor.
Dalam konteks peningkatan kualitas pendidikan mestinya pengelola sekolah membudayakan sikap professional dalam penyelenggaraan pendidikan, tidak saja karena tuntutan akreditasi. Dengan budaya professional maka kelemahan-kelmahan di atas tidak akan ditemukan lagi sehingga sekolah/madrasah senantiasa siap untuk dinilai maupun diaudit.

Pengabdian, Keberkahan, dan Fenomena Gelas Kaca

Mengabdi adalah perbuatan yang mulia. Memposisikan diri sebagai abdi menandakan keluhuran budi, karena hakikat pengabdian adalah ketiadaan pamrih dan penuh keikhlasan. Apalagi pengabdian itu sebagai seorang guru. Guru yang memposisikan dirinya sebagai seorang pengabdi berprinsip semua tindakan dalam kegiatan pembelajaran adalah sebuah layanan (teaching is service).
Dalam konteks kekinian memposisikan diri sebagai abdi tidaklah mudah. Tuntutan kebutuhan hidup yang semakin banyak dan mahal serta tuntutan profesional “memaksa” banyak guru mendekonstruksi makna pengabdian. Pengabdian yang semula bermakna ketiadaan pamrih dan keikhlasan serta mengutamakan keberkahan kini sama dengan pekerja professional yang membutuhkan gaji yang cukup untuk hidup layak dan kenaikan posisi sebagaimana karier dalam industri atau pemerintahan.
Ketidakcukupan gaji dan ketidakpastian nasib berakibat pada kegagalan merekonstruksi pengabdian. Dekonstruksi makna pengabdian dan kegagalan merekonstruksi ulang berakibat pada kejadian-kejadian di luar pakem, misalnya guru mogok mengajar dan berdemonstrasi menuntut hak dan kepastian nasib. Bahkan agar aspirasinya didengar banyak muncul serikat-serikat guru, semisal Forum GTT (Guru Tidak Tetap), Serikat Guru Honorer, dan lain sebagainya. Forum-forum tersebut lebih banyak sebagai kendaraan untuk menyuarakan aspirsi (menuntut hak) sebagaimana serikat buruh ketimbang kegiatan yang berorientasi pada peningkatan kualitas akademik. Melencengnya dari pakem sejatinya mereduksi kesakralan profesi guru.
Posisi pengabdian sebagai guru swasta yang paling tidak nyaman adalah guru swasta yang bernaung di bawah yayasan. Nasib guru swasta di yayasan saat ini tak ubahnya seperti buruh pabrik atau pemain sepakbola. Bekerja berdasar kontrak kerja dengan mengatasnamakan profesionalisme dan dengan mengesampingkan nilai kemanusiaan.
Guru yang kurang berprestasi tidak akan mendapat line up (meminjam istilah dalam kesebelasan sepakbola), dan akibatnya pemberhentian kontrak kerja. Bahkan nasib guru bisa di tangan siswanya karena salah satu tolok ukur kualitasnya ditentukan oleh polling siswa. Ini maklum karena personalia sekolah atau yayasan sudah punya setumpuk lamaran dari para fresh graduate yang dipandang lebih memiliki energi, lebih idealis, dan tentu lebih bisa diberdayakan. “Orang baru” dipandang lebih menguntungkan, dan tentu tidak kritis terhadap kebijakan sehingga status quo tidak terganggu..
Bahkan bagi guru swasta di yayasan, rezeki dalam satu tahun dapat dilihat diawal tahun ajaran ketika menerima surat tugas mengajar. Jumlah jam yang tertera dalam surat tugas mengajar dan jabatan tambahan di luar jam mengajar adalah rezeki yang akan diterima setiap bulannya. Bahkan jumlah jam mengajar bisa naik turun, bergantung jumlah siswa baru yang diterima, ada tidaknya pengurangan kelas karena banyak siswa yang keluar, dan modifikasi kurikulum yang dilakukan yang tentu saja menentukan struktur kurikulum.
Fenomena Gelas Kaca
Menjadi guru swasta dalam yayasan memang posisi yang tidak mudah ditebak. Tidak berprestasi dan dinilai kurang kooperatif rentan dengan pemberhentian kontrak kerja, menerima posisi jabatan berakibat berkurangnya jam dan akan membahayakan posisinya kelak ketika jabatan sudah lepas dan jam sudah digantikan guru lain. Jabatan menjadi buah simalakama bukan?.
Yang lebih tragis lagi adalah mentoknya pengembangan karir jika posisi struktural sekolah telah diisi oleh guru-guru yang yes man atau telah diisi tim yang solid. Pejabat-pejabat tersbut sepertinya tak tergantikan lagi. Guru-guru yang memiliki keinginan untuk berkembang kariernya harus gigit jari karena tidak adanya aturan baku tentang lamanya jabatan. Fenomena ini tak ubahnya seperti fenomena gelas kaca, dapat dilihat namun tak dapat diraih. Pada hal banyak guru yang berpotensi dan siap membawa angin perubahan dan pengembangan. Jika tidak sabar guru akan frustasi.
Fenomena gelas kaca dalam profesi apapun tentu pertanda buruk. Akibatnya jelas, kinerja dan kebijakan monoton, miskin kreasi dan inovasi, dan tentu menjenuhkan. Akibatnya di sekolah timbul apa yang dinamakan pshycological gap antara pengelola atau pejabat struktural dengan guru.
Fenomena gelas kaca ini akan semakin merusak makna pengabdian. Dan yang paling dirugikan tentu siswa. Guru tentu bekerja tidak all out, sekedar menggugurkan kewajiban, bahkan yang senantiasa dipikirkan adalah kapan ada lowongan penerimaan PNS dan berharap diangkat menjadi guru PNS karena merasa tidak betah, tidak diapresiasi oleh yayasan, dan tentu merasa kariernya sudah habis.
Mungkin karier jabatan boleh habis, namun jangan sampai karier intelektual juga tidak ada. Jika kedua-duanya tidak ada, maka kebermaknaan profesi semakin hambar.

Solusi
Bagi sebagian orang, solusi dari fenomena di atas adalah berhenti dan mencari karier di tempat lain. Namun di zaman sekarang, mencari kerja tidaklah mudah, apalagi usianya sudah di atas 30 tahun. Namun jika tetap bertahan dengan kondisi yang kurang menguntungkan, hidup menjadi hambar. Karier jabatan mentok, karier akademik tak berkembang. Sementara jika akan mengembangkan diri di luar jam mengajar kurang waktu karena mencari rezeki dengan menjalani profesi lain untuk menutup kebutuhan rumah tangga.
Mereformasi birokrasi disebuah lembaga tentu tidak mudah jika dilakukan dari dalam, apalagi oleh orang-orang yang posisinya lemah. Posisi pengabdi di mata pengelola adalah orang yang harus bekerja total dengan gaji keberkahan, meskipun penulis yakin berkah itu benar adanya. Namun berkah akan menjauh dengan sendirinya jika ikhlas tidak ada sehingga yang ada hanyalah menggerutu.
Mereformasi yang paling mungkin dilakukan oleh pihak luar (outsider) yang tidak memiliki keterikatan secara struktural maupun emosional. Salah satunya adalah lembaga yang bergerak dalam advokasi pendidikan. Hanya saja selama ini lembaga-lembaga advokasi pendidikan belum banyak dikenal oleh guru, dan belum terjalin kerja sama yang baik.
Reformasi ini tentu tujuannya tidak semata-mata melancarkan bagi siapa saja yang akan membangun karier jabatan, tetapi lebih pada pembelaan agar neraca peran (antara guru dan pengelola) dalam pemenuhan hak dan kewajiban seimbang. Dari keseimbangan itu maka berimplikasi pada peningkatan mutu pendidikan. Tidak itu saja, keseimbangan itu akan mewujudkan kinerja yang ikhlas. Keikhlasan tersebut akan memberi jalan untuk merekonstruksi makna pengabdian dan menghilangkan fenomena gelas kaca karena semua stakeholder memiliki kesadaran. Muara akhir dari kebersamaan, kinerja yang baik, dan keikhlasan adalah keberkahan itu sendiri. Keberkahan adalah sesuatu yang transendentalis, ganjaran yang akan dianugerahkan Sang Khaliq kepada hambanya.

About Me

My photo
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Saya adalah seorang pendidik, alumni pasca sarjana dalam bidang pemikiran pendidikan. Essay-assay saya dipublikasikan di Kompas Jateng, Suara Merdeka, Gerbang, Rindang, Media Pembinan, detik.com, okezone.com Pernah Menjuarai penulisan ilmiah kelompok guru di harian Kedaulatan Rakyat, menjadi finalis lomba inovasi pembelajaran di UNNES, dan menjadi pemakalah terpilih dan pembicara dalam Konferensi Guru Indonesia tahun 2007. Tahun 2008 menjadi pemakalah dalam International conference on lesson study di Universitas Pendidikan Indonesia. Tahun 2009 terpilih sebagai penerima dana bantuan penulisan dari PUSBUK. Tahun 2010 menjadi pemenang harapan 3 lomba media pembelajaran tingkat nasional .Buku: 1. Kebijakan Publik Bidang Pendidikan.2. Profil Guru SMK Profesional 3. Editor buku Sejarah Kebudayaan Islam