Modifikasi Perilaku bagi Peserta Didik

Dalam dunia penelitian bidang pendidikan kita mengenal apa yang dinamakan CAR (classroom action research) yang di tanah air populer dengan nama PTK (Penelitian Tindakan Kelas). Dalam PTK tujuan yang hendak dicapai adalah bagaimana merubah pola-pola pembelajaran di kelas yang pada akhirnya diperoleh hasil pembelajaran yang optimal. Untuk meraih hasil tersebut biasanya dilalui melalui beberapa proses atau tahapan yang dikenal dengan siklus penelitian.Tulisan ini menyajikan sesuatu yang berbeda dengan PTK meskipun ada kesamaan diantara keduanya. Kesamaan itu menyangkut tujuan keduanya yakni merubah perilaku siswa dalam belajar. Tulisan ini akan mengupas tentang modifikasi perilaku peserta didik.
Modifikasi perilaku menurut Bootzin (dalam Soetarlinah Soekadji, 1983) merupakan usaha untuk menerapkan prinsip-prinsip proses belajar maupun prinsip-prinsip psikologi hasil eksperimen lain pada perilaku manusia. Dalam perspektif behaviorist modidifikasi perilaku didefinisikan sebagai penggunaan secara sistematis teknik kondisioning pada manusia untuk menghasilkan perubahan frekuensi perilaku sosial tertentu atau tindakan mengontrol lingkungan perilaku tersebut (Powers & Osborn, dalam Soetarlinah Soekadji, 1983). Dari definisi kedua dapat ditarik kesimpulan bahwa mengubah perilaku akan dinamakan modifiksi perilaku jika menggunakan teknik yang ketat; ada tanggapan, ada akibat, dan ada stimuli yang dilakukan dengan tercatat secara cermat. Adapun perubahan-perubahan yang diharapkan dari modifikasi perilaku adalah; peningkatan, pemeliharaan, pengurangan dan penghilangan, serta perkembangan atau perluasan. Peningkatan perilaku dapat dilakukan dengan pengukuhan, misalnya pemberian reward. Pemeliharaan dapat dilakukan dengan cara penjadwalan pemberian pengukuhan sehingga perilku tersebut tetap terjaga. Pengurangan perilaku dapat dilakukan dengan pemberian hukuman, sedangkan untuk pengembangan perilaku dapat dilakukan dengan pembentukan (shaping) dan perangkaian (chaining). Sedangkan untuk perluasan dapat dilakukan dengan berbagai variasi pengukuhan.
Dalam konteks pembelajaran sesungguhnya modifikasi menjadi tugas yang include melekat dalam profesi guru. Modifiksi perilaku diperlukan agar hasil pembelajaran yang menyangkut ketiga ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik dicapai secara efektif.
Implementasi Modifikasi Perilaku
Menghadapi sejumlah siswa dalam satu kelas atau lebih tentu tidaklah mudah untuk mengenal betul portofolionya. Apalagi yang menyangkut karakteristik kepribadian dan tingkah laku. Diperlukan kemampuan behavior analysis (analisis perilaku) yang akurat dari setiap guru. Namun penulis menyadari bahwa tidak semua guru expert dalam bidang ini, karena sesungguhnya kemampuan tersebut menjadi domain konselor pendidikan. Untuk itu sinergi antara guru mata pelajaran dengan konselor pendidikan di sekolah mutlak diperlukan.
Memodifikasi perilaku tentu akan akurat jika dilakukan secara individu karena setiap individu itu unik, memiliki perbedaan dengan yang lainnya. Namun dari ratusan peserta didik di sekolah tentu tidak semua siswa harus dilakukan modifikasi perilaku, hanya siswa yang memiliki perilaku yang menjadi problema sajalah yang perlu dilakukan modifikasi perilaku.
Problema psikologis merupakan kesukaran yang dihadapi individu untuk berhubungan dengan orang lain, dalam mempersepsikan dunia sekitarnya, atau dalam bersikap terhadap diri sendiri. Problema psikologis dapat dikenali melalui perasaan cemas atau tegang, tidak efisien dalam mencapai sasaran yang diingini, atau ketidakmampuan berfungsi secara efktif dalam bidang-bidang psikologis (Soetarlinah Soekadji, 1983). Problema psikologis juga dapat dikenali dari orang-orang di sekitar individu yang mengalami problema psikologis. Kadang seseorang merasa tidak bermasalah dengan dirinya, namun orang-orang disekitar merasa jengkel, terganggu dengan kehadirannya, tidak membuat orang lain bahagia dengan keberadaannya, maka orang tersebut sejatinya mengalami problema psikologis.
Dalam konteks belajar di kelas, siswa yang mengalami phobi sekolah, malas belajar, mengganggu di kelas, sejatinya siswa tersebut mengalami problema psikologis. Atau siswa yang mengalami jenuh belajar sejatinya juga mengalami problema psikologis. Atau siswa yang mengalami penurunan prestasi belajar secara drastis sejatinya juga sedang mengalami problema pikologis.
Setiap problema psikologis dalam belajar harus segera dimodifikasi perilakunya. Ada beberapa tahapan yang perlu dilakukan untuk melakukan modifikasi perilaku. Langkah-langkah tersebut adalah:
1. Mengidentifikasi problema psikologis siswa. Langkah ini dikenal dengan analisis fungsi; menyangkut tiga aspek yakni faktor-faktor yang menyumbangkan terjadinya perilaku, faktor-faktor yang menyebabkan perilaku terpelihara, dan tuntutan lingkungan siswa.
2. Setelah diketahui dan dilakukan analisis fungsi maka langkah berikutnya adalah menentukan perilaku yang akan diubah.
3. Menentukan teknik untuk memodifikasi perilaku.
Contoh modifikasi perilaku:
1. Abdul Latif merupakan sosok yang berprestasi dalam bidang matematika. Ia selalu bersemangat ketika diajar oleh Pak Jono sehingga prestasinya bagus. Namun setelah diajar oleh Pak Arif prestasinya turun dan semangat belajarnya turun drastis. Dalam konteks ini maka yang perlu dilakukan dalam modifikasi perilaku adalah “memelihara perilaku antusias belajar matematika”. Sesuai dengan teori di atas bahwa untuk memelihara perilaku dilakukan dengan pengukuhan terjadwal. Pak Arif perlu konfirmasi kepada Pak Jono. Ternyata permasalahannya hanya sepele yakni Pak Jono selalu memberi reward lewat SMS kepada abdul Latif. Dengan demikian untuk memelihara perilaku antusias dalam belajar Abdul Latif perlu penguatan perilaku dengan cara memberi pujian secara intensif (terjadwal) sebagai bentuk reward meskipun hanya melalui SMS. Dalam konteks ini pengukuh berupa pujian.
2. Arman, murid klas 1 MI, belajar membaca. Pengukuh yang wajar adalah nilai yang bagus. Tetapi ternyata nilai tidak efektif untuk meningkatkan perilaku belajar membaca Arman. Guru harus mencari pengukuh lain misalnya permen meskipun pengukuh ini kurang wajar. Dalam konteks ini pengukuh berupa benda atau barang.

Urgensi School for Life

Ketika program pendidikan gratis digulirkan, kita masih saja mendengar berita siswa bunuh diri gara-gara tidak mampu membayar uang sekolah seperti yang baru-baru ini terjadi di Tangerang. Kita juga masih menjumpai orang tua yang cek-cok gara-gara anaknya minta uang untuk bayar sekolah.
Praktik pendidikan kita masih seperti di ruang hampa dan kehilangan konteks atas realitas yang ada. Realitas bahwa banyak siswa miskin dan kurang beruntung nasibnya, dinafikkan begitu saja. Banyak siswa kita yang terpaksa jadi pengamen untuk dapat membayar uang sekolah, ada pula yang terpaksa kerja dengan mengesampingkan masa-masa bermain sebagai seorang anak. Praktik pendidikan kita dalam banyak hal penganut sejati hukum ekonomi, berorientasi pada profit.
Pendidikan yang sejatinya pemanusiaan manusia, dalam beberapa kasus justru berperan mengantarkan siswanya pada ujung kematian yang tragis. Prinsip education for all yang sering didengung-dengungkan itu hanyalah pepesan kosong yang miskin realisasi.
Pendidikan kita juga masih reaktif atas perkembangan ilmu pengetahuan. Sikap ini berakibat pada beratnya beban siswa atas kurikulum yang berlaku. Kita masih beranggapan bahwa semakin banyak materi kurikulum yang diserap akan linier dengan penguasaan ilmu dan teknologi.
Kasus siswa bunuh diri, siswa drop out, siswa yang tidak dapat meneruskan ke jenjang sekolah yang lebih tinggi, adalah sebuah penanda bahwa pendidikan kita tidak mengajari siswa bagaimana survive, bertahan hidup, bertahan untuk bisa sekolah. Memang pendidikan kita telah mengenal metode CTL (Contextual Teaching and Learning). Namun metode itu sebatas menggali lingkungan sekitar sebagai sumber belajar (itupun belum dipraktikkan secara optimal), bukan sebagai sumber daya untuk survive.
Idealnya pendidikan berdialektika dengan realitas yang ada. Realitas itu dapat berupa kondisi ekonomi, sosial, budaya, politik, keamanan, dan tentu ideologi. Tujuannya jelas, siswa dapat survive, mampu beraktualisasi diri, dan menyesuaikan dengan realitas yang ada. Banyaknya siswa yang DO menggambarkan bahwa pendidikan ekonomi tak mengajari siswanya bagaimana dapat survive dengan kondisi ekonomi yang ada. Banyaknya siswa (dan mahasiswa) yang keblinger ideologinya menandakan pendidikan kita tidak antisipatif terhadap menjamurnya ideologi yang kadang destruktif dan eksklusif. Munculnya berbagai patologi sosial yang menghinggapi peserta didik kita adalah bukti semakin miskinnya pendidikan nilai yang dapat dipraktikkan agar dapat survive di masyarakat. Maraknya video porno yang melibatkan siswa sebagai pelakunya adalah gambaran gagalnya pendidikan akhlak untuk menjadikan siswanya survive di era globalisasi. Dan masih banyak kasus lagi.
Untuk dapat berdialektika dengan realitas yang ada perlu dilakukan diversifikasi pendidikan yang tujuannya menjadikan siswa survive atas realitas nasibnya. Model sekolah yang menjadikan siswanya survive, kita dapat merujuk pada School for Life. School for Life didirikan di Utara Thailand pada tahun 2003 oleh Thaneen Joy Worrawittayakun dan Profesor em. Dr. Juergen Zimmer (Buku Program KGI, 2007). Model School for life konsepnya telah diklasifikasi oleh UNESCO sebagai usaha inovasi kelas dunia yang sangat diperlukan di dunia pendidikan untuk komunitas dunia pada abad 21. Ketika penulis berdialog dengan Profesor em. Dr. Juergen Zimmer dalam Konferensi Guru Indonesia pada tahun 2007, beliau mengatakan akan membangun School for Life di pulau Bali, namun sampai saat ini penulis belum mendengar realisasinya.
Di Utara Thiland sekolah ini menerima anak-anak dari latar belakang yang sulit. Pada awalnya siswa-siswanya merupakan anak yatim piatu dengan latar belakang AIDS. Namun ketika Tsunami tahun 2004 melanda Aceh, Bangladesh, dan juga Thailand, School for Life juga menerima anak-anak korban tsunami yang kehilangan orang tua dan saudaranya.
School for Life didirikan untuk menjadikan siswanya memperoleh kebahagiaan mengingat siswanya berasal dari anak-anak yang tidak beruntung nasibnya dan tentu masa kecilnya kurang bahagia. Sekolah ini lebih mirip sebuah komunitas yang menekankan kasih sayang, percaya pada kekuatan sendiri, kecintaan yang besar akan sesuatu, kedamaian, dan keterbukaan. Model sekolah ini juga menekankan pentingnya membantu nak-anak yang kurang beruntung untuk mengejar dan meraih prestasi puncak dengan semangat kewirausahaan dan tanggung jawab pada lingkungan dan sosial.
Praktik pembelajarannya tentu tidak seperti sekolah formal yang kurikulumnya telah standar dari segi isi, proses, dan penilaiannya. Kurikulumnya sangat kondisional. Mensinergikan sekolah dengan penduduk desa sekitar, membuka lapangan kerja dan memfokuskan pada komunitas dan ide pengembangan.
Di Indonesia, School for Life memang mulai bermunculan dengan bentuknya sendiri. Sekolah alam di berbagai tempat di tanah air merupakan varian dari School for Life. Hanya saja praktik sekolah alam yang ada di Indonesia masih saja terkooptasi dengan standar penilaian. Masih mengikuti Ujian Nasional, meskipun dengan keterpaksaan.
Bangsa Indonesia yang masyarakat miskinnya pada kisaran 40 juta mestinya mengadopsi School for Life. Apalagi bangsa kita juga rawan bencana alam sehingga praktik School for Life tepat untuk dilaksanakan. Setidak-tidaknya ada kerangka kerja dan pengelolanya sehingga ketika ada bencana bukan lagi pihak asing yang menangani trauma atau pendidikan pasca bencana bagi anak-anak kita, karena bagaimanapun juga keterlibatan pihak asing sarat dengan tendensi.
School for Life itu penting agar kita tidak gagap atas tragedi bencana, agar anak-anak kita tak ada lagi yang drop out, agar kasus bunuh diri tidak kita dengar lagi hanya karena tidak mampu membayar uang sekolah. Tidak itu saja, School for Life juga memberi kesempatan kepada mereka yang telah mengalami masalah sejak kecil sebagai korban kekerasan atau terinfeksi virus AIDS dari orang tuanya yang selama ini justru kita kucilkan. School for Life sejatinya adalah bentuk pendidikan yang memanusiakan manusia. Untuk itu School for Life urgen untuk dilaksanakan !!

Merindukan Lahirnya Pedagog Kritis

Prof. Eko Budihardjo pernah menyatakan bahwa mengupas pendidikan di Tanah Air seperti mengupas bawang merah. Semakin dikupas semakin perih di mata. Sementara itu, mantan Rektor IKIP Jakarta, Prof. Surachman yang terkenal dengan professor “kandang ayam” itu menyatakan bahwa pendidikan di Indonesia selalu bergulir dari satu masalah ke masalah yang lain. Lulusan sekolah dan perguruan tinggi yang memiliki energi kreatif dan idealisme mestinya dapat menjadi problem solver, pada kenyataannya justru menjadi part of problems. Dan lebih tragis lagi, setelah mendapat gelar sarjana tak jarang sebagian dari mereka memperoleh gelar baru: pengangguran intelektual. Sebuah gelar yang tak semestinya !!.
Di belahan Amerika Latin, tepatnya di Brazil, Paulo Freire (1969) mengulirkan ide brilian, Pedagogy of the Oppressed yang fenomenal dan mendunia itu. Freire menjadi “provokator” agar masyarakat kritis terhadap praksis pendidikan yang memperbodoh peserta didik dan bukannya pemanusiaan manusia. Dan di Eropa muncul Ivan Illich (1971) dengan Deschooling Society-nya sebagai sebuah protes atas buruknya kondisi persekolahan dizamannya. Sebuah praktik pendidikan yang hanya berorientasi pada kurikulum yang sarat mata pelajaran dan mengagung-agungkan apa yang dinamakan sertifikat.
Wilayah pendidikan adalah wilayah yang semestinya sakral dan suci, tempat bagi para pencari ilmu, tempat penanaman nilai religius dan nilai – nilai kehidupan yang agung. Namun pada kenyataannya, wilayah pendidikan tak pernah sepi dari campur tangan politik. “Penodaan” wilayah pendidikan oleh campur tangan politik pada akhirnya berdampak buruk. Pergantian kurikulum yang mengatasnamakan dinamika zaman belum menampakkan hasil, evaluasi dalam bentuk ujian nasional validitas hasilnya banyak yang meragukan sehingga dari tahun ke tahun SOP (Standar Operasional Prosedurnya) berubah-ubah dengan tujuan mendapatkan hasil yang tidak bias. Model-model pembelajaran baru yang ditawarkan seperti CTL (Contextual Teaching and Learning), multy creative learning, dan lainnya menjadi kurang makna karena pada akhirnya pembelajaran guru di kelas menggunakan sistem drill agar siswanya lulus ujian nasional. Harapan pembelajaran yang bermakna selalu kandas, dan yang ada sekedar teaching to test.
Jika kita cermati, realitas pembelajaran di dunia pendidikan kita miskin sekali penanaman jiwa wiraswasta, pembentukan mental kejujuran, apalagi pendidikan yang tanggap bencana. Pemerintah selalu berharap lulusan sekolah agar mandiri, dapat menciptakan lapangan kerja, dan dapat berwiraswasta. Namun harapan itu tak akan pernah terwujud jika yang dikejar wilayah kognitif terus.
Untuk membentuk mental wiraswasta mestinya penting untuk melakukan pembelajaran berbasis proyek sehingga siswa terbiasa menganalisis pekerjaan, melaksanakan pekerjaan, dan tahu untung tidaknya pekerjaan yang telah dilakukan. Dari sini maka siswa akan memilki mental “jatuh bangun” dalam berusaha.
Pendidikan yang diharapkan mampu menanamkan mental kejujuran, tidak korup, dan nilai luhur lainnya susah diharapkan berhasil. Penyebabnya adalah ketiadaan teladan dari pemimpin yang menyebabkan hilangnya empati siswa dan yang timbul adalah apatis. Dalam benak siswa, apalagi siswa setingkat SMA sudah tahu betul bahwa hukum bisa dipermainkan, sehingga ketika ranah hukum diajarkan di kelas, penulis yakin akan susah mengubah sikap siswa karena sudah apriori.
Dan tentang pendidikan kebencanaalaman, kita tak pernah memiliki format yang jelas. Kalau ada sekolah yang mengajarkan, polanya tidak baku, dan spekulatif. Mestinya di tengah kepungan bencana menyadarkan siswa dan mengajari cara menyelamatkan diri itu penting. Lihatlah Jepang yang sudah memasukkan kurikulum bencana (tsunami) di sekolah, atau dapat kita lihat School for Life yang didirikan oleh Thaneen Joy Worrawittayakun dan Profesor em. Dr. Juergen Zimmer di Utara Thailand tahun 2003. Model ini khusus menangani anak-anak korban bencana alam dan konsepnya telah diklasifikasi oleh UNESCO sebagai usaha inovasi kelas dunia yang sangat diperlukan di dunia pendidikan untuk komunitas dunia pada abad 21.
Dari berbagai kesenjangan antara harapan dan realitas pendidikan di Tanah Air maka kehadiran para pedagogik kritis mutlak diperlukan. Ahmad Bahrudin yang menggagas dan mempraktikkan sekolah alam di Salatiga sepertinya dapat menjadi contoh munculnya pedagog kritis. Di sekolah itu, siswa dan gurunya produktif sekali. Banyak dihasilkan buku-buku bacaan, sekolahnya sangat murah, praktiknya mensinergi hidup dengan alam. Ahmad Bahrudin sepertinya terinspirasi oleh pemikiran Paulo Freire yang sangat terobsesi menciptakan humanisasi melalui pendidikan.
Melihat dunia pendidikan kita yang sebenarnya tahu arah menuju peningkatan kualitas namun dikalahkan oleh kepentingan dan politik sudah saatnya diimbangi oleh para pedagogik kritis yang berani melakukan diversifikasi pendidikan.
Kelahiran pedagog kritis bukanlah sebuah perlawanan terhadap pemerintah, namun sebagai penyeimbang terhadap kebijakan yang seringkali ambigu dan sulit ditembus. Nalar kritisnya penting untuk disuarakan demi kemajuan pendidikan di Tanah Air. Kehadirannya adalah menjawab kebutuhan masyarakat, dan wilayah kerjanya jelas, menciptakan generasi yang mampu berwiraswasta, mensinergikan hidup dengan alam, dan tentu pendidikan yang murah.
Para pedagog kritis sudah saatnya tidak bermain dalam wilayah wacana, namun pada praksis. Buktikan bahwa sekolah alternatifnya mampu menghasilkan wiraswastawan, buktikan bahwa sekolah alternatifnya bisa dinikmati semua masyarakat, buktikan bahwa sekolah alternatifnya efektif dalam penanam nilai.
Melihat kenyataan pendidikan nasional saat ini, kemunculan pedagog kritis sangat dirindukan.

Belajar dari Fenomena Alam

Apa yang bisa dilakukan siswa-siswa di sekolah menyaksikan sanak saudara se tanah air nun jauh di sana terkena musibah gempa bumi ?. Terharu, prihatin, dan empati itulah reaksi yang pertama dilakukan. Selanjutnya siswa-siswa yang menjadi pengurus OSIS masuk kelas dengan membawa kardus untuk meminta sumbangan ke teman-temannya. Recehan, ribuan, bahkan puluhan ribu disumbangkan oleh setiap siswa. Dan uang itu selanjutnya disumbangkan melalui pihak terkait. Dan dipihak lain, dengan dipimpin guru agama semua komunitas sekolah sholat ghaib dan berdoa bersama.
Lalu bagaimana jika bencana menimpa siswa-siswa kita?. Apa yang harus kita ajarkan kepada siswa dalam menyikapi musibah dahsyat gempa bumi?. Pertanyaan – pertanyaan itu penting untuk dikemukakan sebagai bentuk pendidikan preventif atas fenomena alam yang destruktif. Sudah saatnya pendidikan kita berdialektika dengan alam. Mimpi-mimpi untuk mengejar teknologi atau meraih nobel memang penting, namun berdialektika dengan alam juga tak kalah penting. Yang sering menjadi persoalan adalah bagaimana mengajarkan pendidikan preventif itu karena gempa bumi datang tak pernah memberi kabar.
Sejatinya banyak cara untuk mengajarkan kepada siswa tentang pendidikan preventif itu. Gempa yang sudah berkali-kali terjadi (dalam skala yang besar) dan menelan banyak korban harta dan nyawa itu sejatinya dapat dijadikan fenomena untuk dibedah. Kumpulan berita dalam berbagai media dapat dijadikan sebagai bahan untuk ditelaah dan dikaji.
Banyak sajian yang bermutan keilmuan yang dapat dijadikan pelajaran. Antara lain berupa riwayat kegempaan suatu tempat (mitigasi bencana), bangunan tahan gempa, prosedur menyelamatkan diri, tata cara mengelola bantuan, pertolongan pertama pada korban, dan yang tak kalah penting adalah menghayati meta nilai atas peristiwa gempa bumi itu.
Dengan belajar mitigasi bencana maka akan menyadarkan posisi siswa pada letak geografisnya. Ibarat aktor maka harus ada sikap sadar panggung. Dengan memahami letak geografisnya maka akan tahu dimana posisi yang paling aman untuk dituju ketika terjadi gempa bumi. Kesadaran akan posisi ini dapat diperluas diberbagai tempat. Misalnya jika tinggal dihotel harus tahu mana jalan pintas untuk menyelamatkan diri, jika di sekolah jalan mana yang paling mudah menuju daerah yang aman, dan lain sebagainya.
Mitigasi bencana ini juga dapat dijadikan bekal kelak kemudian hari jika siswa sudah lulus dan tinggal di luar kota. Siswa menjadi tahu ada tidaknya potensi gempa di wilayah baru yang ditempati. Jika ada maka siswa menjadi tahu apa yang mesti dilakukan. Tahu bagaimana bangunan harus didesain agar tahan gempa dan tahu titik mana yang harus dituju ketika terjadi gempa.
Pelajaran selanjutnya yang dapat diambil adalah bagaimana mengelola bantuan jika ada. Siswa dapat menelaah beberapa kasus pemberian bantuan yang tidak terdistribusikan dengan lancar. Siswa dapat mencari apa penyebab ketidaklancaran itu. Siswa juga dapat mempelajari kira-kira bantuan apa yang pertama kali sangat dibutuhkan. Tenda, makanan instan, obat-obatan atau yang lainnya. Jenis bantuan tersebut tentu bervariasi sesuai kebutuhan yang paling mendesak.
Jika bantuan yang pertama dibutuhkan adalah tenda maka pelajaran yang perlu disiapkan adalah bagaimana mendirikan tenda yang aman dan nyaman. Pelajaran ini mengingatkan kepada kita betapa pentingnya pelajaran tali temali di Pramuka yang sering kita nafikkan. Jika yang diperlukan adalah makanan instan maka yang perlu diperhatikan adalah ada tidaknya alat masak sehingga makanan instan yang dibutuhkan dapat dipilih sesuai kondisi.
Pelajaran selanjutnya adalah bagaimana menangani korban?. Apa yang mesti dilakukan, siapa yang mesti dihubungi. Dalam konteks ini maka mengenal lingkungan sangat penting. Tahu siapa yang berprofesi sebagai tenaga medis di lingkungan kita, di mana puskesmas terdekat yang bisa dijangkau, dan pengetahuan tentang PPK juga sangat penting.
Pelajaran lain yang bisa diajarkan adalah bagaimana menjadi relawan. Apa saja syaratnya, keterampilan apa yang diperlukan, dan prosedur apa yang mesti ditempuh perlu disosialisasikan dalam pendidikan preventif sehingga menggugah kesadaran kepada siswa kita betapa pentingnya sikap saling tolong-menolong.
Dan dari semua pelajaran di atas, yang tak kalah pentingnya adalah menghayati meta nilai atas fenomena itu. Dalam konteks guru agama, fenomena itu dapat dijadikan sebagai peringatan dari Sang Khaliq kepada manusia. Dari peringatan itu maka sikap yang perlu diambil adalah instropeksi diri secara kolektif. Selanjutnya guru juga harus meluruskan pemahaman siswa yang mulai tergerus oleh ramalan para futurolog yang menyatakan bencana itu sebagai serentetan kejadian untuk menuju kiamat yang sudah diprediksikan terjadi pada tahun 2012. Guru harus menjelaskan dengan logika dan pendekatan tekstual yang dapat menguatkan persepsi siswa. Meluruskan pemahaman ini penting agar siswa tidak pesimis terhadap masa depan hidupnya.
Fenomena alam adalah teks yang multi tafsir. Bergantung pada siapa yang menafsirkan. Bagi pendidik yang berkecimpung dalam ranah rasionalitas dan religius tentu harus mengajarkan siswanya dalam dua perspektif, yakni perspektif ilmiah sebagai gejala alam dan perspektif religius sebagai ujian dan peringatan Sang Khaliq kepada makhluknya.
Fenomena alam memang tak bisa dihindarkan, namun belajar atas fenomena alam setidak-tidaknya akan memberi pelajaran kepada siswa dalam bersikap dan bertindak.Dan belajar memahami atas fenomena itu menjadikan siswa kita menjadi generasi yang penuh pengharapan.

Membangun Budaya Bersih di Angkutan Umum

Jika kita melakukan perjalanan jarak jauh tentu yang kita cari adalah kenyamanan. Rasa nyaman menjadikan perjalanan asyik dan tidak membosankan. Apalagi perjalanan tersebut tujuannya untuk liburan. Kenyamanan dalam perjalanan ditentukan oleh kualitas jalan yang dilewati, fasilitas alat transportasi yang memadai, keamanan dalam kendaraan, pelayanan dari crew yang baik, dan yang tak kalah penting adalah kebersihan dalam kendaraan atau alat transportasi yang kita gunakan.
Kenyamanan dalam alat transportasi kita memang serba kurang, bahkan mengkhawatirkan. Menggunakan pesawat terbang takut jatuh, maklum hampir setiap tahun ada saja pesawat terbang komersial kita yang jatuh, gagal terbang, atau gangguan yang lainnya. Banyak pesawat yang kelayakan terbangnya patut dipertanyakan.
Perjalanan laut pun mulai tak nyaman. Gelombang tinggi, kapal karam, dan pembajakan menjadi ancaman yang serius. Tenggelamnya kapal menjadi fenomena yang sering kita jumpai karena kapal kelebihan muatan atau penumpang (over loading).
Sementara pelayanan bus yang dinilai paling aman juga tidak senyaman yang dibayangkan. Pembiusan, copet, calo, dan pelayanan menjadi faktor ketidaknyamanan itu. Bus yang statusnya “patas” identik dengan padat tak terbatas. Bayangkan saja banyak bus yang berlabel eksekutif masih saja ngompreng atau menaikkan penumpang di perjalanan dengan alasan agar tidak rugi atau setidak-tidaknya BEP (break event point) alias tidak nombok.. Sedangkan bus yang labelnya ekonomi, kualitasnya banyak yang mengkhawatirkan, kadang membikin ciut nyali ketika sudah rebutan penumpang. Apalagi kalau lagi ngerem, aroma kampas rem atau ban gosong menyengat membuat was-was juga. Sementara kereta api kita kadang masih terlambat jam keberangkatannya, kadang dilempari batu orang yang tak bertanggung jawab (terlebih di malam hari), dan kebersihan dalam kereta yang patut disayangkan kecuali kereta kelas eksekutif.
Masalah kebersihan dalam perjalanan memang sangat memprihatinkan. Penumpang dengan seenaknya membuang sampah di bawah joknya sendiri-sendiri, bahkan banyak pula yang membuang sampah lewat jendela. Jika sampah sudah banyak datang orang peminta-minta dengan alasan membersihkan sampah. Itu bagus jika tujuannya benar-benar membersihkan sampah. Namun kadangkala tujuannya lain, mencari kesempatan dalam kesempitan.
Aroma sampah dalam kendaraan sangat membuat perjalanan menjadi tidak mengasyikkan. Dapat membuat penumpang muntah-muntah. Aroma sampah dan muntahan akan semakin tidak enak ketika di ruangan bus atau kereta tempat kita menumpang ada yang merokok. Sungguh membuat perjalanan semakin tidak nyaman. Apalagi jika jalanan macet.

Membangun budaya bersih
Sejujurnya kenyamanan dalam kendaraan adalah harapan semua penumpang. Namun seringkali kenyamanan itu dirusak sendiri. Belum ada kesadaran bagaimana agar dirinya nyaman dan tidak menganggu kenyamanan orang lain. Belum ada sikap toleran dalam perjalanan. Sikap-sikap tersebut harus dirubah menuju sikap yang santun dalam perjalanan, budaya toleran, dan tentu budaya bersih dalam perjalanan. Mengubah budaya tersebut memang tidak mudah, namun harus dilakukan.
Dalam ilmu psikologi untuk mengubah budaya atau perilaku seseorang dapat dilakukan dengan cara modifikasi perilaku. Modifikasi perilaku menurut Bootzin (dalam Soetarlinah Soekadji, 1983) merupakan usaha untuk menerapkan prinsip-prinsip proses belajar maupun prinsip-prinsip psikologi hasil eksperimen lain pada perilaku manusia. Dalam perspektif behaviorist modifikasi perilaku didefinisikan sebagai penggunaan secara sistematis teknik kondisioning pada manusia untuk menghasilkan perubahan frekuensi perilaku sosial tertentu atau tindakan mengontrol lingkungan perilaku tersebut (Powers & Osborn, dalam Soetarlinah Soekadji, 1983). Tujuan yang hendak dicapai dari modifikasi perilaku adalah adanya perubahan-perubahan yang diharapkan yang meliputi; peningkatan, pemeliharaan, pengurangan dan penghilangan, serta perkembangan atau perluasan perilaku.
Dalam modifikasi perilaku diperlukan pengukuhan-pengukuhan atau penguatan untuk mengubah perilaku sesuai yang diharapkan. Perubahan perilaku penumpang yang kurang memperhatikan kebersihan dapat dilakukan dengan pemberian pengukuhan berupa; tersedianya tempat sampah yang memadai dalam satu gerbong kereta api atau dalam bus, adanya larangan untuk membuang sampah sembarangan, larangan membuang sampah lewat jendela, adanya larangan merokok, dan bisa juga dengan pemberian denda bagi yang melanggar. Dapat pula diberikan pola atau cara membuang sampah, misal sampah harus dikumpulkan dalam kantong plastik dalam keadaan tertutup dan nanti ada petugas yang mengambil sampah.
Untuk armada bus mungkin susah karena menyamakan persepsi semua PO Bus tentu susah apalagi antar PO Bus bersaing dalam mencari konsumen. Alih-alih membudayakan perilaku bersih, bisa jadi upaya modifikasi perilaku malah menjadikan bus kehilangan penumpang karena dinilai terlalu rewel. Meskipun demikian pengukuhan-pengukuhan yang positif (tidak memberi denda atau hukuman) patut dilakukan, misal pemberian kantong-kantong plastik untuk membuang sampah.
Namun untuk kereta api atau kapal laut tentu lebih mudah karena tidak ada persaingan. Uji coba modifikasi perilaku untuk menjaga kebersihan dan kenyamanan dalam perjalanan hendaknya dilakukan secara terus-menerus sehingga perilaku bersih tersebut menjadi terpelihara dan membudaya. Kenyamanan dalam perjalanan tentu tidak saja menguntungkan bagi pengguna alat transportasi saja namun juga perusahaan penyedia transportasi. Untuk itu menjadi tugas bersama menjaga kenyamanan dalam perjalanan utamanya kebersihan karena sejak kecil kita telah diajarkan bahwa kebersihan itu sebagian dari pada iman.

Narsis, Perlu atau Tidak ?

Dalam percakapan sehari-hari kita seringkali mendengar istilah lebay dan narsis. Di sinetron, film, reality show, apalagi acara yang berbau gosip dua kata tersebut sedang in, seringkali diucapkan oleh host (pembawa acaranya). Bahkan tanpa sengaja kita seringkali mengatakan ih lebay amat jika melihat sesuatu yang berlebih-lebihan dan dipaksakan. Kita juga seringkali mengklaim tayangan iklan atau sikap seseorang dengan mengatakan narsis amat loh, jika apa yang ditampilkan terlalu memuja diri, merasa dirinya paling perfect dan paling benar.
Dalam kajian psikologi, narsistik termasuk gangguan kepribadian. George Boeree (2008) menyatakan narsistik merupakan sebuah pola mendalam sikap membesar-besarkan (dalam fantasi atau prilaku), kebutuhan akan pemujaan, dan kurangnya empati, yang dimulai sejak masa dewasa awal dan hadir dalam berbagai konteks. Ada beberapa gejala narsistik yakni:
1. Membesar-besarkan pemahaman akan nilai penting diri. Seseorang memaksakan dirinya agar dinilai atau dipandang sebagai individu yang superior, cemerlang, kaya akan prestasi, dan serba lebih dihadapan orang lain meskipun pada kenyataannya apa yang dia anggap atau ia citrakan tidak sepadan dengan prestasi yang diraih.
2. Asyik dengan fantasi akan kesuksesan, kekuatan, kecerdasan, kecantikan atau ketampanan, atau cinta sejati yang tiada batas. Orang yang panjang angan-angan dapat digolongkan sebagai orang yang narsis.
3. Meyakini bahwa ia seorang yang spesial dan berstatus tinggi, pada hal sebetulnya ia biasa-biasa saja.
4. Butuh penghargaan yang berlebihan, tidak mau dianggap sebagai individu yang biasa-biasa saja.
5. Punya perasaan istimewa, yaitu harapan-harapan yang tidak selayaknya, khususnya terhadap perlakuan yang menguntungkan atau pemenuhan otomatis terhadap harapan-harapannya.
6. Eksploitatif secara interpersonal, yakni mengambil keuntungan dari orang lain untuk mencapai tujuannya sendiri. Istilah yang lebih keren : biar orang lain buntung, asal saya untung.
7. Kurang empati: yaitu tidak adanya kemauan untuk mengenal atau mengakui perasaan-perasaan dan kebutuhan-kebutuhan orang lain.
8. Sering iri terhadap orang lain, dan menganggap orang lain dengki terhadap dirinya.
9. Menunjukkan sikap atau perilaku yang angkuh, arogan, atau gumedhe.
Dalam kadar tertentu, setiap manusia tentu ada kadar narsisnya.Asal jangan terlalu, penulis anggap wajar, sebab dalam kehidupan dan beraktualisasi diri tentu seseorang butuh pengakuan, pujian, dan persepsi hebat dari orang lain terhadapnya. Unsur-unsur narsis kadangkala juga dibutuhkan ketika kita membangun kepercayaan diri apalagi disaat kita menebar pesona. Calon legislatif, calon gubernur, calon kepala desa, dan tentu calon presiden pun kadang harus narsis ketika beriklan atau kampanye. Narsis diperlukan juga ketika seseorang melakukan kegiatan propaganda atau mempengaruhi orang lain. Dalam beriklan tentu semua calon-calon pejabat di atas mengklaim dirinya paling ampuh, paling bisa memenuhi ekspektasi rakyat, dan paling nomor satu layaknya iklan kecap. Bahkan untuk memperkuat pencitraan perlu didukung kajian-kajian ilmiah, misalnya penggunaan data statistik, polling, atau opini masyarakat yang semuanya telah dirancang terlebih dahulu (by design) agar narsisnya terlihat ilmiah.
Yang paling penting adalah kita dapat menggunakan narsis pada tempatnya dan tidak melewati batas-batas kewajaran meskipun batas itu sifatnya relatif karena tiada takaran yang pas. Takaran yang bisa digunakan adalah kepatutan dan kepantasan.
Dan bagi calon penguasa tentu sikap narsis diperlukan saat kampanye atau beriklan saja. Jangan sampai setelah ditetapkan jadi pemimpin atau pejabat narsisnya tidak hilang atau malah kebablasan karena bisa merugikan diri sendiri.
Dengan demikian narsis tetap saja diperlukan meskipun dalam kajian psikologi dinyatakan sebagai sebuah gangguan kepribadian. Yang penting narsis yang dilakukan tidak menjadikan sombong, takabur, dan merugikan orang lain.

Catatan Pelaksanaan Akreditasi Sekolah

Bulan Agustus sampai Oktober merupakan masa-masa akreditasi sekolah/madrasah di Jawa Tengah. Bagi sekolah/madrasah yang akan diakreditasi nampak sekali peningkatan aktifitas pengelola sekolah/madrasah menyiapkan dokumen, bukti fisik, dan administrasi lainnya. Banyak sekolah/madrasah yang gagap menghadapi akreditasi. Kegagapan itu menggambarkan bahwa selama ini tata kelola sekolah tidak berjalan dengan baik.
Akreditasi sesungguhnya merupakan penilaian kelayakan penyelenggaraan pendidikan dengan kriteria yang telah ditentukan. Ada tiga tujuan dari penyelenggaraan akreditasi yakni; memberikan informasi tentang kelayakan sekolah/madrasah sebagai satuan pendidikan atau program pendidikan berdasarkan Standar Nasional Pendidikan, memberikan pengakuan peringkat kelayakan, dan memberikan rekomendasi tentang penjaminan mutu pendidikan kepada program dan/atau satuan pendidikan yang diakreditasi dan pihak terkait (rekomendasi tindak lanjut).
Ada tiga peringkat atau status hasil penilaian akreditasi yakni; Peringkat akreditasi A (Sangat Baik), jika memperoleh Nilai Akhir Akreditasi (NA) sebesar 86 sampai dengan 100, atau 86 < NA < 100. Peringkat akreditasi B (Baik), jika memperoleh Nilai Akhir Akreditasi sebesar 71 sampai dengan 85, atau 71 < NA < 85. Peringkat akreditasi C (Cukup Baik), jika memperoleh Nilai Akhir Akreditasi sebesar 56 sampai dengan 70, atau 56 < NA < 70. Namun sekolah bisa saja tidak terakreditasi jika; tidak memperoleh Nilai Akhir Akreditasi sekurang-kurangnya 56, lebih dari dua Nilai Komponen Akreditasi kurang dari 56, dan ada Nilai Komponen Akreditasi kurang dari 40.
Berbeda dengan beberapa tahun yang lalu, akreditasi tahun ini dirasa lebih rumit. Setiap sekolah diukur kualitas penyelenggaraannya dengan 8 standar yang menyangkut standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar pengelolaan, standar pembiayaan,standar sarana prasarana, dan standar penilaian.
Sebagai sebuah penilian, proses akreditasi tentu merupakan proses yang menegangkan bagi pengelola sekolah, utamanya yang terlibat dalam panitia akreditasi sekolah/madrasah.Pengelola sering dibuat nervous, merasa inferior. Di sisi lain, asesor dipersepsikan sebagai eksekutor yang menakutkan, dalam posisi superior. Kesalahan dalam mempersepsikan ini membuat situasi yang tidak nyaman. Namun biasanya suasana akan menjadi cair jika asesor mampu memposisikan diri dengan baik, tidak menampakkan diri sebagai eksekutor.

Kelemahan penyelenggaransekolah
Kelemahan mendasar penyelenggaraan pendidikan kita adalah minimnya administrasi yang tertata dengan baik. Dalam istilah Jawa dikenal dengan Ono tilas ono tulis. Kebanyakan ada tilas tapi tak ada tulis.Hal ini menggambarkan bahwa pengelola pendidikan yang terdiri atas kepala sekolah, guru, dan tenaga administrasi tidak terbiasa dengan budaya menulis. Budaya menulis di kalangan guru memang masih rendah. Salah satu indikatornya adalah banyaknya karir guru yang mentok di golongan IV/a dan susah menembus IV/b karena adanya persyaratn membuat karya tulis. Sesungguhnya membudayakan atau membiasakan menulis itu mudah. Dengan berprinsip” catatlah apa yang akan dikerjakan dan catatlah apa yang telah dikerjakan” sebetulnya menjadi modal awal untuk terbiasa menulis.
Kelemahan mendasar yang kedua adalah minimnya pengetahuan dasar-dasar hukum penyelenggaraan pendidikan. Setiap standar pendidikan nasional memiliki landasan hukum yang mestinya dipelajari, ditelaah, dan dipraktikkan dalam penyelenggaraan pendidikan. Dalam konteks akreditasi yang mengacu 8 standar nasional pendidikan maka pengelola sekolah harus memahami 8 landasan hukum yakni ;Permendiknas 22/2006 tentang standar isi, Permendiknas 41/2007 tentang standar proses, , Permendiknas 23/2006 tentang standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan yang terdiri atas Permendiknas 13/2007 tantang kepala sekolah, Permendiknas 16/2007 tentang Guru, Permendiknas 24/2008 tentang tenaga administrasi. Permendiknas 24/2007 tentang standar sarana dan prasarana, Permendiknas 19/2007 tentang standar pengelolaan, PP. 48/2008 tentang pendanaan pendidikan, dan Permendiknas 20/2007 tentang standar penilaian pendidikan.
Kelemahan ketiga adalah lemahnya manajemen penyelenggaraan sekolah. Pengelola sekolah belum terbiasa dengan tiga tahapan kerja yang terdiri atas planning, doing, and reflecting. Sebetulnya planning, doing, and reflecting merupakan tugas utama penyelenggara pendidikan, utamanya guru sebagai ujung tombak pembelajaran. Menyusun action plan dalam bentuk RPP mestinya kewajiban guru sebelum mengajar, namun kewajiban ini seringkali dinafikkan, apalagi guru yang sudah senior yang merasa hafal betul dengan materi yang harus disampaikan ke peserta didik. Akibat dari ketiadaan planning maka pelaksanaan (doing) tidak ada target, kurang fokus, dan cenderung semaunya. Dan reflecting sesungguhnya bukan sekedar menilai siswa, namun lebih dari itu yakni merefleksikan semua kejadian yang terjadi dalam pembelajaran sebagai bahan penyusunan action plan pada pertemuan berikutnya.
Kelemahan keempat adalah ketiadaan tim kreatif di sekolah/madrasah. Tanpa adanya tim kreatif maka ketika menghadapi akreditasi pengelola sekolah kebingungan, kurang paham apa yang harus dilakukan. Tak tahu strategi yang paling jitu. Hal ini dapat dicermati dari adanya sekolah yang meminjam administrasi dari sekolah lain. Tindakan ini sejujurnya tindakan yang lucu. Apa yang dilakukan sekolah lain tentu berbeda dengan apa yang dikerjakan sekolah lainnya. Action plan yang dibuat guru dari satu sekolah tentu berbeda dengan yang dibuat guru di sekolah lainnya, karena berbeda berbagai karakteristik.
Kelemahan kelima adalah tidak memahami instumen akreditasi dengan baik. Kelemahan ini mengakibatkan pengisian instrumen tidak akurat sehingga ada kesenjangan antara apa yang diisi dengan realitas yang ada yang dapat menjadi celah untuk diberi catatan oleh asesor.
Dalam konteks peningkatan kualitas pendidikan mestinya pengelola sekolah membudayakan sikap professional dalam penyelenggaraan pendidikan, tidak saja karena tuntutan akreditasi. Dengan budaya professional maka kelemahan-kelmahan di atas tidak akan ditemukan lagi sehingga sekolah/madrasah senantiasa siap untuk dinilai maupun diaudit.

Pengabdian, Keberkahan, dan Fenomena Gelas Kaca

Mengabdi adalah perbuatan yang mulia. Memposisikan diri sebagai abdi menandakan keluhuran budi, karena hakikat pengabdian adalah ketiadaan pamrih dan penuh keikhlasan. Apalagi pengabdian itu sebagai seorang guru. Guru yang memposisikan dirinya sebagai seorang pengabdi berprinsip semua tindakan dalam kegiatan pembelajaran adalah sebuah layanan (teaching is service).
Dalam konteks kekinian memposisikan diri sebagai abdi tidaklah mudah. Tuntutan kebutuhan hidup yang semakin banyak dan mahal serta tuntutan profesional “memaksa” banyak guru mendekonstruksi makna pengabdian. Pengabdian yang semula bermakna ketiadaan pamrih dan keikhlasan serta mengutamakan keberkahan kini sama dengan pekerja professional yang membutuhkan gaji yang cukup untuk hidup layak dan kenaikan posisi sebagaimana karier dalam industri atau pemerintahan.
Ketidakcukupan gaji dan ketidakpastian nasib berakibat pada kegagalan merekonstruksi pengabdian. Dekonstruksi makna pengabdian dan kegagalan merekonstruksi ulang berakibat pada kejadian-kejadian di luar pakem, misalnya guru mogok mengajar dan berdemonstrasi menuntut hak dan kepastian nasib. Bahkan agar aspirasinya didengar banyak muncul serikat-serikat guru, semisal Forum GTT (Guru Tidak Tetap), Serikat Guru Honorer, dan lain sebagainya. Forum-forum tersebut lebih banyak sebagai kendaraan untuk menyuarakan aspirsi (menuntut hak) sebagaimana serikat buruh ketimbang kegiatan yang berorientasi pada peningkatan kualitas akademik. Melencengnya dari pakem sejatinya mereduksi kesakralan profesi guru.
Posisi pengabdian sebagai guru swasta yang paling tidak nyaman adalah guru swasta yang bernaung di bawah yayasan. Nasib guru swasta di yayasan saat ini tak ubahnya seperti buruh pabrik atau pemain sepakbola. Bekerja berdasar kontrak kerja dengan mengatasnamakan profesionalisme dan dengan mengesampingkan nilai kemanusiaan.
Guru yang kurang berprestasi tidak akan mendapat line up (meminjam istilah dalam kesebelasan sepakbola), dan akibatnya pemberhentian kontrak kerja. Bahkan nasib guru bisa di tangan siswanya karena salah satu tolok ukur kualitasnya ditentukan oleh polling siswa. Ini maklum karena personalia sekolah atau yayasan sudah punya setumpuk lamaran dari para fresh graduate yang dipandang lebih memiliki energi, lebih idealis, dan tentu lebih bisa diberdayakan. “Orang baru” dipandang lebih menguntungkan, dan tentu tidak kritis terhadap kebijakan sehingga status quo tidak terganggu..
Bahkan bagi guru swasta di yayasan, rezeki dalam satu tahun dapat dilihat diawal tahun ajaran ketika menerima surat tugas mengajar. Jumlah jam yang tertera dalam surat tugas mengajar dan jabatan tambahan di luar jam mengajar adalah rezeki yang akan diterima setiap bulannya. Bahkan jumlah jam mengajar bisa naik turun, bergantung jumlah siswa baru yang diterima, ada tidaknya pengurangan kelas karena banyak siswa yang keluar, dan modifikasi kurikulum yang dilakukan yang tentu saja menentukan struktur kurikulum.
Fenomena Gelas Kaca
Menjadi guru swasta dalam yayasan memang posisi yang tidak mudah ditebak. Tidak berprestasi dan dinilai kurang kooperatif rentan dengan pemberhentian kontrak kerja, menerima posisi jabatan berakibat berkurangnya jam dan akan membahayakan posisinya kelak ketika jabatan sudah lepas dan jam sudah digantikan guru lain. Jabatan menjadi buah simalakama bukan?.
Yang lebih tragis lagi adalah mentoknya pengembangan karir jika posisi struktural sekolah telah diisi oleh guru-guru yang yes man atau telah diisi tim yang solid. Pejabat-pejabat tersbut sepertinya tak tergantikan lagi. Guru-guru yang memiliki keinginan untuk berkembang kariernya harus gigit jari karena tidak adanya aturan baku tentang lamanya jabatan. Fenomena ini tak ubahnya seperti fenomena gelas kaca, dapat dilihat namun tak dapat diraih. Pada hal banyak guru yang berpotensi dan siap membawa angin perubahan dan pengembangan. Jika tidak sabar guru akan frustasi.
Fenomena gelas kaca dalam profesi apapun tentu pertanda buruk. Akibatnya jelas, kinerja dan kebijakan monoton, miskin kreasi dan inovasi, dan tentu menjenuhkan. Akibatnya di sekolah timbul apa yang dinamakan pshycological gap antara pengelola atau pejabat struktural dengan guru.
Fenomena gelas kaca ini akan semakin merusak makna pengabdian. Dan yang paling dirugikan tentu siswa. Guru tentu bekerja tidak all out, sekedar menggugurkan kewajiban, bahkan yang senantiasa dipikirkan adalah kapan ada lowongan penerimaan PNS dan berharap diangkat menjadi guru PNS karena merasa tidak betah, tidak diapresiasi oleh yayasan, dan tentu merasa kariernya sudah habis.
Mungkin karier jabatan boleh habis, namun jangan sampai karier intelektual juga tidak ada. Jika kedua-duanya tidak ada, maka kebermaknaan profesi semakin hambar.

Solusi
Bagi sebagian orang, solusi dari fenomena di atas adalah berhenti dan mencari karier di tempat lain. Namun di zaman sekarang, mencari kerja tidaklah mudah, apalagi usianya sudah di atas 30 tahun. Namun jika tetap bertahan dengan kondisi yang kurang menguntungkan, hidup menjadi hambar. Karier jabatan mentok, karier akademik tak berkembang. Sementara jika akan mengembangkan diri di luar jam mengajar kurang waktu karena mencari rezeki dengan menjalani profesi lain untuk menutup kebutuhan rumah tangga.
Mereformasi birokrasi disebuah lembaga tentu tidak mudah jika dilakukan dari dalam, apalagi oleh orang-orang yang posisinya lemah. Posisi pengabdi di mata pengelola adalah orang yang harus bekerja total dengan gaji keberkahan, meskipun penulis yakin berkah itu benar adanya. Namun berkah akan menjauh dengan sendirinya jika ikhlas tidak ada sehingga yang ada hanyalah menggerutu.
Mereformasi yang paling mungkin dilakukan oleh pihak luar (outsider) yang tidak memiliki keterikatan secara struktural maupun emosional. Salah satunya adalah lembaga yang bergerak dalam advokasi pendidikan. Hanya saja selama ini lembaga-lembaga advokasi pendidikan belum banyak dikenal oleh guru, dan belum terjalin kerja sama yang baik.
Reformasi ini tentu tujuannya tidak semata-mata melancarkan bagi siapa saja yang akan membangun karier jabatan, tetapi lebih pada pembelaan agar neraca peran (antara guru dan pengelola) dalam pemenuhan hak dan kewajiban seimbang. Dari keseimbangan itu maka berimplikasi pada peningkatan mutu pendidikan. Tidak itu saja, keseimbangan itu akan mewujudkan kinerja yang ikhlas. Keikhlasan tersebut akan memberi jalan untuk merekonstruksi makna pengabdian dan menghilangkan fenomena gelas kaca karena semua stakeholder memiliki kesadaran. Muara akhir dari kebersamaan, kinerja yang baik, dan keikhlasan adalah keberkahan itu sendiri. Keberkahan adalah sesuatu yang transendentalis, ganjaran yang akan dianugerahkan Sang Khaliq kepada hambanya.

Menyadari Keunikan Diri

Setiap makhluk hidup adalah unik, begitu juga manusia. Uniknya manusia itu seperti tanda tangan, begitu Gordon Dryden dan Jeanette Vos menyatakan (1999). Keunikan adalah potensi, dan itulah keagungan Sang khaliq, Sang Maha Pencipta. Meskipun dua manusia kembar tidak akan sama 100%. Ini artinya manusia tidak dapat dibuat dalam bentuk massal, lain halnya dengan benda mati yang dikerjakan secara massal di pabrikan.
Jelaslah tugas manusia sebagai makhluk yang dibekali pikiran untuk mengembangkan diri atas dasar keunikan yang dimiliki. Maka orang yang bisanya hanya meniru-niru secara massif sejatinya manusia itu telah kehilangan jati dirinya, telah hilang potensi asalnya, atau mengalami krisis kepercayaan diri. Dengan kata lain sukses adalah kemampuan mengelola dan mengembangkan keunikan diri.
Banyak orang yang tidak tahu akan keunikan diri yang dimilikinya. Sejatinya secara lahir dari ujung rambut sampai ujung kaki adalah keunikan yang membawa potensi, begitu juga potensi psikis yang berkaitan dengan kondisi emosi, kecerdasan majemuk, dan tipologi berpikir adalah aset bagi tiap individu. Tuhan Maha Adil, setiap penciptaan dan kehendakNya adalah hikmah dan berkah. Namun acapkali manusia kurang bersyukur, sehingga ciptaanNya yang telah sempurna sering dikonstruksi ulang karena apa yang dianugerahkan Sang Khaliq dianggap merugikan.
Banyak orang yang merebonding rambutnya yang keriting karena dianggap keriting itu jelek, banyak orang yang berjuang mati-matian untuk melawan kebotakan karena botak membuat tidak percaya diri, banyak orang yang suntik silikon agar terlihat sexy, banyak orang yang operasi plastik karena hidungnya tidak mancung atau bibirnya kurang aduhai. Pada hal jika kita menyadari dan bersyukur bahwa rambut keriting itu menjadikan kita menjadi orang yang mudah dikenal karena khas, pada hal botak itu seksi, dan lain sebagainya.
Lalu bagaimana cara kita mengetahui potensi dengan menyadari atas keunikan diri kita?. Sejujurnya banyak yang kita ketahui atas diri kita, hanya saja potensi-potensi itu kurang berkembang karena tidak mendapat pembelajaran dan pelatihan yang mampu mengoptimalkan potensi unik yang dimiliki setiap individu.
Dalam dunia akademik, khususnya dalam psikologi kognitif atau psikologi belajar keunikan manusia menyangkut gaya belajar (modalitas belajar), gaya berfikir, dan kecerdasan majemuk. Ketiga keunikan tersebut memberi pengaruh yang signifikan terhadap kesuksesan seseorang dimasa depan.
Jika seseorang tahu gaya belajar yang dimiliki dan dipraktikkan serta dirangsang sesuai dengan kebutuhan gaya belajarnya maka seseorang akan sukses secara akademik, jika seseorang mampu memahami gaya berfikir yang dimiliki seseorang akan mampu meraih posisi kerja yang relevan dengan gaya berfikirnya, dan jika seseorang tahu kecerdasan majemuknya yang paling dominan maka seseorang dapat memilih keunggulan komparatif dari dirinya yang harus dikembangkan.
Berikut ini penulis sajikan ciri-ciri dan karakteristik dari gaya belajar, gaya berfikir, dan kecerdasan majemuk.
Gaya belajar
Gaya berfikir
Anthony Gregorc (dalam Gordon Dryden dan Jeanette Vos, 1999) - profesor kurikulum dan instruksi di Universitas Connecticut - membagi gaya berpikir ke dalam empat gaya yang berbeda yaitu Sekuensial Konkret, Acak Konkret, Acak Abstrak, Sekuensial Abstrak. Tidak ada gaya berpikir yang lebih unggul antara satu dengan yang lainnya, masing-masing memiliki keunikan tersendiri dan akan menjadi sangat efektif dengan caranya sendiri. Adapun definisi keempat gaya berpikir tersebut adalah :
a. Sekuensial Konkret.
Persepsi yang konkret dan pengaturan informasi yang sekuesial menghasilkan kombinasi Sekuesial Konkret. Pemikir Sekuensial Konkret mendasarkan dirinya pada realitas, mereka memproses informasi dengan cara teratur, urut, dan linier. Cara belajar yang terbaik bagi orang dengan tipe ini adalah praktik. Mereka memperhatikan dan mengingat berbagai detail dengan mudah baik mengingat fakta-fakta, informasi spesifik, rumus-rumus dan berbagai peraturan. Tipikal orang ini adalah pelajar yang pekerja dan teratur, lebih mengutamakan hasil/ kualiatas dari pada jumlah/ kuantitas sehingga dalam berorganisasi jabatan yang memerlukan kerapian dan keuletan seperti sekertaris atau bendahara merupakan jabatan yang cocok untuknya.
b. Acak Konkret.
Persepsi yang konkret dipadukan dengan pengaturan informasi yang acak menjadikan seseorang memiliki cara berpikir dominan Acak Konkret. De Porter (1999) menyatakan, ”Seperti halnya Sekuensial Konkret, mereka mendasarkan diri pada realitas, tetapi cenderung melakukan pendekatan coba-coba. Oleh karena itu, mereka sering membuat lompatan intuitif yang diperlukan untuk pemikiran kreatif sejati. Mereka memiliki kebutuhan yang kuat untuk menemukan alternatif dan melakukan berbagai hal dengan cara mereka sendiri.”
Orang dengan tipe Acak Konkret memiliki kebiasaan mengakhirwaktukan kegiatan, namun demikian mereka tetap merasa enjoy, suka bersaing daripada bekerja sama. Persaingan akan membuat mereka selalu ingin menjadi yang terbaik. Dalam berorganisasi, kreatifitas yang dimilikinya membuat mereka sering dipercaya untuk mengetuai beberapa kegiatan. Jabatan yang memiliki ruang gerak yang luas untuk berekspresi membuat mereka nyaman. Dengan kata lain orang dengan tipe Acak Konkret cocok dengan jabatan pemimpin.
c. Acak Abstrak
Pemikir Acak Abstrak mengatur informasi melalui refleksi dan berkembang pesat dalam lingkungan tak terstruktur dan berorientasi kepada manusia. Kombinasi persepsi yang abstrak dengan pengaturan informasi yang acak menjadikan pemikir acak abstrak seorang yang sensitif, perasa, dan mudah terbawa suasana (www.hudzaifah.org). Hal ini membuat mereka menjadikan perasaan sebagai bahan pertimbangan, baik perasaan sendiri ataupun perasaan orang lain sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengambil suatu keputusan.
DePorter menyatakan, “ Dunia ‘nyata’ bagi para pelajar Acak Abstrak adalah dunia perasaan dan emosi. Mereka menyerap berbagai gagasan, informasi dan kesan lalu mengaturnya kembali melalui refleksi. Mereka dapat mengingat dengan baik jika informasinya dibuat menurut selera mereka dan akan merasa dibatasi ketika ditempatkan di lingkungan yang terstruktur.” Dalam berorganisasi posisi yang cocok untuk orang dengan tipe ini ialah yang berkaitan dengan kejiwaan seperti posisi humas.
d. Sekuensial Abstrak
Persepsi abstrak yang dikombinasikan dengan pengaturan informasi yang sekuensial membentuk seseorang dengan cara berpikir dominan Sekuensial Abstrak. Pemikir Sekuensial Abstrak sangat suka sekali dengan dunia teori dan pikiran Abstrak (Dryden dan Vos, 1999). Mereka adalah penggagas yang brilian, pemikir yang menemukan gagasan yang kadang-kadang tidak terpikirkan oleh orang lain. Proses berpikir mereka logis, rasional, dan intelektual. Aktivitas favorit mereka adalah membaca. Karena cara berpikir yang konseptual dan menganalisis informasi menjadikan mereka berpotensi menjadi filosof dan ilmuwan peneliti yang hebat. Jabatan yang cocok dengan orang seperti ini adalah Litbang.

Kecerdasan Majemuk
Hakikat inteligensi
Intellegence atau inteligensi dalam Kamus Psikologi didefinisikan kemampuan berurusan dengan abstraksi-abstraksi; kemampuan mempelajari sesuatu; kemampuan menangani situasi-situasi baru (Kartini Kartono dan Dali Gulo, 2000). Rita L. Atkinson (1990), dkk menyatakan inteligensi sebagai kapasitas umum untuk memahami dan menalar sesuatu, yang mengejawantahkan diri dalam berbagai cara. Menurut Binet dan Simon (1905) dalam inteligensi terdapat suatu kecakapan dasar yang akan mempengaruhi kehidupan praktis berupa akal sehat yang akan memberi pertimbangan dalam melakukan tindakan, cita rasa praktis, inisiatif, dan kecakapan untuk beradaptasi. Usaha untuk mengetahui hakikat intelegensi berarti usaha untuk mengetahui apa inteligensi itu sendiri. Inteligensi sebagai entitas yang abstrak dideferensiasi menjadi lima konsepsi, yakni konsepsi bersifat spekulatif, pragmatis, faktor, operasional, dan fungsional (Sumadi Suryabrata, 2004).
Spearman menyatakan konsepsi spekulatif-filsafati intelegensi terdiri atas tiga kelompok yakni kelompok umum, daya jiwa, dan daya khusus. Ebbinghaus (1897) mendefinisikan inteligensi sebagai kemampuan untuk membuat kombinasi, sedangkan Terman mendefinisikan inteligensi sebagai kemampuan untuk berfikir secara abstrak. Inteligensi sebagai daya jiwa adalah persatuan dari pada daya jiwa yang khusus, dan inteligensi sebagai daya khusus merupakan taraf umum yang mewakili daya-daya khusus.
Inteligensi dalam perspektif pragmatis menurut Boring merupakan apa yang dites oleh tes inteligensi. Tes inteligensi dalam perspektif umum menggali sejumlah kemampuan mental yang relatif tidak tergantung satu sama lain (Rita L. Atkinson (1990). Konsepsi faktor tentang inteligensi merupakan upaya mengetahui inteligensi dengan teknik analisis faktor. Analisis faktor merupakan teknis matematika yang digunakan untuk menetapkan jumlah minimum dimensi atau faktor yang menimbulkan hubungan (korelasi) yang tampak diantara respon subjek pada sejumlah tes yang brbeda. Tokoh-tokoh yang membidanginya antara lain Terman, Thomson, Cyrill Burt, Thurstone, dan Guilford.
Terman, dalam analisis faktornya menemukan bahwa tingkah laku manusia disebabkan oleh dua faktor yakni general factor (g), dan special factor (s). Kedua faktor tersebut diformulasikan sebagai berikut:

Tl1 = g + s1
Tl2 = g + s2
Tl3 = g + s3
Faktor umum merupakan faktor bawaan, sedangkan faktor khusus merupakan faktor yang dipengaruhi oleh lingkungan.
Teori Thomson menyangkal teori Terman, menurutnya tidak ada faktor umum yang bersifat bawaan, yang ada adalah faktor khusus yang dipengaruhi oleh pendidikan. Cyrill Burt menambahkan teori Terman dan pada dasarnya setuju dengan konsepsi yang disusun oleh Terman, hanya saja Burt menambahkan satu faktor lagi yang disebut dengan commom factor (faktor kelompok). Teori Burt diformulasikan sebagai berikut:
Tl1 = g + c + s1
Tl2 = g + c + s2
Tl3 = g + c + s3
Faktor kelompok yang dimaksud oleh Burt adalah faktor yang mempengaruhi oleh sejumlah tindakan, tetapi tidak pada semua tingkah laku. Thurstone pada pripsipnya sama dengan Burt, hanya saja menambahkan faktor kelompok menjadi tujuh macam, meliputi: faktor ingatan, faktor verbal, faktor bilangan, faktor kelancaran kata-kata, faktor penalaran, faktor persepsi, dan faktor ruang. Guilford menambahkan bahwa faktor kelompok tersusun atas 120 macam, hal ini dipengaruhi oleh tiga dasar yaitu: proses psikologis (cognition, memory, divergen production, convergent production, evaluation), materi yang diproses (figural, symbolic, semantic, behavioral), dan bentuk informasi yang dihasilkan (unit, classes, relations, systems, transformation, implications).
Konsepsi operasioal tentang inteligensi menolak teknik analisis faktor dalam mengetahui hakikat inteligensi. Konsepsi operasional tidak setuju karena alanilis faktor tidak dapat dilakukan secara operasional. Inteligensi dalam konsepsi fungsional dinyatakan oleh Binet. Menurut Binet (dalam Sumadi Suryabrata) hakikat inteligensi ada tiga macam, yakni:
a. Kecenderungan untuk menetapkan dan memperjuangkan tujuan tertentu.
b. Kemampuan untuk menyesuaikan dengan maksud untuk mencapai tujuan itu.
c. Kemampuan untuk oto-kritik, dan belajar dari kesalahan sendiri.
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Inteligensi
a. Faktor genetik
Faktor bawaan, yang disebut juga faktor keturunan atau faktor herediter, adalah faktor-faktor yang menjadi penyebab mengapa ikan berenang, burung terbang, sapi berkaki empat, dan lain sebagainya (Saifuddin Azwar , 1996). Sebagian besar penelitian membuktikan inteligensi berkaitan erat dengan faktor genetik. Tingkat korelasi antara inteligensi dengan faktor genetik disajikan dalam Tabel 4 di bawah ini.
Hubungan Korelasi
Kembar satu zigot
Diasuh bersama
Diasuh terpisah
0,86
0,72
Kembar dua zigot
Diasuh bersama
0,60
Saudara kandung
Diasuh bersama
Diasuh terpisah
0,47
0,24
Orang tua/anak 0,40
Orang tua angkat/anak 0,31
Saudara sepupu 0,15
Tabel 4
Inteligensi dalam Hubungan Keluarga
Sumber: Rita L. Atkinson, dkk. Pengantar Psikologi Jilid 2 (Bandung: Erlangga, 1990), hlm 133


b. Faktor lingkungan
Pengaruh lingkungan terhadap individu sebenarnya telah dimulai sejak terjadinya pembuahan. Proses yang paling berpengaruh setelah melahirkan adalah proses belajar (learning) yang menyebabkan perbedaan perilaku individu satu dengan yang lainnya. Kondisi lingkungan yang menentukan perkembangan potensi intelektual seseorang mencakup nutrisi, kesehatan, kualitas stimulasi, iklim emosional rumah, dan tipe umpan balik yang diperoleh melalui perilaku.
c. Kesehatan otak
Otak sangat menentukan kemampuan operasional dari intelegensi individu. Otak yang terdiri dari belahan otak kanan dan kiri mempunyai wilayah kecerdasan-kecerdasan sendiri. Belahan kiri mengendalikan gerakan tangan kanan, dan belahan kanan mengendalikan tangan kiri. Belahan kiri lebih berperan dominan dibanding belahan kanan. Belahan kiri berfungsi mengendalikan bahasa tulis, lisan, kalkulasi matematik, dan kemampuan utamanya melibatkan konstruksi spasial dan indra pola. Sakit atau terganggu pada wilayah tertentu dari otak akan mengganggu kecerdasan pada wilayah tersebut, dan tidak akan mengganggu kecerdasan lainnya.
d. Pendidikan prenatal
Pendidikan pranatal mempengaruhi perkembangan dan kualitas janin, pendidikan prenatal dikondisikan oleh empat aspek, yaitu:
1). Aspek fisik dan material, berkenaan dengan unsur fisik (makanan, gizi, finansial) untuk menjaga kesehatan fisik
2). Aspek moral, berkenaan dengan moralitas orang tua.
3). Aspek intelektual, yakni dimensi – dimensi , minat dan rasa intelektual ibu.
4). Aspek spiritual, yakni perilaku ibadah yang dilakukan ibu (Suharsono, 2002).
3. Pengertian dan Karakteristik Mutiple Intellegences
Kemunculan Multiple Intellegences atau kecerdasan majemuk merupakan perluasan dari kecerdasan tunggal yang dinamakan IQ (intelligency quotient). Multiple intelligences lahir sebagai koreksi terhadap konsep kecerdasan yang dikembangkan oleh Alfed Binet (1904), yang meletakkan dasar kecerdasan seseorang pada intelligences Quotient (IQ). Teori multiple intellegences dinyatakan oleh Gardner pada tahun 1983 dalam bukunya yang berjudul Frames of Mind. Menurut Gardner kecerdasan adalah bahasa-bahasa yang dibicarakan oleh semua orang dan sebagian dipengaruhi oleh kebudayaan di mana dilahirkan. Kecerdasan merupakan alat untuk belajar, menyelesaikan masalah, dan menciptakan semua hal yang bisa digunakan manusia (Linda Campbell, 2004).
Menurut Gardner kecerdasan manusia terdiri atas tujuh macam yaitu:
a. Linguistic intelligence (kecerdasan linguistik), merupakan kemampuan untuk berfikir dalam bentuk kata-kata dan menggunakan bahasa untuk mengekspresikan dan menghargai makna yang komplek. Kecerdasan linguistik meliputi kemampuan memanipulasi tata bahasa atau struktur bahasa, fonologi atau bunyi bahasa, semantik atau makna bahasa, dimensi pragmatik atau penggunaan praktis bahasa (Thomas Amstrong, 2003). Individu yang mempunyai kecerdasan linguistik tinggi akan mahir dalam retorika (penggunaan bahasa untuk mempengaruhi orang lain), mnemonic/hafalan (penggunaan bahasa untuk mengingat informasi), eksplanasi (penggunaan bahasa untuk memberi informasi), dan metabahasa (penggunaan bahasa untuk membahas bahasa itu sendiri). Karakteristik-karakteristik individu yang memiliki kecerdasan verbal linguistik adalah:
1). Mendengar dan merespon setiap suara, ritme, dan berbagai ungkapan kata.
2). Pandai menirukan berbagai suara, bahasa, membaca, dan menulis dari orang lainnya.
3). Lebih mudah belajar melalui menyimak membaca, menulis, dan diskusi.
4). Menyimak secara efektif, memahami, meringkas, menafsirkan atau menerangkan.
5). Mengingat apa yang dibaca.
6). Efektif dalam berbicara.
7). Efektif dalam membaca, memahami dan menerapkan aturan bahasa, ejaan, dan tanda baca (Linda Campbell, 2004).
b. Logical-mathematical intelligence (kecerdasan logika matematika), merupakan kemampuan dalam menghitung, mengukur, dan mempertimbangkan proposisi dan hipotesis, serta menyelesaikan operasi-operasi matematis. Kecerdasan ini meliputi kepekaan pada pola dan hubungan logis, pernyataan dan dalil (jika-maka, sebab-akibat), fungsi logis dan abstraksi-abstraksi lain. Proses yang digunakan dalam kecerdasan ini adalah kategorisasi, klasifikasi, pengambilan kesimpulan, generalisasi, penghitungan, dan pengujian hipotesis (Thomas Amstrong, 2003).
c. Musical intelligence (kecerdasan musik), merupakan kemampuan menangani bentuk-bentuk musikal, dengan cara mempersepsi (menikmati), membedakan (kritikus), menggubah (composer), dan mengekspresikan (penyanyi). Individu yang memiliki kecerdasan musikal mempunyai sensitifitas pada pola titinada, melodi, ritme, dan nada. Karakteristik-karakteristik individu yang mempunyai kecerdasan musik adalah:
1). Mampu mendengar dan merespon bunyi serta mengorganisasi jenis suara ke dalam pola yang bermakna.
2). Belajar lebih mudah jika dilakukan sambil menikmati musik.
3). Mampu merespon musik secara kinestetik, emosional, dan intelektual.
4). Mengenali berbagai aliran musik.
5). Tertarik untuk mengembangkan dan mengasah kemampuan dalam bermusik.
6). Menggunakan perbendaharaan dan notasi musik.
7). Mengembangkan referensi kerangka berfikir pribadi untuk mendengarkan musik.
8). Mempunyai kemampuan dalam berimprovisasi dalam musik.
d. Spatial intelligence (kecerdasan spasial), merupakan kemampuan mempersepsi dunia spasial-visual secara akurat. Kecerdasan ini meliputi kepekaan pada warna, garis, bentuk, ruang, dan hubungan antar unsur tersebut.
e. Bodily-kinesthetic intelligence (kecerdasan kinestetik tubuh), merupakan keahlian menggunakan seluruh tubuh untuk mengekspresikan ide dan perasaan. Kecerdasan ini meliputi kemampuan fisik yang spesifik, seperti koordinasi, keseimbangan, keterampilan, kekuatan, kelenturan, dan kecepatan maupun kemampuan menerima rangsangan. Individu yang bagus dalam kecerdasan kinestetik cenderung belajar dengan mengandalkan modalitas kinestetik. Adapun ciri – ciri individu yang menggunakan modalitas kinestetik adalah:
1). Berbicara dengan perlahan
2). Menyentuh orang untuk mendapatkan perhatiannya.
3). Berdiri dekat ketika berbicara pada orang.
4). Orientasi pada fisik dan banyak bergerak.
5). Memiliki perkembangan awal otot-otot yang besar.
6). Menggunakan jari sebagai petunjuk saat membaca.
7). Menghafal dengan cara berjalan dan melihat.
8). Banyak menggunakan bahasa tubuh.
9). Tidak dapat duduk diam dalam waktu yang lama.
10). Menggunakan kata-kata yang mengandung aksi.
11). Ingin melakukan segala sesuatu (Baban Sarbana dan Dina Diana,2002).
f. Interpersonal intelligence (kecerdasan interpersonal), merupakan kemampuan untuk memahami dan berinteraksi dengan orang lain secara efektif. Ciri-ciri individu yang mempunyai kecerdasan interpersonal yang bagus adalah sebagai berikut:
1). Terikat dengan orang tua dan berinteraksi dengan orang lain.
2). Membentuk dan menjaga hubungan sosial.
3). Mengetahui dan menggunakan cara-cara yang beragam dalam berhubungan dengan orang lain.
4). Merasakan perasaan, pikiran, motivasi, tingkah laku dan gaya hidup orang lain.
5). Berpartisipasi dalam kegiatan kolaboratif.
6). Mempengaruhi pendapat dan perbuatan orang lain.
7). Memahami dan berkomunikasi secara efektif, baik dengan cara verbal maupun nonverbal.
8). Menyesuaikan diri dengan lingkungan.
9). Menerima perspektif yang macam-macam dalam masalah sosial dan politik.
10). Mempelajari keterampilan yang berhubungan dengan penengah sengketa atau mediator.
11). Tertarik pada karir yang berorientasi interpersonal.
12). Membentuk proses sosial atau model yang baru.
g. Intrapersonal-intellegence (kecerdasan intrapersonal), merupakan kemampuan untuk membuat persepsi yang akurat tentang diri sendiri dan menggunakan pengetahuan semacam itu dalam merencanakan dan mengarahkan kehidupan seseorang. Kecerdasan intrapersonal bersandar pada dunia batin, didalamnya tercakup motivasi, penekanan, etika, integritas, dan altruisme. Individu yang mempunyai kecerdasan intrapersonal tinggi mempunyai indikasi sebagai berikut:
1). Sadar akan wilayah emosinya.
2). Menemukan cara-cara dan jalan keluar untuk mengekspresikan perasaan dan pemikirannya.
3). Mengembangkan model diri yang akurat.
4). Termotivasi untuk mengidentifikasi dan memperjuangkan tujuannya.
5). Membangun dan hidup dengan suatu system nilai etik (agama).
6). Bekerja mandiri.
7). Penasaran akan “pertanyaan besar” tentang makna kehidupan, relevansi, dan tujuannya.
8). Mengatur secara kontinu pembelajaran dan perkembangan tujuan personalnya.
9). Berusaha mencari dan memahami pengalaman “hatinya” sendiri.
10). Mendapatkan wawasan dalam kompleksitas diri dan eksistensi manusia.
11). Berusaha untuk mengaktualisasikan diri.
12).Memberdayakan orang lain (memiliki tanggung jawab kemanusiaan).
Ketujuh kecerdasan tersebut oleh Gardner diambah satu kecerdasan lagi yakni kecerdasan natural. Natural intelligence (kecerdasan natural), merupakan kemampuan mengenali dan mengkategorikan spesies flora dan fauna di lingkungan sekitar.
Ciri-ciri kecerdasan natural pada individu adalah :
1). Suka dan akrab dengan berbagai hewan peliharaan.
2). Sangat menikmati berjalan-jalan di alam terbuka seperti kebun, taman, hutan, dan sebagainya.
3). Menunjukkan kepekaan terhadap panorama alam, seperti pemandangan, gunung, awan, pantai, dan sebagainya.
4). Suka berkebun atau dekat dengan taman dan memelihara binatang.
5). Menghabiskan waktu dekat akuarium atau sistem kehidupan alam lainnya.
6). Memperlihatkan kesadaran ekologis yang tinggi.
7). Meyakini bahwa binatang mempunyai hak sendiri dan pelu dilindungi.
8). Mencatat berbagai fenomena alam yang melibatkan hewan dan tumbuhan.
9). Suka membawa pulang serangga, bunga, daun, atau benda-benda alam lainnya.
10). Berprestasi dalam mata pelajaran IPA, Biologi, dan lingkungan hidup (Robinson Situmorang (dalam Dewi Salma Prawira Dilaga dan Eveline Siregar, 2004).
Teori Gardner tentang multiple intellegences mengilhami banyak pemikir dan cendekiawan untuk mengembangkan teori tersebut. IQ, EQ, dan SQ menjadi topik sentral dalam pengembangan teori Gardner. Perbandingan ketiga kecerdasan IQ, EQ, dan SQ disajikan dalam Tabel 5 di bawah ini.
Aspek Intelligence Quotient Emotional Quotient Spiritual Quotient
Struktur Jalur saraf Jaringan saraf Osilasi 40 Hz
Cara berfikir Serial Asosiatif Unitif
Tipe berfikir Rasional Emosional Spiritual
Sifat Otomatis, kaku Fleksibel Dapat berubah
Kelebihan/kekurangan Akurat, cepat, dapat dipercaya Tidak akurat, fleksibel Sangat akurat
Dasar filosofis Newtonian Humanisme Filosofi ketimuran
Respon Naluriyah Terkondisi Berkesadaran
Contoh Sistem pernafasan, pengaturan, tekanan darah, refleks Menghubungkan rasa lapar dengan nasi, ibu dengan cinta, rumah Makna hidup, makna persaudaraan, makna cinta dan nyaman
Mesin Komputer seri Komputer analog Tidak ada
Proses belajar Tidak bisa belajar Dapat belajar Dapat belajar
Proses psikologi Prapersonal Personal Transpersonal
Tabel 5
Perbandingan IQ, EQ, dan SQ
Sumber: Rajendra Kartawijaya, 12 Langkah Membentuk Manusia Cerdas
(Bandung: Hikmah, 2004), hlm. 159

Kesadaran akan keunikan diri sebagai potensi dan energi akan memberi kontribusi jika dikembangkan dan mendapat talent scout/pembantu bakat. Intinya kenali diri Anda, potensi Anda, maka Anda menjadi pemenang, bukan pecundang.

Sukses Adalah Harapan Semua Orang

Sukses adalah harapan semua orang, tanpa kecuali. Secara kodrati sukses merupakan motivasi intrinsik yang datang dari dalam diri individu. Motivasi ekstrinsik tidak lebih dari pelengkap dan penguat untuk mencapai sukses walaupun terkadang memberi energi yang luar biasa.
Sukses bagi sebagian besar orang bukan sekedar kemudahan memperoleh dan mencari alternatif pilihan hidup, lebih dari itu sukses merupakan simbul akan eksistensi diri. Sukses memberi kontribusi yang signifikan dalam aktualisasi diri, artinya semakin sukses seseorang akan mudah untuk bergaul dan berinteraksi dengan orang lain karena memiliki kepercayaan diri yang tinggi.
Sukses sesengguhnya merupakan hasil kerja keras dan doa, no gain without paint. Tanpa kerja keras memperoleh sukses adalah sebuah anugerah, namun pada prinsipnya sukses tidak datang secara kebetulan.
Berharap sukses adalah sebuah energi bagi orang yang mengharapkannya. Energi itu menggerakkan seseorang untuk berfikir, bekerja, berinovasi, dan berkreasi. Berfikir selalu berangkat dari asumsi-asumsi teoritis, aksioma, ataupun thesa. Hasil berfikir akan dipraktikkan dalam bekerja, idealisme dalam pikiran dan teori diejawantahkan dalam realitas kerja. Dari implementasi ranah idealitas ke ranah realitas akan menjadi pengalaman empirik bagi pelakunya. Sudah barang tentu terjadi deviasi atau penyimpangan antara kedua ranah tersebut. Deviasi dan penyimpangan mengakibatkan kinerja terganggu. Akibatnya sukses kerja terhambat, bahkan gagal.
Bagi individu kegagalan bukanlah akhir dari segalanya, prinsip kegagalan adalah sukses yang tertunda harus dipegang teguh oleh orang yang memperjuangkan kesuksesan hidupnya. Kesenjangan ranah idealitas dan ranah realitas yang berpotensi menghambat kinerja tersebut perlu disikapi dengan inovasi. Inovasi diperlukan ketika konsep lama tidak lagi ideal untuk dipraktikkan. Inovasi menjadi jembatan menuju kesuksesan dengan masih berangkat dari teori lama, hanya diubah metode atau caranya saja.
Jika inovasi kurang atau gagal menjadi solusi kesenjangan ranah ideal yang teoritis dan ranah realis yang praktis maka perlu ditempuh langkah terakhir yakni proses kreatif. Proses kreatif merupakan proses mereka ulang (reenginering) konsepsi teoritis yang berada dalam ranah idealis. Dalam mereka ulang (reenginering) dibutuhkan kesadaran atas dimensi kemampuan, dimensi waktu, dan dimensi tempat.
Sesungguhnya untuk menggapai sukses proses kreatif mutlak dibutuhkan karena sangat banyak variabel yang berpotensi menghambat sukses. Kesadaran atas dimensi kemampuan sejatinya merupakan modal pokok bagi seseorang untuk mengkonstruk masa depannya. Dari sinilah action plan masa depan dibangun.
Perumusan action plan adalah sebuah proses penjabaran visi dan misi hidup. Visi senantiasa bertalian dan berlandaskan atas keyakinan hidup, visi adalah way of life bagi setiap orang. Dari visi yang dimiliki, seseorang akan merumuskan misi hidupnya. Misi merupakan operasionalisasi dari visi.
Visi dan misi adalah ruh bagi seseorang. Tanpa kedua hal tersebut maka seseorang tak ubahnya makhluk mati, adanya seperti tak ada. Maka jelaslah sesorang yang tidak memiliki visi dan misi tidak akan pernah sukses karena tiada memiliki energi intrinsik untuk menggapai kehidupan yang lebih baik di masa depan. Orang yang hidupnya tiada terkendali adalah orang yang kehilangan visi dan misi hidup.
Visi dan misi setiap orang pastilah berbeda. Begitu pula cara seseorang memandang kesuksesan. Ada yang memandang sukses adalah ketercapaian material duniawi, ada yang memandang sukses adalah keberhasilan merengkuh kekuasaan, dan ada pula yang memandang sukses adalah keberhasilan dunia sebagai persiapan kehidupan akherat. Yang jelas sejatinya sukses adalah harapan semua orang dalam perspektif dan kadar yang berbeda tergantung latar belakangnya.

Belajar dari Novel “Perampok”

Jika tidak ada aral melintang, hari Rabu tanggal 8 Juli 2009, bangsa Indonesia akan melaksanakan hajat akbar yakni Pilpres (Pemilihan Presiden). Pilpres dalam pesta demokrasi adalah puncak kegiatan yang paling ditunggu-tunggu. Di negara manapun, pilpres selalu menguras tenaga dan menjadi pusat perhatian seluruh warganya, tak terkecuali bangsa Indonesia.
Pergantian pucuk kepemimpinan selalu menarik untuk diperbincangkan. Dari rakyat kecil sampai pejabat tinggi negara, membicarakan pilpres merupakan menu yang paling “lezat”, meskipun dampak pasca pilpres tidak banyak memberi makna perubahan yang signifikan bagi rakyat kecil karena tidak memiliki akses kekuasaan.
Yang paling menarik dibicarakan adalah calon presiden dan wakilnya serta manuver politisi yang akrobatik, yang memacu adrenalin setiap orang yang menyaksikannya. Dalam pilpres kali ini, berbagai manuver yang disebut koalisi paling banyak menghiasi pra pilpres. Ada koalisi besar yang terdiri atas PDI-P, Hanura, Gerindra, dan Golkar, ada golden triangle (PDI-P, PPP, GOLKAR), dan ada pula koalisi jumbo. Semua koalisi tersebut mengarah pada satu titik, yakni memenangkan calonnya untuk menduduki RI-1 dan RI-2.
Yang namanya manuver tentu tidak tersistem, mudah berubah-ubah, (plin-plan) dan tidak bisa ditebak. Istilah jargon Jawa, esok tempe sore dele. Dalam konteks ini sebagai pihak ketiga yang sekedar menyaksikan dibuat bingung. Namun justru kebingungan inilah yang semakin membuat acara pilpres semakin “lezat” bagi siapapun, terlebih pengamat politik.
Namun yang layak digarisbawahi dan diperhatikan secara seksama adalah bahwa manuver itu bisa menjadi pertanda buruk bagi proses pendewasaan demokrasi di tanah air ketika manuver tersebut melanggar etika, amoral. Apalagi manuver tersebut dianggap selalu wajar dengan mengatasnamakan politik sebagai sebuah seni kemungkinan, artinya mengubah yang tak mungkin menjadi mungkin. Jika perilaku dan manuver yang kurang beretika tersebut diteruskan maka perpolitikan di tanah air dapat dikatakan sebagai politik tanpa etika (no ethics in politics).
Dalam tulisan ini penulis menghubungkan pesta demokrasi berupa pilpres dengan substansi novel “Perampok”. Meskipun naskah dramanya telah menjadi masa lalu, ditulis WS Rendra di tahun 1977 namun substansinya masih relevan dengan kejadian sekarang. Benar kata istilah, masa lalu selalu aktual.
Dalam novel “perampok” kita dapat menyimak bagaimana perebutan kekuasaan di Kabupaten Lumajang berakhir dengan tragis. Raden Sudrajat memfitnah Raden Legowo yang nota bene kakak kandungnya hanya demi sebuah kursi kekuasaan. Raden Sudrajat melakukan pembunuhan karakter terhadap Raden Legowo. Raden Sudrajat memang berhasil menduduki kursi adipati, namun tak berlangsung lama karena akhirnya ia bunuh diri setelah terjadi huru-hara (perampokan di mana-mana) yang dimotori Raden Legowo.
Sejarah bangsa ini analog dengan peristiwa di atas. Sejak kemerdekaan rakyat dibuat bingung, antara yang memfitnah dan pemfitnah, antara yang benar dan salah, semuanya kabur alias abu-abu. Sejarah memang tidak pernah hitam-putih bukan?
Kejadian kedua yang analog dengan peristiwa saat ini menjelang pilpres dapat kita simak dari dialog dalam novel “Perampok” yakni:
“Sebelum Raden duduk di situ ketika Raden masih berada entah di mana, guru kita telah bertitah kepadaku. Kata beliau: berangkatlah kamu ke Lumajang, temuilah Raden Legowo yang akan berhenti menjadi perampok dan berhasil duduk sebagai Adipati Lumajang setelah mengalahkan kezaliman adiknya. Katakanlah kepadanya, janganlah sampai ia berkehendak untuk menjadi raja, karena Sultan Agung adalah Raja Tanah Jawa.”
“Janganlah hal itu dikhawatirkan.”
“Aku tidak pernah mempunyai pikiran semacam itu.” (Perampok, 2004: 137)

Dari dialog di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa untuk menduduki sebuah kursi kekuasaan harus dilakukan dengan cara yang beretika. Mendasarkan pada norma yang dianut. Jangan meraih sesuatu kekuasaan melalui cara yang salah, apalagi cara itu merampok. Merampok konteksnya luas, dapat merampok suara, merampok hak, dan lainnya. Penggelembungan suara dan penafikan hak sebagai pemilih adalah sebuah perampokan.
Dialog di atas juga mengajarkan kepada kita bahwa untuk menduduki tahta harus memperoleh mandat dari pemegang kekuasaan tertinggi. Sultan Agung dalam dialog di atas dapat kita ganti dengan rakyat, karena dalam demokrasi rakyatlah yang memberi restu seseorang untuk ditasbihkan sebagai presiden dan wakil presiden.
Selain dialog di atas ada dialog yang relevan dengan pemilihan legislatif dan pemilihan presiden, yakni tentang bagaimana kita menyikapi sebuah kekalahan. Dialog tersebut yakni:
“Oh, di cincin ini ada tersimpan racun. Tetapi ini sebetulnya untuk meracun orang lain, tidak untuk meracun diriku sendiri, tetapi apa boleh buat mati teracun tidak terasa, mati tersiksa akan lebih celaka”……..
“Aku takut mati. Di sana gelap. Aku takut…”.
“Menyerahlah Raden.”
“Aku telah minum racun…” (Perampok, 2004: 132-133).

Dalam kaitannya dengan pilpres saat ini ada beberapa nilai yang dapat diambil dari novel “Perampok”. Nilai itu adalah; pertama: berpolitiklah dengan menggunakan etika, jika etika itu relatif, maka gunakanlah etika yang bersandar agama karena etika dalam perspektif agama itu pasti, tidak relatif, tidak pula nisbi. Jangan melakukan manuver yang tidak kontrol, jangan mengesankan sebagai negarawan yang haus akan kedudukan, yang tamak, yang tidak patut disuritauladani. Kedua: untuk meraih kedudukan dan kekuasaan raihlah dengan cara yang benar, sesuai konstitusi, dan mengedepankan aspek kejujuran. Politik tanpa kejujuran bukanlah merupakan seni mengolah kemungkinan, namun politik yang amburadul.
Ketiga; bersiaplah untuk fair play, menang dan kalah harus disikapi dengan dewasa. Yang menang harus dapat mengayomi yang kalah, yang kalah tak perlu frustasi, tidak perlu mencari celah untuk menggagalkan pihak yang menang, apalagi ditempuh dengan cara yang destruktif. Jangan depresi atas kekalahan, apalagi sampai bunuh diri seperti Raden Sudrajat dalam novel “Perampok”.
Keempat; kemenangan pasangan siapapun adalah kemenangan rakyat, rakyat harus mengakui dan patuh terhadap pemimpin negara sebagai ulil amri. Jika ingin kritis, posisikanlah sebagai opisisi, jadilah oposan yang bertetika.
Sejatinya banyak nilai kehidupan, nilai demokrasi, nilai religius, dan nilai etika yang dapat diambil dari novel “Perampok” . Namun dalam uraian ini penulis hanya mengisahkan dua dialog yang penulis anggap paling relevan dengan kejadian saat ini.
Cukuplah kita belajar demokrasi dengan novel “Perampok”, studi banding keluar negeri hanya menghabis-habiskan dana, mendingan untuk menggalakkan budaya membaca ,bukannya budaya malah plesiran dengan label studi banding.

Karakteristik Generasi Sukses di Masa Depan

Indivisu yang sukses di masa depan adalah individu yang sesuai dengan karakteristik masa depan itu sendiri. Tanpa ada kesesuaian karakteristik maka individu tidak akan mampu berbuat banyak sehingga sulit meraih sukses.
Setiap masa membutuhkan karakteristik yang spesifik. Ditahun 1980-an seseorang yang bergelar sarjana strata satu (S-1) masih mudah mencari kerja, masih memiliki banyak alternatif memilih pekerjaan, namun ditahun 1990-an modal sarjana strata satu sudah mulai kesulitan mencari pekerjaan jika tidak memiliki keahlian khusus baik yang sifatnya kompetitif maupun komparatif. Sekarang, ditahun 2000-an sarjana strata satu semakin dirasa tidak cukup, generasi muda yang berstarata dua (S-2) semakin melimpah dan itu pun masih susah mencari kerja. Gelar sarjana harus dilengkapi hard sklill dan soft skill agar mampu bersaing dalam bursa kerja.
Begitu drastisnya karakteristik generasi yang dibutuhkan setiap zaman mengharuskan individu untuk menyusun blue print segala aktifitas dan berbagai pilihan program pembelajaran dan keahlian guna menyongsong kehidupan yang lebih baik. Tanpa ada perencaan (blue print) seseorang hanya sekedar bertahan hidup (survive) namun tidak mengalami kemajuan (progress).
Meskipun menurut para futurolog masa depan itu sesuatu yang unpredicable (tak dapat dipastikan) namun sesungguhnya ada alur-- yang menyangkut karakteristik – yang dapat dibaca. Kecenderungan perubahan dapat dipahami melalui interaksi global. Kuncinya setiap individu harus siap dalam pusaran informasi, jika tidak maka seseorang akan mudah berada dalam posisi tertinggal, out of date.
Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah bagaimana karakteristik manusia yang dibutuhkan untuk sepuluh tahun atau dua puluh tahun mendatang ?. Skill apa yang dibutuhkan, keahlian apa yang paling banyak dicari, jurusan apa yang paling favorit ?. Semua pertanyaan itu tak mudah dijawab, apalagi berkaca dari realitas sekarang.
Kadangkala kita berpandangan sempit, memandang masa depan dengan kaca mata sekarang. Pada hal masa depan cepat sekali berbeda dengan kondisi sekarang karena perubahan yang kontinyu nan drastis. Dua puluh tahun yang lalu ketika bangsa Indonesia sangat membutuhkan perawat banyak sekali bermunculan akademi perawat, akibatnya terjadi boooming sarjana perawat. Yang terjadi berikutnya adalah banyak sarjana keperawatan yang nganggur. Dulu jurusan geografi sepi mahasiswa, namun tiba-tiba menjadi jurusan yang banyak dibutuhkan ketika bencana timbul dimana-mana dan ketika anomali cuaca semakin tak terkira.

Masa Depan dalam Dunia Datar
The World is Flat, begitu Thomas L. Friedman tulis. Buku kedua setelah The Lexus and The Olive Tree (1991) ini banyak memberi gambaran akan masa depan dalam dunia yang datar. Thomas L. Friedman melakukan antithesis terhadap pernyataan Chisthoper Columbus yang menyatakan dunia itu bulat. Dunia memang benar-benar mengarah dan menuju datar, istilah borderless world (dunia tanpa batas) benar-benar nyata. Esensi dari dunia datar adalah kompresi dunia, opensource dalam berbagai informasi, terbentuknya kelas menengah baru, dan globalisasi lokal dimana terjadi penguatan identitas lokal dan regional.
Dalam dunia yang datar ini membutuhkan karakteristik dari setiap individu. Individu-individu yang nantinya menduduki kelas menengah baru menurut Thomas L. Friedman (2006) ada empat hal yang perlu dipersiapkan dan dilakukan, yakni:
1. Belajar bagaimana belajar yaitu untuk secara terus-menerus menyerap, serta mengajari diri sendiri, berbagai cara baru untuk melakukan hal-hal lama atau berbagai cara baru untuk melakukan hal-hal baru.
2. Antusiasme dan keingintahuan. Dalam dunia datar Indeks Kecerdasan (IQ) masih penting, namun Indeks Keingintahuan/CQ (Curious Quotient) dan Indeks Antusiasme/PQ (Passion Quotient) lebih penting lagi. Dengan antusiasme dan keingintahuan yang tinggi maka tidak seorangpun akan bekerja lebih keras dalam belajar dari pada anak yang ingin tahu. Formula yang diajukan Thomas L. Friedman adalah:
CQ + PQ > IQ
3. Berlaku baik pada orang lain. Dalam dunia datar banyak pekerjaan yang melibatkan kepribadian dan interaksi mendalam antarmanusia. Interaksi tersebut tidak akan berlangsung dengan baik dan nyaman jika seseorang tidak mampu berlaku baik pada orang lain.
4. Manfaatkan otak kanan. Selama ini dunia pendidikan kurang memperhatikan otak kanan dan hanya memaksimalkan otak kiri. Fungsi otak kiri yang berupa perhitungan linier, logis, dan analitis diposisikan lebih untuk mencapai prestasi. Namun dalam dunia yang datar ini dimana manusia dibanjiri oleh data dan dicekik oleh berbagai pilihan peran otak kanan sangat vital untuk membangun entitas yang artistik, empati, melihat gambaran besar, dan kemampuan untuk menelusuri hal-hal yang bersifat transenden.
Dengan melaksanakan keempat hal seperti yang disarankan oleh Thomas L. Friedman sejatinya seseorang telah menuju ke karakteristik generasi masa depan.

Sekolah Para Juragan

Pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional sedang giat-giatnya mengiklankan SMK (Sekolah Menengah Kejuruan). Dari menteri, pengusaha, dan selebritis didaulat menjadi bintang iklan di televisi. Target terakhir adalah terealisasinya rasio 70:30 antara SMK dan SMA.
Rupanya pemerintah menyadari bahwa lulusan SMK dipandang lebih bisa eksis di masyarakat dan di dunia kerja, setidak-tidaknya memiliki skill untuk mencari penghidupan. Sementara lulusan SMA jika tidak melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi harus mengambil kursus atau diklat hingga memiliki keterampilan. Di tengah perekonomian yang sulit, mengambil kursus dan diklat memerlukan biaya yang tidak sedikit hingga memberatkan masyarakat dan tentu menambah beban subsidi untuk pelatihan bagi negara.
Diawal tahun 1990-an SMK yang dulunya bernama STM atau SMEA memang kalah bersaing dengan SMA. SMA lebih punya banyak pilihan untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Di samping itu, sekolah di STM pada waktu itu identik dengan sekolah bagi calon pekerja, calon buruh di pabrik atau industri. Namun kini situasinya berbalik, SMK berada dalam posisi yang menguntungkan. Banyaknya tenaga terampil yang dibutuhkan di luar negeri seperti Korea dan Jepang dengan penghasilan yang besar membuka mata masyarakat dan pemerintah bahwa SMK dapat menjadi solusi dalam pengentasan kemiskinan. Disamping itu menghasilkan devisa bagi Negara yang tentu jumlahnya jauh lebih besar di banding para TKW yang bekerja pada ranah privat sebagai pembantu rumah tangga. Lebih dari itu, bangsa ini jauh lebih bermartabat karena para pekerja memiliki skill dan pengetahuan sehingga tidak diperlakukan semena-mena.
Yang perlu diwaspadai adalah munculnya SMK-SMK baru yang kualitasnya di bawah standar. Kita semua maklum bahwa dengan dicanangkannya rasio 70:30 antara SMK dan SMA banyak masyarakat yang mengambil keuntungan dengan mendirikan SMK secara asal-asalan, yang hanya berprinsip ekonomi, yang penting cari untung dengan mengabaikan kualitas pelayanan standar minimal pendidikan. Pemerintah harus ketat dalam masalah ini, jika tidak maka hanya akan menghasilkan output yang tidak memenuhi standar kompetensi.
Dari pekerja menjadi juragan
Menjadi pekerja lebih baik daripada menjadi penganggur, namun menjadi juragan jauh lebih baik dari pada menjadi pekerja. Pekerja hanya butuh skill, sementara menjadi juragan memerlukan keahlian yang lebih komplek. Paham permasalahan distribusi, pengadaan barang, proses produksi, kualitas produk, estimasi harga dan keuntungan, dan yang sulit adalah memiliki mentalitas juragan.
Banyak orang memiliki keterampilan, namun selamanya menjadi pekerja karena tidak memiliki apa yang disebut dengan mentalitas juragan. Menjadi pekerja penuh resiko. Di PHK jika terjadi resesi, kembali menganggur jika pabriknya bangkrut, dan terkena rasionalisasi menjadi ancaman yang paling serius.
Dengan ancaman yang selalu menghantui pekerja sudah selayaknya generasi ke depan tidak hanya dibekali skill tetapi juga mental juragan.Yang menjadi pertanyaan adalah sudahkan pendidikan di SMK membekali siswanya mentalitas juragan? Selama ini pendidikan kita belum menanamkannya secara serius. Jika ada pelajaran kewiraswastan baru sebatas kognitif, belum pada tataran praktik.
Penulis memandang dalam dunia pendidikan kita sudah selayaknya diberi kurikulum yang dapat membentuk mentalitas juragan. Diperlukan mata pelajaran “jatuh bangun”, yakni mata pelajaran yang melatih bagaimana siswa menjadi orang yang tidak mudah putus asa, yang ulet, yang selalu progresif meski kadang bangkrut dalam usaha. Bahkan senantiasa siap jika harus memulai lagi usaha dari nol ketika menderita bangkrut. Intinya adalah bagaimana menciptakan siswa yang memiliki mental berani mengambil resiko, berani menghadapi masalah, dan berani memecahkan masalah.
Pendidikan yang sudah-sudah miskin sekali penanaman mentalitas juragan. Semua lulusan pinginnya jadi pegawai negeri sipil alias PNS. Maklumlah PNS sudah terlanjur melekat dalam mental masyarakat kita. Mindset masyarakat kita menganggap PNS sebagai Pegawai Nyaman Sekali yang memiliki kasta tinggi di masyarakat.
Dalam implementasi kurikulum “jatuh bangun” untuk membentuk mentalitas juragan, dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain: pertama; memperbanyak kisah-kisah orang sukses yang memulai usaha dari nol. Kisah-kisah itu akan memberi inspirasi kepada siswa bagaimana menjadi sukes. Kisah-kisah itu dapat ditemukan dalam buku-buku atau guru mengkliping dari berbagai media cetak. Kedua; mendatangkan langsung orang-orang sukses yang berprofesi sebagai wiraswastawan di lingkungan sekolah untuk menjadi guru tamu. Contoh langsung tentu lebih mengena, lebih dapat membentuk mentalitas juragan. Apalagi jika guru tamu menceritakan bagaimana ia merintis karirnya sebagai juragan. Ketiga; membiasakan pembelajaran yang menekankan pada pola fikir out of the box, pola fikir yang kreatif, yang tidak sekedar membeo. Pola fikir kreatif akan banyak memberi energi bagi siswa untuk melakukan usaha yang berbeda, sehingga siswa memiliki keunggulan komparatif. Keempat; diperlukan praktik langsung kurikulum “jatuh bangun”. Selama ini praktik yang dilaksanakan hanyalah di industri atau di kantor yang tidak membentuk langsung mentalitas juragan. Sebatas praktik basa-basi, sekedar menggugurkan tugas dalam struktur kurikulum pendidikan. Kelima; sudah saatnya lulusan SMK diberi pinjaman lunak (loan) untuk merintis usahanya, sebab kadang orang tidak mampu memulai usaha karena ketiadaan modal. Keenam; diperlukan pemandu bakat (talent scouter) yang mengarahkan siswa untuk menjadi juragan. Talent scouter akan menjadi pendamping sampai siswa benar-benar dapat memulai usahanya secara mandiri.
Dalam dunia yang rawan dengan berbagai krisis dan resesi ekonomi yang diperlukan adalah orang-orang yang bermental juragan, yang mampu bertahan dengan energi kreatif dan keberanian mengambil resiko.
Dengan demikian sudah selayaknya SMK memperkaya kurikulumnya dengan kurikulum “jatuh bangun” sehingga tidak hanya menghasilkan calon pekerja yang berskill tetapi juga menghasilkan calon-calon juragan. Juragan-juragan yang menggerakkan sektor ekonomi mikro menjadikan negara kuat dan tahan terhadap berbagai krisis. Untuk itu SMK harus bermetamorfosa menjadi Sekolah Para calon Juragan.

Antithesis Atas Kekuasaan

Harta, tahta, dan wanita merupakan target hidup kebanyakan kaum Adam. Merengkuh ketiganya adalah prestasi hidup. Dengan harta seseorang memiliki instrumen untuk mendapatkan tahta dan juga wanita. Dengan tahta seseorang memiliki instrumen untuk mendapatkan harta dan juga wanita. Dan dengan wanita, seseorang tidak hanya mampu mendapatkan harta dan tahta, lebih dari itu, tujuan hidup yang hakikipun akan direngkuhnya yakni kebahagiaan hidup.
Harta, tahta, dan wanita merupakan satu paket yang komplit. Ibarat makanan sudah empat sehat lima sempurna. Maka menjadi mahfum jika seseorang bekerja dengan keras nan cerdas untuk mendapatkan ketiga instrumen tersebut. Pencapaian harta, tahta, dan wanita tidak dapat diurai mana dulu yang mesti diraih. Yang jelas kans yang besar tentu diraih dulu untuk mendapatkan target yang lain. Berbeda dengan kaum Adam, kaum Hawa pun sejatinya berkehendak atas instrumen-instrumen itu, bahkan wanita sejatinya memiliki naluri yang tinggi untuk mengkooptasi pasangannya, lebih dari sekedar merengkuhnya.
Dari tiga instrumen tersebut di atas, kini kita dihadapkan pada persaingan untuk merebutkan tahta yang terkemas dalam pilpres 2009. Jika kita menilik dari semua pasangan capres dan cawapres, sejatinya ketiganya telah merengkuh ketiganya. Semua pasangan telah memiliki harta, tahta, dan juga wanita (pasangan hidup). Namun kini semua pasangan itu juga berkehendak lagi atas tahta (sebagai presiden atau wakil presiden). Penulis yakin niat dari ketiganya bukan berdasar atas ketamakan atas kekuasaan, lebih dari itu, yakni mendarmabhaktikan jiwa dan raganya untuk bumi pertiwi Indonesia.
Jika dipikir-pikir menjadi presiden dan wakil presiden di negara kita yang luas, yang kompleks permasalahannya, yang memiliki banyak hutang luar negeri, dan segudang pengangguran penduduk sebenarnya tidak mengenakkan. Bisa membuat cepet tua, belum lagi didemo di mana-mana. Namun jika melihat antusias ketiga pasangan memperlihatkan bahwa ketiganya merupakan negarawan yang layak kita hormati. Ketiga pasangan mencurahkan semua energi untuk bangsa, tidak seperti para pensiunan atau kakek-nenek lain yang menghabiskan masa tua dengan meminum teh dipagi hari sambil mendengar kicauan burung, menimang-nimang cucu kesayangan, atau duduk nyantai di beranda rumah sambil baca-baca koran.

Meluruskan niat
Yang perlu kita kawal nanti, siapapun yang berhasil memenangkan pilpres 2009 adalah orientasinya. Jangan sampai terjadi disorientasi. Jangan sampai instrumen kekuasan itu digunakan untuk mendapatkan harta dan wanita lagi. Jangan sampai yang terpilih menggunakan instrumen kekuasaan hanya untuk kepentingan kroni-kroninya.
Dalam sebuah wawancara di stasiun televisi beberapa waktu yang lalu calon wakil presiden Wiranto mengatakan bahwa : kekuasaan merupakan instrumen untuk berbuat kemaslahatan. Sungguh merupakan jawaban yang cerdas dan menarik. Jawaban tersebut sekaligus menggugurkan asumsi banyak orang bahwa kekuasaan dijadikan instrumen untuk meraih harta, untuk memperkaya diri dan keluarganya. Yang kita harapkan adalah apa yang dikatakan bukan merupakan retorika berbahasa sebagai sebuah politik tebar pesona namun sebuah pernyataan yang tulus.
Untuk mengukur kualitas pernyataan tersebut sebenarnya dapat dikroscek dari upaya yang dilakukan dalam memenangkan pilpres 2009. Jika upayanya bersih dengan mengedepankan kejujuran dan kemaslahatan maka dapat dikatakan bahwa yang dinyatakan itu sebuah ketulusan, bukan ketamakan atas kekuasaan. Namun jika upaya yang dilakukan penuh dengan tipu daya, black campaign, memanipulasi atau mark up suara maka dengan mudah kita nyatakan bahwa yang dikatakan tidak lebih dari sekedar retorika politik semata.
Namun kadang yang usil bukan calonnya, namun tim suksesnya. Kadang kala calonnya benar-benar clean, namun tim suksesnya yang tidak fair. Maklum tim sukses selalu berupaya dengan sungguh-sungguh agar calon yang diusung berhasil. Keberhasilan calon yang diusung akan memberi akses kekuasaan kepadanya.
Sayangnya kekuasaan itu banyak godaannya. Harus berbalas budi dengan tim suksesnya yang kadang tidak masuk akal, harus kuat dilobi, dan harus hati-hati dengan banyaknya jebakan yang berpotensi menjadi batu sandungan.
Penulis yakin, dengan segudang pengalaman,dengan usia yang sudah matang, dan sudah meraih tiga instrument (harta, tahta, dan wanita) ketiga pasangan akan mampu melewati semua tantangan dan godaan atas kekuasaan. Jika pernyatan bahwa kekuasan adalah instrumen untuk berbuat kemaslahatan dapat direalisasikan maka pernyataan tersebut merupakan antithesis atas pernyataan power tends to corrupt sekaligus antithesis atas kekuasaan.

SEKOLAH UNGGULAN ISLAMI

Pengertian / Ilustrasi Sekolah Unggulan Islami
Sekolah Unggulan Islami adalah tempat proses pembelajaran dengan sistem kurikulum terpadu antara ilmu, agama, ketrampilan hidup, dan dilaksanakan secara simultan yakni melibatkan unsur pendidikan yang meliputi : guru, kurikulum, media , siswa dan penataan lingkungan belajar yang kondusif sehingga mampu berdaya saing menuju terdepan dalam kompetisi dan unggul dalam prestasi serta berorientasi pada “Smart and Good”.
Tujuan diselenggarakannya sekolah sangat berhubungan erat dengan salah satu tujuan negara yakni untuk mencerdaskan kehidupan bangsa / anak bangsa (bukan sekedar kecerdasan intelektual) / agar mampu berdaya guna, dan berhasil guna bagi dirinya, kemaslahatan umat manusia dan alam semesta raya. Oleh karenanya untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan proses pembelajaran dengan pola pendekatan multiple Intelegences dengan mengembangkan kemampuan / kecerdasan yang meliputi : IQ, EQ dan SQ. Tentunya konsep yang ideal tersebut perlu didukung oleh pihak pemerintah dan stake holders atau dewan pengampu pendidikan sehingga menjadi sekolah yang efektif dan unggul dalam kerangka internalisasi nilai - nilai islami. Dengan kata lain sekolah sebagai lembaga dakwah Islam dan pengembangan ekonomi umat merupakan implementasi dari ayat Allah SWT terhadap konsep “ rahmatan lil ‘alamin”.
Sesungguhnya standar pendidikan unggulan islami dapat diterapkan pada jenjang, satuan dan jenis serta pada jalur pendidikan yang senantiasa menginginkan bentuk perubahan konsep mutu pendidikan yang terkendali. Makin bermutu suatu sekolah tentu akan makin diminati oleh masyarakat, sebaliknya sekolah yang tidak berorientasi pada mutu sudah barang tentu daya minat masyarakat untuk menyekolahkan anak-anaknya kurang. Jenjang dan satuan pendidikan yang diselenggarakan Pemerintah Republik Indonesia, antara lain :



1. Jenjang pendidikan dasar dalam satuan sekolah : SD / MI, SMP / MTs,
2. Jenjang pendidikan menengah dalam satuan sekolah : SMA / MA, SMK / MAK
3. Jenjang pendidikan tinggi dalam satuan sekolah : Akedemi, Politeknik, Institute Sekolah Tinggi, Universitas
Berdasarkan jenisnya, pendidikan dapat dibagi manjadi 7, yakni :
1.Pendidikan umum
2.Pendidikan Kejuruan Akademi,Politeknik
3.Pendidikan Akademi
4.Pendidikan Profesi
5.Pendidikan Vocasi
6.Pendidikan Agama
7.Pendidikan Khusus

Adapun pendidikan berdasarkan jalurnya , dapat dikelompokkan menjadi 3 hal , yaitu :
1. Pendidikan formal, yaitu pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah atau institusi swasta berdasarkan peraturan perundang-undangan tentang pendidikan dan undang-undang organik yang berhubungan dengan sistem pendidikan nasional.
2. Pendidikan non formal adalah pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan institusi swasta / masyarakat untuk meningkatkan kemampuan berpikir / ketrampilan hidup.
3. Pendidikan in formal adalah pendidikan dalam keluarga melalui sikap keteladanan.
Tujuan diselenggarakannya lembaga pendidikan adalah untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia dalam dimensi ilmu agama dan ilmu pengetahuan serta ketrampilan hidup melalui proses pembelajaran sehingga diharapkan akan berpengaruh positif terhadap anak didik dalam menghadapi hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.




Masyarakat Barat telah memahami bahwa ilmu dan agama dari sisi filsafat dipahami dan dinyatakan : “Relegion without science is lame, science without religion is blind” artinya agama tanpa ilmu adalah lumpuh, ilmu tanpa agama adalah buta. Dengan demikian ilmu dan agama sangat perlu dikaji dan diamalkan karena akan berguna untuk kemaslahatan dan keseimbangan hidup di dunia dan di akhirat. Sekolah unggulan islami merasa tertantang untuk mengejawantahkan ilmu, agama dan ketrampilan hidup. Melalui efektifitas manajemen sekolah unggulan islami insyaallah akan terjawab essensi dan strategi dalam mengkaji keseimbangan ilmu dan agama serta ketrampilan hidup sebagai pelaksanaan prinsip integrated curriculum school dan internalisasi nilai-nilai islam di muka bumi ini.

Latar Belakang Sekolah Unggulan Islami
Perubahan adalah proses, tahapan, model dan pendekatan sistem yang bermuara pada upaya mencapai tujuan. Pendidikan nasional sebagai wahana untuk merubah cakrawala pandang anak didik ke arah penanaman identitas bangsa Indonesia yang lebih bermartabat dan bermanfaat sehingga perlu diproses dengan pendekatan sistem melalui paradigma pendidikan baru yakni : “ bottom up policy “ dan sudah saatnya ditanggalkan paradigma pendidikan lama yakni : “ top down policy “
Paradigma pendidikan baru : “ Bottom up policy “ merupakan pilihan yang tepat dikarenakan paradigma tersebut terkandung makna pengelolaan sekolah dan prinsip pembelajaran yang dibangun secara bersama dengan menggunakan kriteria : kreatifitas, keterbukaan, membuka inovasi dan menciptakan karakter memanusiakan manusia serta proses pendidikan yang demokratis dan efektif. Sebaliknya paradigma pendidikan yang lama “ Top down policy “ hanya akan melahirkan manusia subyektif, kurang kreatifitas, kurang demokratis, asal bapak senang (ABS) , kurang professional jiwa ketergantungan ( menunggu bantuan baik moril maupun materiil ) sehingga kurang bernilai produktif dan kurang efektif.
Sekolah unggulan islami sebagai alternatif bagi : praktisi, pemerhati, dan masyarakat luas tentu diharapkan mampu melahirkan generasi yang handal, unggul, kreatif, trampil, berbudi bawa laksana dan dapat membuka lapangan kerja melalui kurikulum bermuatan “ life skill dan integreted curriculum serta internalisasi nilai – nilai Islam “. Jika predikat atau citra sekolah unggulan sudah berkibar di masyarakat maka tugas terberat selanjutnya adalah menjaga eksistensi dan mempertahankan esensi nilai unggulan tersebut .
Dengan demikian sekolah unggulan islami mempunyai kriteria, sebagai berikut :
1. Diterapkan paradigma pendidikan “ Bottom Up Policy “ bukan “ Top down policy “.
2 .Berorientasi pada mutu yakni manajemen mutu , kendali mutu dan jaminan mutu.
3. Membangun sistem pendidikan secara utuh dan simultan yang meliputi : guru, anak didik, kurikulum, media dan lingkungan sekolah / kelas yang kondusif.
4. Selalu mengadakan konsolidasi, link sekolah serta perencanaan dan pengembangan
yang mengedepankan “ unggul dalam prestasi dan terdepan dalam kompetisi”.
5. Menciptakan lingkungan sekolah yang islami secara esensional dan eksistensional.
6. Diterapkan sistem pendidikan nasional dengan kurikulum jati diri / muatan lokal
7. Intensifikasi media pembelajaran dengan pendekaatan media alam sebagai wujud
pelaksanaan tadabur
8. Ditegakkan disiplin baik untuk guru dan siswa dengan diterapkan tata tertib oleh team work sekolah serta mengedepankan keteladanan sebagai jaminan mutu diri.
9. Menerapkan sistem administrasi dengan komputerisasi dan administrasi dinding.
10. Menjalin kerja sama yang harmonis antara sekolah dengan komite sekolah serta lingkungan masyarakat

Maksud dan Tujuan Sekolah Unggulan Islami
Banyak anak didik yang sebenarnya potensial namun diproses secara tradisional dan sangat sederhana bahkan ironisnya sekolah tersebut kurang berorientasi pada peningkatan mutu. Sesungguhnya anak didik sebagai Raw in ( bahan mentah ) yang bermutu, dikelola oleh sekolah secara profesional dan maksimal dengan pendekatan pembelajaran yang fun maka akan menghasilkan out put yang bermutu tinggi.
Mendapatkan bahan mentah yang bermutu tinggi tentu dengan penyeleksian ketika penerimaan siswa baru. Hal ini bukan berarti mendikotomikan anak didik menjadi orang yang eklusif atau arogan. Sekolah unggulan islami melakukan tindakan preventif dengan berupaya memilih dan memilah in put untuk menggali dan mengarahkan anak didik agar perkembangan irama potensi anak didik dapat selaras dengan perkembangan zaman. Jika terjadi kesalahan dalam pengelolaan anak didik , dimungkinkan terjadi hal yang tidak kita inginkan yakni ” gab dangerous ” Hal demikian bukan berarti membuat komunitas “ Brilliant School “, akan tetapi justru dengan sekolah unggulan islami diharapkan lahir anak didik yang mempunyai kemampuan dan pribadi dwi tunggal atau dikatakan sebagai pribadi ideal dan utuh “ smart and good “ artinya anak didik yang cerdas dan baik dalam sikap, perilaku dan perbuatannya.
Oleh karenanya sekolah unggulan islami mempunyai karakteristik sebagai berikut :
1. Program Integrated Curiculum School
Kurikulum ini memuat kurikulum nasional yang dijiwai implementasi nilai-nilai islamiah serta dilengkapi life skill atau ketrampilan hidup. Dengan kata lain ada keterpaduan dalam memahami : ilmu, agama dan ketrampilan hidup.
2. Pendidik berkompetensional ( kepribadian, paedagogik, professional dan sosial )
3. Lingkungan sekolah mencerminkan :
a Iklim sekolah yang islami dan kondusif dengan sikap ; senyum , sapa, salam.
b.Pola pendidikan yang demokratis dan terbuka terhadap kritik yang konstruktif.
c.Berpola pikir dan pola sikap yang dinamis atau mengikuti perkembangan jaman
d.Menerapkan kedisiplinan sebagai pilot project system pendidikan melalui penegakkan tata tertib dan didukung rambu-rambu : petunjuk, peringatan, larangan, dan sanksi yang edukatif.
e.Penerapan Bilingual system dalam lingkungan sekolah, antara lain: English day, English area, file triep, conversation, MC.
f. Masjid di sekolah sebagai sentral kegiatan dan pengembangan identitas Islam
g.Banyaknya agenda kegiatan islamiah baik untuk siswa, karyawan, dan pendidik
4. Perwujudan prestasi sekolah : kejuaraan, ketenaran / popularitas, dan keteladanan
5. Membangun sistem organisasi dan tatalaksana baik dewan Guru, Karyawan dan OSIS, Unit Kegiatan Siswa, dsb dengan berdasarkan Standar Operasional Prosedur atau SOP yang telah diformulasikan dan disepakati oleh yang berkompeten
6. Menerapkan pola pembelajaran : Quantum Learning, Student Active Learning
Learning by Fun, pendekatan multiple intelegences, pendekatan kontekstual, dll.
7. Sarana dan prasarana yang representatif/ lengkap
8. Punya program unggulan yakni : agama , bahasa Inggris dan ekonomi praktek antara lain :
a.Bidang pertanian : Pupuk organik, pembibitan, perikanan, persemaian, pupuk cair, bio gas, dll
b.Jasa : BMT, wartel,jasa angkutan, jasa bayar telp, jasa PAM, dll
c.Industri : Production House dengan home industri kecil
d.Perdagangan : Memasarkan hasil produksi dari bentuk usahanya
e.Ekstratif : Jasa tambahan yang bersifat profit (di luar usaha yang dijalani )

Rumusan Sekolah Unggulan Islami
Formulasi sekolah unggulan islami diproyeksikan dalam aneka prinsip kegiatan
diantaranya :
1.Menata kerangka proses manajemen sekolah
2.Mengembangkan eksistensi dan essensi sekolah untuk segenap civitas institusi pendidikan dengan melakukan :
a.Penataan lingkungan fisik agar senantiasa : bersih, aman, tertib, dan indah
b.Penataan lingkungan psikis dengan menegakkan disiplin dan kekeluargaan
c.Pentingnya penggunaan atribut : pakaian identitas muslim dan perlengkapannya
d.Penanaman mental positif yakni : percaya diri, adaptif, dinamis dan konsekuen
e.Penegakkan : tata tertib, sanksi, dan mekanisme penanganan masalah siswa
f.Sosialisasi tindakan preventif agar tidak terjadi pelanggaran peraturan sekolah
dengan : 1).Memberikan petunjuk yang jelas
2).Ada peringatan dan larangan yang jelas
3).Perlunya kode etik sekolah dan norma sekolah
4).Pembinaan rutin oleh Kepala Sekolah, bagian kesiswaan atau guru
yang telah dijadwalkan dan disyahkan oleh kepala sekolah
g.Pelatihan untuk improvement guru maupun karyawan dalam institusi pendidikan
Contoh : 1). Training for new teachers dan Training for new officer
2). Out Bond untuk menguji andrenalin / kekuatan mental menghadapi
tantangan realita hidup, baik dalam kerja maupun di luar kerja
h.Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa ( LDKS ) dalam rangka kaderisasi organisasi siswa intra sekolah atau OSIS
i.Ekstra kurikuler sebagai penyaluran minat dan bakat siswa . Unit kegiatan tersebut antara lain :
1).KIR singkatan dari Kelompok Ilmiah Remaja
2).KBB singkatan dari Kelompok Belajar Bersama
3).ROIS singkatan dari Kerohanian Iislam
4) Cabang – cabang Olah raga ( untuk berprestasi dan kesehatan )
3.Melaksanakan program life skill di satuan dan jenjang pendidikan di sekolah
4.Penerapan standar mutu pembelajaran dengan pola pendekatan antara lain :
a.Menggali kemampuan siswa / guru dengan pendekatan multiple intelegences
b.Aktivasi siswa yang dipandu guru pembimbing dalam bentuk kegiatan- kegiatan : 1). Bedah buku
2). Resume for book
3). Kegiatan sosial keagamaan
4). Dunia usaha tepat guna untuk meningkatkan produktifitas siswa dan institusi di bidang : Agraris, Industri, Jasa, Perdagangan, dan Ekstratif
5).Training for Student / Teachers, antara lain: motivasi, manajemen waktu, dll
6).Program pembinaan dan bukan pembinasaan. ( untuk siswa, dan guru. )
5.Berupaya sukses melalui kegiatan sekolah dengan membangun rencana baru yakni:
a.Mengukur kembali tujuan yang direncanakan untuk mengetahui validitas antara
harapan dan tingkat pencapaiannya. Jadi hal ini mengukur baju badan sendiri dengan ukuran badan sendiri dan bukan dengan ukuran orang lain / lembaga lain.
b.Perlunya konsultan pendidikan yang berpengalaman sehingga mempunyai frame of work atau blue print / program kerja yang baik.
c.Melaksanakan plan system sekolah sesuai dengan yang telah disepakati secara : konsinten, komitmen, dan sinergis.
d.Melaksanakan kegiatan sekolah secara : partisipatif, bertanggungjawab, amanah terhadap tugas, dan fungsinya didasari satu niat, satu fikroh, dan satu tujuan
e.Menggunakan paradigma pendidikan : Bottom Up Policy , bukan Top down policy

About Me

My photo
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Saya adalah seorang pendidik, alumni pasca sarjana dalam bidang pemikiran pendidikan. Essay-assay saya dipublikasikan di Kompas Jateng, Suara Merdeka, Gerbang, Rindang, Media Pembinan, detik.com, okezone.com Pernah Menjuarai penulisan ilmiah kelompok guru di harian Kedaulatan Rakyat, menjadi finalis lomba inovasi pembelajaran di UNNES, dan menjadi pemakalah terpilih dan pembicara dalam Konferensi Guru Indonesia tahun 2007. Tahun 2008 menjadi pemakalah dalam International conference on lesson study di Universitas Pendidikan Indonesia. Tahun 2009 terpilih sebagai penerima dana bantuan penulisan dari PUSBUK. Tahun 2010 menjadi pemenang harapan 3 lomba media pembelajaran tingkat nasional .Buku: 1. Kebijakan Publik Bidang Pendidikan.2. Profil Guru SMK Profesional 3. Editor buku Sejarah Kebudayaan Islam