istighasah hadapi un, perlu?

Tanggal 22 – 24 April siswa tingkat akhir SMA/MA/SMK menghadapi Ujian Nasional, dan tanggal 5 – 8 Mei nanti siswa tingkat akhir SMP/MTs akan menghadapi Ujian Nasional juga. Hajat nasional ini menarik untuk dicermati dalam banyak sudut pandang, dan salah satunya adalah kesiapan setiap sekolah dalam menghadapi ujian Nasional.

Ujian Nasional benar-benar menguras energi seluruh stakeholder sekolah. Guru, wali murid, dan siswa dibuat paranoid oleh ujian akhir yang dijadikan gerbang kelulusan. Kelulusan telah menjadi harga mati dalam dunia pendidikan di tanah air, tidak lulus adalah sebuah kecelakaan sejarah (historical accident) bagi pelakunya.

Ujian Nasional disikapi secara reaktif dan berlebih-lebihan oleh dunia pendidikan di tanah air. Berbagai kiatpun ditempuh agar sukses. Tak peduli apakah itu lulus atau lolos, yang penting passing grade nya terpenuhi.

Guru sebagai ujung tombak menyiapkan serentetan program, dan siswa menjadi objek dari program itu. Tak peduli siswa over load atau tidak diotaknya yang penting show must go on. Maka tak salah jika yang nampak akhir-akhir ini adalah wajah stress dunia pendidikan di tanah air.

Guru selalu menyampaikan tiga resep jitu untuk sukses menghadapai ujian nasional. Resep yang pertama adalah membangun kecerdasan intelektual. Resep ini diterjemahkan dengan aktifitas pengedrilan soal menjelang ujian nasional. Guru dan siswa menjadi kolektor soal-soal ujian nasional di beberapa tahun sebelumnya. Soal dikupas tuntas dengan asumsi soal ujian nasional yang akan datang mirip dengan soal ujian nasional ditahun-tahun sebelumnya. Dalam resep ini sejatinya guru telah memberi resep yang salah, sebab pendidikan diterjemahkan sebagai pengajaran an sich.

Resep yang kedua adalah melatih kecerdasan emosional. Dalam resep ini guru melatih siswa bagaimana untuk tenang dan tidak gugup menghadapi ujian nasional. Guru membekali siswa bagaimana bersikap santun terhadap pengawas ruang ujian nasional dan bagaimana memanfaatkan situasi yang ada.

Dan resep yang ketiga adalah membangun kecerdasan spiritual. Bentuk penerapan resep yang ketiga ini bermacam-macam. Ada yang pensilnya dimintakan doa kepada orang yang dianggap linuwih, ada yang meminta jampi-jampi agar pengawasnya “lunak”, ada yang ke makam guru atau kepala sekolahnya yang telah meninggal, dan ada pula yang menggelar istighasah. Model ketiga (istighasah) merupakan model yang paling banyak dilakukan oleh sekolah.

Istighasah bukanlah sesuatu yang salah, sebab pada hakikatnya istighasah merupakan permintaan tolong manusia kepada Sang Khaliq. Namun istighasah idealnya dilakukan ketika manusia dalam keadaan tersudut (kepepet) sehingga istighasah dijadikan sebagai senjata pamungkas ketika kita tidak berdaya.

Dalam konteks Ujian Nasional sebetulnya siswa tidak dalam keadaan terpojok, sebab siswa mempunyai waktu untuk belajar selama tiga tahun. Terlebih kisi-kisi sudah diberikan sehingga kesempatan untuk berhasil sangatlah besar. Namun pada kenyataannya baik guru maupun siswanya merasa tersudut sehingga istighasah menjadi sesuatu yang mutlak dilaksanakan. Sejatinya perasaan minder menghadapai ujian nasional memberi energi negatif bagi siswa. Mental ini menjadikan siswa cenderung menjadi pecundang dibanding menjadi pemenang. Alangkah lebih baik jika proses belajar dimaksimalkan plus doa baru pasrah (tawakal) kepada Sang Khaliq.

Logika versus magic

Ujian Nasional yang substansinya berada pada tataran logika dan nalar mengalami deviasi. Ranah magic ikut larut dalam hajat ini. Logika telah keblinger. Dengan atas nama sugesti, magic dipertaruhkan untuk melawan logika. Tiba-tiba siswa memperoleh kultur baru, magic menjadi budaya generasi kita. Siapa yang salah?!.

Ibarat pertandingan sepakbola Ujian Nasional adalah partai derby hidup dan mati bagi peserta didik. Guru dan orang tua adalah pemain kedua belas yang banyak mempengaruhi proses tersebut. Dalam partai final yang menentukan ini tentu membutuhkan sugesti agar mantap dalam bertanding. Istighasah adalah bentuk membangun sugesti, namun memintakan doa kepada orang yang dianggap linuwih, meminta jampi-jampi agar pengawasnya “lunak”, adalah sesuatu yang kurang tepat dalam konteks Ujian Nasional.

Sugesti terbaik adalah belajar

Sugesti memang dibutuhkan bagi siapapun, terlebih dalam bertanding atau dalam ujian. Sugesti memberi energi yang mampu melawan ketidakyakinan dan keraguan. Namun sugesti tentunya tidak sembarangan, apalagi berbau magic. Sugesti yang terbaik yang kita ajarkan kepada siswa adalah belajar. Sebab dengan belajar ada proses komprehensif, tidak sebatas pada penguasaan materi sebagai bekal menghadapi Ujian Nasional namun juga memberi energi mental bertanding kepada siswa. Kemampuan menguasai materi sebagai hasil proses belajar yang tekun sesungguhnya linier dengan kepercayaan diri dalam menghadapi ujian nasional. Namun siswa sebagai manusia tentu juga harus kita ajarkan bahwa hakikatnya manusia bukanlah apa-apa sehingga pertolongan Sang Khaliq mutlak diperlukan.

sertifikasi guru dan bisnis sertifikat

Sertifikasi guru telah menyihir guru. Tunjangan profesional sebesar gaji pokok menjadi daya magnet yang luar biasa. Di ruang guru, bahkan di angkot, jika para guru bertemu topik yang dibicarakan tidak jauh dari program sertifikasi guru. Bagi guru, program sertifikasi bak angin surga, sepoi-sepoi dan mengenakkan, bahkan meninabobokkan.

Sertifikasi guru sebagai gerbang profesionalisme guru juga menarik banyak pihak. Tidak hanya guru sebagai pihak yang berkepentingan langsung dengan program pemerintah tersebut, namun juga EO (Even Organizer), pejabat yang berkaitan dengan dunia pendidikan, dosen, bahkan asesor. Sertifikasi seakan telah menjadi “mainan baru” banyak pihak.

Bukti dari pernyataan di atas adalah maraknya tentang seminar sertifikasi guru di berbagai kota, bahkan sampai ke pelosok-pelosok. Jika seminar itu sebagai sebuah sosialisasi bagi para guru di wilayah terpencil itu akan bernilai positif, namun jika sebagai ladang bisnis dan membodohkan atau membodohi guru maka akan bernilai negatif dan menyakitkan.

Lebih tragis lagi dengan terang-terangan bahkan diiklankan pada media masa, sebuah seminar pendidikan menyediakan dua sertifikat sekaligus dalam sekali seminar. Alasannya nara sumbernya ada dua. Seminar macam apa ini ?. Jika model ini terus berlangsung bisa jadi sehari memperoleh sepuluh sertifikat jika nara sumbernya ada sepuluh.

Bahkan di beberapa lembaga pemerintah yang berkaiatan langsung dengan dunia pendidikan seringkali melakukan latihan sertifikasi alias latihan pemberkasan dan tentu memungut biaya yang tidak sedikit. Pada hal tanpa ikut itu semua sudah ada panduan yang jelas tentang pemberkasan yang berisi portofolio guru.

Hilangnya idealisme

Tanpa disadari atau sebenarnya sadar tetapi kita pura-pura tidak menyadari bahwa fenomena di atas menghilangkan idealisme banyak pihak. Seminar yang semestinya kegiatan ilmiah berubah menjadi pasar yang menjajakan sertifikat, bahkan boleh dibilang obral sertifikat. Kaum intelektual seperti dosen yang mestinya memberi pencerahan berubah fungsi menjadi jursem (juru seminar) yang menjajakan makalah usang kepada guru atas nama panggilan intelektual. Dan guru yang mestinya hari itu mengajar, lebih asyik mengikuti seminar dengan mengatasnamakan pengembangan profesi.

Bahkan setiap kali ada penyelenggaraan seminar tentang sertifikasi guru peserta luar biasa banyak sehingga panitia kewalahan. Akibatnya banyak peserta tidak masuk ruang seminar, cukup tanda tangan dan ambil snack, sertifikat seminggu kemudian keluar.

Kejadian-kejadian di atas mengindikasikan bahwa dunia intelektual kita sedang lesu darah, kehilangan ruh intelektual. Yang paling untung adalah (Even Organizer) karena mendapatkan banyak proyek, banyak acara, dan tentu banyak keuntungan. Terlebih acara tersebut berbau ilmiah, melibatkan pakar dan guru sehingga perizinannya mudah, pihak keamanan pun tanpa berfikir panjang akan memberi izin acara sekelas seminar..

Maka tidak mengherankan jika banyak LSM pendidikan ataupun institusi yang menyatakan dirinya concern pada dunia pendidikan sedang meraup banyak keuntungan atas program sertifikasi ini. Banyak acara dibuat, dari diklat kurikulum, diklat metode pembelajaran, diklat profesionalisme guru, dan masih banyak program lagi. Yang jelas semuanya menghasilkan sertifikat yang ada poinnya.

Jika fenomena yang mengandung pembodohan terselebung ini berjalan terus, ke depan bisa jadi fenomena yang lebih konyol terjadi. Misalnya seminar tingkat lokal dinyatakan regional (dalam sertifikatnya), seminar regional dinyatakan nasional, dan seminar nasional dinyatakan internasional. Hal ini sangat mungkin karena tingkatan seminar akan menentukan jumlah poin yang di dapat.

Semoga saja dunia pers tidak kehilangan idealisme sehingga tidak menjual artikel untuk diterbitkan, sebab artikel dalam media cetak juga ada poinnya

Pentingnya Kesadaran Profesi

Bagi guru, sertifikasi sebagai gerbang profesionalisme mestinya tidak dijadikan beban, sebab pekerjaan sebagai guru sejatinya adalah pekerjaan professional. Artinya dalam tugasnya sehari-hari sudah ada hak dan kewajiban yang melekat dalam profesinya.

Dengan demikian sebagai guru mestinya sadar akan kewajiban yang melekat dalam dirinya. Kewajiban untuk mengembangkan kemampuan akademiknya, kewajiban untuk tertib administrasi, tugas untuk penelitian (utamanya penelitian tindakan kelas), pengabdian pada masyarakat, dan lainnya.

Artinya jika sebagai guru menyadari tanggung jawab profesionalnya maka tidak perlu ke sana-kemari mengikuti seminar dadakan yang muncul seperti pasar tiban itu. Guru sudah sepantasnya tidak menjadi “mainan” banyak pihak, untuk itu sangat penting menyadari akan tugas profesionalnya.

Dengan kesadaran atas profesi yang dijalani maka ungkapan teaching is service akan menjadi kenyataan.

Sister School Antarumat Beragama, Perlukah ?

Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla meminta pimpinan umat beragama membangun sinergi yang kuat antarumat melalui program kerja sama antarsekolah atau semacam sister school sekolah-sekolah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, atau Buddha (Kompas, 24 April 2008).

Permintaan Wakil Presiden tersebut dapat ditafsiri sebagai berikut: pertama; selama ini belum atau kurang adanya sinergi antarumat beragama, kedua; selama ini hasil pembelajaran agama di sekolah tidak membekas, yang di dapat sebatas kognitif saja, miskin implementasi nilai, ketiga; kondisi sekarang urgen untuk dilakukan sinergi antarumat beragama.

Kenyataan menunjukkan pasca orde baru negara kita memang rentan konflik sara. Tiba-tiba terjadi euforia primordial, kesukuan, dan pelampiasan dendam lama. Kondisi ini semakin parah ketika terjadi pemilihan kepala daerah secara langsung. Simbol-simbol agama yang suci dijadikan alat untuk memenangkan kontestan pilkada. Truth claim (klaim kebenaran) semakin menjadi-jadi.

Kondisi sekarang sangat kontradiktif dengan sejarah keberagamaan di tanah air yang sangat toleran, mengedepankan assimilasi dan akulturasi, serta menafikkan klaim-klaim kebenaran. Realitas yang cenderung destruktif ini sudah seharusnya dikonstruk ulang sehingga ke depan semua pihak dapat bernostalgia dengan masa lalu keberagamaan kita yang toleran itu.

Salah satu cara adalah dengan revitalisasi pendidikan, sister school antarumat beragama merupakan gagasan yang brilian. Gagasan tersebut akan menjadi realitas jika semua pihak memiliki komitmen untuk mendesain model sister school antarumat beragama yang selanjutnya dilakukan desiminasi ke sekolah-sekolah. Dibutuhkan action plan yang matang agar gagasan itu tidak menguap begitu saja atau hanya indah dalam tulisan namun susah untuk diimplementasikan.

Sejatinya sebelum ide itu diungkapkan, telah ada wacana yang memang senafas dengan ide tersebut. Pluralisme dan multikulturalisme mendahului ide tersebut. Hanya saja terjadi multi tafsir terhadap kedua wacana tersebut. Terminologi kedua wacana yang tidak memiliki grandtheory menjadikan wacana tersebut menjadi bias. Akibatnya susah untuk diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Selalu ada curiga dan was-was dari masing-masing pihak umat beragama terhadap kedua ide tersebut. Bahkan dalam satu agamapun terjadi dikotomi antara yang konservatif dan yang liberal. Jika para pemimpin umat beragama saja masih multi tafsir, lalu bagaimana menjadikan ide sister school tersebut menjadi kenyataan ?.

Di sinilah pentingnya untuk kembali menyusun terminologi sehingga program sister school antarumat beragama benar-benar berbuah toleransi dan bukannya malah menjadikan siswa gamang akan keyakinannya atau mengganggap semua agama sama (global theology).

Menyusun kesamaan terminologi bukanlah pekerjaan yang mudah. Selama ini terminologi yang kita gunakan berangkat dari terminologi Barat, sedangkan terminologi Barat cenderung menolak kelompok transendentalis sebagaimana ide W.C. Smith dalam The Meaning and End of Religion (1960-an).

Demi Bangsa, bukan Demi Wacana

Niat membangun sister school antarumat beragama yang dimulai dengan kesamaan terminologi harus mengutamakan kemaslahatan, demi tanah air, bukan demi wacana. Kekurangberhasilan terhadap pluralisme dan multikulturalisme dapat dimaklumi karena kita gamang dengan kedua gagasan tersebut, disamping kita telah teracuni thesis-thesis Barat yang cenderung destruktif seperti thesis Samuel Huntington yang menyatakan politik global kontemporer adalah perang muslim, yang menggantikan posisi perang dingin sebagai konflik internasional. Kondisi sekarang diperparah oleh ide pembuatan kartun Nabi Muhammad SAW dan film berdurasi pendek yang bertitel Fitna.

Menghadapi polemik ini, para tokoh umat beragama harus hati-hati, tidak perlu reaktif. Yang penting untuk dilakukan adalah membangun komunikasi sejak dini dengan menanggalkan thesis-thesis yang kontradiktif.

Jika para pemimpin umat beragama di tanah air tidak lagi memandang thesis-thesis itu sebagai sebuah embrio kenyataan maka yang di dapat adalah berpikir jernih sehingga ide sister school antarumat beragama itu dapat direalisasikan.

Dalam posisi pikiran yang jernih maka kontekstualisasi ajaran dapat diimplementasikan. Yang perlu digaris bawahi adalah: untuk menjadi kontekstual agama tidak perlu meninggalkan aqidahnya. Artinya pendidikan agama harus menghasilkan siswa yang teguh dalam prinsip namun luwes (fleksibel) dalam penerapan. Jika outcome ini dicapai maka program sister school menjadi sesuatu yang mulia, sesuatu yang memberi kontribusi signifikan terhadap kerukunan antarumat beragama sehingga rakyat tidak lagi terkotak-kotak, terpecah-pecah hanya karena kontestan pilkada berbeda agama dan lain sebagainya.

Jika komitmen belum ada dan belum ditemukan terminologi serta konsep yang matang mengenai pluralisme dan multikulturalisme maka sister school antarumat perlu dikaji ulang sebab hanya akan menghasilkan siswa yang gamang, namun jika telah ada komitmen dan konsep yang matang, sangat mendesak program sister school untuk diimplementasikan.

Susahnya jadi guru sejarah

Pelajaran sejarah di sekolah seringkali dipandang sebelah mata oleh peserta didik. Pelajaran Sejarah dipandang tidak lebih dari ‘pelengkap derita’ yang menjadi beban pelajaran bagi peserta didik. Posisi ini menyulitkan guru sejarah sebab sangat sulit memberi pencerahan sejarah kepada peserta didik yang telah kehilangan motivasi belajar. Pelajaran Sejarah juga tidak di- Ujian Nasional- kan, sehingga semakin memposisikan pelajaran sejarah sebagai pelajaran kelas dua.

Kini (pasca orde baru) beban guru sejarah semakin bertambah. Terjadi perubahan dan diskursus tentang kebenaran sejarah. Bahkan dikalangan siswa tingkat Sekolah Menengah Atas semakin skeptis dengan kebenaran sejarah masa lalu bangsa Indonesia tercinta ini.

Siswa meragukan peristiwa G 30 S PKI, meragukan dan mempertanyakan posisi mantan Presiden Suharto, mempertanyakan Supersemar, dan lain sebagainya. Sementara di pihak guru sudah tertanam pemahaman yang sebaliknya, bagi sebagian guru peristiwa-peristiwa tersebut di atas adalah kebenaran sejarah, karena pelajaran di masa lalu -yang guru-guru peroleh- memang begitu adanya.

Keraguan-keraguan yang ada pada diri peserta didik sebetulnya energi bagi guru, utamanya guru sejarah, untuk memberi pencerahan peristiwa kepada peserta didik. Dalam konteks ini kita harus mengamini: siswa ragu maka siswa ada.

Yang menjadi persoalan berikutnya adalah bagaimana guru mengelola keraguan peserta didik tentang kebenaran sejarah ?. Tentu sangat tidak cukup hanya memberi apologi dalam mindset kebenaran sejarah yang kita(guru sejarah) anut.

Tjipta Lesmana (Kompas, 15 April 2008) dalam artikelnya yang berjudul HAM dan Kedewasaan Bangsa sedikit banyak memberi pencerahan kepada guru sejarah untuk merekonstruksi pembelajaran sejarah di kelas. Dalam artikel tersebut Tjipta Lesmana mengutip pendapat sejarawan Prancis abad ke -19 yakni F. Guizot yang menyatakan bahwa setiap masa (epoch) dapat dilihat dalam tiga sudut pandang.

Sudut pandang yang pertama adalah historical anatomy, yakni fakta seputar peristiwa sejarah, atau elemen material masa lampau. Sudut pandang yang kedua adalah historical physiology, yakni mengungkap hukum internal dan eksternal dibalik fakta yang diungkap. Dan yang ketiga adalah historical phisiognomy, yakni pengungkapan masa lampau dan masa kini.

Tentunya tiga sudut pandang yang menjadi kiat bagi guru untuk pencerahan sejarah kepada peserta didik sebagaimana teori F. Guizot di atas tidak mudah untuk dipraktikkan oleh guru sejarah di kelas. Alasannya, pertama; guru bukan pelaku atau saksi hidup peristiwa sejarah di masa lampau, guru hanya memperoleh dari text book versi pemerintah atau memperoleh narasi langsung dari rezim yang berkuasa, kedua; guru sejarah sedikit yang memiliki pemahaman hukum internal maupun eksternal yang berlaku atas peristiwa sejarah di masa lampau, ketiga; bagi sebagian besar guru sejarah, sejarah masa lalu telah tutup buku sehingga dikursus sejarah masa lalu selalu mengalami kuldesak (jalan buntu).

Menyadari realitas ini sudah semestinya guru sejarah mengupgrade kemampuan yang dimiliki atau melakukan approach by level (pendekatan dengan orang yang memiliki keahlian sesuai bidang kajian).

Guru sejarah harus kembali merenungkan fakta empiris peristiwa sejarah dan menggali meta realitas atas peristiwa sejarah yang terjadi. Guru sejarah juga harus belajar hukum internal dan eksternal atas peristiwa sejarah dengan pendekatan approach by level dan harus belajar untuk tidak truth claim (klaim kebenaran) atas pemahaman sejarah yang telah mendarah daging. Belajar dengan kaca mata jernih atas peristiwa sejarah penting untuk dilakukan karena sebagaimana F. Guizot bahwa sejarah bukan soal benar atau salah melainkan pada perspektif.

Melihat beban yang begitu banyak maka tidaklah mudah menjadi guru sejarah. Kini pelajaran sejarah bukan lagi kumpulan catatan peristiwa dimasa lalu yang mengandung unsur latar, tokoh, dan setting waktu yang harus dihafal oleh peserta didik untuk bekal menghadapi ujian akhir.

Pelajaran Sejarah sejatinya pelajaran yang komprehensif yang melibatkan kajian hukum, sosiologi, psikologi, dan tentu bernaung di bawah filsafat sebagai ibu ilmu pengetahuan (the mother of all science).

Inti dari pembelajaran sejarah di kelas adalah belajar meta realitas atas peristiwa sejarah yang terjadi untuk diambil nilai-nilai positif. Dengan pendewasaan sejarah kepada siswa maka debat kusir atas kebenaran sejarah di kelas tidak perlu lagi terulang.

Peristiwa sejarah selalu terkandung nilai (value bound) yang harus dipahami dan diaplikasikan oleh peserta didik dalam dunia nyata. Jika nilai ini benar-benar mendarah daging dalam diri peserta didik maka yang muncul adalah sikap toleran, tidak mudah menghakimi, dan open minded.

Sudah menjadi tugas guru (sejarah) untuk mengemban nilai-nilai sejarah yang tertuang dalam mata pelajaran sejarah sehingga terbentuk peserta didik yang memiliki virtues (kepribadian terpuji).

About Me

My photo
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Saya adalah seorang pendidik, alumni pasca sarjana dalam bidang pemikiran pendidikan. Essay-assay saya dipublikasikan di Kompas Jateng, Suara Merdeka, Gerbang, Rindang, Media Pembinan, detik.com, okezone.com Pernah Menjuarai penulisan ilmiah kelompok guru di harian Kedaulatan Rakyat, menjadi finalis lomba inovasi pembelajaran di UNNES, dan menjadi pemakalah terpilih dan pembicara dalam Konferensi Guru Indonesia tahun 2007. Tahun 2008 menjadi pemakalah dalam International conference on lesson study di Universitas Pendidikan Indonesia. Tahun 2009 terpilih sebagai penerima dana bantuan penulisan dari PUSBUK. Tahun 2010 menjadi pemenang harapan 3 lomba media pembelajaran tingkat nasional .Buku: 1. Kebijakan Publik Bidang Pendidikan.2. Profil Guru SMK Profesional 3. Editor buku Sejarah Kebudayaan Islam