Altruisme Guru

UU No 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen dan diikuti PP No. 74 Tahun 2008 tentang guru menempatkan pekerjaan guru sebagai sebuah profesi. Dan profesionalitas guru sesuai dengan produk hukum di atas ditempuh melalui program sertifikasi guru. Mereka yang telah lulus sertifikasi guru ditasbihkan sebagai guru profesional.
Dalam kajian profesi, ada empat syarat suatu pekerjaan dikatakan sebagai sebuah profesi. Pertama; memiliki theoritycal knowledge. Syarat ini menegaskan bahwa profesi apapun harus dilandasi pengetahuan teoritis. Profesional seseorang dibangun melalui pengetahuan. Tanpa adanya knowledge maka pekerjaannya tak lebih seperti tukang, hanya berlandaskan pengalaman empiris, miskin teori. Kedua; adanya self regulated training and practice. Seorang profesional memiliki otonomi yang luas, bekerja tidak dalam bayang-bayang atasan ataupun supervisor. Memiliki otoritas untuk mengembangkan skill melalui pelatihan yang benar-benar dibutuhkan untuk mendukung profesinya. Ketiga; authority of clients. Seorang professional memiliki otoritas atas kliennya. Otoritas seorang guru sama halnya dengan penasihat hukum terhadap klien, dokter terhadap pasien, dan profesi lainnya. Dan syarat terakhir adalah community rather than self interest orientation. Seorang profesional mementingkan komunitas dibanding motif pribadi. Dalam perspektif filsafat, berbuat baik terhadap orang lain tanpa memperhatikan imbalan dan ganjaran lainnya disebut sebagai perilaku altruis.
Altruisme berasal dari bahasa Latin, alter yang berarti orang lain. Altruisme diartikan sebagai kewajiban yang ditujukan pada kebaikan orang lain. Altruisme pada dasarnya dianjurkan oleh semua agama. Dalam Islam ada ajaran yang menyatakan bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang berguna bagi orang lain. Artinya keberadaannya dibutuhkan oleh orang lain. Menjadi pencerah, tempat solusi bagi orang-orang disekitarnya. Diposisi manapun individu yang altruis selalu menunjukkan kebaikan sebagaimana ajaran ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani.

Tergerusnya altruisme guru
Tiga syarat yang meliputi theoretical knowledge, self regulated training and practice, dan authority of clients relatif mudah dipenuhi oleh guru, namun syarat yang keempat yakni community rather than self interest orientation susah untuk diwujudkan. Di era materialisme, hanya manusia-manusia pilihan yang mampu menanggalkan motif pribadi dan orientasi materi.
Tidak terpenuhinya seluruh syarat profesi menandakan bahwa profesi guru adalah profesi yang mulia, tidak sembarang individu mencapai derajat guru sejati.Yang mudah dicapai baru pada tataran guru administratif. Guru administratif tidak akan memiliki ruh dan ghiroh sebagaimana guru sejati.
Ada banyak faktor yang menyebabkan tergerusnya altruisme guru. Sebab-sebab itu dapat dilihat sebagai dampak yang sistemik, di sisi lain faktor tersebut berwujud motif pribadi yakni peningkatan kesejahteraan. Dampak yang sistemik utamanya karena faktor aturan yang “memaksa”. Misalnya Ujian Nasional dan portofolio untuk sertifikasi guru yang tidak mudah. Adanya produk-produk peraturan yang tidak mudah untuk dijangkau memaksa guru melakukan”penyesuaian” dengan caranya sendiri. Dan selanjutnya mudah ditebak, reaksi tersebut berpotensi menggerus kapasitas guru sebagai manusia yang baik.
Wilayah pendidikan mestinya wilayah suci yang mengajarkan nilai-nilai luhur yang include dalam setiap materi pelajaran. Azzumardi Azra pernah menyatakan bahwa apa yang dilihat atau yang terjadi di negara adalah apa yang dilihat dan terjadi di sekolah. Carut marut di Tanah Air adalah proyeksi atas carut marut yang terjadi di sekolah. Lalu siapa yang salah?, gurunya, kurikulumnya, atau sistemnya?. Menyalahkan salah satu komponen tidaklah menyelesaikan masalah.
Guru sebagai ujung tombak pembelajaran sejatinya menjadi kunci dalam transfer pengetahuan dan nilai-nilai luhur. Yang menjadi persoalan adalah jika gurunya sendiri tergerus jiwa altruismenya bagaimana dapat menanamkan nilai-nilai luhur tersebut kepada siswanya. Tergerusnya altruisme guru menjadikan pembelajaran hambar, kehilangan elan vitalnya. Yang tercipta hanyalah generasi-generasi kognitif yang (oleh St. Kartono) disebut generasi yang besar kepalanya namun kerdil hatinya.
Meningkatkan pendidikan tidak cukup hanya memenuhi fasilitas dan insfrastruktur tetapi juga faktor mental pendidik. Pendidikan yang bermutu membutuhkan jiwa-jiwa altruis dari sang Guru. Salah satu pekerjaan rumah LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Pendidik) dan pemerintah adalah bagaimana mendesain calon-calon guru memiliki jiwa altruis yang kelak akan menjadi katalisator peningkatan mutu pendidikan yang sesungguhnya.

About Me

My photo
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Saya adalah seorang pendidik, alumni pasca sarjana dalam bidang pemikiran pendidikan. Essay-assay saya dipublikasikan di Kompas Jateng, Suara Merdeka, Gerbang, Rindang, Media Pembinan, detik.com, okezone.com Pernah Menjuarai penulisan ilmiah kelompok guru di harian Kedaulatan Rakyat, menjadi finalis lomba inovasi pembelajaran di UNNES, dan menjadi pemakalah terpilih dan pembicara dalam Konferensi Guru Indonesia tahun 2007. Tahun 2008 menjadi pemakalah dalam International conference on lesson study di Universitas Pendidikan Indonesia. Tahun 2009 terpilih sebagai penerima dana bantuan penulisan dari PUSBUK. Tahun 2010 menjadi pemenang harapan 3 lomba media pembelajaran tingkat nasional .Buku: 1. Kebijakan Publik Bidang Pendidikan.2. Profil Guru SMK Profesional 3. Editor buku Sejarah Kebudayaan Islam