Motif Mendirikan Sekolah: Motif Pendidikan atau Ekonomi?

Yayasan pendidikan semakin banyak berdiri di mana-mana. Dari yayasan pendidikan yang mengelola PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) sampai dengan yayasan pendidikan yang mengelola perguruan tinggi. Pendiri yayasan pendidikan pun bermacam-macam latar belakangnya, dari yang pribadi/keluarga, pondok pesantren/institusi keagamaan, organisasi sosial, dan lain sebagainya. Apa motif dibalik pendirian yayasan pendidikan yang semakin menjamur di Tanah Air?. Benarkan karena dana pemerintah yang sangat besar (20%) memiliki daya magnetik terhadap motif pendirian yayasan pendidikan di Tanah Air?.
Untuk menjawab pertanyaan di atas memang dibutuhkan penelitian yang mendalam, tidak bisa dijawab dengan serampangan karena akan mendeskriditkan pihak lain. Namun apa yang akan dipaparkan penulis dalam kasus ini adalah pengalaman penulis pribadi ketika diajak beberapa rekan untuk mendirikan sebuah yayasan pendidikan. Dari perbincangan awal dengan beberapa rekan dan saudara penulis secara eksplisit jelas menggambarkan bahwa motif pendirian yayasan pendidikan tidak lebih sebagai mesin uang karena memandang pendidikan merupakan kebutuhan bahkan candu bagi masyarakat modern, tak terkecuali masyarakat di Tanah Air. Mereka beranggapan bahwa sekolah merupakan ATM yang tidak ada matinya.
Sebagian besar memandang bahwa pendidikan merupakan lahan bisnis yang menggiurkan. Memang pandangan rekan penulis dari kaca mata bisnis tidak salah. Insting bisnis dalam ranah pendidikan merupakan sesuatu yang tepat dalam konteks masyarakat saat ini. Mari kita simak bagaimana biaya pendidikan di Tanah Air saat ini. PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) dan Taman Kanak-kanak saat ini biayanya sangat variatif. Dari yang tidak berkelas sampai yang memiliki label biayanya selangit, apalagi yang mengadopsi Full Day School. Biaya masuknya dalam kisaran tiga jutaan rupiah dan biaya bulanannya sekitar tiga ratusan ribu rupiah. Itu baru tingkat PAUD dan TK.
Dan semakin tinggi tingkat satuan pendidikan akan linier dengan tingginya biaya pendidikan, dengan catatan sekolahnya memiliki prestise, bukan sekolah dalam kategori biasa-biasa saja. Dan jika dikalkulasi dan dibandingkan dengan biaya operasional maka bukan hanya BEP (Break Event Point) yang didapat namun laba yang menggiurkan. Belum lagi mimpi-mimpi untuk mendapatkan bantuan atau block grand dari pemerintah dan lembaga donor lainnya. Sebuah bisnis yang menggiurkan bukan?.
Melihat perkembangan menjamurnya yayasan pendidikan di Tanah Air memang tidak bisa digeneralisasi bahwa yayasan-yayasan itu profit oriented. Dalam kaca mata penulis ada pula yang secara intens menanamkan ideologi agama, namun dengan catatan sekolah-sekolah tersebut tetap saja mahal?!.
Lalu salahkan pandangan dan orientasi yang profit oriented dan menjadikan sekolah sebagai lahan bisnis. Bukankah dalam GATS sendiri sekolah juga merupakan komoditas yang layak dibisniskan?. Dalam perspektif GATS (General Agreement of Trade in Service) pendidikan baik dalam tingkatan pendidikan dasar, menengah, tinggi, pendidikan orang dewasa, dan pendidikan lain merupakan perdagangan jasa. Dan namanya sebuah perdagangan tentu kompetisi demi mengejar profit adalah hal yang lumrah. Dan hal itu memang sudah dan akan terjadi di Tanah Air.
Jika sejak awal orientrasinya memang bisnis, maka praksisnya dapat ditebak akan terjadi disoerintasi dan rawan konflik. Baik konflik antara guru dan pengelola yayasan ataupun rasa ketidakpuasan siswa dan orang tua atas pelayanan akademik. Guru berpotensi mengeluh karena akan timbul relasi pengelola yayasan dan guru seperti relasi patron klien, tak ubahnya relasi majikan dan buruh. Dan ketidakpuasan siswa timbul karena motivasi guru yang akan melemah karena sibuk dengan keluhannya akibat konflik kepentingan dengan pengelola yayasan, pengadaan fasilitas pembelajaran yang terlalu ngirit, timbulnya biaya-biaya yang tidak terduga dengan mengatasnamakan pengembangan pendidikan, dan masih banyak faktor lainnya. Dan lambat laun sustainibilitas sekolah disanksikan jika kondisi yang demikian tidak disadari oleh pengelola yayasan.
Lalu bagaimana agar pendirian yayasan pendidikan membawa implikasi yang baik untuk stakeholder pendidikan?. Tidak ada salahnya kita komparasikan dengan pendirian sekolah di negara lain. Di Amerika Serikat yang notabene penggagas sekaligus pendorong GATS ternyata lebih realistis dan berorientasi pada eksperimentasi pendidikan dibanding motif ekonomi ketika sekelompok orang atau lembaga mendirikan sekolah baru.
Kasus ini dapat kita lihat ketika sekelompok guru Sekolah Negeri di Indianapolis dengan semangat tinggi menempuh perjalanan yang jauh untuk bertemu dengan Howard Gardner (penulis Frames of Mind) di Kutztown. Tujuan sekelompok guru yang terdiri atas delapan orang guru itu adalah untuk mendirikan sekolah dasar K-6. Motif pendirian sekolah dasar K-6 tersebut bukan semata-mata karena uang tetapi karena terinspirasi oleh teori MI (Multiple Intelligences) yang ditulis oleh Howard Gardner. Dari hasil sharing antara delapan guru dan Howard Gardner akhirnya disepakati pendirian sekolah dasar sebagai aplikasi teori Multiple Intelligences.
Dengan bimbingan Patricia Bolanos yang energetik dan visioner akhirnya delapan guru tersebut melakukan lobi, merencanakan kurikulum, dan setelah beberapa peristiwa yang menegangkan dan beberapa mengecewakan akhirnya diberi izin untuk mempunyai sekolah negeri “pilihan” di kota Indianapolis (Howard Gardner, 2003). Dalam perkembangannya sekolah eksperimentasi tersebut sangat sukses dan menjadi sekolah pilihan.
Dari kasus pendirian sekolah dasar di Indianapolis tersebut dapat menjadi inspirasi bagi kita bahwa mendirikan sekolah baru harus memiliki visi yang jelas, memiliki daya pembeda (be the different), dan membutuhkan kerja keras karena desain kurikulum dan model yang ditawarkan tidak sebagaimana sekolah yang sudah ada.
Mendirikan institusi pendidikan baru tidak cukup hanya karena memiliki modal, relasi, atau kekuasaan. Apalagi niatan utamanya menjadikan sekolah sebagai mesin ATM. Sekolah atau lembaga pendidikan baru harus mengadopsi prinsip be the first, be the best, dan be the different agar menjadi problem solver dan bukannya malah menjadi part of problem dalam perjalanan pendidikan di Tanah Air.

anomali sekolah gratis

Iklan sekolah gratis di layar kaca memang mengharukan. Narasinya heroik. Seorang bocah dari keluarga miskin menangis karena tak bisa sekolah. Tangisan tersebut berubah menjadi rasa optimistis ketika mendengar sekolah gratis. Bocah itu dan kedua orangtuanya berpelukan, bersyukur atas kebijakan yang didengar dari radio. Iklan yang melibatkan Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo itu diakhiri dengan kalimat penegasan: “Sekolah Bisa!”

Iklan yang kedua diperankan oleh Cut Mini. Berbeda dengan iklan pertama, iklan ini di-setting lebih pada dunia keseharian, yang melibatkan orangtua siswa dengan beragam profesi, antara lain tukang ojek dan sopir angkot. Iklan ini juga memberi pencerahan tentang profesi anak-anak di masa depan, tanpa memandang profesi orangtuanya. Iklan ini juga diakhiri dengan kalimat: “Sekolah bisa.”

Siapa pun yang menyimak iklan itu akan larut dalam situasi emosional. Tampak sekali ada pembelaan atas kaum papa. Iklan itu mengingatkan kita kepada John Comenius dalam masterpiece-nya Didactica Magna, sebuah Seni Pengajaran yang Agung. Inti dari Didactica Magna adalah “pendidikan untuk semua” (education for everyone), pencerahan bagi peserta didik, dan pendidikan sepanjang masa.

Iklan sekolah gratis di layar kaca tersebut menyiratkan makna bahwa sekolah memang untuk semua (education for all). Tidak memandang anak orang kaya atau miskin, berasal dari kota atau desa, tak membedakan laki-laki atau perempuan, dan dikotomi status lainnya. Rakyat Indonesia tentu mengamini apa yang disajikan oleh iklan tersebut. Harapan pun membuncah. Biaya untuk anak sekolah bisa digunakan untuk biaya hidup lainnya yang semakin hari semakin berat.

Pada kenyataannya situasi emosional yang tersaji dalam iklan berbeda dengan kenyataan di lapangan. Situasi emosional sebagaimana tersaji dalam iklan itu berubah menjadi situasi penuh amarah dan ketidakpercayaan.

Memang ada sekolah yang benar-benar gratis (tidak memungut uang ini itu), tetapi di sisi lain ada sekolah yang sangat mahal, bersembunyi di balik status sekolah. Seakan-akan iklan itu hanya untuk sekolah negeri yang biasa-biasa saja, namun bukan untuk sekolah negeri yang statusnya bertaraf internasional (RSBI) atau sekolah yang mengklaim sebagai sekolah plus. Klaim atas status tidak jarang menjadi alat dan alibi untuk menarik pembiayaan yang mahal, yang kadang di luar kalkulasi kita.

Bayangkan untuk masuk SD favorit biaya lebih dari Rp 5 juta, untuk masuk SMP favorit di atas Rp 7 juta, apalagi masuk SMA favorit tentu di atas Rp 10 juta. Anehnya, yang antre banyak sehingga semakin menyuburkan kapitalisme pendidikan di Tanah Air. Kondisi ini tentu bertentangan dengan konsep sekolah untuk semua. Dan iklan sekolah gratis itu seakan tidak punya pengaruh apa-apa.

Banyak sekolah (yang statusnya bagus atau favorit di lingkungannya) membuka pendaftaran sebelum masa pendaftaran resmi, dengan biaya mahal pula. Sistemnya inden layaknya beli barang mewah. Yang bisa mendaftar hanya anak orang-orang tajir. Bahkan, ada sekolah yang menerima pendaftaran di tengah tahun ajaran dengan iklan yang sangat narsis: hanya untuk cerdas.

Iklan tersebut seakan menafikan proses pendidikan sehingga anak yang tidak cerdas dipandang tidak layak untuk sekolah di sekolah yang beriklan tersebut. Anehnya praktik-praktik itu tidak mendapat teguran dari dinas terkait.

Keluarnya UU BHP (Badan Hukum Pendidikan) yang menjadikan kapitalisme pendidikan semakin menjamur sejatinya juga paradoks dengan iklan tersebut. Dua kebijakan itu sesungguhnya mengandung makna yang bertolak belakang. Di satu sisi menegaskan sekolah gratis, di sisi lain memberi ruang gerak penyelenggara pendidikan untuk berpraktik kapitalis. Hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan yang diambil tidak konsisten. Terjadi anomali.

Sebagian besar orangtua siswa berasumsi, gratis itu berarti tanpa membayar apa pun. Asumsi itu wajar karena sebagian besar orangtua sudah termakan iklan sekolah gratis. Bahkan, banyak orangtua mengeluh ketika dimintai biaya untuk pengadaan buku atau sumber belajar lainnya meski itu menjadi hak milik anaknya.

Kesenjangan apa yang disajikan di iklan dan di lapangan disebabkan oleh informasi yang tidak lengkap. Mispersepsi ini berpotensi pada sikap apriori masyarakat terhadap dunia pendidikan. Mestinya yang dimaksud gratis tersebut dijabarkan dengan jelas sehingga informasinya tidak terpotong-potong. Apakah gratis pendaftarannya, gratis SPP-nya, gratis uang gedungnya, atau gratis uang pengembangannya? Semua harus dijelaskan.

Perlu juga dijelaskan berdasarkan statusnya. Apakah SD/SMP swasta dengan SD/SMP negeri berlaku hal yang sama? Tentu ini juga harus jelas, sebab sekolah swasta eksis karena pembiayaan dari orangtua siswa, jika ada dari pemerintah seperti BOS (bantuan operasional sekolah) tidak akan cukup untuk biaya operasional sekolah. Penjelasan lain yang diperlukan oleh masyarakat adalah sekolah gratis sampai tingkat apa? Apakah hanya sampai wajar sembilan tahun atau sampai tingkat SMA? Penjelasan-penjelasan tersebut penulis pandang mendesak untuk disosialisasikan, tidak cukup hanya melalui iklan.

Anomali sekolah gratis akan semakin parah jika penyelenggara pendidikan dan guru tidak ikhlas menerima kebijakan tersebut. Jangan sampai guru bertindak kapitalis dengan bisnis LKS atau barang lainnya kepada siswa karena program sekolah gratis mengurangi pendapatannya dari sekolah di luar gaji resmi.

Anomali sekolah gratis akan terus berlangsung jika pemerintah tidak mengontrol pelaksanaan UU Badan Hukum Pendidikan secara ketat dan memberi pencerahan kepada penyelenggara pendidikan. Tidak itu saja, mekanisme sekolah gratis harus diinformasikan dengan jelas dan tentu ada hukuman bagi penyelenggara yang melanggar. Jika ini sudah dilakukan dan berjalan dengan baik, barulah kita katakan: Sekolah Bisa!

Ningrat atau Umum ?!

Macarin kamu, enggak jauh beda dengam main ludruk. Pake nanya silsilah. Golongan darah. Ningrat atau umum?.
Itulah sepenggal bait lagu dari grup musik cadas Jamrud. Lagu tersebut menceritakan seorang laki-laki yang mengeluh karena pada saat berkunjung ke rumah kekasihnya ditanya perihal status dan latar belakang hereditas dirinya. Dalam konteks tradisi Jawa bertanya tentang bobot, bibit, lan, bebet adalah perihal yang wajar.
Bobot, bibit, lan bebet merupakan simbul kesetaraan status antara pihak laki-laki dan pihak perempuan. Perbedaan status yang menyangkut bobot, bibit, lan bebet tidak jarang menjadi penghalang relasi kedua pihak. Dulu, laki-laki yang statusnya tidak sepadan dengan pihak perempuan tidak akan berani mendekat, dan sebaliknya pihak perempuan yang karena statusnya merasa sangat jauh tidak jarang menolak pinangan dari pihak lelaki. Perempuan dan keluarganya pada zaman dulu pandai berkaca diri, tidak ingin dibilang kere munggah mbale. Lalu bagaimana konteks ningrat dalam lagu Jamrud di masa kekinian?.
Lagu yang berjudul “Ningrat” memang sangat populer di kalangan remaja pecinta musik rock, apalagi lagu tersebut diciptakan pada saat Jamrud berada di puncak kariernya. Lagu tersebut sejatinya sebuah metafor yang berlaku secara universal, tidak sebatas hubungan seorang laki-laki dan keluarga sang kekasih.
Lagu tersebut semakin menegaskan bahwa di dunia post modern yang dibidani oleh globalisasi ini kekuatan, track record, dan jaringan yang baik harus dimiliki oleh setiap individu. Tanpa kombinasi ketiga unsur tersebut, individu tidak akan tumbuh dan berkembang secara maksimal.
Individu tidak cukup hanya memiliki kekuatan saja, ekonomi yang kuat tidak akan memberi kontribusi maksimal jika individu tersebut tidak memiliki track record yang bagus. Track record yang bagus tanpa didukung kekuatan materi dan politis tidak akan memberi kontribusi yang maksimal bagi individu yang akan menduduki jabatan publik tertentu. Begitu pula dengan net working yang sangat penting dalam dunia global ini. Kemampuan seseorang dalam memanfaatkan net working akan sangat membantu dalam orientasi karier dan kekuasaannya. Barack Obama adalah contoh nyata bagaimana ia dapat memanfaatkan net working melalui dunia maya dalam kampanye pemilihan presiden.
Dalam konteks kekinian, ningrat kini telah bergeser makna. Ningrat bukan lagi melulu soal keturunan, bukan soal kasta, namun telah bergeser pada status ekonomi. Ningrat kini lebih tepat dimaknai sebagai kaum borjuis. Konsep pergeseran nilai ini gayut dengan inti globalisasi 3,0 di mana seseorang tidak lagi dilihat dari keturunan siapa namun lebih pada kualitas diri, kualitas ekonomi, dan kualitas lain yang melekat dalam diri individu.
Kasta “Ningrat” dalam praksis pendidikan
Semua sudah maklum bahwa dunia pendidikan tidak lepas dari kastanisasi. Berbeda dengan zaman kolonial dimana kastanisasi benar-benar merupakan dikotomi antara sekolah ningrat dan sekolah rakyat, kastanisasi pendidikan di zaman ini lebih pada soal status ekonomi. Maka sekolah yang muncul adalah sekolah biasa dan sekolah elit, sekolahnya anak-anak orang tajir.
Merebaknya kastanisasi pendidikan tak lepas dari pemikiran komodifikasi pendidikan. Pendidikan telah masuk dalam wilayah pasar. Dan sebagaimana dalam pasar pada umumnya, muncul permintaan dan penawaran, dan menuhankan prinsip ekonomi adalah hal yang pasti. Semuanya diukur dengan keuntungan dibalik simbul-simbul pelayanan dan prestasi belajar.
Simbul-simbul lembaga pendidikan atau yang lebih dikenal dengan labelisasi pendidikan merupakan instrumen yang menjadi daya tarik sendiri bagi calon siswa dan orang tua siswa. Label RSSN, RSBI, dan SBI seakan-akan menjadi jaminan mutu sekaligus tingkatan kasta tersendiri. Orang tua akan merasa bangga jika anaknya masuk dalam kasta pendidikan tersebut. Semakin tinggi kasta yang dipilih semakin bangga pula orang tua siswa. Pada label apa anaknya sekolah sekaligus menjadi gambaran tingkat ekonomi orang tua siswa. Orang tua siswa seolah-olah telah menduduki kasta “ningrat” dan tentu merasa borju jika anaknya masuk sekolah elit.
Kastanisasi pendidikan pada kenyataannya juga di back up oleh pemerintah. Indikatornya adalah bantuan yang diberikan oleh pemerintah dengan memperhatikan status atau label sekolah. Sekolah SBI memperoleh bantuan yang lebih besar dibanding sekolah lain karena SBI merupakan kasta tertinggi. Dan ujung-ujungnya adalah pengelola sekolah sibuk bermetamorfosa untuk merubah kasta sekolahnya.
Lalu bagaimana dengan sekolah lain yang belum memiliki label?. Sekolah-sekolah yang masuk kategori sekolah biasa juga tidak tinggal diam. Sekolah biasa membuat label sendiri. Ada yang menamakan sekolah terpadu, sekolah plus, dan lain sebagainya. Sekolah-sekolah tersebut mengklaim sebagai sekolah unggul.
Kastanisasi sekolah sejatinya berpotensi mengkotak-kotakkan siswa sebagai manusia pembelajar. Siswa yang sekolah pada kasta tinggi merasa menjadi kaum elit dan siswa yang sekolah pada sekolah biasa-biasa saja merasa terpinggirkan.
Diakui atau tidak kesenjangan antara sekolah elit dan sekolah yang biasa begitu nampak jelas terlihat. Secara gampang dapat dilihat dari besarnya jumlah uang untuk masuk sekolah dan SPP setiap bulannya. Uang pangkal sekolah elit pada tingkat SMA dapat digunakan untuk membiayai sekolah selama tiga tahun pada SMA dengan kategori biasa-biasa saja.
Dengan kenyataan seperti ini maka setiap orang dapat mengukur diri ketika akan menyekolahkan anaknya. Kini praksis pendidikan tak ubahnya dengan main ludruk. Ningrat atau umum?!

Soft Skills : Unsur Penting yang Terlupakan

Perhelatan Ujian Nasional baru saja selesai. Siswa yang lulus bersuka cita merayakan keberhasilannya, sementara siswa yang tidak lulus tidak sedikit yang kecewa dan terpuruk meskipun diberi kesempatan mengikuti Ujian Nasional ulangan. Kelulusan adalah gerbang menuju episode pendidikan berikutnya. Bagi yang lulus SMA dapat memilih alternatif untuk kuliah di PT, menimba ilmu agama di pesantren, dan dapat pula kuliah kehidupan dengan terjun langsung di dunia usaha/industri dan di masyarakat.
Namun tidak semua lulusan mampu memilih langkah pasti yang akan diambil. Euforia kelulusan hanya sesaat setelah pengumuman kelulusan, episode berikutnya adalah kegamangan menjalani aktifitas kehidupan. Tidak semua lulusan mampu secara intelektual mengambil program studi di perguruan tinggi yang diidam-idamkan. Tidak semua lulusan berasal dari keluarga yang mampu secara finansial, apalagi di tahun sekarang harga kursi di perguruan tinggi selangit. Dan tidak semua lulusan memiliki insting untuk berwira usaha, sementara bekerja sebagai buruh tidak semua lulusan memiliki nyali untuk menjalaninya.
Fenomena ini memberi gambaran bahwa pendidikan kita tidak menyiapkan alternatif pilihan pasca kelulusan siswa. Pembelajaran di kelas hanya berorientasi bagaimana meluluskan siswa. Sekolah seakan-akan tidak bertanggung jawab atas nasib siswanya pasca kelulusan. Memang ada beberapa sekolah yang membuka BKK (Bursa Kerja Khusus), namun sepanjang pengetahuan penulis hanya sedikit yang dapat berjalan dengan efektif.
Dalam dunia pendidikan, ada tiga ranah yang harus dikuasai oleh peserta didik yakni ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Ranah kognitif berorientasi pada penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, ranah afektif berkaitan dengan attitude, moralitas, spirit, dan karakter, sedangkan ranah psikomotorik berkaitan dengan keterampilan yang sifatnya prosedural dan cenderung mekanis.
Dalam realitas pembelajaran usaha untuk menyeimbangkan ketiga ranah tersebut memang selalu diupayakan, namun pada kenyataannya yang dominan adalah ranah kognitif dan psikomotorik. Akibatnya adalah peserta didik kaya akan kemampuan yang sifatnya hard skills namun miskin soft skills. Gejala ini tampak pada out put pendidikan yang memiliki kemampuan intelektual tinggi, pinter, juara kelas, namun miskin kemampuan membangun relasi, kekurangmampuan bekerja sama dan cenderung egois, serta cenderung menjadi pribadi yang tertutup.
Penguasaan hard skills yang lebih dominan ini bukanlah kesalahan guru semata, namun sudah sistemik sehingga membelenggu kreatifitas guru dalam penanaman soft skills ke peserta didik. Adanya Ujian Nasional yang memforsir tenaga dan fikiran guru dan siswa, keharusan penguasaan berbagai keterampilan (dalam ujian praktik berbagai mata pelajaran) merupakan bukti bahwa sistem pendidikan kita lebih menekankan kemampuan teknik yang bersifat hard skills.
Idealnya pembelajaran menemukan keseimbangan antara hard skills dengan soft skills sehingga peserta didik menjadi pribadi yang cerdas, pintar, namun terbuka dan dinamis. Pribadi yang terbuka dan dinamis itu penting karena pribadi yang demikian cenderung adaptif dan mampu berdialektika dengan perkembangan dan perubahan zaman.
Lalu apa yang kurang dengan pembelajaran di sekolah?. Ada sisi yang selama ini kurang diperhatikan yakni soft skills. Soft skills berada diluar ranah teknis dan akademik, lebih bersifat psikologis sehingga abstrak. Konsep soft skills merupakan istilah sosiologis yang merepresentasikan pengembangan dari kecerdasan emosional seorang yang merupakan kumpulan karakter kepribadian, kepekaan sosial, komunikasi, bahasa, kebiasaan pribadi, keramahan, dan optimism yang menjadi ciri hubungan dengan orang lain. Soft skills melengkapi hard skills, dimana hard skills merupakan representasi dari potensi IQ seseorang terkait dengan persyaratan teknis pekerjaan dan beberapa kegiatan lainnya (Djoko Hari Nugroho, 2009). Domain hard skills adalah learning to know and learning to do, sedangkan soft skills domainnya adalah learning to be and learning to life together.
Meskipun soft skills hanya pelengkap bagi hard skills namun sangat berperan dalam kesuksesan seseorang. Penelitian di Harvard University membuktikan bahwa soft skills menyumbang 80% atas kesuksesan seseorang. Sayangnya sumbangan yang besar atas kesuksesan seseorang ini sering terlupakan, pendidikan kita justru mengejar kecerdasan intelektual yang sejatinya hanya berperan 20% dalam menentukan keberhasilan seseorang.
Lalu bagaimana guru meng-include- kan soft skills dalam pembelajaran?. Guru harus menata ulang RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran). Unsur soft skills harus dicari dalam materi pelajaran yang diajarkan. Kemudian secara eksplisit harus ditulis dalam RPP, termasuk di dalamnya bagaiamana mempraktikkan soft skills tersebut di kelas.
Mengingat pentingnya soft skills dalam membekali siswa menggapai prestasi hidup maka sudah selayaknya soft skills dalam pembelajaran dikedepankan.

Korupsi di Lembaga Pendidikan

Korupsi merupakan ancaman yang serius bagi setiap negara. Tragisnya lagi korupsi di Tanah Air telah masuk dalam setiap relung kehidupan. Lembaga eksekutif, legislatif, bahkan yudikatif yang seharusnya menjadi pihak yang menangani masalah korupsi tidak jarang menjadi sarang koruptor. Bagaimana dengan korupsi di lembaga pendidikan?.
Teman-teman penulis di sekolah sering membuat pernyataan yang (maaf) menurut penulis sedikit narsis. Misalnya mengklaim bahwa pelaku pendidikan di sekolah tidak mungkin korupsi karena memang tidak ada yang dikorupsi. Pernyataan ,”Memangnya mau korupsi kapur, paling hanya korupsi waktu’, menjadi pernyataan yang sering diungkapkan oleh teman sejawat di sekolah. Benarkah demikian?. Benarkah sekolah masih menjadi moral force?. Benarkah sekolah memang benar-benar daerah putih yang terbebas dari praktik korupsi?.
Menjawab pertanyaan di atas tentu tidak mudah. Tanpa mengetahui terminologi korupsi tentu akan memberikan jawaban yang bias. Joseph Nye (1967) menyatakan bahwa korupsi merupakan peringai yang menyimpang dari tugas yang seharusnya oleh pejabat untuk kepentingan pribadi, hal-hal yang berkaitan dengan keuangan atau peningkatan status, atau pelanggaran hukum terhadap jenis praktik tertentu karena kepentingan pribadi. Dengan mengacu pada terminologi di atas maka kita dapat menyatakan bentuk-bentuk korupsi yang terjadi dilembaga pendidikan.
Bentuk korupsi di lembaga pendidikan sangat variatif, bahkan sering tidak disadari oleh pelaku. Misalnya pemberian hadiah orang tua kepada guru untuk “mempermudah” nilai anaknya, pembocoran soal atau kunci jawaban ujian, lobi-lobi dengan uang suap untuk mendapatkan jatah bantuan atau anggaran dana dari pemerintah, uang suap untuk mendapatkan jabatan tertentu, uang suap untuk mempermudah izin operasional sekolah baru, dan uang suap untuk memperlancar akreditasi sekolah. Pelaku praktik korupsi ini sering memandang uang suap sebagai bagian dari service.
Meier (2005) menyatakan bentuk korupsi yang paling umum dalam bidang pendidikan antara lain: pertama; orang tua mungkin disarankan untuk membeli buku atau alat bantu mengajar yang ditulis oleh guru anaknya. Dalam konteks ini guru berjualan karya yang ‘dipaksakan” untuk memperoleh keuntungan pribadi.
Kedua; orang tua disarankan untuk membayar sekolah khusus dimana setelah jam sekolah berlangsung, gurunya akan mengajar anaknya materi inti dari kurikulum yang diajarkan. Dalam konteks ini guru berbisnis trik dan tips yang jitu dalam menyelesaikan soal ujian di mana trik-trik itu mungkin tidak diberikan di jam pembelajaran intrakurikuler. Dengan kata lain di sekolah guru berbisnis les tambahan. Yang patut disayangkan adalah guru terkadang lebih bersemangat memberi pelajaran pada jam khusus tersebut karena honornya besar.
Ketiga; orang tua disarankan memberi sumbangan untuk dana pembangunan dan kegiatan ekstrakurikuler sekolah. Pengabaian dalam hal ini akan berakibat pada , contohnya penahanan buku raport/kartu arsip siswa. Tragisnya lagi di sekolah swasta jika uang sumbangan tidak lunas akan mempersulit siswa saat akan mengambil kartu peserta ujian semester atau ujian nasional.
Model-model korupsi di lembaga pendidikan memang sulit dihentikan karena modusnya yang berbeda dengan korupsi di lembaga lain yang kebanyakan modusnya penyelewengan anggaran atau dalam bentuk mark up anggaran. Korupsi dilembaga pendidikan semu, dan sejatinya mengandung potensi bahaya lebih tinggi. Jika korupsi anggaran hanya merugikan negara dalam bentuk uang, korupsi di lembaga pendidikan merugikan secara ekonomi dan non ekonomi seperti merusak mental siswa dan merusak masa depan siswa.
Transparansi Internasional menyatakan bahwa korupsi dalam bidang pendidikan itu sangat merugikan karena membahayakan masa depan sosial, ekonomi, dan politik suatu bangsa karena korupsi di lembaga pendidikan lebih berdampak jangka panjang, mengancam persamaan akses, kwantitas dan kualitas pendidikan, dirasakan oleh orang-orang miskin karena tertutupnya akses memperoleh pendidikan yang bermutu sehingga anak-anak orang miskin sulit keluar dari kemiskinannya. Korupsi di lembaga pendidikan juga bertentangan dengan salah satu tujuan utama pendidikan yakni menciptakan masyarakat yang hormat atau tunduk pada hukum dan hak asasi manusia, dan terguncangnya pondasi sosial karena persepsi siswa yang memandang bahwa kejujuran itu dapat dikalahkan oleh manipulasi dan penyuapan.
Solusi
Melihat dampaknya yang jauh lebih membahayakan dibanding korupsi yang lainnya, korupsi di lembaga pendidikan harus segera ditangani dengan serius. Jika tidak sama halnya dengan menciptakan calon-calon koruptor baru baik yang terang-terangan maupun yang terselubung. Menurut penulis ada tiga hal yang dapat dilakukan: pertama; sistem pendidikan tidak memberi peluang untuk terjadi korupsi. Sebagai contohnya; jika benar terjadi kebocoran soal atau kunci jawaban dalam ujian sebenarnya mengindikasikan bahwa ujian tersebut dirasa sangat memberatkan sehingga mengakibatkan terjadi korupsi di lembaga pendidikan (dengan modus beredarnya kunci jawaban, adanya pelajaran tambahan yang harus bayar mahal, dll). Kebohongan dalam ujian ini akan memberi dampak rusaknya mental siswa, oleh karenanya sistem ujian harus dirubah. Penciptaan sekolah-sekolah mahal merupakan bentuk korupsi karena menghilangkan akses anak-anak dari keluarga miskin, oleh karena itu sistem pendidikan mahal harus ditinjau ulang. Dan masih banyak sistem lain yang harus dibenahi.
Kedua; adanya pengawasan yang ketat di lembaga pendidikan. Sayangnya fungsi kepengawasan dalam bidang apapun di negeri ini kurang/tidak maksimal karena pengawas memposisikan diri sebagai pihak yang harus di service dengan baik. Dan jika sudah di service ada kecenderungan semua masalah akan easy going.
Ketiga; adanya pencerahan terhadap pendidik karena pendidik itu sendirilah sejatinya yang menjadi kunci untuk menghilangkan korupsi di bidang pendidikan. Pencerahan itu dapat bermacam bentuknya misalnya pembelajaran tentang korupsi dan dampaknya di lembaga pendidikan.
Apapun alasannya, korupsi di lembaga pendidikan harus segera direduksi, jika mampu dibersihkan secara total karena dampaknya yang membahayakan dan berjangka panjang. Semua pihak yang menjadi stakeholders pendidikan harus kritis dan proaktif dalam pemberantasan korupsi di lembaga pendidikan

Pemimpin yang Hebat

Pemimpin yang sukses, yang hebat, dan yang baik tidak muncul secara kebetulan. Pemimpin yang hebat dan sukses adalah pemimpin yang senantiasa menghayati karir kepemimpinan, pemimpin yang senantiasa mau untuk berproses. Pemimpin yang sukses senantiasa berupaya menciptakan dan mengambil langkah inspiratif dan menarik dari orang-orang yang dipimpinnya.
Setiap pemimpin ingin menjadi pemimpin yang terbaik. Namun tidak semua pemimpin memiliki kiat dan instrumen untuk menjadi pemimpin yang terbaik. Mungkin banyak pemimpin yang mengklaim bahwa dirinya adalah pemimpin terbaik, namun itu hanyalah klaim pribadi sehingga ada kemungkinan salahnya.
Harry Purnama, dkk. (2009:7) memberi kiat-kiat untuk menjadi pemimpin yang hebat, pertama; tingkatkan pengaruh Anda secara luar biasa, jangan tanggung-tanggung, kedua; Anda harus lebih bermanfaat (amanah) kepada banyak orang dalam tim Anda, melangkahlah lebih, dan ketiga; lakukanlah langkah nyata, Anda harus berubah, mencintai pekerjaan Anda lebih baik lagi dan cintailah tim kerja Anda lebih baik lagi hari ini.
Pemimpin yang hebat adalah pemimpin yang dapat bekerja secara efektif dengan mempertimbangkan sisi-sisi kemanusiaan bagi orang-orang yang dipimpinnya sebagai wujud pelayanan dari seorang pemimpin.
A. Pemimpin yang Efektif
Efektif sering diartikan tepat sasaran. Dapat pula sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Pemimpin yang efektif berarti pemimpin yang dapat merealisasikan secara tepat tujuan dari organisasi yang dipimpinnya. Dalam perkembangannya pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang berorientasi baik pada hubungan antarmanusia (stakeholder organisasi) maupun pada tujuan yang hendak dicapai. Dengan kata lain kepemimpinan tidak akan efektif, tidak akan mudah mencapai tujuan jika hubungan antaranggota tidak harmonis dan terpecah belah.
Ada beberapa kiat untuk menjadi pemimpin yang efektif, antara lain:
1. Berilah ruang aktualisasi bagi orang-orang yang Anda pimpin. Anggota dalam suatu kelompok organisasi akan termotivasi untuk berprestasi jika Anda memberi ruang untuk beraktualisasi berkaitan dengan tugas yang harus dikerjakan. Aktualiasi dalam tugas akan memberi kepuasan bagi anggota kelompok yang mengerjakannya. Pemimpin harus mempelajari bagaimana teknik dan metode agar anggota kelompok dapat beraktualisasi dengan baik. Hasil penelitian M. Scott Myers (Thomas Gordon, 1995: 29-30) menunjukkan hal-hal sebagai berikut:
a. Karyawan akan termotivasi jika pekerjaan bersifat menantang, artinya memungkinkan si pelaku merasa berhasil, merasa bertanggung jawab, merasa berkembang, merasa maju, merasa menikmati pekerjaan itu sendiri, dan memperoleh pengakuan.
b. Karyawan tidak puas bukan pada pekerjaan itu sendiri, namun karena faktor lain seperti aturan kerja, waktu istirahat, hak kesenioran, upah, dan tunjangan.
c. Karyawan tidak puas terjadi saat kesempatan untuk untuk meraih prestasi yang berarti dihilangkan.
Seorang pemimpin yang miskin motivasi akan membuat anggota organisasi merasa hambar dan tidak memiliki ruh.
2. Pandai-pandailah dalam menempatkan diri dalam organisasi yang Anda pimpin. Pemimpin yang efektif harus bersikap sedemikian sehingga ia dipandang hampir seperti anggota kelompok yang lain; dan pada saat yang sama harus membantu anggota kelompok agar mereka merasa bebas (tidak inferior). Kepemimpinan tidak akan efektif jika pemimpin sangat eksklusif dan memandang relasi dengan anggota kelompoknya sebagai hubungan buruh dengan majikan.
3. Anda harus mendengarkan suara anggota dari orang-orang yang Anda pimpin. Keterampilan dan kemauan untuk mendengarkan merupakan bagian dari human relationship seorang pemimpin. Adanya kemauan mendengarkan keluhan, amarah, dan pengaduan adalah bukti Anda berempati kepada orang-orang yang Anda pimpin. Jika Anda sudah terbiasa dan memiliki keterampilan mendengarkan, maka Anda akan memperoleh input yang berharga untuk mengefektifkan kinerja Anda. Bahkan Anda sangat berpeluang memecahkan masalah pribadi anggota yang Anda pimpin. Anda akan cepat meredam kemarahan anggota secepat kemunculan amarahnya. Manfaat lain dari keterampilan mendengarkan adalah menghilangkan praduga-praduga dari anggota yang mungkin Anda pandang stereotip. Anda akan menyadari bahwa salah satu anggota yang Anda pimpin tidak seburuk yang Anda duga.
4. Pandai-pandailah mengelola keunggulan anggota Anda. Anda harus memiliki keyakinan bahwa setiap orang memiliki potensi, keberadaan selanjutnya tergantung bagaimana Anda sebagai pemimpin mengelolanya. Anda harus pandai-pandai mengatur posisi dan job anggota Anda. The right man on the right job harus Anda praktikkan.
5. Jadilah fasilitator pemecah masalah. Pemimpin tidak harus memecahkan masalahnya sendirian, cukuplah ia menjadi fasilitator pemecah masalah bagi orang-orang yang dipimpinnya. Pemimpin harus menyadari bahwa pemecahan masalah merupakan sebuah proses. Agar proses pemecahan masalah dapat efektif diperlukan enam langkah pemecahan masalah yang meliputi:
a. Mengidentifikasi dan mendefinisikan masalah
b. Membuat pemecahan-pemecahan alternatif.
c. Mengevaluasi pemecahan – pemecahan alternatif.
d. Pengambilan keputusan
e. Pelaksanaan keputusan
f. Mengevaluasi pemecahan yang telah dilaksanakan (Thomas Gordon, 1994: 52).
6. Buatlah team building. Anda tidak mungkin memikirkan semua masalah dan tugas organisasi sendirian. Anda membutuhkan team building agar pekerjaan dapat dipikirkan oleh tim Anda. Adanya tim dalam organisasi Anda dalam jangka panjang akan memberi banyak manfaat antara lain: pendewasaan staf Anda, adanya pengurangan ketergantungan staf dan anggota kelompok dari Anda sebagai pemimpin, sasaran kelompok yang semakin jelas, luluhnya perbedaan status antara anggota dan Anda sebagai pemimpin, adanya ruang aktualisasi, dan meningkatnya kualitas keputusan yang diambil karena adanya kolektifitas pikiran dan ide dari tim yang Anda bentuk.
7. Anda harus fokus dan total. Menjadi seorang pemimpin harus fokus dan total, apalagi jika Anda baru pertama kali menjadi seorang pemimpin. Anda harus fokus pada tugas Anda dan menjalankan tugas dengan sepenuh hati (total). Jika Anda hanya setengah-setengah maka Anda tak ubahnya sebagai half leader (setengah pemimpin). Half Leader merupakan sosok pemimpin yang tidak utuh, sekedar berorientasi pada profit, tetapi tidak memiliki kedekatan dengan timnya. Harry Purnama, dkk. (2009: 41-44) membagi half leader dalam tiga kategori yakni:
a. Pemimpin tidak mengerti makna kepemimpinannya (tipe keledai).Tipe pemimpin seperti ini adalah pemimpin yang tidak tahu akan kemana arah organisasinya. Berorientasi jangka pendek dan miskin inovasi dan kreasi.
b. Pemimpin tidak memiliki moral sebagai leader (tipe singa). Tipe pemimpin singa adalah pemimpin yang mengutamakan dirinya sendiri, egois, mau sukses sendiri, dan tidak segan-segan menyingkirkan pesaingnya.
c. Pemimpin tidak memiliki jiwa melayani sebagai leader (tipe ular). Pemimpin tipe ular hanya memikirkan target, tak ambil peduli dengan anggota yang ia pimpin. Ia suka memaksa anggota mengerjakan apa yang ia maui tanpa memedulikan situasi dan kondisi.
8. Memimpinlah dengan attitude yang baik. Pemimpin akan dapat memimpin dengan efektif jika ia senantiasa mengedepankan sikap positif dan menjauhi sikap negatif. Jika Anda menginginkan anggota yang Anda pimpin bekerja keras, jujur,bertanggung jawab, dan peduli maka Anda harus tunjukkan sikap demikian terlebih dahulu kepada anggota Anda dulu. Dan jika Anda ingin anggota yang Anda pimpin jauh dari sikap negative seperti malas, curang, kerja seenaknya, dan sikap tidak terpuji lainnya maka Anda harus menjauhkan diri Anda dari perilaku demikian sebelum Anda meminta kepada anggota yang Anda pimpin.

B. Pemimpin yang Humanis
Mengapa pemimpin harus humanis?. Jawabannya jelas, yang ia pimpin adalah manusia, bukan mesin. Manusia tidak boleh diperlakukan secara mekanistik karena mematikan daya kritis, kreatif, dan inovatif. Manusia yang mekanis tidak akan berkembang. Menuhankan juklak (petunjuk pelaksanaan) dan juknis (petunjuk teknis).
Memang dalam sebuah organisasi setiap anggota memiliki task (tugas) yang disajikan dalam matrik kerja ataupun job diskripsi. Pekerjaan tersebut memang harus dikerjakan dengan tuntas dan baik. Namun proses pengerjaan oleh anggota kelompok tidak boleh seperti kerja mesin yang selalu dituntut terus-menerus, diforsir, dan diperas tenaganya tanpa terurus sisi kemanusiaannya.
Yang perlu diperhatikan oleh pemimpin adalah terselesaikannya pekerjaan dengan baik jika orang yang mengerjakan tersebut terurus dengan baik, dan berlaku sebaliknya, jika orang yang mengerjakan tidak terurus dengan baik maka pekerjaan tidak akan terselesaikan dengan baik.
Mengurus kesejahteraan lahir dan batin orang yang dipimpin adalah sebuah bentuk humanisasi. Pemimpin yang humanis adalah pemimpin yang mampu memenuhi kebutuhan anggota yang dipimpinnya. Pemimpin harus memikirkan gaji agar orang-orang yang dipimpinnya dapat hidup layak, pemimpin harus memperhatikan kenaikan pangkat dan jabatan jika ada anggota yang pantas dan sudah waktunya, pemimpin harus merotasi orang-orang yang dipimpinnya agar tidak jenuh dan mendapatkan tantangan dan pengalaman baru, bahkan pemimpin harus melahirkan pemimpin baru dari anggota yang dipimpin jika memang sudah waktunya dan layak untuk menjadi pemimpin berikutnya.
C. Memenuhi Harapan Bagi orang yang Dipimpinnya
Selain terpenuhinya kebutuhan karyawan seperti gaji dan ruang untuk beraktualisasi, anggota dalam sebuah organisasi juga memiliki harapan tentang pemimpin mereka. Satu-satunya faktor yang ingin dilihat oleh sebagian besar karyawan pada pemimpin mereka adalah inspirasi (Phil Dourado & Phil Blackburn, 2009:1).
Adapun ciri-ciri pemimpin yang menginspirasi menurut Phil Dourado & Phil Blackburn ( 2009;18-19) adalah:
1. Fokus strategis yang tajam: bekerja berdasarkan sumber daya yang benar-benar dimiliki untuk menambah niali riil
2. Pemikir lateral: menggunakan sudut pandang yang luas, menggunakan pengalaman di luar sektor mereka sendiri.
3. Visi dan komunikasi; visi yang fokus pada konsumen tentang arah bisnisnya dan mampu mengkomunikasikannya dengan baik.
4. Berprinsip; berkomitmen, berani, percaya diri, meskipun dengan cara yang tenang.
5. Refleksif; senantiasa belajar, mau dikritik sebagai bahan refleksi diri.
6. Pengambil resiko; berani mengambil resiko dengan perhitungan yang matang.
7. Mudah ditemui; memiliki waktu untung sharing dengan anggota atau karyawan.
8. Menghargai sikap; mempercayai bahwa tanpa motivasi dan sikap yang benar tujuan organisasi tidak akan mudah dicapai.

Apa yang Harus Diketahui Oleh Seorang Pemimpin

A. Tahu tentang Dirinya Sendiri
Siapapun harus mengenal dirinya. Filsafatinya orang Jawa”Ngilo githoke dhewe”. Dalam istilah yang lebih umum sering dinyatakan dengan”pandai-pandailah mengukur baju sendiri”. Ya, setiap individu memiliki kekhasan tersendiri. Memiliki potensi yang dominan diantara kecerdasan majemuknya, memiliki bakat bawaan tersendiri, dan berbagai kekhususan diri lainnya yang merupakan given dari Tuhan.
Setiap individu harus sadar potensi yang dimilikinya agar dapat mengembangkan secara efektif guna peningkatan kualitas hidup. Sayangnya tidak semua individu memahami dan mengarahkan potensinya. Banyak orang yang tahu bakatnya yang mnenonjol atau potensinya yang paling baik dalam dirinya, namun kadangkala tidak tahu bagaimana cara mengembangkan potensinya tersebut. Bahkan di sekolahpun kadang potensi-potensi itu tidak tergarap karena pembelajaran yang masih dominan dengan model pembelajaran klasik, bahkan tidak jarang sekolah justru menjadi ajang aborsi potensi peserta didik.
Lalu bagaimana cara mengenal diri sendiri ?. Anda bisa berkonsultasi dengan psikolog atau talent scouter (pemandu bakat). Jika tidak, Anda dapat menggunakan analisis diri dengan pendekatan Analisis SWOT. Jika Anda berpengalaman dalam organisasi maka Anda sudah terbiasa dengan analisis SWOT. Anda dapat menggunakan pendekatan SWOT untuk mengelola diri Anda.
SWOT merupakan akronim dari empat huruf. Strengths (kekuatan), Weakneses (kelemahan), Opportunities (peluang), dan Threats (ancaman). Pada umumnya, analisis SWOT digunakan dalam pemasaran. Namun sesungguhnya analisis SWOT itu dapat diterapkan untuk merancang apa dan bagaimana kehidupan setiap manusia. Membuat strategi, mengukur kemampuan, mendeteksi ancaman dan menciptakan kesempatan adalah substansi dari analisis SWOT. Strengthness, Weakness, Opportunities dan Threat merupakan empat kata yang sebetulnya bermakna perenungan dan muhasabah atas kediriannya sebagai manusia.
Berdasarkan sumber pada www.geocities.com/bukukmhdi/bpo21.html - 67k analisis SWOT adalah sebuah bentuk analisis situasi dan kondisi yang bersifat deskriptif (memberi gambaran). Analisis ini menempatkan situasi dan kondisi sebagai sebagai faktor masukan, yang kemudian dikelompokkan menurut kontribusinya masing-masing. Satu hal yang harus diingat baik-baik oleh para pengguna analisa SWOT, bahwa analisis SWOT adalah semata-mata sebuah alat analisis yang ditujukan untuk menggambarkan situasi yang sedang dihadapi atau yang mungkin akan dihadapi oleh organisasi, dan dapat pula individu.




B. Jenis Pendekatan Analisis SWOT
1. Pendekatan Kualitatif Matriks SWOT versi Kearns
Matrik Kearns terdiri atas delapan kotak, dua kotak paling atas adalah kotak faktor eksternal (Peluang dan Tantangan) sedangkan dua kotak di sebelah kiri adalah faktor internal (Kekuatan dan Kelemahan). Sisa empat kotak yang lain berisi isu-isu strategis yang timbul sebagai hasil titik pertemuan antara faktor-faktor internal dan eksternal.
Hasil titik pertemuan dalam sel prinsipnya sama dengan penggunaan prinsip kuadran. Kuadaran yang mempertemukan kekuatan dengan peluang memunculkan comparative advantage (keunggulan komparatif). Dalam posisi ini perusahaan, organisasi atau individu akan berkembang dengan cepat, maka kesadaran akan potensi tersebut harus dimanfaatkan.
Kuadran yang mempertemukan kekuatan dengan ancaman muncul isu strategis mobilization. Tugas organisasi, perusahaan, atau individu adalah mengorganisir kekuatan sebuah sebuah proteksi dan memperlunak ancaman yang muncul dari luar.
Kuadaran yang mempertemukan kelemahan dengan ancaman memunculkan kondisi yang paling lemah bagi organisasi, perusahaan, atau individu. Dalam posisi ini harus diambil sikap damage control (mengendalikan kerugian).
Kuadran yang mempertemukan kelemahan dengan peluang memunculkan posisi investment atau divestment. Posisi ini memberikan kita pada posisi kabur. Peluang besar namun kita tidak memiliki kemampuan untuk menggarapnya. Kalau peluang itu dipaksakan potensi merugi atau boros, sehingga lebih baik diserahkan kepada pihak lain yang lebih berpotensi untuk menggarapnya.
Tabel 1. Pendekatan Model Kearns
NO STRENGTH
1
2 Dst

NO WEAKNESS
1
2 Dst

NO OPPORTUNITY
1
2 Dst

NO THREAT
1
2 Dst



Kuadran analisis SWOT Kearns
EKSTERNAL

INTERNAL
OPPORTUNITY
THREATS
STRENGH Comparative Advantage Mobilization
WEAKNESS Divestment/Investment Damage Control
Tabel 2. Model Kuadran analisis SWOT Kearns
2. Pendekatan Kuantitatif Model Pearce dan Robinson
Model Pearce dan Robinson (dalam M. Karebet Widjajakusuma dan M. Ismail Yusanto, 2002) melalui tiga langkah:
a. Langkah pertama adalah menghitung skor (a) dan bobot (b) setiap faktor SWOT dan menghitung perkalian antara skor dan bobot. Untuk memudahkan perhitungan faktor skor digunakan rentang 1 sampai dengan 10. Skor 1 terendah dan 10 tertinggi. Skor setiap faktor tidak dipengaruhi dan mempengaruhi faktor lain. Bobot (b) kuantifikasinya saling berketergantungan dengan poin faktor lainnya. Penilaian terhadap satu faktor dengan membandingkan tingkat kepentingan dengan faktor lain. Perhitungannya adalah poin faktor dibagi dengan banyaknya jumlah poin faktor. Misal, jika poinnya 8 dan poin faktornya ada 14 maka skornya 8/14.
b. Langkah kedua melakukan pengurangan antara S dan W, menghasilkan nilai d. Nilai d diletakkan dalam sumbu x pada sumbu cartesian. Pengurangan faktor O dan T menghasilkan nilai e. Nilai e diletakkan dalam sumbu y pada sumbu cartesian.
c. Langkah ketiga adalah mencari posisi organisasi yang ditunjukkan oleh titik (x,y) pada kuadran SWOT. Kuadran I (+,+) adalah kuadaran progresif, kuadran II (+,-) adalah kuadran diversifikasi strategi, kuadran III (-,+) adalah kuadran ubah strategi, dan kuadran IV (-,-) adalah kuadran strategi bertahan.

Analisis SWOT dapat dibagikan dalam lima langkah (Darmo Budi Suseno,2009;18):
1. Menyiapkan sesi SWOT
2. Mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan
3. Mengidentifikasi kesempatan dan kelemahan
4. Mengidentifikasi kesempatan dan ancaman
5. Melakukan ranking terhadap kekuatan dan kelemahan
6. Menganalisis kekuatan dan kelemahan
Lalu bagaimana cara mengimplementasikannya?. Berikut ini disajikan bagaimana cara untuk menerapkan analisis SWOT untuk mengupas diri Anda. Langkah pertama adalah Anda membuat matrik SWOT untuk diri Anda sendiri.



C. Dapat Memimpin Dirinya Sendiri
Harry S Truman (Darmo Budi Suseno;2009, 66-67) menyatakan bahwa disiplin pribadi (diri sendiri) adalah suatu hal yang datang terlebih dahulu. Pemimpin tidak akan berhasil memimpin orang lain apabila dia belum berhasil memimpin dirinya sendiri. Pemimpin yang mampu memimpin dirinya dapat luwes dalam beraktualisasi diri dan memiliki daya adaptasi yang tinggi namun tetap memegang prinsip-prinsip yang dianut.
Mario Teguh (2009) menyatakan bahwa semua kepemimpinan adalah kepemimpinan pribadi, sehingga tidak ada pribadi yang bisa mengharapkan dirinya menghasilkan kinerja organisasi yang baik tanpa menjadikan diri pribadinya sebagai penyebab utama tergelorakannya semangat dan tertatanya semua proses kerja.
Kedua pendapat di atas menegaskan bahwa kualitas kepemimpinan pribadi akan linier dengan kualitas seseorang dalam memimpin sebuah orgnisasi. Seseorang tidak akan mampu memimpin dengan baik jika ia sendiri bermasalah dengan kepribadiannya.
Inti dari kemampuan memimpin dirinya adalah pada pengendalian diri dan kemampuan beradaptasi. Orang yang mampu mengendalikan diri dengan baik akan mudah beradaptasi. Dan adaptasi yang dilakukan oleh seseorang harus dibarengi dengan pengendalian diri yang baik, sebab tanpa ada pengendalian diri yang baik seseorang tidak akan menjadi dirinya sendiri namun terbawa arus lingkungannya.
D. Sadar sebagai Seorang Pemimpin
Adakah pemimpin yang tidak menyadari bahwa dirinya adalah seorang pemimpin?. Jika melihat pada definisi pemimpin maka sejatinya kemungkinannya sangat kecil ada pemimpin yang tidak menyadari bahwa dirinya adalah pemimpin. Namun jika pertanyaannya adalah adakah manajer yang tidak menyadari bahwa dirinya adalah manajer, jawabannya adalah ; ada. Individu yang karena otoritas keluarga dan ditasbihkan sebagai manajer mungkin tidak menyadari bahwa dirinya adalah seorang manajer. Ketidaksadaran itu mungkin disebabkan usianya yang belum matang atau karena tidak disiapkan secara serius sehingga tidak siap mengemban tugas sebagai manajer. Akibatnya peran tidak maksimal karena miskin penjiwaan.
Seseorang yang tidak menyadari bahwa dirinya adalah pemimpin berarti orang itu bukanlah pemimpin, namun jabatan lain yang memiliki kedekatan makna dengan kata pemimpin. Contohnya adalah manajer, mandor, supervisor, dan lain sebagainya.
Menyadari bahwa dirinya adalah seorang pemimpin mutlak diperlukan bagi pemimpin yang ingin sukses menjalankan tugasnya. Memang tidak semua pemimpin itu sukses karena hakikat pemimpin itu menekankan pada kemampuan individu sehingga jika ada pemimpin yang tidak sukses, ya memang kemampuannya segitu adanya.
Kesadaran seorang pemimpin adalah adanya upaya yang sungguh-sungguh untuk selalu meningkatkan kemampuan kepemimpinannya karena kualitas kepemimpinan ada pada kemampuan diri. Upaya peningkatan diri dilakukan didasarkan atas kebutuhan dinamika internal, eksternal, dan global. Bukan karena takut ada ancaman dari pesaing atau orang yang dipimpinnya. Orang yang meningkatkan diri demi posisi yang dimilikinya maka pemimpin yang demikian tidak akan pernah bahagia dan senantiasa resah. Pemimpin yang demikian besar potensinya untuk mengalami post power syndrome.
Pemimpin yang sejati tidak hanya selalu mengupgrade diri namun juga menyadari bahwa posisi atau amanat yang diembannya hanyalah “titipan” dari Tuhan melalui orang-orang di sekitar yang menunjuk atau mengangkatnya. Dengan demikian bukan ketakutan akan pergantian pemimpin yang ditakuti namun yang dilakukan adalah mempersiapkan pemimpin yang tangguh dan yang lebih baik darinya dalam bentuk pengkaderan. Dan pemimpin sejati tidak menciptakan pengikut. Mereka menciptakan lebih banyak pemimpin (Phil Dourado dan Phil Blackburn, 2009: 1).

E. Mengetahui Visi dan Misi Organisasi yang Dipimpinnya
Setiap pemimpin harus memahami visi dan misi organisasinya. Visi mengandung pesan spirit dan bersifat abstrak. Dan misi adalah realisasi dari visi, lebih operasional dan konkrit. Organisasi tanpa visi ibarat manusia tanpa ruh. Tak jelas arah dan tidak mempunyai pijakan. Tidak memiliki cita-cita luhur. Tanpa misi yang jelas maka arah organisasi dan tujuan mengambang, kinerjanya menjadi tidak terukur.
Pemimpin harus mengetahui benar makna dari visi organisasinya. Misi organisasi kemudian menjadi tema operasional yang agenda kerjanya dapat terwujud dalam rencana strategis ataupun action plan. Dengan berpedoman pada visi dan misi maka semua bentuk kegiatan organisasi tidak boleh menyimpang dari dua hal tersebut. Penyimpangan pada visi dan misi merupakan bentuk penghianatan organisasi. Visi sifatnya permanen, namun misi suatu saat dapat direkonstruksi sesuai dengan dinamika internal dan eksternal organisasi.

Ikhwal Kepemimpinan

A. Pendahuluan
Setiap orang adalah pemimpin, paling tidak pemimpin bagi dirinya sendiri. Orang tua adalah pemimpin bagi anak-anaknya. Guru adalah pemimpin bagi murid-muridnya.
Dalam kajian ilmu sosial, manusia adalah “makhluk sosial-ekonomi”. Pandangan ini menegaskan bahwa manusia memiliki kebutuhan yang luas, tidak semata-mata yang berkaitan dengan ekonomi semisal upah atau keuntungan finansial lainnya, tetapi manusia juga butuh akan penerimaan diri oleh lingkungan sosialnya, butuh prestasi, interaksi, dan juga pengakuan. Pandangan ini sejalan dengan hirarki kebutuhan manusia menurut Abraham Maslow yang terdiri atas kebutuhan fisik, keamanan, penerimaan, harga diri, dan aktualisasi diri.
Seseorang yang telah tercukupi kebutuhan fisiknya akan membutuhkan keamanan hidupnya. Ketika kedua kebutuhan tersebut dipenuhi dengan baik maka seseorang akan bergaul dengan lingkungan dengan melakukan penyesuaian diri agar diterima oleh komunitas di sekitarnya. Ketika kebutuhan ketiga tersebut sudah terpenuhi maka hirarki keempat akan diraihnya. Begitu seterusnya hingga kebutuhan puncak yakni aktualisasi diri akan direngkuhnya jika semua hirarki di bawahnya telah dicapai.
Tidak semua komunitas menyediakan ruang bagi seseorang untuk mengaktualisasikan diri, karena pada dasarnya aktualisasi diri erat kaitannya dengan persaingan. Seseorang yang gagal beraktualisasi diri dalam satu komunitas akan mencobanya dikomunitas lainnya.
Menjadi pemimpin adalah bentuk aktualisasi diri yang diperjuangkan oleh orang-orang yang mapan dalam kelima hirarki. Dengan demikian menjadi pemimpin hakikatnya adalah sebuah kebutuhan.
B. Makna Pemimpin
Untuk menjadi seorang pemimpin yang berkualitas seseorang terlebih dahulu harus mengetahui apa makna pemimpin itu sendiri. Mengerti akan makna pemimpin itu penting agar dapat menjiwai peran yang akan diembannya. Tanpa mengetahui maknanya maka seorang pemimpin tidak tahu apakah yang dilakukan atau keputusan yang diambil benar atau salah, efektif atau tidak, dan lain sebagainya.
Kepemimpinan adalah terjemahan dari bahasa Inggris leadership yang berasal dari kata leader. Gary A. Yulk (Nurkholis, 2002: 153) mendefinisikan kepemimpinan meliputi proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya. Darmo Budi Suseno (2009: 69) mendefinisikan pemimpin sebagai orang yang memiliki pengaruh terhadap orang disekitarnya, perbuatannya, perkataannya, maupun tingkah lakunya yang dilandasi suatu prinsip tidak peduli prinsip tersebut benar atau salah. Sedangkan Ari Retno Habsari (2008, x-xi) mendefinisikan pemimpin dengan beberapa makna yakni; sebagai seseorang yang memimpin dan menunjukkan jalan, seseorang yang menunjukkan jalan, arah dan komando, seseorang yang mempengaruhi sikap dan tindakannya dari yang lainnya, seseorang yang orang lain ingin mengikutinya, dan seseorang dengan kemampuan untuk memotivasi orang lain untuk menghasilkan.
Pemimpin berbeda dengan manajer. Pemimpin menekankan pada kemampuan seseorang mempengaruhi orang lain. Pemimpin kemunculannya karena ditunjuk oleh orang atau organisasi yang hierarkinya lebih tinggi, dan dapat pula karena diangkat oleh orang-orang dalam komunitasnya. Sedangkan manajer ditunjuk dan memiliki legitimasi untuk memberi penghargaan dan atau hukuman pada pengikutnya karena otoritas formal yang dimilikinya, bukan karena kemampuannya.
Hadari Nawawi dan M. Martini (Nurkolis, 2002: 159) menyatakan bahwa pemimpin memiliki karakteristik sebagai berikut, (1) pemimpin memikirkan organisasinya dalam jangka panjang, (2) pemimpin memikirkan organisasi secara lebih luas baik menyangkut kondisi internal, eksternal maupun kondisi global, (3) pemimpin mempengaruhi pengikutnya sampai diluar batas kekuasaannya, (4) pemimpin menekankan pada visi dan nilai-nilai yang tidak tampak, mempengaruhi pengikutnya secara tidak rasional dan elemen-elemen tak sadar lainnya dalam hubungannya antara pemimpin dan pengikut, (5) pemimpin memiliki keterampilan politik untuk menguasai konflik yang terjadi diantara pengikutnya, dan (6) pemimpin berfikir dalam upaya memperbaiki organisasinya.
Adapun perbedaan pemimpin dan manajer menurut Nurkolis (2002: 160) antara lain, (a) pemimpin tidak selalu berada dalam sebuah organisasi, sedangkan manajer selalu dalam organisasi tertentu baik formal maupun nonformal, (b)pemimpin dapat ditunjuk atau diangkat oleh anggotanya, sedangkan manajer selalu ditunjuk. (c) pengaruh yang dimiliki pemimpin karena dimilikinya kemampuan pribadi yang lebih dengan yang lain, sedangkan pengaruh yang dimiliki manajer karena dimilikinya otoritas formal (d) pemimpin memikirkan organisasi secara lebih luas dan jangka panjang sedangkan manajer berfikir jangka pendek dan sebatas tugas dan tanggung jawabnya, (e) pemimpin memiliki keterampilan politik dalam menyelesaikan konflik, sementara manajer menggunakan pendekatan formal-legal, (f) pemimpin berfikir untuk kemajuan dn organisasi secara luas, sementara manajer berfikir untuk kepentingan diri dan kelompoknya secara sempit, dan (g) pemimpin memiliki kekuasaan secara lebih luas, sedangkan manajer hanya memiliki wewenang saja.
Dari beberapa perbedaan tersebut di atas, perbedaan utama terletak pada orientasi pengaruh, jika pemimpin orientasinya pada memengaruhi orang-orang untuk mengikuti dirinya, sedangkan manajer berorientasi pada bagaimana mempertahankan sistem dan proses.
Melihat dari definisi dan peran dari seorang pemimpin jelaslah bahwa pemimpin itu haruslah orang yang memiliki kapasitas lebih dibanding orang yang dipimpinnya. Maka calon pemimpin idealnya merangkak dari bawah karier kepemimpinannya sehingga menguasi betul apa yang harus dikerjakan, apa yang harus diputuskan, dan otoritas apa yang dimilikinya.
Dengan membangun karier dari bawah maka seorang pemimpin mengetahui betul seluk beluk deskripsi tugas dari setiap seksi atau departemen sehingga dapat tegas dan cerdas dalam menghadapi dinamika organisasi yang dipimpinnya.

C. Fungsi Pemimpin
Pemimpin diangkat atau ditunjuk oleh kelompok orang atau organisasi karena memiliki kemampuan lebih dibanding yang lain dengan harapan mampu menggerakkan, mampu mengembangkan, dan mampu menumbuhkan organisasi itu sendiri yang secara langsung akan meningkatkan kualitas anggotanya. Menjalankan tugas kepemimpinan sama halnya dengan menjalankan fungsi kepemimpinan.
Dalam agama Kristen ada tujuh tanggung jawab pemimpin yakni sebagai teladan, hamba, pendeta, guru, penilik, penasihat, dan pendoa (Stewart Dinnen, 2009: 3). Stephen Covey (Muhammad Syafii Antonio, 2007;20) menyatakan ada empat fungsi pemimpin (the 4 roles of leadership) yakni sebagai perintis (pathfinding), penyelaras (aligning), pemberdaya (empowering), dan panutan (modeling).
Fungsi pemimpin sebagai perintis (pathfinding) menekankan pada bagaimana upaya pemimpin untuk memahami dan memenuhi kebutuhan orang-orang yang dipimpinnya, merealisasikan visi dan misi organisasi, dan mengatur strategi untuk ketercapaian visi dan misi organisasi.
Fungsi pemimpin sebagai penyelaras (aligning) tak ubahnya sebagai conductor dalam sebuah konser musik. Kepiwaian mengolah semua potensi yang ada agar sinergi dan member energi bagi organisasi yang dipimpinnya merupakan bagian penting dari fungsi pemimpin sebagai penyelaras (aligning).
Fungsi pemimpin sebagai pemberdaya (empowering) menekankan pada kepiawaian pemimpin memahami berbagai tugas yang harus diembannya, memahami tugas-tugas apa yang dapat didelegasikan pada orang-orang disekelilingnya, serta memahami betul alat dan instrumen untuk menyelesaikan tugas-tugas dalam organisasi yang ia pimpin.
Fungsi pemimpin sebagai panutan (modeling) menekankan bagaimana seorang pemimpin dapat menjadi panutan bagi orang-orang yang dipimpinnya. Bagaimana pemimpin berkomitmen pada apa yang sudah dikatakan, bagaimana cara berperilaku dan beretika, dan konsistensi pemimpin merupakan bagian penting yang harus diperhatikan dalam mengemban fungsinya sebagai panutan (modeling).
D. Kepribadian Pemimpin
Dalam kajian psikologi, kepribadian merupakan bidang kajian yang menarik dan diulas oleh banyak psikolog. Faktor penyebabnya adalah bahwa kepribadian seseorang itu unik, seperti tak seorang lainpun. Wilayah kajian kepribadian meliputi struktur kepribadian, proses (dinamika kepribadian), pertumbuhan dan perkembangan, psikopatologi, dan perubahan tingkah laku.
Kepribadian pemimpin akan sangat berpengaruh terhadap model kepemimpinannya. Bayangkan jika Anda memiliki pemimpin yang temperamen, mudah marah, atau pemimpin yang up and down, Tentu Anda tidak akan nyaman, bahkan Anda merasa tidak memiliki pemimpin sehingga suasana organisasi menjadi kering, gersang, dan miskin uswah. Anda pasti akan merasa badmood ketika akan pergi ke kantor karena bayangan suasana yang tidak mengenakkan. Jika Anda ditakdirkan memiliki pemimpin yang demikian maka Anda harus sabar dan positif thinking. Anda harus sadar bahwa kepribadian itu unik.
Karena kepribadian itu unik, maka cara memimpin seseorang tentu akan unik juga. Kepribadian pemimpin erat kaitannya dengan karakter pemimpin. Pemimpin yang peragu, penakut, tidak percaya diri, dan tidak berani mengambil risiko akan berdampak stagnasi pada organisasi yang dipimpinnya, namun sebaliknya, pemimpin yang nekat dan kurang perhitungan juga sangat membahayakan bagi kelangsungan organisasi yang dipimpinnya.
Pada prinsipnya, seorang pemimpin harus memiliki integritas kepribadian yakni sebuah karakter yang dilandasi etika, agama, dan moral. Dengan memiliki karakter yang kuat dengan bersendikan norma maka pemimpin tersebut menjadi pemimpin yang kuat karena memiliki ambisi tinggi dengan visi yang jelas, stabil sepanjang waktu (tidak up and down), memiliki penguasaan diri yang tinggi (tidak sensitif dan mudah terombang-ambing), serta berorientasi pada prestasi.
Warren Bennis ((Muhammad Syafii Antonio, 2007:23) menekankan pada pentingnya enam sifat-sifat dasar kepemimpinan yang meliputi ; visioner (memiliki ide yang jelas tentang apa yang diinginkannya), berkemauan kuat (passion) yakni mencintai apa yang dikerjakan, sungguh-sunggguh dalam bertindak, integritas yakni teguh dalam memegang prinsip, amanah (terpercaya), rasa ingin tahu, dan berani mengambil resiko dan bereksperimen.
Dengan kekuatan kepribadian tersebut di atas, maka pemimpin akan mendapat apresiasi yang tinggi dari orang-orang yang dipimpinnya. Apresiasi yang tinggi dari orang-orang yang dipimpinnya akan memudahkan pemimpin untuk memengaruhinya sehingga kepemimpinannya akan efektif. Dengan demikian kepribadian sangat berpengaruh terhadap efektif tidaknya seorang pemimpin.
E. Syarat untuk Menjadi Pemimpin
Pemimpin dipilih karena memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif dibanding orang yang dipimpinnya. Dari definisi tersebut jelaslah syarat mutlak bagi seorang pemimpin adalah memiliki keunggulan dibanding orang-orang disekitarnya. Thomas Gordon (1994;21) mengistilahkannya dengan prinsip “cangkir yang penuh”. Dalam prinsip “Cangkir yang penuh” maka pemimpin harus dapat memberi kepada orang lain (memperbolehkan orang lain minum dari cangkir saya), minuman dalam cangkir saya harus penuh dan saya mempunyai cara untuk mengisi kembali cangkir itu (agar cangkir saya senantiasa penuh).
Syarat berikutnya untuk menjadi pemimpin adalah memiliki integritas kepribadian yang mantap. Darmo Budi Suseno (2008:9) menyebutnya dengan istilah softskills. Softskills lebih mengarah kepada kecakapan personal, baik yang intrapersonal maupun yang interpersonal. Kecakapan intrapersonal lebih pada pengembangan diri ke dalam, pengelolaan potensi diri, pengendalian diri, kecerdasan emosi, dan pengolahan diri secara total. Sedangkan kecakapan interpersonal lebih mengarah pada membangun kecakapan dalam membina dan menjaga hubungan dengan orang lain.
Syarat yang ketiga sebagai pemimpin adalah memiliki keterampilan kepemimpinan (Leadership skill) yang meliputi; kemampuan untuk mempengaruhi anggotanya, kemahiran dalam memotivasi anggotanya, mampu mengatur waktu dengan baik, mampu berkomunikasi secara efektif, senantiasa menghargai dan memberi dukungan sportif kepada anggotanya, dan mampu menciptakan ide yang konstruktif.
F. Model-model Pemimpin
Setiap pemimpin adalah individu yang unik dalam banyak hal. Keunikan itu sangat berpengaruh dalam menjalankan perannya sebagai seorang pemimpin. Model-model pemimpin sering disebut dengan gaya pemimpin atau tipe pemimpin.
Gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang dipergunakan oleh seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi orang lain (Nurkolis, 2002:167). Ada empat tipe atau gaya pemimpin dalam mengambil keputusan (Darmo Budi Suseno, 2009;71) yakni:
1. Kepemimpinan Direktif (Directive Leadership). Sering disebut dengan pemimpin otokratis yang menekankan pada fungsi perintah dari pemimpin kepada pengikutnya.
2. Kepemimpinan Suportif (Supportive Leadership). Pemimpin tipe ini memuaskan pengikutnya karena memberi ruang kepada yang dipimpinnya untuk diskusi, sharing, dan menjelaskan berbagai tugas.
3. Kepemimpinan Partisipasif (Parisipasive Leadership). Pemimpin ini meminta saran-saran dari bawahan dan stakeholder organisasi sebelum mengeksekusi sebuah keputusan atau kebijakan yang akan diambil.
4. Kepemimpinan Orientasi-Prestasi (Achievment-Oriented Leadership). Tipe pemimpin ini sering mengajukan tantangan-tantangan bagi orang-orang yang dipimpinnya untuk meraih prestasi dalam rangka mencapai tujuan organisasinya.
Nasution (2004:200) menambahkan satu lagi tipe pemimpin yakni kepemimpinan situasional. Gaya kepemimpinan ini dikenal pula sebagai kepemimpinan tak tetap (fluid) atau kontingensi. Asumsi dasar gaya kepemimpinan ini adalah bahwa tidak ada satu tipe kepemimpinan yang tepat untuk semua kondisi. Dengan asumsi ini pemimpin akan menggunakan gaya kepemimpinan sesuai dengan kondisi dan setting masalah yang dihadapi.
Sedangkan model kepemimpinan terdiri atas model kepemimpinan partisipasif, transformasional, kharismatik, dan konstruktif. Model kepemimpinan partisipasif dicirikan dengan adanya keikutsertaan pengikut dalam pengambilan keputusan.Kepemimpinan kharismatik dicirikan dengan adanya persepsi dari orang-orang yang dipimpinnya bahwa sang pemimpin memiliki kemampuan yang luar biasa.
Kepemimpinan transformatif menurut Burns (Nurkolis, 2002:172) adalah kepemimpinan dimana pemimpin mencoba menimbulkan kesadaran dari para pengikut dengan cara menyerukan cita-cita yang lebih tinggi dan nilai-nilai moral. Adapun cara menimbulkan kesadaran anggotanya dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain menyadarkan akan pentingnya sebuah pekerjaan, menyadarkan bahwa kepentingan organisasi di atas kepentingan pribadi, dan memberi ruang aktualisasi bagi pengikutnya.
Kepemimpinan konstruktif berorientasi pada upaya menciptakan kohesi keterlibatan seluruh komponen dengan merinci area kerja: membagi power (job description), meningkatkan komitmen untuk terus belajar dan tumbuh dalam keterampilan dan pengetahuan, memberi peluang peran dan partisipasi anggota, dan mendistrusikan penghargaan (Depag RI, 1998:25). Kepemimpinan konstruktif dilandasi filsafat konstruktivisme yang memandang bahwa kepemimpinan pada hakikatnya adalah pembelajaran resiprokal yang memperdayakan seluruh partisipasi dalam komunitas guna membentuk suatu pengertian dan kebersamaan dalam mencapai tujuan.
Kepemimpinan konstruktif memiliki empat asumsi dasar yakni:
1. Kepemimpinan bukanlah suatu trait (sifat); kepemimpinan dan pemimpin tidaklah sama.
2. Kepemimpinan adalah tentang pembelajaran yang mengacu kepada perubahan yang konstruktif.
3. Setiap orang memiliki potensi dan hak untuk bekerja sebagai pemimpin.
4. Kepemimpinan adalah suatu shared endeavor (usaha bersama), pondasi bagi demokratisasi dalam sistem.
5. Kepemimpinan menghendaki distribusi power dan outhority.

PERAN PEMERINTAH DALAM PENDIDIKAN STUDI KEBIJAKAN PEMERINTAH TINGKAT II SUMEDANG

Pendahuluan
Pendidikan sebagai proses pemanusiaan manusia membutuhkan sinergi antarkomponen dan membutuhkan kesepahaman visi seluruh stake holder yang terlibat. Komponen pendidikan yang meliputi raw material (input siswa) , tools (alat-alat dan sarana prasarana), serta process (metode pembelajaran) adalah sebuah sistem yang akan menentukan kualitas out put (lulusan), sedangkan stake holder yang terdiri atas siswa, guru, kepala sekolah, wali murid, dinas terkait dan pemerintah daerah harus sevisi dan sinergi sehingga memperlancar dan mempermudah pencapaian tujuan baik tujuan akademis maupun pembentukan moral.
Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini dinilai banyak pihak belum berkualitas, sebagai indikatornya adalah kualitas Human Development Index (Indeks Kualitas Manusia) berada di bawah negara-negara Asia Tenggara lainnya seperti Singgapura, Thailand, bahkan Vietnam. Ada beberapa faktor penyebab rendahnya kualitas pendidikan di tanah air antara lain: proses pembelajaran belum memperoleh perhatian optimal, guru lebih banyak bekerja sendirian, forum MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) belum berfungsi optimal, sekolah belum menjadi pusat belajar bagi guru.
Berdasar UU No 14 Tahun 2005 guru dituntut untuk profesional. Indikator keprofesionalan guru mencakup empat hal yakni kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial.Untuk mencapai keempat kompetensi tersebut selama ini ditempuh secara konvensional yakni melalui diklat dan penataran. Akan tetapi model konvensional tersebut belum menunjukkan hasil yang optimal karena materi penataran akan dilupakan begitu saja setelah sampai di sekolah. Dari hal ini perlu dibentuk komunitas belajar sehingga diperoleh hasil yang optimal.
Berdasar latar belakang di atas makalah ini akan menguraikan kebijakan pemerintah kota Sumedang dalam pengembangan komunitas belajar di sekolah melalui aktifitas Lesson Study.

Pembahasan
Konsep Lesson Studi
Tujuan lesson study adalah memotivasi peserta didik aktif belajar mandiri. Belajar mandiri merupakan usaha individu pembelajar untuk mencapai suatu kompetensi akademis. Dengan demikian dalam belajar mandiri pembelajar menentukan tujuan pembelajarannya, merencanakan prosesnya, menggunakan sumber belajar yang dipilihnya, membuat keputusan-keputusan akademis, dan melakukan kegiatan-kegiatan yang dipilihnya untuk mencapai tujuan belajar (Brookfield dalam Paulinna Pannen, dkk. 2001). Model belajar mandiri adalah student centered, berpusat pada siswa. Tugas guru dalam belajar mandiri sebagai fasilitator dan mediator, tidak lagi memposisikan diri sebagai aktor utama yang mendominasi pembelajaran.
Realitas menunjukkan, sampai dengan sekarang belajar mandiri kurang berjalan dengan baik. Sepanjang pengamatan penulis, beberapa faktor penghambat dalam belajar mandiri adalah:
• Kurangnya inovasi dalam pembelajaran sehingga cenderung menggunakan pola lama yakni pembelajaran yang berpusat pada guru.
• Kurangnya pemanfaatan sumber daya sekitar baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia.
• Belum terbentuknya komunitas keilmuan di lingkungan sekolah sehingga minim kegelisahan akademik baik pada level guru maupun siswa.
• Ketiadaan program sister school yang berorientasi pada kualitas peningkatan pembelajaran.
• Komunitas guru antarsekolah dalam program MGMP belum berjalan dengan optimal, program yang dilaksanakan sebatas pemenuhan administrasi profesi.

Siklus Lesson Study
Ada tiga siklus dalam lesson study. Prinsipnya siklus selalu kontinyu, berulang untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Menurut Hendayana (dalam Parmin, 2008) tiga siklus dalam lesson study berupa plan (merencanakan), do (melaksanakan), dan see (merefleksi). Secara skematis digambarkan sebagai berikut:





Rencana yang dimaksud dalam siklus ini adalah rencana pembelajaran. Rencana pembelajaran merupakan rencana jangka pendek untuk memperkirakan atau memproyeksikan apa yang akan dilaksanakan dalam pembelajaran (Khaerudin dan Mahfud Junaedi, 2007). Dalam perencanaan beberapa hal yang harus diperhatikan adalah: kompetensi dasar, materi standar, indikator hasil belajar, dan penilaian.
Dalam perencanaan terdapat beberapa prinsip yang dapat dikembangkan yakni:
• Kompetensi yang dirumuskan dalam perencanaan pelaksanaan pembelajaran harus jelas.
• Rencana yang disusun harus sederhana dan fleksibel.
• Kegiatan yang disusun dan dikembangkan dalam rencana pelaksanaan menunjang ketercapaian kompetensi yang digariskan.
• Utuh dan menyeluruh.
• Dikoordinasikan dengan lingkungan dan seluruh stakeholder sekolah.
Rencana pembelajaran yang disusun lebih mengerucut lagi dalam rencana pelaksanaan pembelajaran. Dalam rencana pelaksanaan pembelajaran berisi garis besar apa yang akan dikerjakan oleh guru dan peserta didik. Dengan demikian RPP menekankan pada action guru dan murid. Agar model pembelajaran guru variatif maka diperlukan MCL (Model Creative Learning).
Do (melaksanakan) berangkat dari perencanaan. Melaksanakan merupakan bentuk tindakan yaitu tindakan yang dilakukan secara sadar dan terkendali, yang merupakan variasi praktik yang cermat dan bijaksana (Suwarsih Madya, 1994). Dalam praktiknya tindakan atau pelaksanaan dituntun oleh perencanaan, namun tidak mutlak mengikuti perencanaan karena yang dihadapi adalah dunia nyata (siswa di kelas atau laboratorium).
Dalam siklus kedua ini dilakukan observasi. Observasi dilaksanakan untuk mendokumentasikan pengaruh tindakan terkait, artinya tindakan sebagai buah dari perencanaan diobservasi sebagai bahan refleksi sekarang dan sebagai pijakan pada siklus berikutnya. Observasi penting dilaksanakan karena dalam praktik senantiasa terbatas oleh kendala dan terdapat celah untuk perbaikan.
Siklus yang ketiga adalah see (merefleksikan). Refleksi adalah mengingat dan merenungkan kembali suatu tindakan persis seperti yang telah dicatat dalam observasi. Refleksi berusaha memahami proses, masalah, dan kemungkinan-kemungkinan yang dapat dikembangkan dalam perencanaan dan tindakan.

Kebijakan pemerintah kota Sumedang dalam Lesson Study
Program pemerintah dalam upaya peningkatan komunitas belajar di kabupaten Sumedang dengan mengefektifkan program lesson study melalui proyek SISTTEMS (Sumar Hendiyana, 2008). Proyek ini dimulai sejak tahun 2006 dan masih berjalan dengan baik sampai sekarang.
Proyek ini sesungguhnya proyek kerja sama antara pemerintah daerah dengan LPTK. Pemerintah kabupaten Sumedang melalui dinas pendidikan kabupaten mendanai semua kegiatan lesson study, sedangkan LPTk dalam hal ini UPI (Universitas Pendidikan Indonesia) sebagai konsultan yang mendesain dan mengelola pelaksanaan lesson study.
Berdasarkan pengalaman yang diperoleh dari contoh program peran pemerintah kabupaten Sumedang diperoleh hasil sebagai berikut:
 Guru lebih berani membuka diri untuk diobservasi dan dikritisi
 Guru model lebih percaya diri dan menjadi motivator/ sumber inspirasi bagi temannya
 Guru belajar dari open lesson dan menerapkannya di sekolah masing-masing
 Guru lebih kreatif memanfaatkan local materials untuk mengembangkan pembelajaran yang berpusat pada siswa
 Guru menghasilkan karya ilmiah berbasis penelitian kelas

 Siswa memperoleh kesempatan berkreatifitas dalam pembelajaran matematika dan IPA
 Siswa termotivasi dan senang belajar matematika dan IPA
Dari pengalaman ini maka pemerintah Kabupaten Sumedang menganggarkan secara rutin untuk melaksanakan program peningkatan kualitas guru melalui kegiatan lesson study dengan kemitraan antara dinas pendidikan, kepala sekolah, dan pengawas pendidikan.

Kesimpulan
Dalam upya peningkatan kualitas mutu pendidikan di tanah air dapat dilakukan dengan multi pendekatan. Salah satunya adalah peningkatan kualitas guru sebagai ujung tombak proses belajar di sekolah. Cara yang lebih baik dibanding peningkatan kualitas melalui kegiatan diklat atau penataran adalah melalui komunitas belajar di sekolah atau antarsekolah.
Pemerintah kabupaten Sumedang sangat perhatian dalam masalah ini, sehingga merealisasikan proyek pengembangan kualitas guru melalui lesson study. Proyek ini dapat diadopsi pemerintah daerah lainnya di Indonesia, karena terbukti memberi kontribusi positif dalam pengembangan kualitas belajar di sekolah.


DAFTAR PUSTAKA
Paulinna Pannen, Konstruktivisme dalam Pembelajaran, Jakarta: UT, . 2001
Khaerudin dan Mahfud Junaedi, KTSP untuk Madrasah, Yogyakarta: Pilar Media, 2007
Paulinna Pannen, Konstruktivisme dalam Pembelajaran, Jakarta: UT, . 2001
Sumar Hendiyana, Makalah dalam KGI, 2008
Suwarsih Madya, Penelitian Tindakan Kelas, Yogyakarta: IKIP Yogyakarta, 1994

ANALISIS BUTIR SOAL

Disetiap kegiatan ujian mid semester dan semester, setiap guru diberi tugas untuk menyusun kisi-kisi soal ujian. Dalam form kisi-kisi diantaranya berisi kompetensi dasar, indikator, uraian soal, kunci soal, tingkat kesukaran soal dan taksonomi Bloom (c1,c2,c3,c4,c5,c6).
Menurut penulis, selama ini soal yang disusun oleh guru belum teruji kualitasnya, karena memang belum pernah dianalisis. Analisis ini penting agar kegiatan evaluasi pembelajaran tidak bias, meskipun dalam faktanya penilaian dalam LHBS bersifat artifisial (tidak senyatanya/buatan), dan bertentangan dengan prinsip KTSP yang penilaian beracuan patokan (PAP).
Dampak dari penyusunan soal yang tidak standar, tidak saja bias sebagai alat ukur, tetapi juga menandakan kredibilitas dan kualitas sekolah karena stakeholder semakin kritis terhadap praksis pendidikan yang didalamnya mencakup sistem evaluasi pembelajaran.
Berdasarkan uraian di atas, mempelajari analisis butir soal penulis anggap penting, terlebih bagi guru yang berlatar belakang nonkependidikan. Analisis butir yang akan disampaikan mencakup: daya beda soal, tingkat kesukaran, validitas soal, dan reliabilitas soal.
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk penguatan pemahaman guru (karena sudah dipelajari saat S-1) tentang analisis butir soal sehingga dalam penyusunan soal menjadi standar.

A. Parameter-parameter aitem
Pada analisis aitem untuk tes prestasi tipe objektif, kualitas aitem dapat dilihat dari paling tidak dua kriteria atau dua parameter, yaitu (a) indeks kesukaran aitem dan (b) indeks daya diskriminasi aitem.
Kedua parameter tersebut dihitung secara terpisah. Namun dalam evaluasi terhadap aitem, keduanya tidak berdiri secara sendiri-sendiri melainkan dilihat sebagai kesatuan komponen yang akan menentukan apakah suatu aitem dapat dianggap baik atau tidak.
Lebih lanjut, analisis aitem akan menguji pula efektifitas distraktor-distraktor pada setiap aitem untuk menentukan apakah setiap distraktor yang dibuat sudah berfungsi sebagaimana mestinya atau belum (Saefudin Azwar, 1998).
Langkah-langkah analisis aitem:
1. Soal yang sudah disusun diujicobakan, buatlah tabulasi skor aitem dan skor total
Contoh:
Nama Nomor Soal Jumlah
1 2 3 4 5 6 7 8
Arman 1 1 0 1 0 0 1 1 5
Duta 0 0 1 1 0 1 1 0 4
Haris 1 1 0 0 1 1 1 1 6
Achdiat 1 0 1 1 1 1 1 0 6
Dara 0 1 0 0 1 1 1 0 4
Mitha 0 1 0 1 0 1 0 0 3
Fatima 1 1 1 1 1 1 1 0 7
Jameela 0 0 0 0 0 1 1 1 3
Tabel. 1

2. Lakukan penjenjangan siswa menurut besarnya skor
3. Bagi kelompok menjadi dua bagian, kelompak atas dan kelompok bawah, jika peserta tes lebih dari 500, maka cukup 27% Kelompok Atas dan 27% kelompok Bawah. Kelompok Atas dan Kelompok Bawah diranking berdasarkan skor totalnya.

Setelah dibuat tabulasi dan ditentukan berapa jumlah peserta yang diikutkan dalam analisis, maka selanjutnya dapat dilakukan proses analisis, sbb:
a. Indeks kesukaran aitem (Tingkat Kesukaran): indeks kesukaran aitem akan menentukan taraf kesulitan soal, dengan ketentuan:






p = ni / N

ni = Banyaknya siswa yang menjawab aitem dengan benar
N = Banyaknya siswa yang menjawab aitem

Contoh: Soal no 1: Jumlah siswa yang menjawab benar ada 4. Jumlah peserta tes ada 8. Dengan demikian indeks kesukaran adalah :
p= 4/8 = 0,50
Artinya: soal no. 1 tergolong soal yang sedang

Apabila soal berbentuk uraian maka indeks kesukaran soal menggunakan rumus :
p = / skor maks
Contoh:

Nama No Soal (1) Skor maksimal 6
Arman 4
Duta 6
Haris 5
Achdiat 5
Dara 4
Mitha 3
Fatima 6
Jameela 4

= 37/8 = 4,11
P = 4,11/6
= 0,69 berarti soal uraian ini masuk dalam taraf kesulitan sedang

b. Indeks daya diskriminasi aitem (Daya Beda)
Daya diskriminasi aitem adalah kemampuan aitem dalam membedakan antara siswa yang mempunyai kemampuan tinggi (dalam hal ini diwakili oleh mereka yang termasuk Kelompok Tinggi) dan siswa yang mempunyai kemampuan rendah (diwakili oleh mereka yang termasuk dalam Kelompok Rendah).
Suatu aitem yang dikatakan mempunyai daya diskriminasi tinggi haruslah dijawab dengan benar oleh semua atau sebagian besar subjek Kelompok Tinggi dan tidak dapat dijawab dengan benar oleh semua atau sebagian besar subjek Kelompok Rendah.

d = pT - pR
= niT /NT – niR/NR

d = indeks daya diskriminasi aitem
pT = indeks kesukaran aitem untuk Kelompok Tinggi
pR = indeks kesukaran aitem untuk Kelompok Rendah
niT = banyaknya penjawab aitem dengan benar Kelompok Tinggi
niR = banyaknya penjawab aitem dengan benar Kelompok Rendah
NT = Banyaknya penjawab dari Kelompok Tinggi
NR = Banyaknya penjawab dari Kelompok Rendah

Dari hasil perhitungan dengan formula di atas dapat diketahui indeks daya diskriminasi aitem, dan selanjutnya digolongkan dalam kriteria sbb:







Contoh:
Dari tabel 1 dapat dibuat dua kelompok (Tinggi dan Rendah) berdasarkan skor atau jumlah nilai yang diperoleh, sbb:
Kelompok Tinggi
Nama Jumlah
Fatima 7
Achdiat 6
Haris 6
Arman 5
Kelompok Rendah
Nama Jumlah
Duta 4
Dara 4
Mitha 3
Jameela 3

Misal yang akan diuji daya diskriminasinya adalah soal no. 3
Kelompok Tinggi
Nama Soal no .3
Fatima 1
Achdiat 1
Haris 0
Arman 0

pT = 2/4 = 0,50

Kelompok Rendah
Nama Soal no .3
Duta 1
Dara 0
Mitha 0
Jameela 0

pR = 1/4 = 0,25

nilai d = 0,50 – 0,25 = 0,25
Artinya soal no .3 dikategorikan sebagai soal yang harus diperbaiki.

c. Efektivitas distraktor
Efektivitas distraktor-distraktor yang ada pada suatu aitem dianalisis dari distribusi jawaban terhadap aitem yang bersangkutan pada setiap alternatif yang disediakan. Efektivitas distraktor diperiksa untuk melihat apakah semua distraktor atau semua pilihan jawaban yang bukan kunci telah berfungsi sebagaimana mestinya (pengecoh). Efektivitas distraktor dilihat dari dua kriteria (a) distraktor dipilih oleh siswa dari Kelompok Rendah dan (b) pemilih distraktor tersebar relatif proporsional pada masing-masing distraktor yang ada.
Contoh:
Klp Jumlah Alternatif Jawaban
a b c d e OMIT
T 22 0 4 15* 1 2
R 22 8 6 2 4 2
Kunci soal : c

Dari contoh di atas dapat dianalisis efektivitas distraktornya sbb: semua distraktor berfungsi dengan baik karena ada pemilihnya.
Catatan:
Jika ditemui distraktor yang tidak ada pemilihnya maka dinyatakan bahwa ada kemungkinan isinya tidak relevan dengan soal atau konstruk kalimatnya tidak jelas sehingga siswa bisa main tebak (karena sudah ada jawaban yang pasti salah).
Latihan: Tentukan indeks kesukaran, indeks diskriminasi aitem, dan analisis efektivitas distraktornya.
Soal no. 1
Klp Jumlah Alternatif Jawaban
a b c d e OMIT
T 22 12* 4 4 1 1
R 22 4 10 6 1 1
Soal no. 1
Klp Jumlah Alternatif Jawaban
a b c d e OMIT
T 22 0 4 16* 0 0 2
R 22 6 6 6 0 4

d. Validitas aitem
Validitas dan reliabilitas sebetulnya digunakan untuk aitem yang mengukur abilitas potensial (tes IQ, tes bakat), unttuk tes yang tujuannya sekedar mengukur prestasi (abilitas aktual) cukup digunakan indeks kesukaran dan indeks diskriminasi aitem.
Namun validitas ini tetap penulis pandang penting untuk disampaikan agar para guru lebih sempurna lagi dalam menyusun tes prestasi belajar. Interpretasi koefisien validitas bersifat relatif, namun kesepakatan umum menyatakan bahwa koefisien validitas dapat dianggap memuaskan apabila melebihi 0,30.
Untuk menghitung validitas dapat dilakukan dengan manual, program excel, dan program SPSS. Dalam kegiatan workshop ini penulis hanya akan menyajikan melalui excel dengan mengkorelasikan skor aitem dengan skor total.



e. Reliabilitas aitem
Reliabilitas dimaknai sebagai keajegan atau konsistensi, artinya alat ukur tersebut jika digunakan berulang-ulang dengan objek yang sama diperoleh hasil yang sama. Untuk menghitung koefisien reliabilitas dapat menggunakan beberapa formula antara lain Spearman Brorwn, Rulon, Alpha, dan Kuder-Richarson (KR20). Untuk mempermudah penghitungan reliabilitas dapat menggunakan program SPSS.
Interpretasi koefisien relaibilitas bersifat relatif, namun kesepakatan umum menyatakan bahwa koefisien reliabilitas dapat dianggap memuaskan apabila disekitar 0,90 atau lebih.

Daya Tahan Profesionalitas Guru

Sertifikasi guru telah berlangsung beberapa tahun. Sebagian besar guru yang telah lulus sertifikasi telah mendapatkan haknya berupa uang tunjangan profesi yang besarnya satu kali gaji pokok bagi yang berstatus pegawai negeri. Pemberian tunjungan profesi tersebut sejatinya merupakan apresiasi terhadap profesi guru sekaligus sebagai stimulan untuk meningkatkan kualitas guru yang muara akhirnya adalah peningkatan kualitas pendidikan nasional. Seberapa besar kontribusi dalam peningkatan kualitas pendidikan nasional sebagai dampak dari apresiasi profesi guru selalu menarik untuk dicermati.
Berdasarkan survei yang dilakukan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) mengenai dampak sertifikasi guru terhadap kinerja guru diperoleh data yang belum memuaskan (Kompas, 7/10/2009). Dari 28 provinsi yang telah disurvei, 16 provinsi yang telah diolah datanya menunjukkan bahwa guru-guru yang telah lulus sertifikasi belum mengalami perubahan pola kerja, motivasi kerja, pembelajaran, atau peningkatan diri. Justru guru yang belum dipanggil untuk pemberkasan sertifikasi melalui portofolio motivasinya tinggi dengan harapan segera tersertifikasi dan memperoleh uang tunjangan profesi.
Melihat hasil survei ini, sertifikasi kurang lebih sama dengan kenaikan pangkat atau golongan bagi guru PNS dimana kenaikan pangkat atau golongan tidak selamanya linier dengan kinerja dan kapabilitas. Dalam konteks ini, motivasi kinerja guru seperti grafik cosinus di kuadran pertama, mencapai titik maksimal diawal (ketika baru tersertifikasi) lalu perlahan surut mendekati titik nol.
Dalam sejarahnya, standarisasi terhadap profesionalisme guru tidak selamanya memberi dampak yang menggembirakan. Bahkan di Amerika Serikat yang telah lama menggulirkan standarisasi profesionalisme guru tidak semua karakteristik yang berkaitan dengan profesionalitas guru dipenuhi. Tabel berikut menunjukkan pengaruh gerakan pembaharuan (melalui standarisasi) profesionalisme guru di Amerika.

Karakteristik Pengaruh terhadap guru perorangan Pengaruh terhadap semua guru
1 Menentukan kebijakan Pada umumnya kurang Kurang
2 Menguasai dan mengukur diri sendiri Kurang Kurang
3 Keahlian khusus (special expertise) Lebih Lebih
4 Evaluasi kemajuan diri Kurang Kurang
5 Menentukan kebijakan sekolah Pada umumnya kurang Kurang
6 Otonomi Kurang Kurang
7 Memonopoli Kurang Kurang
8 Komitmen pada tugas Lebih Lebih
9 Kode etik Lebih Lebih
10 Dewan pendidikan Lebih Lebih
11 Mengawasi dan memberi sanksi lebih Lebih
Sumber: Philip A.Cusick dalam Tilaar, hlm. 89

Dalam pembinaan guru melalui standarisasi profesionalisme guru yang terjadi di Amerika Serikat timbul beberapa kontradiksi yakni adanya kecenderungan melihat hasil yang cepat, program yang dangkal karena adanya kecenderungan untuk segera mengumpulkan banyak guru dalam waktu cepat, minimnya tindak lanjut, dan bersifat supervisial (Tilaar: 2006:: 89-90).
Belajar dari pengalaman Amerika Serikat dalam standarisasi profesionalisme guru dapat diambil pelajaran dengan berlandaskan beberapa kontradiksi di atas. Pemerintah dan masyarakat tidak boleh terburu-buru untuk mengukur dampak dari sertifikasi, apalagi membuat generalisasi yang kurang tepat. Generalisasi yang kurang tepat akan memojokkan profesi guru, sehingga apresiasi yang baru saja diberikan terasa hambar.
Dalam pemanggilan guru untuk pemberkasan portofolio juga tidak perlu terburu-buru, tidaklah perlu mengejar target secara cepat agar semua guru tersertifikasi. Apalagi ada target ditahun sekian guru harus sarjana agar tersertifikasi. Dampaknya jelas, kuliah terkesan asal-asalan. Asal strata satu biar memenuhi syarat sertifikasi. Dan yang penting adalah pembinaan secara berkala, berkelanjutan agar tidak mengalami titik jenuh.
Survei yang dilakukan PGRI sah-sah saja, namun dalam perspektif penulis yang perlu disajikan ke media tidak saja mengenai belum adanya dampak yang menggembirakan dari guru yang lulus sertifikasi utamanya berkaitan dengan kinerja dan motivasi. Laporan itu bagi penulis perlu dilengkapi data mengenai apa penyebab kinerja tidak berubah dan motivasinya biasa-biasa saja atau cenderung menurun. Ini penting karena akan menyelesaikan berdasar akar permasalahan.
Dalam perspektif penulis ada beberapa faktor yang berpotensi mengakibatkan kinerja dan motivasi guru yang telah lulus sertifikasi biasa-biasa saja, antara lain. Pertama; guru mengalami titik jenuh sehingga memerlukan tantangan baru. Kejenuhan tersebut dapat bersumber dari unit kerja yang monoton, atau kelas yang diajar selalu pada level yang sama. Untuk membunuh kejenuhan ini maka diperlukan tour of duty sehingga ditemukan tantangan baru.
Kedua; kapasitas guru sudah maksimal, karena usia yang semakin bertambah sehingga produktifitasnya menurun. Bisa jadi memang begitu adanya, sehingga tidak dapat di up grade lagi. Ketiga; aktif atau tidak aktif, produktif atau tidak produktif, tidak berpengaruh terhadap apresiasi yang diberikan, sehingga stimulan efeknya tidak maksimal.
Bagaimanapun juga apresiasi terhadap guru merupakan langkah yang terbaik untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional, karena ujung tombak pendidikan adalah guru. Berkaitan dengan menjaga daya tahan profesionalitas guru agar kinerja dan motivasinya tinggi dan tidak up and down, maka langkah yang perlu diambil dalam perspektif penulis adalah adanya progress report dari guru yang telah tersertifikasi.
Progress report itu dapat berupa portofolio tahunan yang dilakukan guru, produktifitas dalam pembinaan peserta didik, produktifitas dalam Penelitian Tindakan Kelas, atau yang lainnya. Yang terpenting, progress report itu tidak menganggu proses pembelajaran, karena pengalaman yang sudah-sudah, portofolio banyak memakan energi para guru. Dengan adanya progress report, maka dengan sendirinya guru akan terlatih untuk memilki arsip dan senantiasa melaksanakan kinerja dengan baik yang pada gilirannya akan memberi kontribusi positif dalam peningkatan kualitas pendidikan nasional.

Ujian Nasional: Baik atau Burukkah ?!

Diskursus tentang Ujian Nasional merupakan materi yang menarik menjelang hari H pelaksanaannya. Sampai sekarang, penolakan Ujian Nasional masih berlangsung dimana-mana, bahkan ada pihak yang menganggap Ujian Nasional haram hukumnya. Namun ujian yang menjadi agenda utama BSNP itu terus melenggang untuk dilaksanakan. Dan para penolak dan pengkritik untuk kesekian kalinya harus gigit jari meski perkaranya sudah sampai pada vonis Mahkamah Agung. Meskipun demikian tindakan pemerintah yang dinilai mengabaikan isi putusan kasasi Mahkamah Agung dalam perkara gugatan warga negara tentang Ujian Nasional bisa menjadi pintu persoalan politik yang baru jika penggugat dapat mengkombinasikan gerakannya ke politik (Kompas, 26 Januari 2010).
Baik atau Buruk
Dalam kajian filsafat ada beberapa pendekatan untuk menyatakan bahwa sesuatu baik atau buruk. Yang pertama adalah pendekatan konsekuensialis. Pendakatan ini menyatakan bahwa sesuatu dikatakan baik bila hasilnya menunjukkan kebaikan. Dalam konteks Ujian Nasional hasil akhir yang diharapkan adalah peningkatan mutu pendidikan. Pada kenyataannya yang terjadi adalah sebuah anomali prestasi pendidikan. Banyak sekolah yang favorit di kota kalah prestasi nilai Ujian Nasionalnya dibandingkan dengan sekolah di pinggiran. Disamping itu pelaksanaan Ujian Nasional hanya membuat siswa stres, guru-guru kebingungan dan berfikir instan, tereduksinya idealisme akademik, dan runtuhnya kejujuran dunia pendidikan.
Melihat hasil yang anomali dan dampak yang tidak baik maka pelaksanaan Ujian Nasional menurut pendekatan konsekuensialis dapat dikatakan buruk. Namun rupanya BSNP tidak patah arang dan selalu berupaya mereduksi berbagai dampak dengan mendesain prosedur operasional yang lebih baik. Bahkan pemerintah melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 75 tahun 2009 pasal 24 menyatakan bahwa : Puspendik memetakan hasi Ujiaan Nasional dan kejujuran pelaksanaan ujian Nasional. Pasal ini bisa dimaknai bahwa pelaksanaan ujian Nasional yang telah berlangsung beberapa tahun sepi dari kejujuran sehingga perlu pemetaan. Menurut penulis, yang lebih penting adalah mengapa sekolah tidak jujur, bukan sekedar pemetaan kejujuran sekolah. Alasannya ketidakjujuran itu belum tentu berasal dari inisiatif pengelola sekolah karena bisa jadi siswa dari sekolah tertentu memperoleh bocoran jawaban dari sekolah lain.
Pendekatan yang kedua untuk menilai baik atau buruknya sesuatu adalah pendekatan nonkonsekuensialis. Pendekatan ini tidak meletakkan tinjauan baik atau buruk pada hasil perbuatan namun pada landasan ideal yang menjadi pijakan perbuatan. Landasan ideal yang menjadi pijakan tersebut mengandung spirit dan transenden. Pendekatan nonkensekuensialis relevan dengan ajaran agama yang menyatakan bahwa amal dan perbuatan bergantung pada niatnya.
Dalam konteks Ujian Nasional, niat penyelenggaraannya memang baik yakni mencerdaskan kehidupan bangsa melalui sistem evaluasi yang ketat. Sebuah evaluasi yang dapat memaksa peserta didik untuk belajar dengan tekun dan sungguh-sungguh. Juga memaksa guru dan sekolah/madrasah untuk serius dalam penyelenggaraan pendidikan dengan memenuhi delapan standar pendidikan yang ditetapkan pemerintah.
Namun niat baik ini akan menjadi berkurang jika dari pengambil kebijakan tidak menghayati sepenuhnya niat aslinya dan niatnya bergeser hanya sekedar memanfaatkan anggaran yang ada. Jika niatnya hanya sekedar memanfaatkan anggaran maka penyelenggaraan Ujian Nasional dari sudut pendekatan nonkonsekuensialis pun dapat dikatakan sebagai sesuatu yang buruk.
Jalan Tengah
Dari dua pendekatan tentang baik dan buruk dapat dikatakan bahwa pelaksanaan Ujian Nasional dari sudut pendekatan konsekuensialis merupakan sesuatu yang buruk, namun dari sudut pendekatan nonsekuensialis merupakan sesuatu yang baik (berdasarkan niat aslinya).
Jalan tengah yang perlu diambil adalah bagaimana penyelenggaraan Ujian Nasional itu baik dari dua sudut pendekatannya, baik konsekuensialis dan nonkonsekuensialis. Jalan tengah yang diambil tidak perlu mengandung unsur intimidatif seperti rencana silang siswa antarsekolah (meskipun pada akhirnya tidak jadi dilaksanakan), memperbanyak tim independen, atau menaikkan standar nilai minimal. Kebijakan yang intimidatif hanya membuat Ujian Nasional semakin kontroversial.
Sebetulnya ada dua jalan tengah yang mudah dilakukan namun tetap konstruktif dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Jalan tengah yang pertama adalah kembali meningkatkan kejujuran akademik seluruh pelaku pendidikan dengan cara menyusun soal sevariatif mungkin. Misalnya setiap peserta dalam satu ruang ujian mengerjakan soal yang berbeda. Jika satu ruang ada dua puluh peserta ujian, maka dalam ruang tersebut ada dua puluh tipe soal. Variasi itu dapat menggunakan pendekatan permutasi, yakni satu soal yang terdiri atas empat puluh atau lima puluh butir soal diacak nomornya sehingga dihasilkan beberapa variasi soal. Dengan banyaknya variasi soal maka kecurangan dapat menjadi nihil. Memang cara ini memakan lebih banyak biaya untuk pencetakan naskah soal dan pemindaian lembar jawab, namun demi tujuan mulia langkah ini patut untuk ditempuh.
Yang kedua adalah menjadikan nilai Ujian Nasional bukan sebagai penentu kelulusan, namun hasil Ujian Nasional tetap dijadikan sebagai pijakan dalam pemetaan kualitas dan pembinaan terhadap institusi pendidikan. Tidak itu saja, prestasi dan kejujuran akademik harus diapresiasi dengan pemberian reward sehingga upaya peningkatan mutu setiap sekolah selalu diupayakan.
Dengan mengambil kedua jalan tengah maka penyelenggaraan Ujian Nasional akan menjadi sesuatu yang baik dari segi konsekuensialis dan nonkonsekuensialis dan pada gilirannya benar-benar sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.

About Me

My photo
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Saya adalah seorang pendidik, alumni pasca sarjana dalam bidang pemikiran pendidikan. Essay-assay saya dipublikasikan di Kompas Jateng, Suara Merdeka, Gerbang, Rindang, Media Pembinan, detik.com, okezone.com Pernah Menjuarai penulisan ilmiah kelompok guru di harian Kedaulatan Rakyat, menjadi finalis lomba inovasi pembelajaran di UNNES, dan menjadi pemakalah terpilih dan pembicara dalam Konferensi Guru Indonesia tahun 2007. Tahun 2008 menjadi pemakalah dalam International conference on lesson study di Universitas Pendidikan Indonesia. Tahun 2009 terpilih sebagai penerima dana bantuan penulisan dari PUSBUK. Tahun 2010 menjadi pemenang harapan 3 lomba media pembelajaran tingkat nasional .Buku: 1. Kebijakan Publik Bidang Pendidikan.2. Profil Guru SMK Profesional 3. Editor buku Sejarah Kebudayaan Islam