Modifikasi Perilaku bagi Peserta Didik

Dalam dunia penelitian bidang pendidikan kita mengenal apa yang dinamakan CAR (classroom action research) yang di tanah air populer dengan nama PTK (Penelitian Tindakan Kelas). Dalam PTK tujuan yang hendak dicapai adalah bagaimana merubah pola-pola pembelajaran di kelas yang pada akhirnya diperoleh hasil pembelajaran yang optimal. Untuk meraih hasil tersebut biasanya dilalui melalui beberapa proses atau tahapan yang dikenal dengan siklus penelitian.Tulisan ini menyajikan sesuatu yang berbeda dengan PTK meskipun ada kesamaan diantara keduanya. Kesamaan itu menyangkut tujuan keduanya yakni merubah perilaku siswa dalam belajar. Tulisan ini akan mengupas tentang modifikasi perilaku peserta didik.
Modifikasi perilaku menurut Bootzin (dalam Soetarlinah Soekadji, 1983) merupakan usaha untuk menerapkan prinsip-prinsip proses belajar maupun prinsip-prinsip psikologi hasil eksperimen lain pada perilaku manusia. Dalam perspektif behaviorist modidifikasi perilaku didefinisikan sebagai penggunaan secara sistematis teknik kondisioning pada manusia untuk menghasilkan perubahan frekuensi perilaku sosial tertentu atau tindakan mengontrol lingkungan perilaku tersebut (Powers & Osborn, dalam Soetarlinah Soekadji, 1983). Dari definisi kedua dapat ditarik kesimpulan bahwa mengubah perilaku akan dinamakan modifiksi perilaku jika menggunakan teknik yang ketat; ada tanggapan, ada akibat, dan ada stimuli yang dilakukan dengan tercatat secara cermat. Adapun perubahan-perubahan yang diharapkan dari modifikasi perilaku adalah; peningkatan, pemeliharaan, pengurangan dan penghilangan, serta perkembangan atau perluasan. Peningkatan perilaku dapat dilakukan dengan pengukuhan, misalnya pemberian reward. Pemeliharaan dapat dilakukan dengan cara penjadwalan pemberian pengukuhan sehingga perilku tersebut tetap terjaga. Pengurangan perilaku dapat dilakukan dengan pemberian hukuman, sedangkan untuk pengembangan perilaku dapat dilakukan dengan pembentukan (shaping) dan perangkaian (chaining). Sedangkan untuk perluasan dapat dilakukan dengan berbagai variasi pengukuhan.
Dalam konteks pembelajaran sesungguhnya modifikasi menjadi tugas yang include melekat dalam profesi guru. Modifiksi perilaku diperlukan agar hasil pembelajaran yang menyangkut ketiga ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik dicapai secara efektif.
Implementasi Modifikasi Perilaku
Menghadapi sejumlah siswa dalam satu kelas atau lebih tentu tidaklah mudah untuk mengenal betul portofolionya. Apalagi yang menyangkut karakteristik kepribadian dan tingkah laku. Diperlukan kemampuan behavior analysis (analisis perilaku) yang akurat dari setiap guru. Namun penulis menyadari bahwa tidak semua guru expert dalam bidang ini, karena sesungguhnya kemampuan tersebut menjadi domain konselor pendidikan. Untuk itu sinergi antara guru mata pelajaran dengan konselor pendidikan di sekolah mutlak diperlukan.
Memodifikasi perilaku tentu akan akurat jika dilakukan secara individu karena setiap individu itu unik, memiliki perbedaan dengan yang lainnya. Namun dari ratusan peserta didik di sekolah tentu tidak semua siswa harus dilakukan modifikasi perilaku, hanya siswa yang memiliki perilaku yang menjadi problema sajalah yang perlu dilakukan modifikasi perilaku.
Problema psikologis merupakan kesukaran yang dihadapi individu untuk berhubungan dengan orang lain, dalam mempersepsikan dunia sekitarnya, atau dalam bersikap terhadap diri sendiri. Problema psikologis dapat dikenali melalui perasaan cemas atau tegang, tidak efisien dalam mencapai sasaran yang diingini, atau ketidakmampuan berfungsi secara efktif dalam bidang-bidang psikologis (Soetarlinah Soekadji, 1983). Problema psikologis juga dapat dikenali dari orang-orang di sekitar individu yang mengalami problema psikologis. Kadang seseorang merasa tidak bermasalah dengan dirinya, namun orang-orang disekitar merasa jengkel, terganggu dengan kehadirannya, tidak membuat orang lain bahagia dengan keberadaannya, maka orang tersebut sejatinya mengalami problema psikologis.
Dalam konteks belajar di kelas, siswa yang mengalami phobi sekolah, malas belajar, mengganggu di kelas, sejatinya siswa tersebut mengalami problema psikologis. Atau siswa yang mengalami jenuh belajar sejatinya juga mengalami problema psikologis. Atau siswa yang mengalami penurunan prestasi belajar secara drastis sejatinya juga sedang mengalami problema pikologis.
Setiap problema psikologis dalam belajar harus segera dimodifikasi perilakunya. Ada beberapa tahapan yang perlu dilakukan untuk melakukan modifikasi perilaku. Langkah-langkah tersebut adalah:
1. Mengidentifikasi problema psikologis siswa. Langkah ini dikenal dengan analisis fungsi; menyangkut tiga aspek yakni faktor-faktor yang menyumbangkan terjadinya perilaku, faktor-faktor yang menyebabkan perilaku terpelihara, dan tuntutan lingkungan siswa.
2. Setelah diketahui dan dilakukan analisis fungsi maka langkah berikutnya adalah menentukan perilaku yang akan diubah.
3. Menentukan teknik untuk memodifikasi perilaku.
Contoh modifikasi perilaku:
1. Abdul Latif merupakan sosok yang berprestasi dalam bidang matematika. Ia selalu bersemangat ketika diajar oleh Pak Jono sehingga prestasinya bagus. Namun setelah diajar oleh Pak Arif prestasinya turun dan semangat belajarnya turun drastis. Dalam konteks ini maka yang perlu dilakukan dalam modifikasi perilaku adalah “memelihara perilaku antusias belajar matematika”. Sesuai dengan teori di atas bahwa untuk memelihara perilaku dilakukan dengan pengukuhan terjadwal. Pak Arif perlu konfirmasi kepada Pak Jono. Ternyata permasalahannya hanya sepele yakni Pak Jono selalu memberi reward lewat SMS kepada abdul Latif. Dengan demikian untuk memelihara perilaku antusias dalam belajar Abdul Latif perlu penguatan perilaku dengan cara memberi pujian secara intensif (terjadwal) sebagai bentuk reward meskipun hanya melalui SMS. Dalam konteks ini pengukuh berupa pujian.
2. Arman, murid klas 1 MI, belajar membaca. Pengukuh yang wajar adalah nilai yang bagus. Tetapi ternyata nilai tidak efektif untuk meningkatkan perilaku belajar membaca Arman. Guru harus mencari pengukuh lain misalnya permen meskipun pengukuh ini kurang wajar. Dalam konteks ini pengukuh berupa benda atau barang.

Urgensi School for Life

Ketika program pendidikan gratis digulirkan, kita masih saja mendengar berita siswa bunuh diri gara-gara tidak mampu membayar uang sekolah seperti yang baru-baru ini terjadi di Tangerang. Kita juga masih menjumpai orang tua yang cek-cok gara-gara anaknya minta uang untuk bayar sekolah.
Praktik pendidikan kita masih seperti di ruang hampa dan kehilangan konteks atas realitas yang ada. Realitas bahwa banyak siswa miskin dan kurang beruntung nasibnya, dinafikkan begitu saja. Banyak siswa kita yang terpaksa jadi pengamen untuk dapat membayar uang sekolah, ada pula yang terpaksa kerja dengan mengesampingkan masa-masa bermain sebagai seorang anak. Praktik pendidikan kita dalam banyak hal penganut sejati hukum ekonomi, berorientasi pada profit.
Pendidikan yang sejatinya pemanusiaan manusia, dalam beberapa kasus justru berperan mengantarkan siswanya pada ujung kematian yang tragis. Prinsip education for all yang sering didengung-dengungkan itu hanyalah pepesan kosong yang miskin realisasi.
Pendidikan kita juga masih reaktif atas perkembangan ilmu pengetahuan. Sikap ini berakibat pada beratnya beban siswa atas kurikulum yang berlaku. Kita masih beranggapan bahwa semakin banyak materi kurikulum yang diserap akan linier dengan penguasaan ilmu dan teknologi.
Kasus siswa bunuh diri, siswa drop out, siswa yang tidak dapat meneruskan ke jenjang sekolah yang lebih tinggi, adalah sebuah penanda bahwa pendidikan kita tidak mengajari siswa bagaimana survive, bertahan hidup, bertahan untuk bisa sekolah. Memang pendidikan kita telah mengenal metode CTL (Contextual Teaching and Learning). Namun metode itu sebatas menggali lingkungan sekitar sebagai sumber belajar (itupun belum dipraktikkan secara optimal), bukan sebagai sumber daya untuk survive.
Idealnya pendidikan berdialektika dengan realitas yang ada. Realitas itu dapat berupa kondisi ekonomi, sosial, budaya, politik, keamanan, dan tentu ideologi. Tujuannya jelas, siswa dapat survive, mampu beraktualisasi diri, dan menyesuaikan dengan realitas yang ada. Banyaknya siswa yang DO menggambarkan bahwa pendidikan ekonomi tak mengajari siswanya bagaimana dapat survive dengan kondisi ekonomi yang ada. Banyaknya siswa (dan mahasiswa) yang keblinger ideologinya menandakan pendidikan kita tidak antisipatif terhadap menjamurnya ideologi yang kadang destruktif dan eksklusif. Munculnya berbagai patologi sosial yang menghinggapi peserta didik kita adalah bukti semakin miskinnya pendidikan nilai yang dapat dipraktikkan agar dapat survive di masyarakat. Maraknya video porno yang melibatkan siswa sebagai pelakunya adalah gambaran gagalnya pendidikan akhlak untuk menjadikan siswanya survive di era globalisasi. Dan masih banyak kasus lagi.
Untuk dapat berdialektika dengan realitas yang ada perlu dilakukan diversifikasi pendidikan yang tujuannya menjadikan siswa survive atas realitas nasibnya. Model sekolah yang menjadikan siswanya survive, kita dapat merujuk pada School for Life. School for Life didirikan di Utara Thailand pada tahun 2003 oleh Thaneen Joy Worrawittayakun dan Profesor em. Dr. Juergen Zimmer (Buku Program KGI, 2007). Model School for life konsepnya telah diklasifikasi oleh UNESCO sebagai usaha inovasi kelas dunia yang sangat diperlukan di dunia pendidikan untuk komunitas dunia pada abad 21. Ketika penulis berdialog dengan Profesor em. Dr. Juergen Zimmer dalam Konferensi Guru Indonesia pada tahun 2007, beliau mengatakan akan membangun School for Life di pulau Bali, namun sampai saat ini penulis belum mendengar realisasinya.
Di Utara Thiland sekolah ini menerima anak-anak dari latar belakang yang sulit. Pada awalnya siswa-siswanya merupakan anak yatim piatu dengan latar belakang AIDS. Namun ketika Tsunami tahun 2004 melanda Aceh, Bangladesh, dan juga Thailand, School for Life juga menerima anak-anak korban tsunami yang kehilangan orang tua dan saudaranya.
School for Life didirikan untuk menjadikan siswanya memperoleh kebahagiaan mengingat siswanya berasal dari anak-anak yang tidak beruntung nasibnya dan tentu masa kecilnya kurang bahagia. Sekolah ini lebih mirip sebuah komunitas yang menekankan kasih sayang, percaya pada kekuatan sendiri, kecintaan yang besar akan sesuatu, kedamaian, dan keterbukaan. Model sekolah ini juga menekankan pentingnya membantu nak-anak yang kurang beruntung untuk mengejar dan meraih prestasi puncak dengan semangat kewirausahaan dan tanggung jawab pada lingkungan dan sosial.
Praktik pembelajarannya tentu tidak seperti sekolah formal yang kurikulumnya telah standar dari segi isi, proses, dan penilaiannya. Kurikulumnya sangat kondisional. Mensinergikan sekolah dengan penduduk desa sekitar, membuka lapangan kerja dan memfokuskan pada komunitas dan ide pengembangan.
Di Indonesia, School for Life memang mulai bermunculan dengan bentuknya sendiri. Sekolah alam di berbagai tempat di tanah air merupakan varian dari School for Life. Hanya saja praktik sekolah alam yang ada di Indonesia masih saja terkooptasi dengan standar penilaian. Masih mengikuti Ujian Nasional, meskipun dengan keterpaksaan.
Bangsa Indonesia yang masyarakat miskinnya pada kisaran 40 juta mestinya mengadopsi School for Life. Apalagi bangsa kita juga rawan bencana alam sehingga praktik School for Life tepat untuk dilaksanakan. Setidak-tidaknya ada kerangka kerja dan pengelolanya sehingga ketika ada bencana bukan lagi pihak asing yang menangani trauma atau pendidikan pasca bencana bagi anak-anak kita, karena bagaimanapun juga keterlibatan pihak asing sarat dengan tendensi.
School for Life itu penting agar kita tidak gagap atas tragedi bencana, agar anak-anak kita tak ada lagi yang drop out, agar kasus bunuh diri tidak kita dengar lagi hanya karena tidak mampu membayar uang sekolah. Tidak itu saja, School for Life juga memberi kesempatan kepada mereka yang telah mengalami masalah sejak kecil sebagai korban kekerasan atau terinfeksi virus AIDS dari orang tuanya yang selama ini justru kita kucilkan. School for Life sejatinya adalah bentuk pendidikan yang memanusiakan manusia. Untuk itu School for Life urgen untuk dilaksanakan !!

Merindukan Lahirnya Pedagog Kritis

Prof. Eko Budihardjo pernah menyatakan bahwa mengupas pendidikan di Tanah Air seperti mengupas bawang merah. Semakin dikupas semakin perih di mata. Sementara itu, mantan Rektor IKIP Jakarta, Prof. Surachman yang terkenal dengan professor “kandang ayam” itu menyatakan bahwa pendidikan di Indonesia selalu bergulir dari satu masalah ke masalah yang lain. Lulusan sekolah dan perguruan tinggi yang memiliki energi kreatif dan idealisme mestinya dapat menjadi problem solver, pada kenyataannya justru menjadi part of problems. Dan lebih tragis lagi, setelah mendapat gelar sarjana tak jarang sebagian dari mereka memperoleh gelar baru: pengangguran intelektual. Sebuah gelar yang tak semestinya !!.
Di belahan Amerika Latin, tepatnya di Brazil, Paulo Freire (1969) mengulirkan ide brilian, Pedagogy of the Oppressed yang fenomenal dan mendunia itu. Freire menjadi “provokator” agar masyarakat kritis terhadap praksis pendidikan yang memperbodoh peserta didik dan bukannya pemanusiaan manusia. Dan di Eropa muncul Ivan Illich (1971) dengan Deschooling Society-nya sebagai sebuah protes atas buruknya kondisi persekolahan dizamannya. Sebuah praktik pendidikan yang hanya berorientasi pada kurikulum yang sarat mata pelajaran dan mengagung-agungkan apa yang dinamakan sertifikat.
Wilayah pendidikan adalah wilayah yang semestinya sakral dan suci, tempat bagi para pencari ilmu, tempat penanaman nilai religius dan nilai – nilai kehidupan yang agung. Namun pada kenyataannya, wilayah pendidikan tak pernah sepi dari campur tangan politik. “Penodaan” wilayah pendidikan oleh campur tangan politik pada akhirnya berdampak buruk. Pergantian kurikulum yang mengatasnamakan dinamika zaman belum menampakkan hasil, evaluasi dalam bentuk ujian nasional validitas hasilnya banyak yang meragukan sehingga dari tahun ke tahun SOP (Standar Operasional Prosedurnya) berubah-ubah dengan tujuan mendapatkan hasil yang tidak bias. Model-model pembelajaran baru yang ditawarkan seperti CTL (Contextual Teaching and Learning), multy creative learning, dan lainnya menjadi kurang makna karena pada akhirnya pembelajaran guru di kelas menggunakan sistem drill agar siswanya lulus ujian nasional. Harapan pembelajaran yang bermakna selalu kandas, dan yang ada sekedar teaching to test.
Jika kita cermati, realitas pembelajaran di dunia pendidikan kita miskin sekali penanaman jiwa wiraswasta, pembentukan mental kejujuran, apalagi pendidikan yang tanggap bencana. Pemerintah selalu berharap lulusan sekolah agar mandiri, dapat menciptakan lapangan kerja, dan dapat berwiraswasta. Namun harapan itu tak akan pernah terwujud jika yang dikejar wilayah kognitif terus.
Untuk membentuk mental wiraswasta mestinya penting untuk melakukan pembelajaran berbasis proyek sehingga siswa terbiasa menganalisis pekerjaan, melaksanakan pekerjaan, dan tahu untung tidaknya pekerjaan yang telah dilakukan. Dari sini maka siswa akan memilki mental “jatuh bangun” dalam berusaha.
Pendidikan yang diharapkan mampu menanamkan mental kejujuran, tidak korup, dan nilai luhur lainnya susah diharapkan berhasil. Penyebabnya adalah ketiadaan teladan dari pemimpin yang menyebabkan hilangnya empati siswa dan yang timbul adalah apatis. Dalam benak siswa, apalagi siswa setingkat SMA sudah tahu betul bahwa hukum bisa dipermainkan, sehingga ketika ranah hukum diajarkan di kelas, penulis yakin akan susah mengubah sikap siswa karena sudah apriori.
Dan tentang pendidikan kebencanaalaman, kita tak pernah memiliki format yang jelas. Kalau ada sekolah yang mengajarkan, polanya tidak baku, dan spekulatif. Mestinya di tengah kepungan bencana menyadarkan siswa dan mengajari cara menyelamatkan diri itu penting. Lihatlah Jepang yang sudah memasukkan kurikulum bencana (tsunami) di sekolah, atau dapat kita lihat School for Life yang didirikan oleh Thaneen Joy Worrawittayakun dan Profesor em. Dr. Juergen Zimmer di Utara Thailand tahun 2003. Model ini khusus menangani anak-anak korban bencana alam dan konsepnya telah diklasifikasi oleh UNESCO sebagai usaha inovasi kelas dunia yang sangat diperlukan di dunia pendidikan untuk komunitas dunia pada abad 21.
Dari berbagai kesenjangan antara harapan dan realitas pendidikan di Tanah Air maka kehadiran para pedagogik kritis mutlak diperlukan. Ahmad Bahrudin yang menggagas dan mempraktikkan sekolah alam di Salatiga sepertinya dapat menjadi contoh munculnya pedagog kritis. Di sekolah itu, siswa dan gurunya produktif sekali. Banyak dihasilkan buku-buku bacaan, sekolahnya sangat murah, praktiknya mensinergi hidup dengan alam. Ahmad Bahrudin sepertinya terinspirasi oleh pemikiran Paulo Freire yang sangat terobsesi menciptakan humanisasi melalui pendidikan.
Melihat dunia pendidikan kita yang sebenarnya tahu arah menuju peningkatan kualitas namun dikalahkan oleh kepentingan dan politik sudah saatnya diimbangi oleh para pedagogik kritis yang berani melakukan diversifikasi pendidikan.
Kelahiran pedagog kritis bukanlah sebuah perlawanan terhadap pemerintah, namun sebagai penyeimbang terhadap kebijakan yang seringkali ambigu dan sulit ditembus. Nalar kritisnya penting untuk disuarakan demi kemajuan pendidikan di Tanah Air. Kehadirannya adalah menjawab kebutuhan masyarakat, dan wilayah kerjanya jelas, menciptakan generasi yang mampu berwiraswasta, mensinergikan hidup dengan alam, dan tentu pendidikan yang murah.
Para pedagog kritis sudah saatnya tidak bermain dalam wilayah wacana, namun pada praksis. Buktikan bahwa sekolah alternatifnya mampu menghasilkan wiraswastawan, buktikan bahwa sekolah alternatifnya bisa dinikmati semua masyarakat, buktikan bahwa sekolah alternatifnya efektif dalam penanam nilai.
Melihat kenyataan pendidikan nasional saat ini, kemunculan pedagog kritis sangat dirindukan.

About Me

My photo
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Saya adalah seorang pendidik, alumni pasca sarjana dalam bidang pemikiran pendidikan. Essay-assay saya dipublikasikan di Kompas Jateng, Suara Merdeka, Gerbang, Rindang, Media Pembinan, detik.com, okezone.com Pernah Menjuarai penulisan ilmiah kelompok guru di harian Kedaulatan Rakyat, menjadi finalis lomba inovasi pembelajaran di UNNES, dan menjadi pemakalah terpilih dan pembicara dalam Konferensi Guru Indonesia tahun 2007. Tahun 2008 menjadi pemakalah dalam International conference on lesson study di Universitas Pendidikan Indonesia. Tahun 2009 terpilih sebagai penerima dana bantuan penulisan dari PUSBUK. Tahun 2010 menjadi pemenang harapan 3 lomba media pembelajaran tingkat nasional .Buku: 1. Kebijakan Publik Bidang Pendidikan.2. Profil Guru SMK Profesional 3. Editor buku Sejarah Kebudayaan Islam