Dua Macam soal Saja Tidak Cukup
Sejak pertama kali dilaksanakan Ujian Nasional ditengarai banyak terjadi ketidakberesan. Kecurangan tersebut sejatinya muncul sebagai “perlawanan” dari adanya batas minimal nilai untuk lulus. Batasan tersebut menjadi sumber paranoid bagi pelaku pendidikan. Peserta didik menjadi takut jika tidak lulus, guru menjadi takut jika banyak siswa yang tidak lulus karena mempengaruhi citranya, dan pengelola sekolah swasta takut jika banyaknya siswa yang tidak lulus menjadikan yayasannya gulung tikar. Begitu juga sekolah negeri takut jika kalah dengan sekolah yang swasta, apalagi swasta pinggiran. Akibatnya terjadi “perlawanan” akumulatif dengan corak dan gayanya masing-masing.
Realitas tersebut sejatinya telah disadari benar oleh pengambil kebijakan yang dalam hal ini adalah BSNP. Hal tersebut dapat ditengarai dari adanya perubahan-perubahan dalam POS (Prosedur Operasional Standar) yang diterbitkan setiap tahun menjelang Ujian Nasional. Perubahan-perubahan mencolok dapat dicermati sejak adanya tim independen (pemantau) setahun yang lalu.
Adanya tim independen sejatinya sebagai alat untuk lebih membuat fair pelaksanaan Ujian Nasional. Namun pada kenyataan fungsi tim tersebut juga tidak maksimal karena ada beberapa alasan. Pertama; kapabilitas personal yang tidak cukup layak, kedua; tim independen mantan murid salah satu guru atau kepala sekolahnya sehingga menjadi kurang atau tidak tegas, dan ketiga; tim independen juga mempunyai anak yang sedang ujian nasional sehingga justru sama-sama merasakan kondisi yang ada.
Melihat tidak maksimalnya tim independen maka pada Ujian Nasional tahun ini (2006/2007) diadakan kebijakan baru yakni dalam satu ruangan dibuat dua macam variasi soal untuk mengurangi kerja sama atau mempersempit ruang kebocoran soal.
Sekolah versus BSNP
Ada dua kepentingan yang ada dalam Ujian Nasional yakni kepentingan sekolah dan kepentingan BSNP. Bagi sekolah membekali siswa dengan ilmu, nilai terpuji, dan keterampilan serta mengantarkan siswa hingga lulus adalah sebuah cita-cita dan kebanggaaan. Maka tidaklah mengherankan jika sekolah selalu mengadakan program intensif guna menghadapi ujian nasional.
Di lain pihak BSNP yang bertugas melaksanakan standarisasi pendidikan memandang Ujian Nasional adalah sebagai salah satu langkah untuk mencapai tujuan atau standarisasi, minimal menjadi pemicu semangat dalam belajar baik bagi guru atau siswa.
Dilapangan keinginan pelaku pendidikan tidak atau kurang sejalan dengan kebijakan BSNP. Pelaksanaan standarisasi tentu disetujui semua pihak namun prasyarat untuk lulus dipandang memberatkan, bahkan meresahkan. Bagi kebanyakan guru model Ujian Nasional tidak lebih baik dari model Ebtanas. Ada beberapa alasan Ebtanas dipandang lebih baik dari Ujian Nasional antara lain: pertama; jumlah mata pelajaran yang diujikan merepresentasikan program pilihan semisal dari program IPA ada Fisika, Kimia, dan Biologi, kedua; dalam Ebtanas tidak disertakan limit kelulusan sehingga meminimalisir kecurangan, ketiga; sekolah tidak terfokus pada ujian akhir tetapi juga membekali siswa untuk dapat masuk perguruan tinggi.
Soal sevariatif mungkinAdanya dua macam variasi soal, penulis pandang sebagai keputusan setengah hati karena tetap saja memunculkan peluang tindakan curang. Idealnya soal dibuat sevariatif mungkin yakni dua puluh macam soal, sebab dalam satu ruang terdapat peserta maksimal 20 siswa. Jika soal sebanyak ini tentu peluang itu sudah tertutup. Memang membuat sioal sebanyak itu tidak mudah, namun demi peningkatan kualitas yang sesungguhnya langkah tersebut harus dilakukan.
About Me
- Barnawi
- Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
- Saya adalah seorang pendidik, alumni pasca sarjana dalam bidang pemikiran pendidikan. Essay-assay saya dipublikasikan di Kompas Jateng, Suara Merdeka, Gerbang, Rindang, Media Pembinan, detik.com, okezone.com Pernah Menjuarai penulisan ilmiah kelompok guru di harian Kedaulatan Rakyat, menjadi finalis lomba inovasi pembelajaran di UNNES, dan menjadi pemakalah terpilih dan pembicara dalam Konferensi Guru Indonesia tahun 2007. Tahun 2008 menjadi pemakalah dalam International conference on lesson study di Universitas Pendidikan Indonesia. Tahun 2009 terpilih sebagai penerima dana bantuan penulisan dari PUSBUK. Tahun 2010 menjadi pemenang harapan 3 lomba media pembelajaran tingkat nasional .Buku: 1. Kebijakan Publik Bidang Pendidikan.2. Profil Guru SMK Profesional 3. Editor buku Sejarah Kebudayaan Islam
My Blog List
-
Napas Cinta, Peradaban, dan Ketuhanan dalam Sayap-sayap Phoenix - Napas Cinta, Peradaban, dan Ketuhanan dalam Sayap-sayap Phoenix (Catatan Pendek atas Kumpulan Puisi Karya Syah Sandyalelana) Oleh Sawali Tuhusetya *) Pui...4 months ago
-
Lanjutan Kalimat Adjective Dalam bahasa Inggris - Yuni’s long hair has been permed, so Yuni’s appearance is quite different. ( Rambut panjang Yuni sudah dikeritingkan, sehingga penampilan Yuni cukup berbed...2 years ago
-
Andy - Reuni akbar 30 th Alste87. Mulai nanti jam 6 pagi. KLa tampil malam. #Alste #Alste87 #smaga #semarang #reuni #reunion @ditapitarto //via Facebook ...read more7 years ago
-
-
Blog Archive
-
▼
2008
(34)
-
▼
January
(23)
- Pembelajaran Wacana Global
- Belajar dari Renaisance Islam
- Seni dalam Kubangan Posmodernisme
- Inspirasi Dua Bola Mata
- Dan Henry Ford pun tak Lulus Sekolah
- KEKUASAAN ADALAH INVESTASI
- kemerdekaan seorang guru
- PRESTASI SEBAGAI PRASASTI
- mENJADI PEMIMPIN BISNIS YANG BERETIKA
- mEMBANGUN pENDIDIKAN kRITIS
- kaleidoskop politik pendidikan nasional
- Sintesa Dua Zaman
- Menanti "Durian Runtuh" Anggaran Pendidikan
- Pendidikan Preventif
- PENDIDIKAN DALAM BINGKAI SEGITIGA HITAM
- Manusia Standar Versi Ujian Nasional
- Matinya filsafat Pendidikan
- Dua Macam soal Saja Tidak Cukup
- Disorientasi Pendidikan
- Jadikan Siswa Generasi Berpengharapan
- Guru dan Budaya Kegelisahan Akademik
- Pendidikan nilai di era postmodern
- kekuasaan adalah investasi
-
▼
January
(23)
0 comments:
Post a Comment