kaleidoskop politik pendidikan nasional
Pendidikan sejati semakin sulit ditemukan di negeri ini. Pendidikan sejati sebagai sebuah pemanusian manusia semakin tidak terdengar gaungnya. Yang tersisa hanyalah pendidikan untuk mengisi job tertentu di industri atau birokrasi. Dunia pendidikan kini ‘bertekuk lutut’ pada market demand, permintaan pasar. Akibatnya sering terjadi booming lulusan dengan spesifikasi atau jurusan yang sama, yang pada akhirnya merugikan jurusan itu sendiri, seperti ditutup atau dihapusnya jurusan tertentu di perguruan tinggi. Penutupan atau penghapusan jurusan sebenarnya adalah sesuatu yang aneh karena kebijakan ini berarti menafikkan kajian ilmu tertentu.
Lebih memprihatinkan lagi dari waktu kewaktu pendidikan nasional semakin menunjukkan kegagalannya dalam mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya. Yang ada hanyalah out put dengan outcome rendah , fragmentasi masyarakat ‘sakit’, utamanya masyarakat yang menderita schizofrenia yakni masyarakat yang tahu hukum tetapi suka melanggar, tahu larangan tetapi diterjang, dan tahu kewajiban namun senantiasa ditinggalkan. Pemikiran kritis tentang upaya reengineering pendidikan selalu mentok dan hanya dianggap sebagai macan kertas.
Semua realitas di atas bukannya tanpa sebab, sebab di dunia ini selalu berlaku hukum kausalitas, ada sebab pasti ada akibat. Politik pendidikan nasional sejatinya memberi andil—untuk tidak dikatakan menjadi penyebab utama-- karena apa yang terjadi di lapangan adalah manifestasi dari regulasi yang ada.
Setiap undang-undang sistem pendidikan nasional pastilah tidak steril dari berbagai kepentingan, utamanya kepentingan pragmatis dan kepentingan ideologis. Kepentingan pragmatis dapat berupa upaya mempertahankan kekuasaan atau mengeruk materi, sedangkan kepentingan ideologis berkaitan dengan upaya menggiring masyarakat pada ideologi atau paham tertentu yang dikehendaki penguasa.
Semenjak kemerdekaan sampai dengan era reformasi perjalanan politik pendidikan nasional telah mengalami tiga kali perubahan. Yang pertama adalah kebijakan pendidikan di era orde lama ditahun 1954. Pada masa ini penekanan kebijakan pendidikan pada isu nasionalisasi dan ideologisasi. Penekanan pada kedua bidang tersebut tidak lain karena masa tersebut masa krusial pasca kemerdekaan dimana banyak konflik yang mengarah pada separatisme dan terjadi interplay (tarik ulur) antara pihak yang sekuler dengan agamis.
Implikasi dari kebijakan politik pendidikan pada waktu itu adalah terbentuknya masyarakat yang berjiwa nasionalis dan berpatriot pancasila. Kebijakan politik tersebut sejatinya berupaya menjadi win-win solution dengan mengakomodasi semua kepentingan. Di sini terjadi konfesi (pengakuan) terhadap keanekaragaman baik budaya, seni, maupun agama. Pada dasarnya upaya membangun nasionalisme melalui pendidikan relatif berhasil, hanya saja kurang diimbangi dengan kebijakan yang lain sehingga kemelut bernegara selalu ada di masa tersebut.
Kebijakan politik pendidikan nasional yang kedua adalah dimasa orde baru, yakni dengan dikeluarkannya undang-undang sistem pendidikan ditahun 1989. Berbeda dengan kebijakan di era orde lama, kebijakan di era orde baru memberi penekanan pada sentralisasi dan birokratisasi.
Di masa ini jalur birokrasi sebagai sebuah kepanjangan tangan dari pusat sangat kental. Orang-orang daerah didoktrin sedemikian rupa sehingga menjadi kader-kader yang ‘yes man’, selalu bertaklid buta terhadap kepentingan pusat. Akibat yang terjadi dari kebijakan ini adalah matinya daya kritis, daya kreatif dan daya inovatif, yang ada hanyalah birokrat yang “sendikho dhawuh’. Bahkan sistem pada masa ini berhasil membunuh idealisme. Orang-orang atau cendekia yang idealis, kritis, dan inovatif tiba-tiba memble ketika masuk pada jalur birokrasi.
Di era ini pula terjadi penyeragaman-penyeragaman sehingga budaya daerah, seni daerah, dan kearifan lokal mengalami nasib yang tragis, bahkan banyak yang telah mati. Yang tersisa hanyalah seni dan budaya yang sifatnya mondial. Bahkan istilah Bhinneka Tunggal Ika yang sejatinya bermakna berbeda-beda tetapi satu jua telah dimaknai menjadi sesuatu entitas yang seragam, ya serba seragam.
Kebijakan politik pendidikan nasional yang ketiga adalah kebijakan pendidikan di era reformasi. Kebijakan ini ditandai dengan dikeluarkannya Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional N0 20 tahun 2003. Di era reformasi ini penekanannya terletak pada desentralisasi dan demokratisasi. Kewenangan yang semula terletak di pusat dan berjalan secara top-down diubah dengan memberi kewenangan daerah yang lebih luas sehingga pola yang berjalan adalah bottom-up.
Regulasi yang relatif longgar di era reformasi ini ternyata belum memberi angin segar bagi dunia pendidikan, bahkan banyak potensi untuk diselewengkan dengan mengambil dalih demokratisasi dan desentralisasi.Demokrasi telah menjadi kebebasan dan desentralisasi daerah telah menjadi keangkuhan daerah.
Bahkan di era ini semakin jelas keterpurukan masyarakat miskin karena semakin sulit mengakses pendidikan tinggi. Lebih dari itu implementasi kebijakan pendidikan yang demokratis dan mengedepankan potensi daerah semakin dinafikkan. Sistem evaluasi yang masih terpusat, kekerasan dalam pendidikan, dan banyaknya penyimpangan dalam proses pendidikan semakin memberi catatan buram bagi pendidikan di era reformasi ini.
Sejatinya kata-kata yang tercantum dalam setiap undang-undang tersebut sudah enak dibaca dan didengar, namun implementasi yang konsekuen yang tidak pernah terwujud. Kita memang bangsa yang konsekuen pada ketidakkonsekuenan !!.
About Me
- Barnawi
- Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
- Saya adalah seorang pendidik, alumni pasca sarjana dalam bidang pemikiran pendidikan. Essay-assay saya dipublikasikan di Kompas Jateng, Suara Merdeka, Gerbang, Rindang, Media Pembinan, detik.com, okezone.com Pernah Menjuarai penulisan ilmiah kelompok guru di harian Kedaulatan Rakyat, menjadi finalis lomba inovasi pembelajaran di UNNES, dan menjadi pemakalah terpilih dan pembicara dalam Konferensi Guru Indonesia tahun 2007. Tahun 2008 menjadi pemakalah dalam International conference on lesson study di Universitas Pendidikan Indonesia. Tahun 2009 terpilih sebagai penerima dana bantuan penulisan dari PUSBUK. Tahun 2010 menjadi pemenang harapan 3 lomba media pembelajaran tingkat nasional .Buku: 1. Kebijakan Publik Bidang Pendidikan.2. Profil Guru SMK Profesional 3. Editor buku Sejarah Kebudayaan Islam
My Blog List
-
Napas Cinta, Peradaban, dan Ketuhanan dalam Sayap-sayap Phoenix - Napas Cinta, Peradaban, dan Ketuhanan dalam Sayap-sayap Phoenix (Catatan Pendek atas Kumpulan Puisi Karya Syah Sandyalelana) Oleh Sawali Tuhusetya *) Pui...4 months ago
-
Lanjutan Kalimat Adjective Dalam bahasa Inggris - Yuni’s long hair has been permed, so Yuni’s appearance is quite different. ( Rambut panjang Yuni sudah dikeritingkan, sehingga penampilan Yuni cukup berbed...2 years ago
-
Andy - Reuni akbar 30 th Alste87. Mulai nanti jam 6 pagi. KLa tampil malam. #Alste #Alste87 #smaga #semarang #reuni #reunion @ditapitarto //via Facebook ...read more7 years ago
-
-
Blog Archive
-
▼
2008
(34)
-
▼
January
(23)
- Pembelajaran Wacana Global
- Belajar dari Renaisance Islam
- Seni dalam Kubangan Posmodernisme
- Inspirasi Dua Bola Mata
- Dan Henry Ford pun tak Lulus Sekolah
- KEKUASAAN ADALAH INVESTASI
- kemerdekaan seorang guru
- PRESTASI SEBAGAI PRASASTI
- mENJADI PEMIMPIN BISNIS YANG BERETIKA
- mEMBANGUN pENDIDIKAN kRITIS
- kaleidoskop politik pendidikan nasional
- Sintesa Dua Zaman
- Menanti "Durian Runtuh" Anggaran Pendidikan
- Pendidikan Preventif
- PENDIDIKAN DALAM BINGKAI SEGITIGA HITAM
- Manusia Standar Versi Ujian Nasional
- Matinya filsafat Pendidikan
- Dua Macam soal Saja Tidak Cukup
- Disorientasi Pendidikan
- Jadikan Siswa Generasi Berpengharapan
- Guru dan Budaya Kegelisahan Akademik
- Pendidikan nilai di era postmodern
- kekuasaan adalah investasi
-
▼
January
(23)
0 comments:
Post a Comment