Urgensi School for Life

Ketika program pendidikan gratis digulirkan, kita masih saja mendengar berita siswa bunuh diri gara-gara tidak mampu membayar uang sekolah seperti yang baru-baru ini terjadi di Tangerang. Kita juga masih menjumpai orang tua yang cek-cok gara-gara anaknya minta uang untuk bayar sekolah.
Praktik pendidikan kita masih seperti di ruang hampa dan kehilangan konteks atas realitas yang ada. Realitas bahwa banyak siswa miskin dan kurang beruntung nasibnya, dinafikkan begitu saja. Banyak siswa kita yang terpaksa jadi pengamen untuk dapat membayar uang sekolah, ada pula yang terpaksa kerja dengan mengesampingkan masa-masa bermain sebagai seorang anak. Praktik pendidikan kita dalam banyak hal penganut sejati hukum ekonomi, berorientasi pada profit.
Pendidikan yang sejatinya pemanusiaan manusia, dalam beberapa kasus justru berperan mengantarkan siswanya pada ujung kematian yang tragis. Prinsip education for all yang sering didengung-dengungkan itu hanyalah pepesan kosong yang miskin realisasi.
Pendidikan kita juga masih reaktif atas perkembangan ilmu pengetahuan. Sikap ini berakibat pada beratnya beban siswa atas kurikulum yang berlaku. Kita masih beranggapan bahwa semakin banyak materi kurikulum yang diserap akan linier dengan penguasaan ilmu dan teknologi.
Kasus siswa bunuh diri, siswa drop out, siswa yang tidak dapat meneruskan ke jenjang sekolah yang lebih tinggi, adalah sebuah penanda bahwa pendidikan kita tidak mengajari siswa bagaimana survive, bertahan hidup, bertahan untuk bisa sekolah. Memang pendidikan kita telah mengenal metode CTL (Contextual Teaching and Learning). Namun metode itu sebatas menggali lingkungan sekitar sebagai sumber belajar (itupun belum dipraktikkan secara optimal), bukan sebagai sumber daya untuk survive.
Idealnya pendidikan berdialektika dengan realitas yang ada. Realitas itu dapat berupa kondisi ekonomi, sosial, budaya, politik, keamanan, dan tentu ideologi. Tujuannya jelas, siswa dapat survive, mampu beraktualisasi diri, dan menyesuaikan dengan realitas yang ada. Banyaknya siswa yang DO menggambarkan bahwa pendidikan ekonomi tak mengajari siswanya bagaimana dapat survive dengan kondisi ekonomi yang ada. Banyaknya siswa (dan mahasiswa) yang keblinger ideologinya menandakan pendidikan kita tidak antisipatif terhadap menjamurnya ideologi yang kadang destruktif dan eksklusif. Munculnya berbagai patologi sosial yang menghinggapi peserta didik kita adalah bukti semakin miskinnya pendidikan nilai yang dapat dipraktikkan agar dapat survive di masyarakat. Maraknya video porno yang melibatkan siswa sebagai pelakunya adalah gambaran gagalnya pendidikan akhlak untuk menjadikan siswanya survive di era globalisasi. Dan masih banyak kasus lagi.
Untuk dapat berdialektika dengan realitas yang ada perlu dilakukan diversifikasi pendidikan yang tujuannya menjadikan siswa survive atas realitas nasibnya. Model sekolah yang menjadikan siswanya survive, kita dapat merujuk pada School for Life. School for Life didirikan di Utara Thailand pada tahun 2003 oleh Thaneen Joy Worrawittayakun dan Profesor em. Dr. Juergen Zimmer (Buku Program KGI, 2007). Model School for life konsepnya telah diklasifikasi oleh UNESCO sebagai usaha inovasi kelas dunia yang sangat diperlukan di dunia pendidikan untuk komunitas dunia pada abad 21. Ketika penulis berdialog dengan Profesor em. Dr. Juergen Zimmer dalam Konferensi Guru Indonesia pada tahun 2007, beliau mengatakan akan membangun School for Life di pulau Bali, namun sampai saat ini penulis belum mendengar realisasinya.
Di Utara Thiland sekolah ini menerima anak-anak dari latar belakang yang sulit. Pada awalnya siswa-siswanya merupakan anak yatim piatu dengan latar belakang AIDS. Namun ketika Tsunami tahun 2004 melanda Aceh, Bangladesh, dan juga Thailand, School for Life juga menerima anak-anak korban tsunami yang kehilangan orang tua dan saudaranya.
School for Life didirikan untuk menjadikan siswanya memperoleh kebahagiaan mengingat siswanya berasal dari anak-anak yang tidak beruntung nasibnya dan tentu masa kecilnya kurang bahagia. Sekolah ini lebih mirip sebuah komunitas yang menekankan kasih sayang, percaya pada kekuatan sendiri, kecintaan yang besar akan sesuatu, kedamaian, dan keterbukaan. Model sekolah ini juga menekankan pentingnya membantu nak-anak yang kurang beruntung untuk mengejar dan meraih prestasi puncak dengan semangat kewirausahaan dan tanggung jawab pada lingkungan dan sosial.
Praktik pembelajarannya tentu tidak seperti sekolah formal yang kurikulumnya telah standar dari segi isi, proses, dan penilaiannya. Kurikulumnya sangat kondisional. Mensinergikan sekolah dengan penduduk desa sekitar, membuka lapangan kerja dan memfokuskan pada komunitas dan ide pengembangan.
Di Indonesia, School for Life memang mulai bermunculan dengan bentuknya sendiri. Sekolah alam di berbagai tempat di tanah air merupakan varian dari School for Life. Hanya saja praktik sekolah alam yang ada di Indonesia masih saja terkooptasi dengan standar penilaian. Masih mengikuti Ujian Nasional, meskipun dengan keterpaksaan.
Bangsa Indonesia yang masyarakat miskinnya pada kisaran 40 juta mestinya mengadopsi School for Life. Apalagi bangsa kita juga rawan bencana alam sehingga praktik School for Life tepat untuk dilaksanakan. Setidak-tidaknya ada kerangka kerja dan pengelolanya sehingga ketika ada bencana bukan lagi pihak asing yang menangani trauma atau pendidikan pasca bencana bagi anak-anak kita, karena bagaimanapun juga keterlibatan pihak asing sarat dengan tendensi.
School for Life itu penting agar kita tidak gagap atas tragedi bencana, agar anak-anak kita tak ada lagi yang drop out, agar kasus bunuh diri tidak kita dengar lagi hanya karena tidak mampu membayar uang sekolah. Tidak itu saja, School for Life juga memberi kesempatan kepada mereka yang telah mengalami masalah sejak kecil sebagai korban kekerasan atau terinfeksi virus AIDS dari orang tuanya yang selama ini justru kita kucilkan. School for Life sejatinya adalah bentuk pendidikan yang memanusiakan manusia. Untuk itu School for Life urgen untuk dilaksanakan !!

0 comments:

About Me

My photo
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Saya adalah seorang pendidik, alumni pasca sarjana dalam bidang pemikiran pendidikan. Essay-assay saya dipublikasikan di Kompas Jateng, Suara Merdeka, Gerbang, Rindang, Media Pembinan, detik.com, okezone.com Pernah Menjuarai penulisan ilmiah kelompok guru di harian Kedaulatan Rakyat, menjadi finalis lomba inovasi pembelajaran di UNNES, dan menjadi pemakalah terpilih dan pembicara dalam Konferensi Guru Indonesia tahun 2007. Tahun 2008 menjadi pemakalah dalam International conference on lesson study di Universitas Pendidikan Indonesia. Tahun 2009 terpilih sebagai penerima dana bantuan penulisan dari PUSBUK. Tahun 2010 menjadi pemenang harapan 3 lomba media pembelajaran tingkat nasional .Buku: 1. Kebijakan Publik Bidang Pendidikan.2. Profil Guru SMK Profesional 3. Editor buku Sejarah Kebudayaan Islam