Merindukan Lahirnya Pedagog Kritis

Prof. Eko Budihardjo pernah menyatakan bahwa mengupas pendidikan di Tanah Air seperti mengupas bawang merah. Semakin dikupas semakin perih di mata. Sementara itu, mantan Rektor IKIP Jakarta, Prof. Surachman yang terkenal dengan professor “kandang ayam” itu menyatakan bahwa pendidikan di Indonesia selalu bergulir dari satu masalah ke masalah yang lain. Lulusan sekolah dan perguruan tinggi yang memiliki energi kreatif dan idealisme mestinya dapat menjadi problem solver, pada kenyataannya justru menjadi part of problems. Dan lebih tragis lagi, setelah mendapat gelar sarjana tak jarang sebagian dari mereka memperoleh gelar baru: pengangguran intelektual. Sebuah gelar yang tak semestinya !!.
Di belahan Amerika Latin, tepatnya di Brazil, Paulo Freire (1969) mengulirkan ide brilian, Pedagogy of the Oppressed yang fenomenal dan mendunia itu. Freire menjadi “provokator” agar masyarakat kritis terhadap praksis pendidikan yang memperbodoh peserta didik dan bukannya pemanusiaan manusia. Dan di Eropa muncul Ivan Illich (1971) dengan Deschooling Society-nya sebagai sebuah protes atas buruknya kondisi persekolahan dizamannya. Sebuah praktik pendidikan yang hanya berorientasi pada kurikulum yang sarat mata pelajaran dan mengagung-agungkan apa yang dinamakan sertifikat.
Wilayah pendidikan adalah wilayah yang semestinya sakral dan suci, tempat bagi para pencari ilmu, tempat penanaman nilai religius dan nilai – nilai kehidupan yang agung. Namun pada kenyataannya, wilayah pendidikan tak pernah sepi dari campur tangan politik. “Penodaan” wilayah pendidikan oleh campur tangan politik pada akhirnya berdampak buruk. Pergantian kurikulum yang mengatasnamakan dinamika zaman belum menampakkan hasil, evaluasi dalam bentuk ujian nasional validitas hasilnya banyak yang meragukan sehingga dari tahun ke tahun SOP (Standar Operasional Prosedurnya) berubah-ubah dengan tujuan mendapatkan hasil yang tidak bias. Model-model pembelajaran baru yang ditawarkan seperti CTL (Contextual Teaching and Learning), multy creative learning, dan lainnya menjadi kurang makna karena pada akhirnya pembelajaran guru di kelas menggunakan sistem drill agar siswanya lulus ujian nasional. Harapan pembelajaran yang bermakna selalu kandas, dan yang ada sekedar teaching to test.
Jika kita cermati, realitas pembelajaran di dunia pendidikan kita miskin sekali penanaman jiwa wiraswasta, pembentukan mental kejujuran, apalagi pendidikan yang tanggap bencana. Pemerintah selalu berharap lulusan sekolah agar mandiri, dapat menciptakan lapangan kerja, dan dapat berwiraswasta. Namun harapan itu tak akan pernah terwujud jika yang dikejar wilayah kognitif terus.
Untuk membentuk mental wiraswasta mestinya penting untuk melakukan pembelajaran berbasis proyek sehingga siswa terbiasa menganalisis pekerjaan, melaksanakan pekerjaan, dan tahu untung tidaknya pekerjaan yang telah dilakukan. Dari sini maka siswa akan memilki mental “jatuh bangun” dalam berusaha.
Pendidikan yang diharapkan mampu menanamkan mental kejujuran, tidak korup, dan nilai luhur lainnya susah diharapkan berhasil. Penyebabnya adalah ketiadaan teladan dari pemimpin yang menyebabkan hilangnya empati siswa dan yang timbul adalah apatis. Dalam benak siswa, apalagi siswa setingkat SMA sudah tahu betul bahwa hukum bisa dipermainkan, sehingga ketika ranah hukum diajarkan di kelas, penulis yakin akan susah mengubah sikap siswa karena sudah apriori.
Dan tentang pendidikan kebencanaalaman, kita tak pernah memiliki format yang jelas. Kalau ada sekolah yang mengajarkan, polanya tidak baku, dan spekulatif. Mestinya di tengah kepungan bencana menyadarkan siswa dan mengajari cara menyelamatkan diri itu penting. Lihatlah Jepang yang sudah memasukkan kurikulum bencana (tsunami) di sekolah, atau dapat kita lihat School for Life yang didirikan oleh Thaneen Joy Worrawittayakun dan Profesor em. Dr. Juergen Zimmer di Utara Thailand tahun 2003. Model ini khusus menangani anak-anak korban bencana alam dan konsepnya telah diklasifikasi oleh UNESCO sebagai usaha inovasi kelas dunia yang sangat diperlukan di dunia pendidikan untuk komunitas dunia pada abad 21.
Dari berbagai kesenjangan antara harapan dan realitas pendidikan di Tanah Air maka kehadiran para pedagogik kritis mutlak diperlukan. Ahmad Bahrudin yang menggagas dan mempraktikkan sekolah alam di Salatiga sepertinya dapat menjadi contoh munculnya pedagog kritis. Di sekolah itu, siswa dan gurunya produktif sekali. Banyak dihasilkan buku-buku bacaan, sekolahnya sangat murah, praktiknya mensinergi hidup dengan alam. Ahmad Bahrudin sepertinya terinspirasi oleh pemikiran Paulo Freire yang sangat terobsesi menciptakan humanisasi melalui pendidikan.
Melihat dunia pendidikan kita yang sebenarnya tahu arah menuju peningkatan kualitas namun dikalahkan oleh kepentingan dan politik sudah saatnya diimbangi oleh para pedagogik kritis yang berani melakukan diversifikasi pendidikan.
Kelahiran pedagog kritis bukanlah sebuah perlawanan terhadap pemerintah, namun sebagai penyeimbang terhadap kebijakan yang seringkali ambigu dan sulit ditembus. Nalar kritisnya penting untuk disuarakan demi kemajuan pendidikan di Tanah Air. Kehadirannya adalah menjawab kebutuhan masyarakat, dan wilayah kerjanya jelas, menciptakan generasi yang mampu berwiraswasta, mensinergikan hidup dengan alam, dan tentu pendidikan yang murah.
Para pedagog kritis sudah saatnya tidak bermain dalam wilayah wacana, namun pada praksis. Buktikan bahwa sekolah alternatifnya mampu menghasilkan wiraswastawan, buktikan bahwa sekolah alternatifnya bisa dinikmati semua masyarakat, buktikan bahwa sekolah alternatifnya efektif dalam penanam nilai.
Melihat kenyataan pendidikan nasional saat ini, kemunculan pedagog kritis sangat dirindukan.

3 comments:

Ipit said...

makasih ya informasinya,,,

bisa gak ya,dikasih tau gmn bikin essai pemikiran kritis ni,,
oke!

by: fitri aini
UNAND
fakultas teknik UNAND
Jurusan Teknik Elektro UNAND

Barnawi said...

maaf baru balas. Just do it, my sister

blog tanpa judul said...

Sangat bermanfaat pak. Berdasarkan bahan bacaan yang diberikan oleh dosen saya. Selain sekolah alam yang diusung oleh pak bahrudin, ada lagi sekolah qaryah tayibah pak yang menerapkan pedagogik kritis

About Me

My photo
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Saya adalah seorang pendidik, alumni pasca sarjana dalam bidang pemikiran pendidikan. Essay-assay saya dipublikasikan di Kompas Jateng, Suara Merdeka, Gerbang, Rindang, Media Pembinan, detik.com, okezone.com Pernah Menjuarai penulisan ilmiah kelompok guru di harian Kedaulatan Rakyat, menjadi finalis lomba inovasi pembelajaran di UNNES, dan menjadi pemakalah terpilih dan pembicara dalam Konferensi Guru Indonesia tahun 2007. Tahun 2008 menjadi pemakalah dalam International conference on lesson study di Universitas Pendidikan Indonesia. Tahun 2009 terpilih sebagai penerima dana bantuan penulisan dari PUSBUK. Tahun 2010 menjadi pemenang harapan 3 lomba media pembelajaran tingkat nasional .Buku: 1. Kebijakan Publik Bidang Pendidikan.2. Profil Guru SMK Profesional 3. Editor buku Sejarah Kebudayaan Islam