Sister School Antarumat Beragama, Perlukah ?

Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla meminta pimpinan umat beragama membangun sinergi yang kuat antarumat melalui program kerja sama antarsekolah atau semacam sister school sekolah-sekolah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, atau Buddha (Kompas, 24 April 2008).

Permintaan Wakil Presiden tersebut dapat ditafsiri sebagai berikut: pertama; selama ini belum atau kurang adanya sinergi antarumat beragama, kedua; selama ini hasil pembelajaran agama di sekolah tidak membekas, yang di dapat sebatas kognitif saja, miskin implementasi nilai, ketiga; kondisi sekarang urgen untuk dilakukan sinergi antarumat beragama.

Kenyataan menunjukkan pasca orde baru negara kita memang rentan konflik sara. Tiba-tiba terjadi euforia primordial, kesukuan, dan pelampiasan dendam lama. Kondisi ini semakin parah ketika terjadi pemilihan kepala daerah secara langsung. Simbol-simbol agama yang suci dijadikan alat untuk memenangkan kontestan pilkada. Truth claim (klaim kebenaran) semakin menjadi-jadi.

Kondisi sekarang sangat kontradiktif dengan sejarah keberagamaan di tanah air yang sangat toleran, mengedepankan assimilasi dan akulturasi, serta menafikkan klaim-klaim kebenaran. Realitas yang cenderung destruktif ini sudah seharusnya dikonstruk ulang sehingga ke depan semua pihak dapat bernostalgia dengan masa lalu keberagamaan kita yang toleran itu.

Salah satu cara adalah dengan revitalisasi pendidikan, sister school antarumat beragama merupakan gagasan yang brilian. Gagasan tersebut akan menjadi realitas jika semua pihak memiliki komitmen untuk mendesain model sister school antarumat beragama yang selanjutnya dilakukan desiminasi ke sekolah-sekolah. Dibutuhkan action plan yang matang agar gagasan itu tidak menguap begitu saja atau hanya indah dalam tulisan namun susah untuk diimplementasikan.

Sejatinya sebelum ide itu diungkapkan, telah ada wacana yang memang senafas dengan ide tersebut. Pluralisme dan multikulturalisme mendahului ide tersebut. Hanya saja terjadi multi tafsir terhadap kedua wacana tersebut. Terminologi kedua wacana yang tidak memiliki grandtheory menjadikan wacana tersebut menjadi bias. Akibatnya susah untuk diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Selalu ada curiga dan was-was dari masing-masing pihak umat beragama terhadap kedua ide tersebut. Bahkan dalam satu agamapun terjadi dikotomi antara yang konservatif dan yang liberal. Jika para pemimpin umat beragama saja masih multi tafsir, lalu bagaimana menjadikan ide sister school tersebut menjadi kenyataan ?.

Di sinilah pentingnya untuk kembali menyusun terminologi sehingga program sister school antarumat beragama benar-benar berbuah toleransi dan bukannya malah menjadikan siswa gamang akan keyakinannya atau mengganggap semua agama sama (global theology).

Menyusun kesamaan terminologi bukanlah pekerjaan yang mudah. Selama ini terminologi yang kita gunakan berangkat dari terminologi Barat, sedangkan terminologi Barat cenderung menolak kelompok transendentalis sebagaimana ide W.C. Smith dalam The Meaning and End of Religion (1960-an).

Demi Bangsa, bukan Demi Wacana

Niat membangun sister school antarumat beragama yang dimulai dengan kesamaan terminologi harus mengutamakan kemaslahatan, demi tanah air, bukan demi wacana. Kekurangberhasilan terhadap pluralisme dan multikulturalisme dapat dimaklumi karena kita gamang dengan kedua gagasan tersebut, disamping kita telah teracuni thesis-thesis Barat yang cenderung destruktif seperti thesis Samuel Huntington yang menyatakan politik global kontemporer adalah perang muslim, yang menggantikan posisi perang dingin sebagai konflik internasional. Kondisi sekarang diperparah oleh ide pembuatan kartun Nabi Muhammad SAW dan film berdurasi pendek yang bertitel Fitna.

Menghadapi polemik ini, para tokoh umat beragama harus hati-hati, tidak perlu reaktif. Yang penting untuk dilakukan adalah membangun komunikasi sejak dini dengan menanggalkan thesis-thesis yang kontradiktif.

Jika para pemimpin umat beragama di tanah air tidak lagi memandang thesis-thesis itu sebagai sebuah embrio kenyataan maka yang di dapat adalah berpikir jernih sehingga ide sister school antarumat beragama itu dapat direalisasikan.

Dalam posisi pikiran yang jernih maka kontekstualisasi ajaran dapat diimplementasikan. Yang perlu digaris bawahi adalah: untuk menjadi kontekstual agama tidak perlu meninggalkan aqidahnya. Artinya pendidikan agama harus menghasilkan siswa yang teguh dalam prinsip namun luwes (fleksibel) dalam penerapan. Jika outcome ini dicapai maka program sister school menjadi sesuatu yang mulia, sesuatu yang memberi kontribusi signifikan terhadap kerukunan antarumat beragama sehingga rakyat tidak lagi terkotak-kotak, terpecah-pecah hanya karena kontestan pilkada berbeda agama dan lain sebagainya.

Jika komitmen belum ada dan belum ditemukan terminologi serta konsep yang matang mengenai pluralisme dan multikulturalisme maka sister school antarumat perlu dikaji ulang sebab hanya akan menghasilkan siswa yang gamang, namun jika telah ada komitmen dan konsep yang matang, sangat mendesak program sister school untuk diimplementasikan.

0 comments:

About Me

My photo
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Saya adalah seorang pendidik, alumni pasca sarjana dalam bidang pemikiran pendidikan. Essay-assay saya dipublikasikan di Kompas Jateng, Suara Merdeka, Gerbang, Rindang, Media Pembinan, detik.com, okezone.com Pernah Menjuarai penulisan ilmiah kelompok guru di harian Kedaulatan Rakyat, menjadi finalis lomba inovasi pembelajaran di UNNES, dan menjadi pemakalah terpilih dan pembicara dalam Konferensi Guru Indonesia tahun 2007. Tahun 2008 menjadi pemakalah dalam International conference on lesson study di Universitas Pendidikan Indonesia. Tahun 2009 terpilih sebagai penerima dana bantuan penulisan dari PUSBUK. Tahun 2010 menjadi pemenang harapan 3 lomba media pembelajaran tingkat nasional .Buku: 1. Kebijakan Publik Bidang Pendidikan.2. Profil Guru SMK Profesional 3. Editor buku Sejarah Kebudayaan Islam