Susahnya jadi guru sejarah

Pelajaran sejarah di sekolah seringkali dipandang sebelah mata oleh peserta didik. Pelajaran Sejarah dipandang tidak lebih dari ‘pelengkap derita’ yang menjadi beban pelajaran bagi peserta didik. Posisi ini menyulitkan guru sejarah sebab sangat sulit memberi pencerahan sejarah kepada peserta didik yang telah kehilangan motivasi belajar. Pelajaran Sejarah juga tidak di- Ujian Nasional- kan, sehingga semakin memposisikan pelajaran sejarah sebagai pelajaran kelas dua.

Kini (pasca orde baru) beban guru sejarah semakin bertambah. Terjadi perubahan dan diskursus tentang kebenaran sejarah. Bahkan dikalangan siswa tingkat Sekolah Menengah Atas semakin skeptis dengan kebenaran sejarah masa lalu bangsa Indonesia tercinta ini.

Siswa meragukan peristiwa G 30 S PKI, meragukan dan mempertanyakan posisi mantan Presiden Suharto, mempertanyakan Supersemar, dan lain sebagainya. Sementara di pihak guru sudah tertanam pemahaman yang sebaliknya, bagi sebagian guru peristiwa-peristiwa tersebut di atas adalah kebenaran sejarah, karena pelajaran di masa lalu -yang guru-guru peroleh- memang begitu adanya.

Keraguan-keraguan yang ada pada diri peserta didik sebetulnya energi bagi guru, utamanya guru sejarah, untuk memberi pencerahan peristiwa kepada peserta didik. Dalam konteks ini kita harus mengamini: siswa ragu maka siswa ada.

Yang menjadi persoalan berikutnya adalah bagaimana guru mengelola keraguan peserta didik tentang kebenaran sejarah ?. Tentu sangat tidak cukup hanya memberi apologi dalam mindset kebenaran sejarah yang kita(guru sejarah) anut.

Tjipta Lesmana (Kompas, 15 April 2008) dalam artikelnya yang berjudul HAM dan Kedewasaan Bangsa sedikit banyak memberi pencerahan kepada guru sejarah untuk merekonstruksi pembelajaran sejarah di kelas. Dalam artikel tersebut Tjipta Lesmana mengutip pendapat sejarawan Prancis abad ke -19 yakni F. Guizot yang menyatakan bahwa setiap masa (epoch) dapat dilihat dalam tiga sudut pandang.

Sudut pandang yang pertama adalah historical anatomy, yakni fakta seputar peristiwa sejarah, atau elemen material masa lampau. Sudut pandang yang kedua adalah historical physiology, yakni mengungkap hukum internal dan eksternal dibalik fakta yang diungkap. Dan yang ketiga adalah historical phisiognomy, yakni pengungkapan masa lampau dan masa kini.

Tentunya tiga sudut pandang yang menjadi kiat bagi guru untuk pencerahan sejarah kepada peserta didik sebagaimana teori F. Guizot di atas tidak mudah untuk dipraktikkan oleh guru sejarah di kelas. Alasannya, pertama; guru bukan pelaku atau saksi hidup peristiwa sejarah di masa lampau, guru hanya memperoleh dari text book versi pemerintah atau memperoleh narasi langsung dari rezim yang berkuasa, kedua; guru sejarah sedikit yang memiliki pemahaman hukum internal maupun eksternal yang berlaku atas peristiwa sejarah di masa lampau, ketiga; bagi sebagian besar guru sejarah, sejarah masa lalu telah tutup buku sehingga dikursus sejarah masa lalu selalu mengalami kuldesak (jalan buntu).

Menyadari realitas ini sudah semestinya guru sejarah mengupgrade kemampuan yang dimiliki atau melakukan approach by level (pendekatan dengan orang yang memiliki keahlian sesuai bidang kajian).

Guru sejarah harus kembali merenungkan fakta empiris peristiwa sejarah dan menggali meta realitas atas peristiwa sejarah yang terjadi. Guru sejarah juga harus belajar hukum internal dan eksternal atas peristiwa sejarah dengan pendekatan approach by level dan harus belajar untuk tidak truth claim (klaim kebenaran) atas pemahaman sejarah yang telah mendarah daging. Belajar dengan kaca mata jernih atas peristiwa sejarah penting untuk dilakukan karena sebagaimana F. Guizot bahwa sejarah bukan soal benar atau salah melainkan pada perspektif.

Melihat beban yang begitu banyak maka tidaklah mudah menjadi guru sejarah. Kini pelajaran sejarah bukan lagi kumpulan catatan peristiwa dimasa lalu yang mengandung unsur latar, tokoh, dan setting waktu yang harus dihafal oleh peserta didik untuk bekal menghadapi ujian akhir.

Pelajaran Sejarah sejatinya pelajaran yang komprehensif yang melibatkan kajian hukum, sosiologi, psikologi, dan tentu bernaung di bawah filsafat sebagai ibu ilmu pengetahuan (the mother of all science).

Inti dari pembelajaran sejarah di kelas adalah belajar meta realitas atas peristiwa sejarah yang terjadi untuk diambil nilai-nilai positif. Dengan pendewasaan sejarah kepada siswa maka debat kusir atas kebenaran sejarah di kelas tidak perlu lagi terulang.

Peristiwa sejarah selalu terkandung nilai (value bound) yang harus dipahami dan diaplikasikan oleh peserta didik dalam dunia nyata. Jika nilai ini benar-benar mendarah daging dalam diri peserta didik maka yang muncul adalah sikap toleran, tidak mudah menghakimi, dan open minded.

Sudah menjadi tugas guru (sejarah) untuk mengemban nilai-nilai sejarah yang tertuang dalam mata pelajaran sejarah sehingga terbentuk peserta didik yang memiliki virtues (kepribadian terpuji).

0 comments:

About Me

My photo
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Saya adalah seorang pendidik, alumni pasca sarjana dalam bidang pemikiran pendidikan. Essay-assay saya dipublikasikan di Kompas Jateng, Suara Merdeka, Gerbang, Rindang, Media Pembinan, detik.com, okezone.com Pernah Menjuarai penulisan ilmiah kelompok guru di harian Kedaulatan Rakyat, menjadi finalis lomba inovasi pembelajaran di UNNES, dan menjadi pemakalah terpilih dan pembicara dalam Konferensi Guru Indonesia tahun 2007. Tahun 2008 menjadi pemakalah dalam International conference on lesson study di Universitas Pendidikan Indonesia. Tahun 2009 terpilih sebagai penerima dana bantuan penulisan dari PUSBUK. Tahun 2010 menjadi pemenang harapan 3 lomba media pembelajaran tingkat nasional .Buku: 1. Kebijakan Publik Bidang Pendidikan.2. Profil Guru SMK Profesional 3. Editor buku Sejarah Kebudayaan Islam