sertifikasi guru dan bisnis sertifikat

Sertifikasi guru telah menyihir guru. Tunjangan profesional sebesar gaji pokok menjadi daya magnet yang luar biasa. Di ruang guru, bahkan di angkot, jika para guru bertemu topik yang dibicarakan tidak jauh dari program sertifikasi guru. Bagi guru, program sertifikasi bak angin surga, sepoi-sepoi dan mengenakkan, bahkan meninabobokkan.

Sertifikasi guru sebagai gerbang profesionalisme guru juga menarik banyak pihak. Tidak hanya guru sebagai pihak yang berkepentingan langsung dengan program pemerintah tersebut, namun juga EO (Even Organizer), pejabat yang berkaitan dengan dunia pendidikan, dosen, bahkan asesor. Sertifikasi seakan telah menjadi “mainan baru” banyak pihak.

Bukti dari pernyataan di atas adalah maraknya tentang seminar sertifikasi guru di berbagai kota, bahkan sampai ke pelosok-pelosok. Jika seminar itu sebagai sebuah sosialisasi bagi para guru di wilayah terpencil itu akan bernilai positif, namun jika sebagai ladang bisnis dan membodohkan atau membodohi guru maka akan bernilai negatif dan menyakitkan.

Lebih tragis lagi dengan terang-terangan bahkan diiklankan pada media masa, sebuah seminar pendidikan menyediakan dua sertifikat sekaligus dalam sekali seminar. Alasannya nara sumbernya ada dua. Seminar macam apa ini ?. Jika model ini terus berlangsung bisa jadi sehari memperoleh sepuluh sertifikat jika nara sumbernya ada sepuluh.

Bahkan di beberapa lembaga pemerintah yang berkaiatan langsung dengan dunia pendidikan seringkali melakukan latihan sertifikasi alias latihan pemberkasan dan tentu memungut biaya yang tidak sedikit. Pada hal tanpa ikut itu semua sudah ada panduan yang jelas tentang pemberkasan yang berisi portofolio guru.

Hilangnya idealisme

Tanpa disadari atau sebenarnya sadar tetapi kita pura-pura tidak menyadari bahwa fenomena di atas menghilangkan idealisme banyak pihak. Seminar yang semestinya kegiatan ilmiah berubah menjadi pasar yang menjajakan sertifikat, bahkan boleh dibilang obral sertifikat. Kaum intelektual seperti dosen yang mestinya memberi pencerahan berubah fungsi menjadi jursem (juru seminar) yang menjajakan makalah usang kepada guru atas nama panggilan intelektual. Dan guru yang mestinya hari itu mengajar, lebih asyik mengikuti seminar dengan mengatasnamakan pengembangan profesi.

Bahkan setiap kali ada penyelenggaraan seminar tentang sertifikasi guru peserta luar biasa banyak sehingga panitia kewalahan. Akibatnya banyak peserta tidak masuk ruang seminar, cukup tanda tangan dan ambil snack, sertifikat seminggu kemudian keluar.

Kejadian-kejadian di atas mengindikasikan bahwa dunia intelektual kita sedang lesu darah, kehilangan ruh intelektual. Yang paling untung adalah (Even Organizer) karena mendapatkan banyak proyek, banyak acara, dan tentu banyak keuntungan. Terlebih acara tersebut berbau ilmiah, melibatkan pakar dan guru sehingga perizinannya mudah, pihak keamanan pun tanpa berfikir panjang akan memberi izin acara sekelas seminar..

Maka tidak mengherankan jika banyak LSM pendidikan ataupun institusi yang menyatakan dirinya concern pada dunia pendidikan sedang meraup banyak keuntungan atas program sertifikasi ini. Banyak acara dibuat, dari diklat kurikulum, diklat metode pembelajaran, diklat profesionalisme guru, dan masih banyak program lagi. Yang jelas semuanya menghasilkan sertifikat yang ada poinnya.

Jika fenomena yang mengandung pembodohan terselebung ini berjalan terus, ke depan bisa jadi fenomena yang lebih konyol terjadi. Misalnya seminar tingkat lokal dinyatakan regional (dalam sertifikatnya), seminar regional dinyatakan nasional, dan seminar nasional dinyatakan internasional. Hal ini sangat mungkin karena tingkatan seminar akan menentukan jumlah poin yang di dapat.

Semoga saja dunia pers tidak kehilangan idealisme sehingga tidak menjual artikel untuk diterbitkan, sebab artikel dalam media cetak juga ada poinnya

Pentingnya Kesadaran Profesi

Bagi guru, sertifikasi sebagai gerbang profesionalisme mestinya tidak dijadikan beban, sebab pekerjaan sebagai guru sejatinya adalah pekerjaan professional. Artinya dalam tugasnya sehari-hari sudah ada hak dan kewajiban yang melekat dalam profesinya.

Dengan demikian sebagai guru mestinya sadar akan kewajiban yang melekat dalam dirinya. Kewajiban untuk mengembangkan kemampuan akademiknya, kewajiban untuk tertib administrasi, tugas untuk penelitian (utamanya penelitian tindakan kelas), pengabdian pada masyarakat, dan lainnya.

Artinya jika sebagai guru menyadari tanggung jawab profesionalnya maka tidak perlu ke sana-kemari mengikuti seminar dadakan yang muncul seperti pasar tiban itu. Guru sudah sepantasnya tidak menjadi “mainan” banyak pihak, untuk itu sangat penting menyadari akan tugas profesionalnya.

Dengan kesadaran atas profesi yang dijalani maka ungkapan teaching is service akan menjadi kenyataan.

0 comments:

About Me

My photo
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Saya adalah seorang pendidik, alumni pasca sarjana dalam bidang pemikiran pendidikan. Essay-assay saya dipublikasikan di Kompas Jateng, Suara Merdeka, Gerbang, Rindang, Media Pembinan, detik.com, okezone.com Pernah Menjuarai penulisan ilmiah kelompok guru di harian Kedaulatan Rakyat, menjadi finalis lomba inovasi pembelajaran di UNNES, dan menjadi pemakalah terpilih dan pembicara dalam Konferensi Guru Indonesia tahun 2007. Tahun 2008 menjadi pemakalah dalam International conference on lesson study di Universitas Pendidikan Indonesia. Tahun 2009 terpilih sebagai penerima dana bantuan penulisan dari PUSBUK. Tahun 2010 menjadi pemenang harapan 3 lomba media pembelajaran tingkat nasional .Buku: 1. Kebijakan Publik Bidang Pendidikan.2. Profil Guru SMK Profesional 3. Editor buku Sejarah Kebudayaan Islam