Belajar dari Novel “Perampok”

Jika tidak ada aral melintang, hari Rabu tanggal 8 Juli 2009, bangsa Indonesia akan melaksanakan hajat akbar yakni Pilpres (Pemilihan Presiden). Pilpres dalam pesta demokrasi adalah puncak kegiatan yang paling ditunggu-tunggu. Di negara manapun, pilpres selalu menguras tenaga dan menjadi pusat perhatian seluruh warganya, tak terkecuali bangsa Indonesia.
Pergantian pucuk kepemimpinan selalu menarik untuk diperbincangkan. Dari rakyat kecil sampai pejabat tinggi negara, membicarakan pilpres merupakan menu yang paling “lezat”, meskipun dampak pasca pilpres tidak banyak memberi makna perubahan yang signifikan bagi rakyat kecil karena tidak memiliki akses kekuasaan.
Yang paling menarik dibicarakan adalah calon presiden dan wakilnya serta manuver politisi yang akrobatik, yang memacu adrenalin setiap orang yang menyaksikannya. Dalam pilpres kali ini, berbagai manuver yang disebut koalisi paling banyak menghiasi pra pilpres. Ada koalisi besar yang terdiri atas PDI-P, Hanura, Gerindra, dan Golkar, ada golden triangle (PDI-P, PPP, GOLKAR), dan ada pula koalisi jumbo. Semua koalisi tersebut mengarah pada satu titik, yakni memenangkan calonnya untuk menduduki RI-1 dan RI-2.
Yang namanya manuver tentu tidak tersistem, mudah berubah-ubah, (plin-plan) dan tidak bisa ditebak. Istilah jargon Jawa, esok tempe sore dele. Dalam konteks ini sebagai pihak ketiga yang sekedar menyaksikan dibuat bingung. Namun justru kebingungan inilah yang semakin membuat acara pilpres semakin “lezat” bagi siapapun, terlebih pengamat politik.
Namun yang layak digarisbawahi dan diperhatikan secara seksama adalah bahwa manuver itu bisa menjadi pertanda buruk bagi proses pendewasaan demokrasi di tanah air ketika manuver tersebut melanggar etika, amoral. Apalagi manuver tersebut dianggap selalu wajar dengan mengatasnamakan politik sebagai sebuah seni kemungkinan, artinya mengubah yang tak mungkin menjadi mungkin. Jika perilaku dan manuver yang kurang beretika tersebut diteruskan maka perpolitikan di tanah air dapat dikatakan sebagai politik tanpa etika (no ethics in politics).
Dalam tulisan ini penulis menghubungkan pesta demokrasi berupa pilpres dengan substansi novel “Perampok”. Meskipun naskah dramanya telah menjadi masa lalu, ditulis WS Rendra di tahun 1977 namun substansinya masih relevan dengan kejadian sekarang. Benar kata istilah, masa lalu selalu aktual.
Dalam novel “perampok” kita dapat menyimak bagaimana perebutan kekuasaan di Kabupaten Lumajang berakhir dengan tragis. Raden Sudrajat memfitnah Raden Legowo yang nota bene kakak kandungnya hanya demi sebuah kursi kekuasaan. Raden Sudrajat melakukan pembunuhan karakter terhadap Raden Legowo. Raden Sudrajat memang berhasil menduduki kursi adipati, namun tak berlangsung lama karena akhirnya ia bunuh diri setelah terjadi huru-hara (perampokan di mana-mana) yang dimotori Raden Legowo.
Sejarah bangsa ini analog dengan peristiwa di atas. Sejak kemerdekaan rakyat dibuat bingung, antara yang memfitnah dan pemfitnah, antara yang benar dan salah, semuanya kabur alias abu-abu. Sejarah memang tidak pernah hitam-putih bukan?
Kejadian kedua yang analog dengan peristiwa saat ini menjelang pilpres dapat kita simak dari dialog dalam novel “Perampok” yakni:
“Sebelum Raden duduk di situ ketika Raden masih berada entah di mana, guru kita telah bertitah kepadaku. Kata beliau: berangkatlah kamu ke Lumajang, temuilah Raden Legowo yang akan berhenti menjadi perampok dan berhasil duduk sebagai Adipati Lumajang setelah mengalahkan kezaliman adiknya. Katakanlah kepadanya, janganlah sampai ia berkehendak untuk menjadi raja, karena Sultan Agung adalah Raja Tanah Jawa.”
“Janganlah hal itu dikhawatirkan.”
“Aku tidak pernah mempunyai pikiran semacam itu.” (Perampok, 2004: 137)

Dari dialog di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa untuk menduduki sebuah kursi kekuasaan harus dilakukan dengan cara yang beretika. Mendasarkan pada norma yang dianut. Jangan meraih sesuatu kekuasaan melalui cara yang salah, apalagi cara itu merampok. Merampok konteksnya luas, dapat merampok suara, merampok hak, dan lainnya. Penggelembungan suara dan penafikan hak sebagai pemilih adalah sebuah perampokan.
Dialog di atas juga mengajarkan kepada kita bahwa untuk menduduki tahta harus memperoleh mandat dari pemegang kekuasaan tertinggi. Sultan Agung dalam dialog di atas dapat kita ganti dengan rakyat, karena dalam demokrasi rakyatlah yang memberi restu seseorang untuk ditasbihkan sebagai presiden dan wakil presiden.
Selain dialog di atas ada dialog yang relevan dengan pemilihan legislatif dan pemilihan presiden, yakni tentang bagaimana kita menyikapi sebuah kekalahan. Dialog tersebut yakni:
“Oh, di cincin ini ada tersimpan racun. Tetapi ini sebetulnya untuk meracun orang lain, tidak untuk meracun diriku sendiri, tetapi apa boleh buat mati teracun tidak terasa, mati tersiksa akan lebih celaka”……..
“Aku takut mati. Di sana gelap. Aku takut…”.
“Menyerahlah Raden.”
“Aku telah minum racun…” (Perampok, 2004: 132-133).

Dalam kaitannya dengan pilpres saat ini ada beberapa nilai yang dapat diambil dari novel “Perampok”. Nilai itu adalah; pertama: berpolitiklah dengan menggunakan etika, jika etika itu relatif, maka gunakanlah etika yang bersandar agama karena etika dalam perspektif agama itu pasti, tidak relatif, tidak pula nisbi. Jangan melakukan manuver yang tidak kontrol, jangan mengesankan sebagai negarawan yang haus akan kedudukan, yang tamak, yang tidak patut disuritauladani. Kedua: untuk meraih kedudukan dan kekuasaan raihlah dengan cara yang benar, sesuai konstitusi, dan mengedepankan aspek kejujuran. Politik tanpa kejujuran bukanlah merupakan seni mengolah kemungkinan, namun politik yang amburadul.
Ketiga; bersiaplah untuk fair play, menang dan kalah harus disikapi dengan dewasa. Yang menang harus dapat mengayomi yang kalah, yang kalah tak perlu frustasi, tidak perlu mencari celah untuk menggagalkan pihak yang menang, apalagi ditempuh dengan cara yang destruktif. Jangan depresi atas kekalahan, apalagi sampai bunuh diri seperti Raden Sudrajat dalam novel “Perampok”.
Keempat; kemenangan pasangan siapapun adalah kemenangan rakyat, rakyat harus mengakui dan patuh terhadap pemimpin negara sebagai ulil amri. Jika ingin kritis, posisikanlah sebagai opisisi, jadilah oposan yang bertetika.
Sejatinya banyak nilai kehidupan, nilai demokrasi, nilai religius, dan nilai etika yang dapat diambil dari novel “Perampok” . Namun dalam uraian ini penulis hanya mengisahkan dua dialog yang penulis anggap paling relevan dengan kejadian saat ini.
Cukuplah kita belajar demokrasi dengan novel “Perampok”, studi banding keluar negeri hanya menghabis-habiskan dana, mendingan untuk menggalakkan budaya membaca ,bukannya budaya malah plesiran dengan label studi banding.

0 comments:

About Me

My photo
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Saya adalah seorang pendidik, alumni pasca sarjana dalam bidang pemikiran pendidikan. Essay-assay saya dipublikasikan di Kompas Jateng, Suara Merdeka, Gerbang, Rindang, Media Pembinan, detik.com, okezone.com Pernah Menjuarai penulisan ilmiah kelompok guru di harian Kedaulatan Rakyat, menjadi finalis lomba inovasi pembelajaran di UNNES, dan menjadi pemakalah terpilih dan pembicara dalam Konferensi Guru Indonesia tahun 2007. Tahun 2008 menjadi pemakalah dalam International conference on lesson study di Universitas Pendidikan Indonesia. Tahun 2009 terpilih sebagai penerima dana bantuan penulisan dari PUSBUK. Tahun 2010 menjadi pemenang harapan 3 lomba media pembelajaran tingkat nasional .Buku: 1. Kebijakan Publik Bidang Pendidikan.2. Profil Guru SMK Profesional 3. Editor buku Sejarah Kebudayaan Islam