Sekolah Para Juragan

Pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional sedang giat-giatnya mengiklankan SMK (Sekolah Menengah Kejuruan). Dari menteri, pengusaha, dan selebritis didaulat menjadi bintang iklan di televisi. Target terakhir adalah terealisasinya rasio 70:30 antara SMK dan SMA.
Rupanya pemerintah menyadari bahwa lulusan SMK dipandang lebih bisa eksis di masyarakat dan di dunia kerja, setidak-tidaknya memiliki skill untuk mencari penghidupan. Sementara lulusan SMA jika tidak melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi harus mengambil kursus atau diklat hingga memiliki keterampilan. Di tengah perekonomian yang sulit, mengambil kursus dan diklat memerlukan biaya yang tidak sedikit hingga memberatkan masyarakat dan tentu menambah beban subsidi untuk pelatihan bagi negara.
Diawal tahun 1990-an SMK yang dulunya bernama STM atau SMEA memang kalah bersaing dengan SMA. SMA lebih punya banyak pilihan untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Di samping itu, sekolah di STM pada waktu itu identik dengan sekolah bagi calon pekerja, calon buruh di pabrik atau industri. Namun kini situasinya berbalik, SMK berada dalam posisi yang menguntungkan. Banyaknya tenaga terampil yang dibutuhkan di luar negeri seperti Korea dan Jepang dengan penghasilan yang besar membuka mata masyarakat dan pemerintah bahwa SMK dapat menjadi solusi dalam pengentasan kemiskinan. Disamping itu menghasilkan devisa bagi Negara yang tentu jumlahnya jauh lebih besar di banding para TKW yang bekerja pada ranah privat sebagai pembantu rumah tangga. Lebih dari itu, bangsa ini jauh lebih bermartabat karena para pekerja memiliki skill dan pengetahuan sehingga tidak diperlakukan semena-mena.
Yang perlu diwaspadai adalah munculnya SMK-SMK baru yang kualitasnya di bawah standar. Kita semua maklum bahwa dengan dicanangkannya rasio 70:30 antara SMK dan SMA banyak masyarakat yang mengambil keuntungan dengan mendirikan SMK secara asal-asalan, yang hanya berprinsip ekonomi, yang penting cari untung dengan mengabaikan kualitas pelayanan standar minimal pendidikan. Pemerintah harus ketat dalam masalah ini, jika tidak maka hanya akan menghasilkan output yang tidak memenuhi standar kompetensi.
Dari pekerja menjadi juragan
Menjadi pekerja lebih baik daripada menjadi penganggur, namun menjadi juragan jauh lebih baik dari pada menjadi pekerja. Pekerja hanya butuh skill, sementara menjadi juragan memerlukan keahlian yang lebih komplek. Paham permasalahan distribusi, pengadaan barang, proses produksi, kualitas produk, estimasi harga dan keuntungan, dan yang sulit adalah memiliki mentalitas juragan.
Banyak orang memiliki keterampilan, namun selamanya menjadi pekerja karena tidak memiliki apa yang disebut dengan mentalitas juragan. Menjadi pekerja penuh resiko. Di PHK jika terjadi resesi, kembali menganggur jika pabriknya bangkrut, dan terkena rasionalisasi menjadi ancaman yang paling serius.
Dengan ancaman yang selalu menghantui pekerja sudah selayaknya generasi ke depan tidak hanya dibekali skill tetapi juga mental juragan.Yang menjadi pertanyaan adalah sudahkan pendidikan di SMK membekali siswanya mentalitas juragan? Selama ini pendidikan kita belum menanamkannya secara serius. Jika ada pelajaran kewiraswastan baru sebatas kognitif, belum pada tataran praktik.
Penulis memandang dalam dunia pendidikan kita sudah selayaknya diberi kurikulum yang dapat membentuk mentalitas juragan. Diperlukan mata pelajaran “jatuh bangun”, yakni mata pelajaran yang melatih bagaimana siswa menjadi orang yang tidak mudah putus asa, yang ulet, yang selalu progresif meski kadang bangkrut dalam usaha. Bahkan senantiasa siap jika harus memulai lagi usaha dari nol ketika menderita bangkrut. Intinya adalah bagaimana menciptakan siswa yang memiliki mental berani mengambil resiko, berani menghadapi masalah, dan berani memecahkan masalah.
Pendidikan yang sudah-sudah miskin sekali penanaman mentalitas juragan. Semua lulusan pinginnya jadi pegawai negeri sipil alias PNS. Maklumlah PNS sudah terlanjur melekat dalam mental masyarakat kita. Mindset masyarakat kita menganggap PNS sebagai Pegawai Nyaman Sekali yang memiliki kasta tinggi di masyarakat.
Dalam implementasi kurikulum “jatuh bangun” untuk membentuk mentalitas juragan, dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain: pertama; memperbanyak kisah-kisah orang sukses yang memulai usaha dari nol. Kisah-kisah itu akan memberi inspirasi kepada siswa bagaimana menjadi sukes. Kisah-kisah itu dapat ditemukan dalam buku-buku atau guru mengkliping dari berbagai media cetak. Kedua; mendatangkan langsung orang-orang sukses yang berprofesi sebagai wiraswastawan di lingkungan sekolah untuk menjadi guru tamu. Contoh langsung tentu lebih mengena, lebih dapat membentuk mentalitas juragan. Apalagi jika guru tamu menceritakan bagaimana ia merintis karirnya sebagai juragan. Ketiga; membiasakan pembelajaran yang menekankan pada pola fikir out of the box, pola fikir yang kreatif, yang tidak sekedar membeo. Pola fikir kreatif akan banyak memberi energi bagi siswa untuk melakukan usaha yang berbeda, sehingga siswa memiliki keunggulan komparatif. Keempat; diperlukan praktik langsung kurikulum “jatuh bangun”. Selama ini praktik yang dilaksanakan hanyalah di industri atau di kantor yang tidak membentuk langsung mentalitas juragan. Sebatas praktik basa-basi, sekedar menggugurkan tugas dalam struktur kurikulum pendidikan. Kelima; sudah saatnya lulusan SMK diberi pinjaman lunak (loan) untuk merintis usahanya, sebab kadang orang tidak mampu memulai usaha karena ketiadaan modal. Keenam; diperlukan pemandu bakat (talent scouter) yang mengarahkan siswa untuk menjadi juragan. Talent scouter akan menjadi pendamping sampai siswa benar-benar dapat memulai usahanya secara mandiri.
Dalam dunia yang rawan dengan berbagai krisis dan resesi ekonomi yang diperlukan adalah orang-orang yang bermental juragan, yang mampu bertahan dengan energi kreatif dan keberanian mengambil resiko.
Dengan demikian sudah selayaknya SMK memperkaya kurikulumnya dengan kurikulum “jatuh bangun” sehingga tidak hanya menghasilkan calon pekerja yang berskill tetapi juga menghasilkan calon-calon juragan. Juragan-juragan yang menggerakkan sektor ekonomi mikro menjadikan negara kuat dan tahan terhadap berbagai krisis. Untuk itu SMK harus bermetamorfosa menjadi Sekolah Para calon Juragan.

0 comments:

About Me

My photo
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Saya adalah seorang pendidik, alumni pasca sarjana dalam bidang pemikiran pendidikan. Essay-assay saya dipublikasikan di Kompas Jateng, Suara Merdeka, Gerbang, Rindang, Media Pembinan, detik.com, okezone.com Pernah Menjuarai penulisan ilmiah kelompok guru di harian Kedaulatan Rakyat, menjadi finalis lomba inovasi pembelajaran di UNNES, dan menjadi pemakalah terpilih dan pembicara dalam Konferensi Guru Indonesia tahun 2007. Tahun 2008 menjadi pemakalah dalam International conference on lesson study di Universitas Pendidikan Indonesia. Tahun 2009 terpilih sebagai penerima dana bantuan penulisan dari PUSBUK. Tahun 2010 menjadi pemenang harapan 3 lomba media pembelajaran tingkat nasional .Buku: 1. Kebijakan Publik Bidang Pendidikan.2. Profil Guru SMK Profesional 3. Editor buku Sejarah Kebudayaan Islam