Catatan Pelaksanaan Akreditasi Sekolah

Bulan Agustus sampai Oktober merupakan masa-masa akreditasi sekolah/madrasah di Jawa Tengah. Bagi sekolah/madrasah yang akan diakreditasi nampak sekali peningkatan aktifitas pengelola sekolah/madrasah menyiapkan dokumen, bukti fisik, dan administrasi lainnya. Banyak sekolah/madrasah yang gagap menghadapi akreditasi. Kegagapan itu menggambarkan bahwa selama ini tata kelola sekolah tidak berjalan dengan baik.
Akreditasi sesungguhnya merupakan penilaian kelayakan penyelenggaraan pendidikan dengan kriteria yang telah ditentukan. Ada tiga tujuan dari penyelenggaraan akreditasi yakni; memberikan informasi tentang kelayakan sekolah/madrasah sebagai satuan pendidikan atau program pendidikan berdasarkan Standar Nasional Pendidikan, memberikan pengakuan peringkat kelayakan, dan memberikan rekomendasi tentang penjaminan mutu pendidikan kepada program dan/atau satuan pendidikan yang diakreditasi dan pihak terkait (rekomendasi tindak lanjut).
Ada tiga peringkat atau status hasil penilaian akreditasi yakni; Peringkat akreditasi A (Sangat Baik), jika memperoleh Nilai Akhir Akreditasi (NA) sebesar 86 sampai dengan 100, atau 86 < NA < 100. Peringkat akreditasi B (Baik), jika memperoleh Nilai Akhir Akreditasi sebesar 71 sampai dengan 85, atau 71 < NA < 85. Peringkat akreditasi C (Cukup Baik), jika memperoleh Nilai Akhir Akreditasi sebesar 56 sampai dengan 70, atau 56 < NA < 70. Namun sekolah bisa saja tidak terakreditasi jika; tidak memperoleh Nilai Akhir Akreditasi sekurang-kurangnya 56, lebih dari dua Nilai Komponen Akreditasi kurang dari 56, dan ada Nilai Komponen Akreditasi kurang dari 40.
Berbeda dengan beberapa tahun yang lalu, akreditasi tahun ini dirasa lebih rumit. Setiap sekolah diukur kualitas penyelenggaraannya dengan 8 standar yang menyangkut standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar pengelolaan, standar pembiayaan,standar sarana prasarana, dan standar penilaian.
Sebagai sebuah penilian, proses akreditasi tentu merupakan proses yang menegangkan bagi pengelola sekolah, utamanya yang terlibat dalam panitia akreditasi sekolah/madrasah.Pengelola sering dibuat nervous, merasa inferior. Di sisi lain, asesor dipersepsikan sebagai eksekutor yang menakutkan, dalam posisi superior. Kesalahan dalam mempersepsikan ini membuat situasi yang tidak nyaman. Namun biasanya suasana akan menjadi cair jika asesor mampu memposisikan diri dengan baik, tidak menampakkan diri sebagai eksekutor.

Kelemahan penyelenggaransekolah
Kelemahan mendasar penyelenggaraan pendidikan kita adalah minimnya administrasi yang tertata dengan baik. Dalam istilah Jawa dikenal dengan Ono tilas ono tulis. Kebanyakan ada tilas tapi tak ada tulis.Hal ini menggambarkan bahwa pengelola pendidikan yang terdiri atas kepala sekolah, guru, dan tenaga administrasi tidak terbiasa dengan budaya menulis. Budaya menulis di kalangan guru memang masih rendah. Salah satu indikatornya adalah banyaknya karir guru yang mentok di golongan IV/a dan susah menembus IV/b karena adanya persyaratn membuat karya tulis. Sesungguhnya membudayakan atau membiasakan menulis itu mudah. Dengan berprinsip” catatlah apa yang akan dikerjakan dan catatlah apa yang telah dikerjakan” sebetulnya menjadi modal awal untuk terbiasa menulis.
Kelemahan mendasar yang kedua adalah minimnya pengetahuan dasar-dasar hukum penyelenggaraan pendidikan. Setiap standar pendidikan nasional memiliki landasan hukum yang mestinya dipelajari, ditelaah, dan dipraktikkan dalam penyelenggaraan pendidikan. Dalam konteks akreditasi yang mengacu 8 standar nasional pendidikan maka pengelola sekolah harus memahami 8 landasan hukum yakni ;Permendiknas 22/2006 tentang standar isi, Permendiknas 41/2007 tentang standar proses, , Permendiknas 23/2006 tentang standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan yang terdiri atas Permendiknas 13/2007 tantang kepala sekolah, Permendiknas 16/2007 tentang Guru, Permendiknas 24/2008 tentang tenaga administrasi. Permendiknas 24/2007 tentang standar sarana dan prasarana, Permendiknas 19/2007 tentang standar pengelolaan, PP. 48/2008 tentang pendanaan pendidikan, dan Permendiknas 20/2007 tentang standar penilaian pendidikan.
Kelemahan ketiga adalah lemahnya manajemen penyelenggaraan sekolah. Pengelola sekolah belum terbiasa dengan tiga tahapan kerja yang terdiri atas planning, doing, and reflecting. Sebetulnya planning, doing, and reflecting merupakan tugas utama penyelenggara pendidikan, utamanya guru sebagai ujung tombak pembelajaran. Menyusun action plan dalam bentuk RPP mestinya kewajiban guru sebelum mengajar, namun kewajiban ini seringkali dinafikkan, apalagi guru yang sudah senior yang merasa hafal betul dengan materi yang harus disampaikan ke peserta didik. Akibat dari ketiadaan planning maka pelaksanaan (doing) tidak ada target, kurang fokus, dan cenderung semaunya. Dan reflecting sesungguhnya bukan sekedar menilai siswa, namun lebih dari itu yakni merefleksikan semua kejadian yang terjadi dalam pembelajaran sebagai bahan penyusunan action plan pada pertemuan berikutnya.
Kelemahan keempat adalah ketiadaan tim kreatif di sekolah/madrasah. Tanpa adanya tim kreatif maka ketika menghadapi akreditasi pengelola sekolah kebingungan, kurang paham apa yang harus dilakukan. Tak tahu strategi yang paling jitu. Hal ini dapat dicermati dari adanya sekolah yang meminjam administrasi dari sekolah lain. Tindakan ini sejujurnya tindakan yang lucu. Apa yang dilakukan sekolah lain tentu berbeda dengan apa yang dikerjakan sekolah lainnya. Action plan yang dibuat guru dari satu sekolah tentu berbeda dengan yang dibuat guru di sekolah lainnya, karena berbeda berbagai karakteristik.
Kelemahan kelima adalah tidak memahami instumen akreditasi dengan baik. Kelemahan ini mengakibatkan pengisian instrumen tidak akurat sehingga ada kesenjangan antara apa yang diisi dengan realitas yang ada yang dapat menjadi celah untuk diberi catatan oleh asesor.
Dalam konteks peningkatan kualitas pendidikan mestinya pengelola sekolah membudayakan sikap professional dalam penyelenggaraan pendidikan, tidak saja karena tuntutan akreditasi. Dengan budaya professional maka kelemahan-kelmahan di atas tidak akan ditemukan lagi sehingga sekolah/madrasah senantiasa siap untuk dinilai maupun diaudit.

0 comments:

About Me

My photo
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Saya adalah seorang pendidik, alumni pasca sarjana dalam bidang pemikiran pendidikan. Essay-assay saya dipublikasikan di Kompas Jateng, Suara Merdeka, Gerbang, Rindang, Media Pembinan, detik.com, okezone.com Pernah Menjuarai penulisan ilmiah kelompok guru di harian Kedaulatan Rakyat, menjadi finalis lomba inovasi pembelajaran di UNNES, dan menjadi pemakalah terpilih dan pembicara dalam Konferensi Guru Indonesia tahun 2007. Tahun 2008 menjadi pemakalah dalam International conference on lesson study di Universitas Pendidikan Indonesia. Tahun 2009 terpilih sebagai penerima dana bantuan penulisan dari PUSBUK. Tahun 2010 menjadi pemenang harapan 3 lomba media pembelajaran tingkat nasional .Buku: 1. Kebijakan Publik Bidang Pendidikan.2. Profil Guru SMK Profesional 3. Editor buku Sejarah Kebudayaan Islam