Menanti "Durian Runtuh" Anggaran Pendidikan

Menanti “Durian Runtuh” Anggaran Pendidikan

Beda pendapat karena beda pendapatan adalah tradisi bangsa kita. Gara-gara berbeda pendapatan dapat menimbulkan gap, hilangnya kerja sama, hilangnya kesetiakawanan, ketidaksinergisan, dan lain sebagainya. Semuanya berpangkal dari satu ‘makhluk’ yang namanya uang. Uang telah dipuja sekaligus dijadikan alat alibi. Dipuja karena dengan uang tersebut maka dianggap dapat menjadikan segalanya bisa lebih baik dan dijadikan alibi karena ketiadaannya bisa menjadi alasan untuk menutupi kelemahannya, kemalasannya, dan sifat-sifat buruk lainnya.
Kondisi ini juga dialami dunia pendidikan kita. Minimnya anggaran menjadi satu dari sekian banyak alasan mengapa dunia pendidikan nasional tidak bermutu. Memang dalam falsafah Jawa dikenal jer basuki mowo beo, tetapi mengandalkan uang sebagai segala-galanya sama saja dengan menuhankan uang. Akibat dari pola pikir yang serba uang, maka realisasi anggaran pendidikan minimal sebesar 20% dianggap mendesak untuk direalisasikan.
Dalam banyak demonstrasi tuntutan anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN semakin terdengar gaungnya. Pelaku pendidikan dalam semua tingkatan menginginkan anggaran minimal 20% tersebut untuk segera terealisasikan. Di lain pihak, pemerintah melalui Menkeu Sri Mulyani menyatakan bahwa belum terealisasinya anggaran tersebut karena ketidaktersediaan anggaran.
Memang pernyataan tersebut dapat ditafsirkan bermacam-macam, secara nalar bisa disederhanakan menjadi dua hal, pertama; belum adanya niatan secara politis untuk membangun komitmen yang tinggi terhadap dunia pendidikan, kedua; tersedotnya anggaran untuk masalah-masalah yang lebih urgen, semisal cadangan bencana, impor beras, program BLT, dan masalah-masalah yang dianggap KLB (Kejadiaan Luar Biasa). Apakah kualitas pendidikan yang rendah tidak dianggap sebagai KLB ?.
Angka 20% merupakan angka yang sakral dan bisa menjadi buah simalakama, jika direalisasikan bisa jadi negara khawatir jangan-jangan anggara tersebut mubadzir, dan jika tidak segera direalisasikan dapat mengurangi legitimasi pemerintah karena hal tersebut merupakan amanat UU.
Kehawatiran negara sangatlah wajar, sebab dengan adanya dana yang sangat besar berpotensi tidak efektif dan efisien, sehingga yang terjadi adalah penghamburan anggaran. Ketidakefektifan dan keefisienan disebabkan ketiadaan master plan yang matang dalam program peningkatan mutu pendidikan pada semua level. Barangkali pelaku dan pengambil kebijakan pendidikan malah terkejut melihat besarnya uang tersebut, dan jangan-jangan malah bingung mau diapakan dana sebesar itu.
Untuk sekedar menghabiskan dana memang mudah, namun apakah dana tersebut tepat sasaran itu yang jadi persoalan. Memang dunia pendidikan saat ini sedang membutuhkan dana yang besar, untuk memperbaiki gedung yang rusak (utamanya gedung SD dan Madrasah Ibtidaiyah), untuk program wajib belajar yang gratis, untuk mensarjanakan semua guru pada level minimal S-1, untuk sertifikasi, peningkatan kesejahteraan, riset, dan masih banyak lagi. Namun haruskah kita memaksa anggaran pendidikan harus 20%?.
Menurut penulis untuk membiayai kegiatan tersebut dapat diambil dari kegiatan-kegiatan yang tidak signifikan terhadap peningkatan mutu, semisal Ujian Nasional, atau workshop-workshop yang tidak penting. Atau barangkali jika tidak ada kebocoran anggaran maka persoalan tersebut bisa teratasi. Itu semua baru mungkin atau barangkali versi penulis.

Minimnya Fundrising
Sebetulnya minimnya dana dalam semua level institusi pendidikan disebabkan oleh rendahnya kemampuan melakukan fundrising atau penggalian dana , dengan kata lain ketiadaan atau rendahnya jiwa kewirausahaan (interpreniurship). Untuk mengatasi dana tersebut mestinya dalam setiap institusi memiliki tim think thank, tim kreatif yang mampu menjual potensi yang dimiliki.
Untuk itu setiap institusi harus punya keunggulan komparatif maupun kompetitif, dan jangan hanya mengandalkan proposal untuk memperoleh sisa anggaran. Bagi dunia perguruan tinggi penulis yakin banyak hasil inovasi dan riset yang bisa dipatenkan dan menggunakan royaltinya untuk membiayai pengembangan akademiknya. Pada level sekolah dapat menjadi pioner bagi home industri atau yang lainnya tergantung potensi siswa dan wilayah tempat sekolah berada. Memang ini tidak mudah, namun harus dicoba secara intensif.

Pentingnya Komitmen Daerah
Ketika anggaran APBN tidak ada, sebetulnya pada level bawah dapat melakukan kebijakan yang berpihak terhadap dunia pendidikan, terlebih dalam banyak hal urusan pendidikan telah diotonomikan. Daerah mestinya dapat menjadikan pendidikan yang spesifik sebagai kekhasan wilayahnya sebagaimana di propinsi Yogyakarta. Pendidikan di Jembrana atau di Bantul (sebelum dilanda Gempa 27 Mei 2006) semestinya dapat menjadi model bagi pendidikan di daerah lain, dimana Bupati concern terhadap kemajuan pendidikan di wilayahnya.

Waiting For Godod
Menanti anggaran pendidikan minimal sebesar 20% dari APBN sama saja menanti “durian runtuh” alias rejeki nomplok. Namun untuk beberapa waktu seluruh stakeholder pendidikan rasanya harus sabar, dan berlatih untuk sabar sambil berkreasi, berinovasi, untuk mencari jalan keluar. Meskipun demikian kiranya sangat perlu untuk diperjuangkan secara fair, dan pemerintah seharusnya ada niatan baik untuk merealisasikannya, sebab mereka jadi penguasa juga karena jasa dunia pendidikan juga.
Tanpa adanya komitmen yang sungguh-sungguh dari pemerintah untuk merealisasikan anggaran tersebut maka penantian tersebut akan sia-sia bak waiting for Godod.

0 comments:

About Me

My photo
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Saya adalah seorang pendidik, alumni pasca sarjana dalam bidang pemikiran pendidikan. Essay-assay saya dipublikasikan di Kompas Jateng, Suara Merdeka, Gerbang, Rindang, Media Pembinan, detik.com, okezone.com Pernah Menjuarai penulisan ilmiah kelompok guru di harian Kedaulatan Rakyat, menjadi finalis lomba inovasi pembelajaran di UNNES, dan menjadi pemakalah terpilih dan pembicara dalam Konferensi Guru Indonesia tahun 2007. Tahun 2008 menjadi pemakalah dalam International conference on lesson study di Universitas Pendidikan Indonesia. Tahun 2009 terpilih sebagai penerima dana bantuan penulisan dari PUSBUK. Tahun 2010 menjadi pemenang harapan 3 lomba media pembelajaran tingkat nasional .Buku: 1. Kebijakan Publik Bidang Pendidikan.2. Profil Guru SMK Profesional 3. Editor buku Sejarah Kebudayaan Islam