PENDIDIKAN DALAM BINGKAI SEGITIGA HITAM

Out put yang melimpah belum disertai out come yang berkualitas, itulah realitas persekolahan kita. Cita-cita menciptakan generasi yang berimtaq dan iptek sebagaimana slogan yang terpampang dalam gedung-gedung sekolah masih jauh dari harapan. Yang dihasilkan kebanyakan hanya insan yang beriptek, itupun tidak merata, dan tanpa disertai imtaq. Akibatnya out put tidak berkarakter dan hanya menjadi soft people, insan yang lembek. Lalu dimana kesalahan persekolahan kita?.
Sebagaimana negara berkembang lainnya, negara kita dikepung oleh tiga penyakit atau kondisi khas negara berkembang yakni kebodohan, kemiskinan, dan masalah kesehatan. Ketiga permasalahan tersebut dikenal dengan problem segitiga hitam. Menghilangkan kebodohan memerlukan grand design dan rentang waktu yang lama mengingat luasnya wilayah negara kita, kompleksitas dan keragaman masyarakat, serta problem kultural lainnya.
Menghapus kemiskinan tidaklah mudah, sebab kemiskinan dalam masyarakat kita sangat variatif, ada kemiskinan struktural, kultural, dan miskin karena pilihan. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan secara struktur karena kebijakan politik yang tidak memihak, dengan kata lain terjadi pemiskinan masyarakat. Kemiskinan kultural berkaitan dengan mentalitas masyarakat Indonesia, tidak memandang status kaya-miskin, si kaya tetap saja merasa miskin karena mentalnya memang demikian. Apalagi si miskin. Kemiskinan karena pilihan memang jarang ditemui, tapi eksistensinya tetap ada, semisal orang yang lebih memiskinkan dirinya dengan pertimbangan memudahkan perhitungan di yaumul hisab.
Penyakit tetap menjadi ancaman serius bagi bangsa ini, bahkan kekhawatiran terjadinya lose generation bisa saja terjadi jika tidak dilakukan tindakan preventif. Busung lapar, mahalnya obat, mahalnya kebutuhan pokok, dan bahaya ekologi menjadi faktor utama , belum faktor lain seperti berbagai polusi yang ada.
Dengan demikian pendidikan rasanya susah untuk berkembang jika ketiga kondisi tersebut tidak dihilangkan. Lalu apa dulu yang mesti dihilangkan?. Kebodohan dulu, kemiskinan dulu atau menyehatkan masyarakat dulu?. Menjawab pertanyaan tersebut sama saja menjawab pertanyaan duluan mana antara telur dengan ayam.
Jawaban dari pertanyaan di atas sangatlah beragam, tergantung latar belakang seseorang. Bagi seorang ekonom tentu akan condong mendahulukan pengentasan kemiskinan dulu, karena dengan hilangnya kemiskinan maka masyarakat akan mampu mengakses pendidikan lebih baik dan dapat hidup sehat, karena nutrisi terpenuhi dan mampu beli obat atau suplemen. Bagi dokter bisa jadi mendahulukan kesehatan, sebab dengan kesehatan maka aktifitas belajar akan baik dan dapat bekerja untuk tidak miskin. Bukankah di dalam badan yang sehat terdapat jiwa yang sehat?.
H.A.R Tilaar dalam bukunya yang berjudul Standarisasi Pendidikan Nasional (Rineka Cipta, 2006) mengutip pendapat Jeffrey Sachs yang menyatakan bahwa terdapat hubungan timbal balik antara pendidikan dengan kemiskinan. Masih dalam buku tersebut juga dinyatakan bahwa menurut Amartya Sen (Pemegang hadiah Nobel bidang Ekonomi dari India) bahwa ada keterkaitan yang erat antara pendidikan dengan pengembangan masyarakat yang demokratis dan membuka mata rakyat miskin untuk mengakses pendidikan guna meningkatkan kelas sosialnya.
Senyampang dengan pendapat pakar di atas bagi penulis -yang seorang pendidik- akan mendahulukan menghapus kebodohan, sebab dengan hilangnya kebodohan maka terbangun jiwa masyarakat Indonesia sehingga akan lebih beradab, mampu berfikir jernih dan sehat. Dengan menghapus kebodohan, maka telah membangun jiwa sebelum membangun raganya. Tanpa adanya jiwa yang sehat rasanya susah mendidik siswa yang miskin jiwanya dan lemah badannya. Jika menghapuskan kebodohan yang didahulukan, maka pertanyaan berikutnya adalah model pendidikan yang pas yang seperti apa?.
Secara pragmatis jawaban yang tepat adalah pendidikan untuk masyarakat yang miskin dan kurang sehat, artinya pendidikan tersebut harus mampu merekonstruksi sosial masyarakat. Dengan demikian mestinya pendidikan itu murah dan menyehatkan. Murah berarti negara membuka akses seluas-luasnya bagi seluruh masyarakat dan menyehatkan berarti kurikulum pendidikan berkaitan dengan ekologi dan kesehatan masyarakat.
Membuka akses pendidikan dasar seluas-luasnya merupakan perwujudan dari deklarasi hak-hak asasi manusia PBB pada tahun 1948. Dalam perumusan PBB mengenai delapan tujuan pembangunan millenium (MDGs) juga dirumuskan pentingnya pelayanan pendidikan, secara lengkap kedelapan tujuan tersebut adalah: 1) memberantas kemiskinan dan kelaparan, 2)mewujudkan pendidikan dasar untuk semua, mendorong kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan, 4)menurunkan angka kematian anak, 5)meningkatkan kesehatan ibu, 6) mengurangi penyebaran HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lainnya, 7)kelestarian lingkungan hidup, 8)membangun kemitraan global dan pembangunan.
Lebih lanjut lagi dengan mengadopsi Deklarasi PBB tentang Hak Atas Pembangunan , maka kewajiban negara dalam melaksanakan wajib belajar antara lain: 1)tersedianya sarana seperti gedung sekolah dan tempat pelaksanaan wajib belajar lainnya, 2) keterjangkauan, 3) penerimaan, yaitu diterima tidaknya lembaga pendidikan oleh rakyat, 4) kesesuaian lembaga dengan kebutuhan lingkungan (H.A.R Tilaar (2006): 165).
Dengan merujuk pada deklarasi PBB tersebut jelaslah bahwa mewujudkan masyarakat yang tidak bodoh adalah tanggung jawab negara, tanpa adanya upaya yang sungguh-sungguh sejatinya negara telah dzalim terhadap rakyatnya.
Yang perlu digaris bawahi adalah bahwa menghapus kebodohan tidak sama dengan menyablon ijazah, karena jika itu yang terjadi maka sesungguhnya kita menjadi bodoh kuadrat. Dengan menghilangkan kebodohan yang sesungguhnya, maka kemiskinan dan kultur tidak sehat secara perlahan-lahan akan tereduksi. Dengan masyarakat yang berimtaq dan berimtek maka negara ini akan terlepas dari belenggu segitiga hitam dan berubah status menjadi negara yang beradab dan powerfull.

0 comments:

About Me

My photo
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Saya adalah seorang pendidik, alumni pasca sarjana dalam bidang pemikiran pendidikan. Essay-assay saya dipublikasikan di Kompas Jateng, Suara Merdeka, Gerbang, Rindang, Media Pembinan, detik.com, okezone.com Pernah Menjuarai penulisan ilmiah kelompok guru di harian Kedaulatan Rakyat, menjadi finalis lomba inovasi pembelajaran di UNNES, dan menjadi pemakalah terpilih dan pembicara dalam Konferensi Guru Indonesia tahun 2007. Tahun 2008 menjadi pemakalah dalam International conference on lesson study di Universitas Pendidikan Indonesia. Tahun 2009 terpilih sebagai penerima dana bantuan penulisan dari PUSBUK. Tahun 2010 menjadi pemenang harapan 3 lomba media pembelajaran tingkat nasional .Buku: 1. Kebijakan Publik Bidang Pendidikan.2. Profil Guru SMK Profesional 3. Editor buku Sejarah Kebudayaan Islam