kemerdekaan seorang guru

Mencermati judul di atas, kita akan gelisah dan bertanda tanya, apakah guru-guru kini belum merdeka ?. Jika belum maka siapa yang menindas?. Pertanyaan tersebut akan terus berkembang dan berakhir pada kemerdekaan seperti apa yang diharapkan oleh para guru.
Belakangan ini semakin banyak guru-guru dan organisasi guru seperti Forum GTT (Guru Tidak Tetap) yang melakukan aksi unjuk rasa. Tuntutan yang disampaikan oleh para guru berkisar realisasi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN, perbaikan kesejahteraan, pengangkatan guru swasta menjadi PNS dan seputar kebijakan Ujian Nasional.
Maraknya tuntutan guru melalui unjuk rasa dan semakin bermunculannya organisasi guru mengindikasikan guru mulai gerah terhadap realitas praxis pendidikan di tanah air. Kini guru semakin menyadari bahwa membentuk organisasi profesi yang independen penting untuk diwujudkan untuk ‘memerdekakan diri” dan membangun pendidikan yang sesungguhnya.
Sebagai seorang guru, penulis menyadari betul sebab-sebab kegelisahan yang dialami teman sejawat. Pengkebirian profesi melalui slogan pahlawan tanda jasa, nasib GTT yang terus menggantung, dan ancaman PHK yang tak terduga dari yayasan merupakan sebagian kecil dari bentuk penindasan terhadap guru. Belum lagi kerja guru model kontrak dengan yayasan yang sebenarnya meniru pola di industri. Memang disatu sisi memacu kualitas, namun di sisi lain adalah penindasan psikologis.
Bentuk penindasan yang lain dalah adanya sistem ujian yang memasung otoritas guru dalam menentukan kelulusan siswanya disamping minimnya ruang aktualisasi guru.
Kemerdekaan Guru
Guru sebagaimana manusia lainnya tentu saja menginginkan kemapanan dan aktualisasi diri. Jika kebutuhan dasarnya saja belum terpenuhi dengan baik, bagaimana akan beraktualisasi? Dan jika tidak mampu beraktualisasi (dalam hal profesi dan keilmuan) bagaimana mampu menjalani profesinya dengan baik?. Kita mesti bertolak dari hierarki kebutuhan menurut Maslow dengan menempatkan kebutuhan dasar sebagai prasyarat utama dan aktualisasi diri sebagai kebutuhan akhir. Standar minimal gaji guru sesuai kebutuhan dasar harus dipikirkan sehingga dapat hidup layak. Dengan kata lain kinerja guru harus baik sesuai dengan kemampuan yang dimiliki dan memperoleh upah sesuai dengan kebutuhannya.
Selama ini yang didapati adalah kejadian yang memprihatinkan. Gaji guru (swasta) di bawah upah minimum propinsi, tidak ada jaminan kerja, tidak ada asuransi, dan tidak ada aturan yang jelas bagi guru yang mengabdi di yayasan. Pada posisi tertentu posisi pemilik yayasan seperti pemilik modal atau alat produksi, sedangkan posisi guru sebagai buruh sehingga yang muncul adalah relasi majikan –buruh.
Dari uraian ini maka disimpulkan bahwa kemerdekaan pertama yang diharapkan adalah adanya gaji yang sesuai dengan kebutuhan dasar hidup dan atmosfer kerja yang sifatnya kemitraan, bukan majikan-buruh.
Setelah kebutuhan dasar dan relasi kerja maka kemerdekaan lain yang diharapkan adalah kemerdekaan untuk beraktualisasi. Artinya guru-guru memperoleh ruang gerak untuk beraktualisasi. Aktualisasi yang diharapkan adalah kebebasan untuk berinovasi dan berdaya kreasi dalam pengembangan pendidikan. Memang ruang itu seringkali telah diciptakan, namun di sisi lain dikebiri karena sistem ujian yang absolut.
Solusi
Uraian problematik di atas perlu disikapi dan ditindaklanjuti. Jika tidak maka “pemberontakan” guru atas nasibnya akan menjadi pertanda buruk bagi peningkatan kualitas pendidikan nasional. Kita tidak boleh membiarkan kondisi ini sehingga para guru mutung dan nglokro atau pindah profesi lain. Kita tidak boleh apatis dengan menyatakan “salah sendiri memilih menjadi guru” karena pernyataan itu menyakitkan dan kontra produktif bagi kultur pendidikan di tanah air.
Pengambil kebijakan mestinya respek dan menghargai upaya yang dilakukan oleh guru, dengan catatan tidak boleh menggumbar janji, karena hanya akan memunculkan akumulasi kekecewaan. Adanya BKG (Bantuan Khusus Guru) dan dana APBD 1 dan APBD 2 merupakan respon yang positif, kedepan perlu dikaji standar minimalnya.
Dalam kaitannya dengan menciptakan ruang aktualisasi bagi guru, maka pemerintah harus mengembalikan otoritas guru dalam pengembangan kurikulum dan penentuan kelulusan siswanya.
Ruang aktualisasi menjadi sangat penting saat kejumudan dalam pendidikan kian dirasakan. Di sinilah sebenarnya ruh pendidikan itu ada. Tugas pemerintah hanyalah menyusun grand kurikulum, menjadi supervisor atau menjadi penyelia. Posisi ini akan menguntungkan bagi proses pengembangan keilmuan pendidikan dan peletakan dasar-dasar inovasi pendidikan.
Kemerdekaan guru adalah hak bagi setiap guru. Jika guru tidak merdeka, bagaimana bisa memerdekakan muridnya??.

0 comments:

About Me

My photo
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Saya adalah seorang pendidik, alumni pasca sarjana dalam bidang pemikiran pendidikan. Essay-assay saya dipublikasikan di Kompas Jateng, Suara Merdeka, Gerbang, Rindang, Media Pembinan, detik.com, okezone.com Pernah Menjuarai penulisan ilmiah kelompok guru di harian Kedaulatan Rakyat, menjadi finalis lomba inovasi pembelajaran di UNNES, dan menjadi pemakalah terpilih dan pembicara dalam Konferensi Guru Indonesia tahun 2007. Tahun 2008 menjadi pemakalah dalam International conference on lesson study di Universitas Pendidikan Indonesia. Tahun 2009 terpilih sebagai penerima dana bantuan penulisan dari PUSBUK. Tahun 2010 menjadi pemenang harapan 3 lomba media pembelajaran tingkat nasional .Buku: 1. Kebijakan Publik Bidang Pendidikan.2. Profil Guru SMK Profesional 3. Editor buku Sejarah Kebudayaan Islam