Dan Henry Ford pun tak Lulus Sekolah

Tanggal 16 Juni nanti jika tidak diundur akan diumumkan hasil Ujian Nasional tahun ajaran 2006/2007 tingkat SMA dan sederajat. Seluruh stake holder sekolah tentu berharap-harap cemas menanti pengumuman itu, utamanya siswa sebagai peserta ujian. Dan seperti tahun-tahun sebelumnya, besar kemungkinan ada dua kejadian yang kontradiktif, yang lulus akan euforia dengan kelulusannya dan yang tidak lulus akan larut dan frustasi.

Makna kelulusan dari tahun-ketahun mengalami pergeseran. Zaman dulu, saat kekek nenek kita sekolah Ongko Loro lulus adalah prestasi yang luar biasa, sekarang lulus menjadi prestasi biasa – biasa saja. Dulu lulus itu “Wah”, sekarang cuma “Ach…”. Dan sebaliknya dulu tidak lulus itu biasa, sekarang luar biasa, bahkan ketidaklulusan kini menjadi semacam kecelakaan sejarah bagi perjalanan akademik peserta didik sehingga menimbulkan frustasi, vandalisme dan tindakan negatif lainnya.

Pertanyaan mendasar yang muncul adalah mengapa terjadi pergeseran makna kelulusan?. Menurut hemat penulis pergeseran makna itu disebabkan oleh banyak faktor antara lain: peluang kerja, biaya pendidikan, waktu, dan gengsi atau nama baik lembaga pendidikan. Zaman dulu untuk sekolah itu mudah, murah, dan berkualitas karena benar-benar menganut azas kompetensi meskipun tidak menamakan kurikulumnya dengan nama KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi). Karena kemudahan itu maka seseorang tidak akan frustasi berat jika tidak lulus dan akan mengulang dengan sungguh-sugguh untuk lulus. Dan seseorang yang lulus (saat itu) akan benar-benar kompeten dan menjadi rebutan pasar kerja atau menduduki jabatan dalam pemerintahan.

Kini kenyataan itu telah berubah, untuk memperoleh pendidikan memerlukan biaya yang tidak sedikit, waktu yang lama karena tidak cukup ongko Loro bahkan harus S2 atau S3 dan harus mahir bahasa asing (utamamnya Bahasa Inggris). Selain itu persaingan memasuki dunia kerja kini sangat kompetitif, sehingga menunda kelulusan berarti menanti pesaing yang semakin banyak.

Persoalan lain yang muncul adalah kini banyak sekali penyelenggara pendidikan sehingga persaingan antarlembaga sangat ketat, jika banyak siswanya yang tidak lulus maka institusi tersebut tinggal menunggu gulung tikarnya. Dan jika ada lembaga pendidikan yang gulung tikar, maka menimbulkan dampak sosial dan ekonomi bagi pengelola dan guru lembaga tersebut.

Lulus atau Lolos?

Mencermati apa yang terjadi dalam dunia pendidikan kita saat ini maka ada dua hal kejadian atau peristiwa yang mempunyai perbedaan secara mendasar yakni antara lulus atau lolos. Lulus tidak cukup hanya memenuhi standar atau syarat-syarat kelulusan yang ditetapkan dalam standar penilaian, namun juga mendeskripsikan proses yang sungguh-sungguh yang dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan, sedangkan konotasi lolos lebih sekedar upaya (sebagaimana meloloskan diri) untuk selesai dari permasalahan yang dalam ini menyelesaikan jenjang pendidikan. Kata lolos juga cenderung tidak fun dalam proses dan mengedepankan banyak cara dengan tujuan akhir: yang penting lulus. Dengan berlatar dari uraian ini maka menurut penulis pendidikan kita condong berorientasi pada meloloskan ketimbang meluluskan.

Kembalikan Makna Kelulusan

Kelulusan yang tidak bermakna hanya akan menambah permasalahan yang ujung-ujungnya memberi stigma buruk pada dunia pendidikan nasional. Pemerintah dan seluruh masyarakat pendidikan di tanah air wajib hukumnya untuk kembali menempatkan kelulusan sebagai prestasi yang bermakna bagi yang bersangkutan, lingkungan, dan tanah airnya. Jangan sampai lulusan sekolah atau perguruan tinggi justru menjadi beban bagi keluarga, lingkungan, dan negara.

Menjadikan lulusan yang bermakna tidak cukup hanya mempersulit kelulusan dengan melakukan ujian yang sulit dan ketat, apalagi yang sifatnya parsial dan kognitif belaka, ini adalah keputusan yang tidak tepat. Seharusnya ujian tersebut komprehensif dan tidak perlu pengawasan yang menakutkan karena siswa mestinya telah terbiasa dididik untuk jujur sehingga sifat jujur menjadi habitus (kebiasaan).

Lulusan yang bermakna dibentuk melalui proses yang panjang yang dilaksanakan dengan baik dan benar. Standar pelayanan minimal pendidikan harus benar-benar diwujudkan, jika tidak mampu mewujudkan idealnya sekolah tersebut merger dengan sekolah yang telah standar. Dengan upaya yang sungguh-sungguh dan benar-benar memberi skill kepada siswa serta dijiwai sikap jujur dalam berproses maka kelulusan akan benar-benar bermakna.

Hal lain yang penting untuk diperhatikan adalah memberi ruang gerak yang luas bagi lulusan pendidikan untuk memilih alternatif profesi, memberi kemudahan dalam mengakses pendidikan sehingga mengurangi frustasi akademik. Pada intinya adalah bagaimana pemerintah mampu mendesain sistem pendidikan yang nyaman, dalam arti murah namun berkualitas sehingga peserta didik akan terpacu untuk sungguh-sungguh dan mengedepankan kejujuran akademik. Upaya menciptakan lulusan yang berkualitas juga tidak cukup memperbaiki persekolahan, namun juga lapangan kerja sehingga daya serap yang tinggi dunia kerja terhadap lulusan akan menjadi pemacu untuk lulus dengan kualitas yang standar.

Bangsa ini perlu belajar pada Henry Ford yang dengan ketidaklulusannya pada jenjang SMA mampu menjadi interpreniur yang diakui dunia bahkan sistemnya dalam perindustrian menjadi model yang dikenal dengan Fordisme. Tidak lulus saja sudah begitu hebat, bagaimana kalau lulus? Besar kemungkinan ia akan lebih dahsyat.

Kelulusan adalah prestasi dan ketidaklulusan bukanlah kecelakaan sejarah, sebab Henry Ford pun tak lulus sekolah.

0 comments:

About Me

My photo
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Saya adalah seorang pendidik, alumni pasca sarjana dalam bidang pemikiran pendidikan. Essay-assay saya dipublikasikan di Kompas Jateng, Suara Merdeka, Gerbang, Rindang, Media Pembinan, detik.com, okezone.com Pernah Menjuarai penulisan ilmiah kelompok guru di harian Kedaulatan Rakyat, menjadi finalis lomba inovasi pembelajaran di UNNES, dan menjadi pemakalah terpilih dan pembicara dalam Konferensi Guru Indonesia tahun 2007. Tahun 2008 menjadi pemakalah dalam International conference on lesson study di Universitas Pendidikan Indonesia. Tahun 2009 terpilih sebagai penerima dana bantuan penulisan dari PUSBUK. Tahun 2010 menjadi pemenang harapan 3 lomba media pembelajaran tingkat nasional .Buku: 1. Kebijakan Publik Bidang Pendidikan.2. Profil Guru SMK Profesional 3. Editor buku Sejarah Kebudayaan Islam