Seni dalam Kubangan Posmodernisme

Ada tiga periodesasi zaman yang sering diperbicangkan atau diperdebatkan. Ketiga zaman itu adalah zaman tradisional, modern, dan posmodern. Zaman tradisional yang tunduk pada otoritas lembaga keagamaan runtuh ketika revolusi industri bergulir di Perancis. Zaman modern eksis dalam rentang waktu yang panjang, dimulai dari runtuhnya zaman tradisional dengan ditandai adanya pencerahan sebagai anak kandung marxisme.

Belakangan tanpa jelas tanggal, bulan, tahun dan dimulai dibelahan bumi yang mana muncul apa yang disebut dengan zaman posmodern. Jika ada yang menyebut tempat dan waktu kemunculannya, hal itu tidak berlaku secara universal, sebatas kurang lebih atau kira-kira.

Pergeseran zaman selalu diikuti pergeseran dalam banyak hal termasuk dalam bidang budaya dan seni. Jika zaman kita umpamakan ayah dan seni atau budaya kita umpamakan anak maka di sini berlaku like father like son. Hegemoni zaman selalu ‘menindas’ budaya dan seni.

Produk seni atau karya seni yang tidak ‘tunduk’ pada mainstream yang berlaku dizamannya akan kehilangan daya pikat sebab eksistensi seni tidak hanya terletak pada nilai estetiknya saja, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh kuantitas penikmatnya.

Wayang atau ketoprak tradisional misalnya kini secara perlahan terkubur oleh mainstream modern. Jika ingin bertahan maka kesenian tradisional itu harus berdialektika dengan mainstream yang berlaku. Hal ini bisa dilihat dari kemunculan ketoprak humor beberapa tahun yang lalu atau wayang kulit yang pementasannya berkolaborasi dengan musik dangdut. Memang acara tersebut menghilangkan pakem (aturan baku), namun inilah pilihan pahit yang mesti dipilih.

Mainstream Posmodern

Istilah posmodern (bukan kemunculan posmodern) muncul pertama kali di kalangan seniman dan kritikus di New York pada tahun 1960 dan diambil alih oleh para teoritikus Eropa pata tahun 1970-an (Madan Sarup; 2004). Menurut Jean-Francois Lyotard dalam bukunya The Postmodern Condition kelahiran posmodern adalah sebagai bentuk penyerangan terhadap modernitas yang mengusung konsep universal valid ( dalam istilah Arab qod’i atau pasti).

Dengan kata lain posmodern menyanggah adanya universal pattern dan mengedepankan particullar pattern. Artinya posmodern tidak mengenal grand theory, etika universal, ataupun hal lain yang sifatnya universal. Bagi posmodern entitas apapun ada dan ada pemiliknya.

Menurut Madan Sarup (2004) aspek sentral yang diasosiasikan dengan posmodern dalam seni antara lain: penghapusan batas antara seni dan kehidupan sehari-hari, ambruknya perbedaan hierarkis antara kebudayaan populer dan kebudayaan elit, eklitisisme stilistik dan pencampuran kode.

Dalam bidang seni posmodern mempunyai perbedaan yang mencolok dengan seni di zaman modern. Seni dan budaya di zaman modern cenderung diskursif yang mengutamakan kata di atas citra, sedangkan seni dan budaya di zaman posmodern cenderung figural yang lebih menekankan visual ketimbang tulisan.

Implikasi

Mainstream posmodern secara perlahan namun pasti menjangkiti segala aspek kesenian dan kebudayaan dibelahan bumi mana pun. Terlebih di era teknologi canggih seperti sekarang. Teknologi adalah transmitter utama penyebaran mainstream itu.

Di sini terjadi dialektika berkesenian. Mestinya ada tiga pilihan yang bisa dilakukan pekerja seni yakni alienatif, assimilatif, dan tunduk dengan menjadi ‘penganut’ posmodern sejati. Alienatif dengan menjauhi mainstream posmodern adalah pilihan pahit namun menggambarkan idealisme yang tinggi. Dengan memilih alienatif maka harus siap tidak populer yang implikasinya siap miskin.

Memilih assimilatif berarti harus pandai mensintesakan antara etika, pakem, dan akar budaya yang dianut dengan mainstream posmodern. Memilih assimilatif tidaklah mudah, jika tidak cerdas justru terlihat plin – plan atau dicap oportunis.

Memilih menjadi penganut sejati mainstream posmodern adalah yang paling mudah, sebab karya apapun akan menjadi bebas nilai dan hanya dari perspektif dirinyalah nilai itu ada. Resiko terbesar yang diambil hanyalah siap untuk dikecam, diolok-olok, atau dilaporkan polisi.

Belakangan ini pekerja seni kita semakin banyak yang masuk dalam kubangan mainstream posmodern. Terlebih dengan terbukanya reformasi. Tanpa ada komando ataupun aba-aba praktik posmodern muncul dimana-mana layaknya jamur di musim hujan.

Lebih tragis lagi praktik posmodern di Indonesia dilakukan secara masif, semaunya sendiri. Parodi-parodi kasar muncul seenaknya, majalah-majalah yang menonjolkan sensualitas dicetak dalam oplah yang besar, goyangan sexy ada dimana-mana, tarian erotis mudah ditemukan, dan masih banyak lagi. Bagi pelaku seni aktifitas tersebut semuanya dikatakan art , sebuah seni.

Kini kesenian kita benar-benar terjebak dalam kubangan mainstream posmodern. Kita hidup dalam dunia seni yang hiperrealitas , tiada tabir yang jelas antara yang nyata dengan yang imajiner, yang benar dengan yang salah, semua serba truth claim (klaim kebenaran) dalam perspektif masing-masing.

Perlu kiranya bagi pelaku seni untuk tidak bersikap ego estetik sebab berkesenian tidaklah berada di ruang hampa. Ruang publik yang begitu luas mesti diperhatikan agar yang kita dapat adalah estetika sejati.

0 comments:

About Me

My photo
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Saya adalah seorang pendidik, alumni pasca sarjana dalam bidang pemikiran pendidikan. Essay-assay saya dipublikasikan di Kompas Jateng, Suara Merdeka, Gerbang, Rindang, Media Pembinan, detik.com, okezone.com Pernah Menjuarai penulisan ilmiah kelompok guru di harian Kedaulatan Rakyat, menjadi finalis lomba inovasi pembelajaran di UNNES, dan menjadi pemakalah terpilih dan pembicara dalam Konferensi Guru Indonesia tahun 2007. Tahun 2008 menjadi pemakalah dalam International conference on lesson study di Universitas Pendidikan Indonesia. Tahun 2009 terpilih sebagai penerima dana bantuan penulisan dari PUSBUK. Tahun 2010 menjadi pemenang harapan 3 lomba media pembelajaran tingkat nasional .Buku: 1. Kebijakan Publik Bidang Pendidikan.2. Profil Guru SMK Profesional 3. Editor buku Sejarah Kebudayaan Islam