mEMBANGUN pENDIDIKAN kRITIS

TUJUAN akhir setiap manusia sejatinya adalah humanisasi atau menjadi lebih humanis. Untuk mencapai tujuan tersebut manusia senantiasa menggali potensinya dengan suatu proses kontinyu yang dinamakan dengan belajar. Sayangnya proses tersebut selalu disederhanakan dengan sekolah dari SD dan akan berhenti setelah sarjana.
Slogan belajar sepanjang hayat telah berubah menjadi belajar sampai sarjana. Maka tidak mengherankan jika setiap individu berpacu untuk sekolah yang tinggi dengan harapan mampu menjadi manusia yang humanis.
Tanpa kita sadari sesungguhnya pendidikan yang terbatas pada ruang segi empat yang kita namakan kelas itu telah mereduksi sisi kemanusiaan kita (dehumanisasi). Pendidikan telah menjadi arena pemaksaan untuk mempelajari konsep-konsep ilmu yang begitu banyak, yang mungkin sudah usang, dan tidak ada kaitan langsung dengan kehidupan peserta didik.
Pendidikan hanya menjadikan individu-individu untuk beradaptasi dengan lingkungannya, bukannya merubah realitas yang ada. Maka tidaklah mengherankan jika kita seringkali mendengar istilah: sulit menjadi orang baik di lingkungan tidak baik. Hal ini sesungguhnya mengindikasikan bahwa ada keengganan untuk mengubah keadaan yang ada (sistem), tetapi sebisa mungkin menyesuaikan dengan sistem yang ada. Jika hal ini berjalan terus-menerus maka tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa akan menjadi cita-cita yang menggantung di langit, utopis, dan tidak pernah tercapai.
Paulo Freire, paedagogik kritis asal Brazil telah menggagas pentingnya pendidikan kritis melalui proses konsientisasi. Konsientisasi atau proses penyadaran adalah upaya penyadaran terhadap sistem pendidikan yang menindas yang menjadikan masyarakat mengalami dehumanisasi.
Pendidikan diharapkan mampu mendekonstruksi kenyataan sosial, ekonomi, dan politik dan merekonstruksi untuk menyelesaikan problem masyarakat. Dengan demikian pendidikan akan menjadi problem solver, bukan malah menjadi part of problem.
Membangun pendidikan kritis melalui upaya penyadaran (konsientisasi) sebagaimana yang ditawarkan oleh Freire tidaklah mudah. Pendidikan kritis tidak mungkin atau susah direalisasikan jika guru sebagai ujung tombak pembelajaran tidak memahami hakikat pendidikan kritis itu sendiri.
Daya kritis guru terlanjur digadaikan dengan juklak dan juknis dari atasan dan disibukkan dengan administrasi-administrasi yang menumpuk.
Realitas yang ada menggambarkan bahwa pendidikan kritis tidak mungkin segera dilaksanakan dalam waktu dekat. Untuk itu diperlukan strategi dan langkah-langkah untuk mencapainya. Langkah pertama yang paling strategis adalah memperbaiki konsep kurikulum lembaga keguruan sebagai pencetak calon guru. Lembaga ini harus mampu menghasilkan calon guru yang mampu menganalisis kurikulum untuk dikaitkan langsung dengan problem kehidupan yang ada, menjadi fasilitator, motivator, dan administrator. Kecenderungan yang ada selama ini adalah terbatasnya kualitas lulusan pada kemampuan sebagai administrator, sehingga guru kurang berhasil memerankan peranan sebagai fasilitator dan motivator yang baik.
Langkah kedua adalah mengubah proses pembelajaran dari paedagogik ke andragogik. Pembelajaran yang bercorak paedagogik hanya akan menghasilkan budaya bisu (the cultural of silence). Di situ peserta didik diposisikan sebagai objek yang harus menuruti kemauan guru. Dengan pembelajaran yang bercorak andragogik maka peserta didik menjadi mitra belajar bagi guru itu sendiri.
Guru dan peserta didik menjadi sama-sama belajar, ada keharmonisan dan kehangatan dalam belajar karena keduanya merasa di - uwongke . Pembelajaran andragogik juga menekankan pada problem solver sehingga teori yang diajarkan akan menjadi pisau analisis terhadap realitas yang ada, bukannya terbatas sebagai alat untuk menjawab soal dalam ujian.
Langkah ketiga adalah mengoptimalkan kurikulum lokal. Kurikulum lokal yang selama ini diterjemahkan dengan muatan lokal harus benar-benar diberdayakan. Selama ini kurikulum lokal diposisikan sebagai pelengkap derita dan tidak dimanfaatkan untuk dijadikan sebagai sebuah keunggulan. Mestinya kurikulum lokal benar-benar menjadi branch image setiap sekolah di wilayah tertentu sehingga memperkaya keilmuan yang ada sekaligus konservasi terhadap keunikan-keunikan lokal, dan sebagai bentuk perimbangan terhadap globalisasi yang semakin liar.
Fleksibel
Langkah yang terakhir adalah kemauan dari Dinas Pendidikan Nasional untuk tidak lagi memosisikan diri sebagai God Father yang dapat membatasi daya kritis sekolah-sekolah di daerah. Dinas Pendidikan Nasional harus lebih fleksibel dalam menentukan kurikulum yang berlaku. Yang sangat penting adalah mengubah bentuk kegiatan ujian menjadi evaluasi.
Ujian Nasional yang dilaksanakan selama ini sangat menguras tenaga dan pikiran guru dan terlebih peserta didik. Keberhasilan ujian menjadi sasaran akhir setiap peserta didik, dengan mengesampingkan aspek lainnya. Bahkan banyak sekolah yang terpaksa mengorbankan mata pelajaran lainnya demi sukses di mata pelajaran yang diujikan secara nasional.
Sesungguhnya evaluasi dapat dilakukan setiap saat untuk mengetahui daya serap siswa atau ketercapaian kompetensi yang dicapai, akan tetapi hasil yang dicapai bukan menjadi alat untuk memvonis lulus tidaknya siswa. Evaluasi dijadikan pijakan langkah berikutnya guna lebih baik dalam proses pembelajaran dan penyelenggaraan sekolah.
Pendidikan kritis sangat diperlukan agar setiap manusia mengenal kediriannya, humanis, tidak kerdil dan reaktif terhadap perubahan yang terusmenrus. Membangun pendidikan kritis adalah tanggung jawab bersama seluruh stakeholder pendidikan (11).

0 comments:

About Me

My photo
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Saya adalah seorang pendidik, alumni pasca sarjana dalam bidang pemikiran pendidikan. Essay-assay saya dipublikasikan di Kompas Jateng, Suara Merdeka, Gerbang, Rindang, Media Pembinan, detik.com, okezone.com Pernah Menjuarai penulisan ilmiah kelompok guru di harian Kedaulatan Rakyat, menjadi finalis lomba inovasi pembelajaran di UNNES, dan menjadi pemakalah terpilih dan pembicara dalam Konferensi Guru Indonesia tahun 2007. Tahun 2008 menjadi pemakalah dalam International conference on lesson study di Universitas Pendidikan Indonesia. Tahun 2009 terpilih sebagai penerima dana bantuan penulisan dari PUSBUK. Tahun 2010 menjadi pemenang harapan 3 lomba media pembelajaran tingkat nasional .Buku: 1. Kebijakan Publik Bidang Pendidikan.2. Profil Guru SMK Profesional 3. Editor buku Sejarah Kebudayaan Islam