Manusia Standar Versi Ujian Nasional

Ketika Amerika Serikat mengalami kemunduran dalam pendidikan maka pemerintah Amerika Serikat menyatakan A Nation at Risk. Berawal dari kondisi inilah dibentuk Komisi Pendidikan yang bernama National Commision on Excellence in Education (NCEE) yang bertugas melakukan standarisasi pendidikan. Di Indonesia model tersebut diadopsi dengan adanya BSNP (Badan standar Pendidikan Nasional) yang tugasnya melakukan standarisasi, dan salah satu program yang dilaksanakan adalah Ujian Nasional.
Dalam melaksanakan program Ujian Nasional BSNP menerbitkan POS (Prosedur Operasional Standar) yang di dalamnya berisi hal-hal teknis yang sejak pelaksanaannya mengalami perubahan-perubahan. Salah satu perubahan yang selalu ada adalah perubahan standar nilai minimal untuk lulus.
Setiap tahun terjadi kenaikan batas minimal untuk lulus Ujian Nasional. Tahun lalu nilai rata-rata untuk lulus Ujian Nasional sebesar 4,50 dan tahun ini naik mejadi 5,00. Apa yang mendasari kebijakan kenaikan nilai batas kelulusan tersebut sebetulnya patut untuk dipertanyakan. Gurunya masih sama, fasilitas sekolah belum berubah, isi kurikulum tidak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya, dan input pendidikan juga relatif mempunyai kapasitas yang sama. Yang penulis khawatirkan adalah meningkatkan batas nilai tetapi mengurangi tingkat kesukaran soal. Jika ini yang terjadi maka sama saja bohong.
Jika kenaikan batas nilai kelulusan sebagai gertakan atau warning agar siswa lebih giat dalam belajar, maka gertakan ini menjadi gertakan yang salah sebab yang terjadi bukan giat belajar tetapi sebatas giat latihan soal Ujian Nasional, semacam try out atau pengedrilan soal.
Jika setiap tahun terjadi kenaikan nilai rata-rata sebesar 0,50 maka dalam waktu 10 tahun nilai rata-rata Ujian Nasional menjadi 10,00, sebuah nilai yang sempurna. Dan jika ini yang terjadi maka 10 tahun lagi generasi kita adalah generasi standar, manusia sempurna atau Superman versi Ujian Nasional.
Manusia adalah sosok yang unik. Tidak ada manusia yang mempunyai kesamaan 100% meskipun keduanya kembar. Gordon Dryen dan Jeanette Vos (1999) menyatakan uniknya manusia sama halnya dengan uniknya tanda tangan. Dari uniknya itulah manusia mempunyai potensi sendiri-sendiri baik yang sifatnya kompetitif maupun komparatif. Ada yang potensi numerikalnya tinggi, ada yang potensi musikalnya tinggi, dan lain sebagainya. Goleman menyebutnya sebagai kecerdasan majemuk.
Dari potensi-potensi tersebut seseorang bersekolah guna meningkatkan potensinya, sebab bakat plus latihan akan menjadikan skill yang baik sebagai salah satu bekal untuk lebih menjadi manusia. Dengan demikian tugas persekolahan sejatinya mengembangkan potensi peserta didik, bukan mengebiri atau malah membiarkan potensi tersebut sehingga tidak terurus dan berujung pada kemandulan skill. Dalam posisi ini maka posisi pendidik adalah sebagai talent scouter (pemandu bakat).



Terjebak dalam reifikasi
Tilaar (2006) menyatakan proses reifikasi pendidikan berarti membendakan segala sesuatu yang dijadikan sebagai objek. Ujian Nasional hakikatnya adalah proses pengukuran. Yang biasa diukur adalah benda atau objek. Dengan demikian dalam posisi ini peserta didik disamakan dengan benda, atau terjadi objektifikasi terhadap peserta didik.
Pembendaan atau objektifikasi terhadap peserta didik sesungguhnya bertentangan dengan humanisme karena mereduksi sisi - sisi kemanusiaan. Jika peserta didik hanya dianggap benda maka proses pendidikan tidak ubahnya proses produk massal dalam pabrikan. Sebagaimana dalam produk massal maka pada akhirnya akan dihasilkan produk yang baik dan produk yang gagal melalui proses fitting (pengepasan dengan toleransi tertentu). Dalam kaitannya dengan Ujian Nasional maka fitting dalam hal ini adalah nilai untuk lulus. Yang memenuhi syarat maka akan go dan yang gagal not go.

Manusia seutuhnya Versus Manusia standar
Sejatinya tujuan pendidikan nasional tiada lain menjadikan peserta didik menjadi manusia Indonesia seutuhnya, bukan manusia standar. Manusia Indonesia seutuhnya adalah manusia yang beriptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) sekaligus berimtaq (iman dan taqwa). Keseimbangan iptek dan imtaq penting sehingga terwujud insan yang berkualitas secara keilmuan, skill, teknologi, sekaligus menjadi insan yang virtues (berkepribadian terpuji). Insan yang utuh tidak mengalami apa yang dinamakan split personality atau insan yang menderita skisofrenia yang tahu hukum tapi melanggarnya.
Insan yang utuh diciptakan melalui proses yang baik dan benar, baik dalam keilmuan maupun dalam pembangunan kepribadian. Rasanya sangat tidak cukup mewujudkan insan seutuhnya hanya melalui Ujian Nasional. Bahkan bisa jadi eksistensi Ujian Nasional tersebut justru menghambat proses perwujudan insan seutuhnya karena menjadikan dunia pendidikan terkooptasi dengan keberadaannya. Jika ini terus terjadi maka generasi ke depan bukanlah insan seutuhnya , tetapi sebatas manusia standar versi Ujian Nasional.

0 comments:

About Me

My photo
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Saya adalah seorang pendidik, alumni pasca sarjana dalam bidang pemikiran pendidikan. Essay-assay saya dipublikasikan di Kompas Jateng, Suara Merdeka, Gerbang, Rindang, Media Pembinan, detik.com, okezone.com Pernah Menjuarai penulisan ilmiah kelompok guru di harian Kedaulatan Rakyat, menjadi finalis lomba inovasi pembelajaran di UNNES, dan menjadi pemakalah terpilih dan pembicara dalam Konferensi Guru Indonesia tahun 2007. Tahun 2008 menjadi pemakalah dalam International conference on lesson study di Universitas Pendidikan Indonesia. Tahun 2009 terpilih sebagai penerima dana bantuan penulisan dari PUSBUK. Tahun 2010 menjadi pemenang harapan 3 lomba media pembelajaran tingkat nasional .Buku: 1. Kebijakan Publik Bidang Pendidikan.2. Profil Guru SMK Profesional 3. Editor buku Sejarah Kebudayaan Islam