PRESTASI SEBAGAI PRASASTI

Prasasti bukan sebagai artefak peninggalan Sang empunya sebagai bukti sejarah. Sesungguhnya prasasti lebih memberi gambaran akan eksistensi atas prestasi hidup yang telah dicapai. Gadjah Mada dengan Sumpah Palapa-nya memberi gambaran betapa besar prestasi yang telah dicapai dengan menyatukan bumi nusantara. Bung Karno dan Bung Hatta mewariskan naskah proklamasi yang senantiasa dibaca dan didengarkan setiap upacara peringatan kemerdekaan negeri ini. Dan W.R. Supratman mewariskan lagu Indonesia Raya yang menjadi alat pemersatu bangsa.
Torehan prestasi (yang telah menjadi prasasti) pendahulu kita sudah semestinya menjadi cambuk bagi generasi sekarang untuk berprestasi sebaik kemampuan yang dimiliki. Sayangnya dari hari ke hari prestasi kita dalam bidang ekonomi, olahraga, dan teknologi semakin tertinggal dengan bangsa lain.
Di SEA Games kita bukan langganan juara umum lagi, sepakbola kita tidak setangguh jamannya Rony Pattinasarani, bulu tangkis prestasinya tidak secemerlang zamannya Susi Susanti, ekonom kita tidak sekelas Bung Hatta, dan masih banyak lagi. Kini bangsa kita tertinggal oleh Singapura, Malaysia, bahkan Vietnam. Ketertinggalan tersebut sejatinya adalah dampak dari miskinnya kita atas prestasi dalam berbagai bidang.

Rusaknya Budaya Berprestasi
Motivasi berprestasi adalah produk budaya. Budaya tersebut datang secara intrinsik dalam diri individu dan secara ekstrinsik yang datang dari luar individu. Budaya berprestasi tidak akan pernah ada jika tidak diciptakan. Masyarakat suku pedalaman tidak ada motivasi berprestasi karena tidak mau menciptakan budaya prestasi. Budaya tersebut enggan diciptakan karena berbagai alasan, bagi suku pedalaman yang enggan perubahan, tidak berubah adalah sebuah prestasi karena perubahan dianggap melunturkan budaya. Dan bagi masyarakat luas, tidak berprestasi bukan karena tidak mau, akan tetapi miskinnya akses dalam banyak bidang.
Yang lebih parah lagi adalah hijrahnya intelektual kita ke luar negeri (brain drain). Kondisi tersebut tidak semata-semata kesalahan pelakunya tetapi budaya penghargaan yang rendah dari pemerintah atas prestasi yang diraih setiap anak bangsa.
Membangun budaya berprestasi membutuhkan sistem yang kondusif. Sistem diciptakan oleh pranata sebagai produk kebijakan. Kebijakan yang tidak memihak kepada budaya berprestasi tidak jarang menimbulkan masyarakat frustasi, dan yang lebih parah lagi menjadi ‘dukun’ yang mengaborsi bibit-bibit intelektual.
Di negara tercinta ini aborsi intelektual menjadi budaya yang jamak kita temui. Anak-anak yang sebenarnya berbakat dan berpotensi tiba-tiba menjadi mandul intelektualnya karena sistem yang merusak. Olahragawan yang sewaktu berusia anak-anak berprestasi kaliber internasional tiba-tiba diusia emasnya menjadi hilang spirit dan karakternya sehingga tak secemerlang dimasa kecilnya. Itu semua adalah sedikit dari bukti betapa sistem kita merusak budaya berpretasi.
Sistem yang merusak tersebut ada dalam berbagai lini, dari mulai pendidikan, perekrutan pegawai negeri, lembaga peradilan, dan masih banyak tempat lagi. Dalam pendidikan jelas kita lihat dari penyelenggaraan ujian nasional yang dijadikan sebagai syarat mutlak kelulusan menjadi media yang sangat berpotensi merusak dan mengaborsi bibit-bibit intelektual. Pengaborsian bibit-bibit intelektual juga terjadi dalam dunia pendidikan tinggi ketika akses masuk perguruan tinggi mengutamakan orang-orang the have dan menafikkan rakyat miskin yang sebenarnya berpotensi, terlebih setelah ada kebijakan BHMN.
Sistem yang bersifat merusak yang telah tersemai semenjak masuk gerbang sekolah akan menjadi menggurita ketika masuk dalam lingkungan kerja dan lingkungan birokrasi. Bahkan sedikit orang yang idealis jika masuk dalam birokrasi akan dihadapkan dalam dua masalah besar. Idealis akan kehilangan koneksi dan melebur akan kehilangan nurani.
Lingkungan yang krodit menyebabkan seseorang menempuh jalan pintas, instan, dan cenderung pragmatis. Maka istilah-istilah seperti ; kalau ada yang pintas, ngapain cari yang susah-susah, kalau bisa pragmatis ngapain harus idealis menjadi tradisi yang mendarah daging. Tradisi yang demikian menyebabkan budaya berprestasi akan luntur.

Reenginering Budaya Berprestasi
Realitas yang kurang bersahabat dengan budaya berprestasi belumlah terlambat untuk dilakukan perubahan. Syaratnya hanyalah kemauan dan komitmen. Idealnya perubahan itu diawali dari dunia pendidikan, sebab merupakan persemaian intelektualitas dan kepribadian generasi mendatang. Yang kita butuhkan dalam dunia pendidikan adalah kurikulum perubahan yang di dalamnya menanamkan jiwa yang setia pada komitmen.
Kurikulum perubahan hanya mampu diterjemahkan oleh guru yang inovatif, bukan guru yang mekanis yang tugasnya hanya menyelesaikan target kurikulum. Inovasi adalah penting karena inovasi adalah prestasi itu sendiri. Berinovasi bukanlah bentuk penyimpangan dari kurikulum, merupakan sebuah pengayaan, semacam diversifikasi.
Dalam kurikulum perubahan yang membutuhkan guru inovatif penting untuk ditanamkan komitmen. Komitmen tersebut berupa komitmen untuk senantiasa berinovasi, dan jauh dari rasa cepat puas atas inovasi yang telah dilakukan.
Perubahan dari budaya mandul prestasi menuju budaya berprestasi tinggi yang telah dimulai dari dunia pendidikan harus diimbangi dalam segala lini birokrasi. Intinya sekat-sekat yang menghambat budaya berprestasi harus dihilangkan. Yang dibutuhkan adalah kerja sama yang sinergis. Pemerintah memfasilitasi, dunia pendidikan menanamkan intelektual dan kepribadian yang menghargai prestasi, dan pihak swasta menjadi sponsor upaya berprestasi.
Dan yang terpenting sesungguhnya kemajuan dan harga diri bangsa adalah akumulasi dari prestasi setiap warganya. Prestasi yang tinggi adalah prasasti kehidupan bagi pelakunya. !!

0 comments:

About Me

My photo
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Saya adalah seorang pendidik, alumni pasca sarjana dalam bidang pemikiran pendidikan. Essay-assay saya dipublikasikan di Kompas Jateng, Suara Merdeka, Gerbang, Rindang, Media Pembinan, detik.com, okezone.com Pernah Menjuarai penulisan ilmiah kelompok guru di harian Kedaulatan Rakyat, menjadi finalis lomba inovasi pembelajaran di UNNES, dan menjadi pemakalah terpilih dan pembicara dalam Konferensi Guru Indonesia tahun 2007. Tahun 2008 menjadi pemakalah dalam International conference on lesson study di Universitas Pendidikan Indonesia. Tahun 2009 terpilih sebagai penerima dana bantuan penulisan dari PUSBUK. Tahun 2010 menjadi pemenang harapan 3 lomba media pembelajaran tingkat nasional .Buku: 1. Kebijakan Publik Bidang Pendidikan.2. Profil Guru SMK Profesional 3. Editor buku Sejarah Kebudayaan Islam