KEKUASAAN ADALAH INVESTASI

Belakangan, beberapa wilayah di tanah air menyelenggarakan pilkada. Setiap kali penyelenggaraan pilkada selalu banyak hal yang menarik untuk dicermati. Selalu ada saja kejadian-kejadian unik, menggelikan, dan kadang tidak bisa diterima oleh akal sehat (common sense). Money politics, amuk massa, ribut antarpendukung calon, serangan fajar, pembunuhan karakter, klenik, dan golput merupakan sebagian dari kejadian-kejadian dalam pilkada. Dalam momen ini pula muncul tim sukses, tim yang selalu sukses terlepas dari menang atau kalah calon yang diusung.
Pilkada kadang tidak ubahnya seperti judi, yang menang untung, yang kalah buntung. Agar tidak buntung, maka ditempuh banyak cara. Money politics merupakan kejadian yang mudah untuk ditemukan. Praktiknya dapat beragam, seperti memberi sumbangan ke tempat ibadah, sumbangan untuk fasilitas umum, sampai memberi amplop kepada pemilih melalui serangan fajar, persis saat hari H pemilihan. Apalagi jika calon adalah pejabat lama yang masih berkuasa, di sini posisi sebagai kepala daerah dan calon kepala daerah susah dibedakan. Dan posisi ambigu inilah yang dinanti-nanti.
Pasca pilkada, amuk massa merupakan kejadian yang sering muncul ke permukaan. Massa kecewa karena calon yang didukung kalah. Calon yang kalah menuntut secara hukum, sementara grass root yang mendukung dibiarkan menempuh dengan nalarnya sendiri. Pembakaran, vandalisme, dan pengerusakan adalah cara yang ditempuh.
Pilkada (yang katanya) sebagai ajang belajar demokrasi selalu memakan biaya yang tidak sedikit (height cost learning). Bahkan untuk pemilu tahun 2009 anggaran yang diusulkan di atas anggaran pendidikan nasional, fantastis bukan. Atas realitas tersebut, dengan mudah kita membaca bahwa hajat demokrasi bergeser ke proyek demokrasi yang sarat dengan korupsi dan kolusi.

Investasi jangka pendek
Nalar peserta pilkada sejatinya mudah dibaca. Pragmatis dan picik. Pragmatis karena berorientasi pada kekuasaan yang menghasilkan materi, dan picik karena menempuh berbagai cara untuk menang. Meskipun tulisan ini bukan berdasar atas investigasi, namun kita dapat melihat realitas dengan mata telanjang.
Menjadi kepala daerah dengan biaya yang tidak sedikit, jika dihitung secara jujur sebenarnya rugi. Mari kita hitung-hitungan, untuk menjadi bupati tidak cukup dua milyar rupiah. Kekuasaan yang dipegang hanya lima tahun. Jika gaji yang diterima sebesar 10 juta (dibuat besar) per bulan, maka dalam satu tahun gajinya 120 juta. Dalam kurun waktu lima tahun total gaji yang diterima sebesar 600 juta. Jadi selama lima tahun modal 2 milyar akan rugi 1, 4 milyar. Itu hitung-hitungan berdasar nalar penulis yang tentu saja berbeda jauh dengan nalar calon penguasa.
Hitungan di atas, sekali lagi, berbeda dengan calon penguasa. Bagi mereka kekuasaan adalah investasi. Investasi yang bunganya eksponensial, melebihi bunga bank dan deposito. Yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana dengan waktu lima tahun kekuasaan menjadi investasi jangka pendek yang menarik. Pasti ada apa-apanya.
Benarlah apa yang dikatakan oleh Lord Acton, sejarawan asal Inggris yang menyatakan bahwa kekuasaan cenderung pada korupsi power tends to corrupt). Bahkan dengan kasar pernyataan Lord Acton tersebut bisa jadi diubah (atau malah telah diubah) menjadi berkuasa untuk korupsi, atau berkuasa untuk dapat proyek. Fenomena gila-gilaan dana kampanye adalah pembenaran atas pernyataan di atas sebelumnya.
Siapa sih yang mau rugi dalam kehidupan yang materialistik ini, semua pasti ada hitung-hitungannya. Ada kalkulasi untung dan ruginya. Dengan demikian pernyataan ini linier dengan “jual-beli” kekuasaan. Uang yang dijadikan modal dalam pilkada harus cepat-cepat kembali. Selanjutnya mudah ditebak, proyek ini itu diadakan, proyek yang sarat kolusipun segera tercipta.

Rakyat butuh solusi
Atas fenomena di atas, sejujurnya rakyat mulai bosan. Bahkan rakyat mulai merindukan romantisme stabilitas seperti di era Orde Baru. Dalam hati rakyat kecil mulai tumbuh benih-benih hasrat untuk bernostalgia dengan kemapanan, stabilitas, dan ketenangan hidup seperti zaman itu. Realitas di masyarakat ini sejujurnya menjadi pekerjaan rumah di era reformasi yang menjanjikan clean government.
Berubah atau tidaknya model pilkada dan demokrasi yang kita bangun sekarang ini ada dalam segelintir pengambil kebijakan dan tentu saja pada setiap individu yang berhasrat pada kekuasaan., tinggal ada niat baik atau tidak. Niat baik pengambil kebijakan adalah tidak menjadikan pilkada sebagai lahan proyek, dan niat baik dari setiap individu adalah menjadi pemimpin yang mampu merubah keadaan. Pemimpin adalah problem solver, jangan malah menjadi part of problem bagi masyarakat yang dipimpinnya.Pemimpin sejati tidak menjadikan otoritas yang dimiliki sebagai mesin uang, sebagai alat untuk memperkaya diri, apalagi sebagai lahan investasi. Pemimpin yang sejati tentu didapat melalui proses yang baik dan benar, dan menjauhkan praktik amoral dalam prosesnya. Sekali lagi, pemimpin sejati tidak pernah jual-beli kekuasaan. Kehadiran pemimpin sejati adalah harapan dari setiap masyarakat. Namun , harapan itu tinggal harapan jika praktiknya masih begini-begini saja, atau jangan-jangan pemimpin sejati hanya sekedar mitos ?.

0 comments:

About Me

My photo
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Saya adalah seorang pendidik, alumni pasca sarjana dalam bidang pemikiran pendidikan. Essay-assay saya dipublikasikan di Kompas Jateng, Suara Merdeka, Gerbang, Rindang, Media Pembinan, detik.com, okezone.com Pernah Menjuarai penulisan ilmiah kelompok guru di harian Kedaulatan Rakyat, menjadi finalis lomba inovasi pembelajaran di UNNES, dan menjadi pemakalah terpilih dan pembicara dalam Konferensi Guru Indonesia tahun 2007. Tahun 2008 menjadi pemakalah dalam International conference on lesson study di Universitas Pendidikan Indonesia. Tahun 2009 terpilih sebagai penerima dana bantuan penulisan dari PUSBUK. Tahun 2010 menjadi pemenang harapan 3 lomba media pembelajaran tingkat nasional .Buku: 1. Kebijakan Publik Bidang Pendidikan.2. Profil Guru SMK Profesional 3. Editor buku Sejarah Kebudayaan Islam