Puasa Dan Peningkatan Intelektualitas siswa

Korelasi antara puasa dan peningkatan intelektualitas sepanjang pengetahuan penulis belum diteliti dan digeneralisasi seberapa besar signifikansinya. Bahkan judul di atas menjadi sangat luas dan perlu kiranya dilakukan pembatasan istilah agar apa yang penulis sampaikan lebih fokus.
Jamak kita ketahui bahwa intelektual yang diterjemahkan sebagai kecerdasan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain faktor genetik, gizi, dan lingkungan. Dan tinggi rendahnya intelektual diukur melalui tes Binet yang dikenal dengan tes IQ. Maka menjadi sangat rancu secara statistik jika puasa dikorelasikan dengan intelektual karena untuk mengetahui mestinya dilakukan pengukuran yang nantinya diketahui ada tidaknya perbedaan skor IQ seseorang sebelum dan sesudah menjalankan puasa.
Judul di atas menjadi lebih bermakna jika poin of view tidak terfokus pada tinggi rendahnya kecerdasan siswa berdasar skor IQ, namun lebih pada kualitas intelektual siswa. Dan jika yang ditekankan adalah kualitas siswa maka indikatornya akan subjektif tergantung pada kapasitas setiap individu, artinya kualitas intelektual di sini bersifat relatif.
Menurut penulis puasa adalah sebuah bentuk laku asketik (prihatin) yang dilakukan oleh seorang muslim karena diwajibkan (puasa Ramadhan) dan atau disunnahkan (puasa senin-kamis, puasa 9 dzulhijah). Bahkan banyak orang yang menjalankan ritual dengan berpuasa di luar dua ketentuan tersebut dengan tujuan tertentu seperti memperoleh kekayaan, memperoleh kedudukan, dan lain sebagainya.
Sesumgguhnya tujuan puasa adalah agar seseorang meningkat derajat ketakwaannya, maka sesungguhnya terjadi pergeseran tujuan jika seseorang berpuasa sekedar untuk kaya, sakti atau berkuasa. Orang yang bertakwa adalah orang yang berilmu sekaligus berakal. Ilmu dekat dengan dunia akademis yang berhubungan dengan intelektual sedangkan akal berkaitan dengan penggunaan nalar, logika, dan metodologi.
Berilmu (kognitif an sich) saja tidaklah cukup karena kehidupan beragama sesungguhnya tidak cukup didekati dengan dunia teori, namun juga realitas empirik bahkan meta realitas yang tak kasat mata. Dengan sinergi keduanya maka individu memiliki kecenderungan untuk berfikir logis dengan ilmu yang dimilikinya sehingga memilih jalan Allah. Dan dengan ilmu dan akal pula penulis mengurai korelasi antara puasa dan intelektualitas siswa.
Puasa Ramadhan sebagai bentuk laku asketik ditempuh melalui pengekangan dan pengendalian hawa nafsu. Pengendalian dan pengekangan nafsu tersebut tidak saja dari imsak sampai bedug maghrib namun sebulan penuh, dari detik ke detik dalam seharinya. Orang yang mampu menjalankan puasanya dengan baik dan benar akan memiliki sinyal yang kuat dengan Sang Khaliq. Energi keilahian inilah yang mampu menjadikan seseorang memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi, dan dengan sendirinya dua kecerdasan yang grade nya berada di bawahnya (intelektual dan emosional) akan include di dalamnya. Orang yang bersih dan suci hatinya akan mudah memperoleh ilmu dari Allah, apalagi ilmu ciptaan manusia yang sifatnya sangat spekulatif (ada kemungkinan untuk salah).
Secara aksiomatis uraian pada paragraf sebelumnya dapat digeneralisasi bahwa kebersihan dan kesucian hati akan mempermudah seseorang untuk meningkatkan kualitas daya serap belajarnya. Aksioma yang penulis susun ini sejujurnya telah menumbangkan teori klasik dalam psikologi kognitif (lihan Jeanette Vos dalam Revolusi Belajar, Kaifa, 1999) yang menyatakan bahwa daya serap hanya didominasi oleh tiga hal yakni visual (mata), auditorial (telinga), dan kinestetik (gerakan tubuh). Dengan kata lain daya serap yang paling tinggi dan menentukan adalah kesucian hati, karena dengan kesucian hati dengan sendirinya siswa akan terbuka matanya untuk selalu melihat apa yang disampaikan guru di kelas, akan mendengarkan apa yang diucapkan gurunya, dan akan meneladani setiap aktivitas yang dilakukan oleh gurunya.
Dalam konteks ini maka yang terpenting adalah bagaimana siswa berpuasa dengan baik dan benar, penuh penghayatan dan kekhusukan. Jika telah dijalani dengan benar maka kerja intelektual siswa akan berjalan dengan lancar dan mudah sehingga memudahkan siswa dalam menyerap materi pelajaran. Dengan daya serap yang tinggi maka akan linier dengan kualitas intelektualnya sebab meningkatnya kualitas intelektual diukur dari seberapa besar ilmu dan pengetahuan yang bisa diserap, dari tidak tahu menjadi tahu, dan dari tidak paham menjadi paham.

0 comments:

About Me

My photo
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Saya adalah seorang pendidik, alumni pasca sarjana dalam bidang pemikiran pendidikan. Essay-assay saya dipublikasikan di Kompas Jateng, Suara Merdeka, Gerbang, Rindang, Media Pembinan, detik.com, okezone.com Pernah Menjuarai penulisan ilmiah kelompok guru di harian Kedaulatan Rakyat, menjadi finalis lomba inovasi pembelajaran di UNNES, dan menjadi pemakalah terpilih dan pembicara dalam Konferensi Guru Indonesia tahun 2007. Tahun 2008 menjadi pemakalah dalam International conference on lesson study di Universitas Pendidikan Indonesia. Tahun 2009 terpilih sebagai penerima dana bantuan penulisan dari PUSBUK. Tahun 2010 menjadi pemenang harapan 3 lomba media pembelajaran tingkat nasional .Buku: 1. Kebijakan Publik Bidang Pendidikan.2. Profil Guru SMK Profesional 3. Editor buku Sejarah Kebudayaan Islam