Deschooling Society: Mungkinkah ?


Menarik sekali apa yang dikatakan Ivan Illich tentang masyarakat tanpa sekolah yang lebih dikenal dengan deschooling society. Meskipun gagasan itu baru pada tataran wacana, namun dengan gamblang menyorot ketidakberhasilan pendidikan, kalau tidak mau dibilang sebuah kegagalan. Pendidikan yang mestinya menjadikan dunia lebih baik dari sebelumnya justru yang terjadi adalah sebaliknya . Dunia semakin rusak akibat ekses teknologi, bencana alam karena human error, dan banyaknya pengangguran adalah serentetan kegagalan lembaga sekolah. Dengan kondisi riil di atas lantas mungkinkah terwujud deschooling society ?.

Kondisi Indonesia

Pendidikan yang secara makro bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya masih menjadi cita-cita yang menggantung di langit atau mungkin sebuah utopia belaka. Bahkan tujuan mikro dan lebih pragmatis (belajar untuk bekerja) masih susah untuk dicapai.

Kita semua sepakat bahwa sistem pendidikan kita belum mampu untuk serasi dan sepadan dengan dunia industri. Artinya apa yang dipelajari di sekolah tidak banyak kaitan langsung dengan realita yang akan dihadapi nanti. Bahkan selama ini kita masih berkutat untuk mencari-cari jalan dan bentuk yang pas mengenai pola pendidikan . Maka wajarlah jika beberapa kali terjadi perubahan model yang terkadang susah dilaksanakan di lapangan.

Melihat kenyataan di atas banyak pakar pendidikan kita yang menawarkan jampi-jampi demi perbaikan kualitas pendidikan di tanah air. Toh hasilnya semakin tidak karuan. Dari tahun-ketahun kualitas pendidikan kita semakin tertinggal dengan negara-negara tetangga, bahkan dengan Malaysia yang nota bene”bekas murid” kita, telah jauh melangkah lebih maju meninggalkan gurunya.

Tinggi rendahnya kualitas pendidikan dipengaruhi oleh banyak faktor. Kurikulum, kualitas guru, dan ketersediaan standar pelayanan minimal pendidikan adalah faktor dominan yang menjadi modal kunci. Namun semua menyadari untuk memenuhi Standar Pelayanan Minimal Pendidikan jika hanya menggantungkan uluran tangan dari pemerintah pusat rasanya sangat sulit. Maka tidaklah mengherankan jika banyak sekolah -- terutama di daerah-- yang secara infrastruktur sangat kurang. Akibat dari semua ini adalah selalu kalahnya dunia pendidikan kita dalam adu cepat dengan perkembangan teknologi. Selanjutnya mudah ditebak, apa yang dipelajari peserta didik saat ini telah menjadi sesuatu yang usang ketika peserta didik lulus nanti.

Gambaran out put dengan skill yang usang tadi berakibat akan selalu kalah bersaing dalam memperebutkan lowongan pekerjaan. Industri lebih suka mengambil lulusan luar negeri karena dipandang lebih capable dan mempunyai daya adaptif tinggi dibanding lulusan lokal.

Opini Masyarakat

Serangkaian kegagalan dunia pendidikan kita ditanggapi berbeda oleh masyarakat. Ada masyarakat yang tetap menganggap bahwa sekolah adalah dewa penolong bagi masa depan anak dan menjadi simbol sosial. Maka tidak heran jika disetiap tahun ajaran baru banyak orang tua yang mendaftarkan sekolah anaknya. Tetapi ada pula yang menganggap sekolah bukan lagi pilihan investasi karena melihat banyaknya pengangguran terdidik. Maka banyak orang tua yang lebih memilih menjadikan anaknya sebagai polisi atau tentara selepas SMA dibanding membiayai kuliah anaknya. Karena jika dikalkulasi biaya kuliah mendingan untuk membeli kerja , maklumlah pekerjaan di Indonesia kebanyakan dibeli dari pada dicari. Apalagi semakin merosotnya akhlak, budi pekerti , dan moral oknum mahasiswa dengan berbagai peristiwa yang menghebohkan, misalnya seks bebas, narkoba, dan tindak curanmor yang sering diekspos semakin menambah keengganan orang tua untuk melepas jauh anaknya..

Terlepas dari pro dan kontra tentang pendidikan sampai saat ini sekolah tetap menjadi syarat mutlak dalam mencari kerja. Fungsi selembar ijazah tetap menjadi kupon ( kartu masuk ) dalam melamar kerja, bukannya kompetensi yang dimiliki. Ditambah lagi pendidikan kita yang satu track dimana setiap jenjang adalah jenjang berikutnya dan baru dianggap selesai jika sudah sarjana semakin mengharuskan orang untuk sekolah dan sekolah. Apalagi Disnakertrans yang selalu berdalih betapa sulitnya peningkatan mutu kerja kalau pekerjanya hanya lulus SD semakin memberi dorongan perlunya sekolah tinggi. Hal ini semakin menegaskan bahwa deschooling society tidak mungkin terwujud di negeri ini.

0 comments:

About Me

My photo
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Saya adalah seorang pendidik, alumni pasca sarjana dalam bidang pemikiran pendidikan. Essay-assay saya dipublikasikan di Kompas Jateng, Suara Merdeka, Gerbang, Rindang, Media Pembinan, detik.com, okezone.com Pernah Menjuarai penulisan ilmiah kelompok guru di harian Kedaulatan Rakyat, menjadi finalis lomba inovasi pembelajaran di UNNES, dan menjadi pemakalah terpilih dan pembicara dalam Konferensi Guru Indonesia tahun 2007. Tahun 2008 menjadi pemakalah dalam International conference on lesson study di Universitas Pendidikan Indonesia. Tahun 2009 terpilih sebagai penerima dana bantuan penulisan dari PUSBUK. Tahun 2010 menjadi pemenang harapan 3 lomba media pembelajaran tingkat nasional .Buku: 1. Kebijakan Publik Bidang Pendidikan.2. Profil Guru SMK Profesional 3. Editor buku Sejarah Kebudayaan Islam